Apa kira-kira yang akan dikatakan Mas Firman, apakah ia akan mengiyakan ucapan ibunya?
Aku terus menatapnya dengan suasana hati yang begitu sulit di jelaskan. Harap-harap cemas, akankah Mas Firman tetap teguh pada cintanya?"Bu, pernikahan kami juga baru berjalan tiga tahun, itu masih seumur jagung. usia kami juga masih muda, tentu masih banyak waktu dan kesempatan hingga waktu itu tiba, tak perlu lah ibu terus menerus menekan kami seperti ini." Mas Firman menjatuhkan bobotnya di kursi samping ibunya duduk. Ia berkata lembut memberi pengertian pada wanita yang juga begitu dicintainya.
Aku melangkah ke dapur hendak membuatkan teh hangat untuk ibu mertuaku, rasanya tak sanggup berdiri lama-lama di sana mendengarkan semua cercaan yang beliau utarakan.
Aku merebus air di dalam teko untuk menyeduh teh, aku hafal kesukaan ibu mertuaku, Beliau lebih menyukai teh bubuk daripada teh celup.
Menunggu air mendidih, aku sejenak termenung, mengusap lembut wajah ini dengan kedua telapak tanganku, perkataan ibu barusan terus terngiang-ngiang di kepalaku, akankah aku siap dan mengijinkan suamiku menikah lagi. Ah, rasanya itu suatu hal yang sangat mustahil. Aku tak akan sanggup.
Tiba-tiba sepasang tangan menyentuh lembut tanganku yang menutupi wajah, perlahan dengan lembut membuka tanganku dan menggenggamnya erat. Aku hafal dengan kelembutan sentuhan ini, tak salah lagi, ia suamiku.
Saat kubuka mata ini, perlahan ia mencium kedua tanganku, kemudian tersenyum.
"Mas Firman," bisikku lirih.
"Sudah jangan dengarkan perkataan Ibu. Aku akan tetap ada bersamamu, percayalah." Mas Firman seakan tau isi hatiku yang sedang gundah gulana. Aku hanya tersenyum.
Semanis itu perlakuannya terhadapku, bagaimana mungkin aku rela membagi rasaku dengan wanita lain?
Tak berapa lama terdengar teko siul berbunyi, tanda air telah mendidih, segera kutuang ke dalam teko kecil yang biasa digunakan untuk menyeduh teh.
Mas Firman mengambil beberapa piring di rak piring.
"Sudah, jangan terlalu di pikirkan ya, Sayang. Ayo kita makan," ucapanya lagi, mungkin karena melihatku banyak diam.
"Lho, Mas? Aku belum masak."
"Tadi Mas bawa makanan dari rumah makan, tadi sebelum Ibu kemari, beliau telpon Mas, jadi Mas pulang biar bisa makan siang bareng di rumah. Selain itu juga Mas nggak mau istri kesayangan Mas ini harus sedih sendirian menghadapi omongan Ibu. Maafin ibuku ya, Sayang."
Aku mengangguk, Mas Firman memang selalu mengerti kondisiku.
"Tapi perasaan tadi Mas masuk rumah nggak bawa makanan?" tanyaku heran.
"Tadi kelupaan di mobil, karena Mas buru-buru masuk." Mas Firman menjawab sambil terkekeh, kemudian berlalu ke meja makan. Antara dapur dan meja makan, terhalang dinding jadi Ibu tak bisa melihat ke arah kami.
Kami pun makan siang dalam keheningan, hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang beradu.
"Nanti setelah salat dhuhur Firman langsung ke restoran lagi ya, Bu," ucap Mas Firman memecah keheningan.
"Iya. Firman sebenarnya kedatangan ibu kemari, ada yang ingin ibu sampaikan. Adikmu Laras kan sudah lulus kuliah, nah sekarang dia sedang mencari kerjaan. Sementara ia mencari kerja, biar dia tinggal di sini sementara waktu, sampai mendapatkan pekerjaan. Ya, sambil menunggu Laras dapat kerjaan, dia bisa bantu-bantu kamu di rumah makan kan."
Aku hanya diam mendengarkan Ibu bicara dengan Mas Firman.
"Bukanya Laras masih aktif jadi model, Bu?" tanya suamiku terlihat heran.
Memang setahuku Laras selain kuliah dia juga menekuni dunia modelling, job sebagai model sering diambilnya di sela-sela jadwal kuliahnya.
"Memang masih, tapi kalau memang ada pekerjaan yang lebih mapan kan, apa salahnya ambil pekerjaan lain yang lebih menjanjikan." Mas Firman hanya manggut-manggut tanda mengerti.
Adik iparku memang cantik, tinggi semampai dengan kulit putih bersih, hidungnya mancung, dengan model gaya rambut di cat sedikit pirang di beberapa helai rambutnya.
"Kamu tidak keberatan kan, Yun? Kalau Laras sementara tinggal di sini?" Tiba-tiba Ibu melempar pertanyaan itu padaku.
"Tentu saja tidak Bu, Yunita tidak keberatan," jawabku cepat.
"Bagus kalau begitu. Memang harusnya seperti itu, rumah ini kan rumah Firman, jadi tak masalah Laras tinggal di sini kapanpun." Aku terdiam, rasanya ada sedikit rasa tak nyaman mendengar kalimat yang beliau ucapkan.
Tak berapa lama, makan siang kami selesai, aku bergegas membereskan semuanya. Ibu juga terlihat masuk ke kamar tamu, hendak istirahat.
Usai melaksanakan salat dhuhur Mas Firman pamit untuk kembali ke rumah makan.
"Mas, aku ikut ke rumah makan ya?" pintaku. Kami bahkan masih mengenakan alat salat lengkap usai berjamaah.
"Kamu di rumah aja, istirahat yah. Ada Ibu juga di rumah, masa di tinggal sendirian, kasihan nanti jika beliau butuh apa-apa." Mas Firman berkata dengan lembut, menatapku sambil mencolek dagu ini.
"Kamu sabar ya. Sebenarnya Ibu itu baik, tapi mungkin karena usianya sudah semakin tua jadi beliau sekarang sedikit cerewet." Lagi Mas Firman meyakinkanku.
Seolah tau isi hatiku yang mulai diliputi rasa kurang nyaman jika ibu kembali berkata seperti tadi.
Kami hanya saling tatap, kemudian Ia menariku dalam dekapannya, membenamkan wajahku ke dalam dada bidang miliknya.
"Mas janji akan pulang sebelum petang. Kamu istirahat yah! Mas tak ingin kamu sakit." Mas Firman mengangkat wajah ini, dan membingkainya hingga kedua netra kami bertemu, aku dapat merasakan detak jantungnya.
Lelaki tampan yang kini di hadapanku, yang selalu mampu memberiku ketenangan, dengan segala kelembutannya, seolah menjadi sosok yang nyaris sempurna bukan hanya di mataku, mungkin juga di mata wanita lain yang melihatnya.
Kedua iris mata hitam, dengan alis tebal hampir menyatu, hidung mancung, rahang kokoh dengan sedikit jambang halus, dan lesung di kedua pipinya jika ia tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya. Sungguh semua itu bak terpahat sempurna, begitu indah ciptaan Allah yang ada di hadapanku ini.
"Kenapa liatin Mas, sampai begitu? Mas ganteng ya!" Mas Firman mengangkat sebelah alisnya dengan senyum merekah di bibirnya.
"Hmmm, aku ... Aku takut Mas. Aku takut kamu akan,–"
"Ssstt! Sampai kapanpun aku akan tetap milikmu." Dengan cepat Mas Firman mengatupkan bibir ini dengan jari telunjuknya, seolah tak ingin aku mengatakan hal itu.
Meyakinkan jika hal itu tak pernah terjadi, semoga benar adanya. Semoga benar ia akan teguh pada janjinya.
***
Langit sore menampakkan semburat warna jingganya di ufuk barat, sinarnya terbentang dengan gagah, angin sore yang sepoi-sepoi menambah keindahan suasana senja ini.Ibu masih di dalam kamar usai makan siang tadi, aku tak ingin mengganggu istirahatnya.
Tak berapa lama Mas Firman tiba di rumah. Lengan besarnya merangkul pundakku dan berjalan memasuki rumah kami, usai memarkirkan mobilnya.
Sayup-sayup terdengar suara Ibu sedang menelepon seseorang di ruang tengah.
"Kamu langsung kesini saja di rumah kakakmu, ya! Ibu sudah bilang, dan mereka tidak keberatan, kok."
"Iya, hati-hati ya, Ras!"
Dari panggilan yang disebutnya, sudah pasti itu Laras.
"Siapa, Bu?" tanya Mas Firman yang sedang berjalan denganku.
"Adikmu Laras, malam ini juga, dia akan datang kemari, dan akan tinggal di sini."
Mas Firman duduk di kursi ruang keluarga, dan aku berlalu ke dapur membuatkan secangkir kopi kesukaannya.
Setelah kopi siap, aku bawa ke ruang tengah tempat Mas Firman dan Ibu sedang duduk santai.
"Ibu, mau kubuatkan teh?" tanyaku lembut sambil meletakkan secangkir kopi panas di meja. Uap kopi panas masih mengepul bersamaan dengan aroma wangi khas kopi yang menguar ke udara.
"Nggak usah, minum manis terus yang ada nanti ibu bisa kena diabetes," jawabnya ketus.
Aku hanya menghela napas, niat baikku menawarkan minuman hangat, disambut sedemikian ketusnya. Sabar, sabar.
Mendengar sahutan Ibunya, Mas Firman sempat melirikku, dan tersenyum hangat, seolah ingin menenangkan, walau lewat senyuman. Aku membalas senyum tipis.
"Mas, mau makan dulu atau mandi dulu?"
"Mas mandi dulu aja Sayang, nanti makan setelah Maghrib aja." Mas Firman meraih kopi kemudian meniupnya pelan, menikmati kopi hangat yang cenderung panas itu.
"Iya, Mas." Aku pun duduk di sampingnya.
Tak ingin salah bicara, Aku lebih banyak diam, Apapun yang aku ucapkan, selalu salah di mata Ibu.
"Assalamualaikum!"
Tak berapa lama terdengar Salam dari arah pintu depan, serentak kami yang sedang duduk di ruang tengah menoleh ke arah pintu utama.
"Wa'alaikumsalam!" jawab kami hampir bersamaan.
Dari suaranya seperti suara Laras–Adik iparku. Ibu pun bangkit dan berjalan ke depan.
"Kamu sudah wangi, Sayang." Mas Firman berbisik, seraya mendaratkan kecupan di pipiku, saat Ibu sudah berlalu ke arah pintu depan.
"Udah donk, kan udah mandi," sahutku.
"Laras, wah ini siapa? Cantik sekali." Terdengar suara renyah Ibu menyambut Laras, yang sepertinya datang bersama seseorang.
"Ah iya, kenalin ini Tania, teman Laras, Bu."
"Selamat Sore, Tante." Suara seorang perempuan yang sepertinya temannya Laras.
"Firman! Ini adikmu sudah datang, kesini donk! Jangan di dalam terus!" teriak Ibu memanggil suamiku.
"Iya, Bu!" serunya.
"Ayo, Mas ke depan, nggak enak sama Ibu." Aku bangkit dan mengajak suamiku untuk ke depan dan melihat siapa yang datang.
Rumahku kedatangan dua wanita cantik rupanya, Laras datang bersama temannya, yang mungkin juga seorang model seperti dirinya, terlihat dari gaya berpakaian dan gaya rambutnya.
Gadis yang tinggi semampai, dengan rambut di cat sedikit cokelat, memakai pakaian seperti kurang bahan. Rambutnya di cepol ke atas, menampakkan leher jenjangnya. Wajahnya putih bersih, dengan bibir merah menyala.
"Kak Firman!" Laras mendekati kami dan meraih tangan suamiku kemudian menciumnya takzim. Bahkan ia tak melirik sama sekali ke arahku, seolah aku tak ada. Padahal jelas-jelas aku masih berdiri di samping Mas Firman.
"Laras, kamu sehat?" tanya Mas Firman pada adik semata wayangnya itu.
"Alhamdulillah sehat, Kak," jawabnya sambil tersenyum manja.
Laras memang sangat manja dengan kakaknya, aku berusaha memaklumi itu, tapi entah kenapa ia seperti kurang suka denganku, bahkan sejak awal pernikahan kami, ia sudah menunjukkan sikap tak sukanya padaku, tanpa kutahu salahku dimana, padahal aku selalu berusaha bersikap baik padanya.
"Laras, Salim juga dengan Kak Yunita, biar bagaimanapun dia itu istri Kakak, jadi kamu juga harus menghormati dia." Mas Firman berkata dengan tegas.
Mas Firman bahkan sering mengucapkan kata-kata itu. Namun, Laras sepertinya cuek, dan selalu bersikap ketus menunjukkan ketidaksukaannya padaku.
Laras mengulurkan tangannya dan kami berjabat tangan, terlihat jelas bibirnya maju tiga senti. Aku hanya tersenyum geli melihatnya.
Kami pun duduk di ruang tamu. Tapi aku sedikit kurang nyaman pada gadis yang duduk di samping Laras, terlihat ia sesekali mencuri pandang ke arah Mas Firman. Saat aku balik menatapnya, ia langsung mengalihkan pandangannya.
Bersambung.
"Ehm, Kak Firman, kenalin ini temenku, namanya Tania. Tania ini kakakku, ganteng kan!" Laras memperkenalkan temannya itu, dengan gaya centilnya, gadis itu pun bangkit dan mengulurkan tangannya di hadapan suamiku, Mas Firman pun menerima uluran tangannya.Mas Firman hanya diam, meski Tania terlihat begitu lekat menetap Mas Firman. Hanya sekejap ia menatap ke arah Tania kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain."Saya, Yunita. Istrinya Mas Firman," sergahku cepat mengulurkan tangan, melihat Tania masih terus memandangi wajah suamiku, tentu aku merasa gerah melihatnya."Ah, iya Kak Yunita, saya Tania, teman seprofesi dengan Laras." Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Kami berjabat tangan. Kemudian ia kembali duduk."Yunita, sana kamu bikinin minum. Masa ada tamu gini di diemin aja." Ibu tiba-tiba bersuara saat kami semua sedang duduk. Suaranya terdengar seperti memerintah.Bahkan di saat ada orang lain pun, Ibu tetap menunjukkan sikap tak sukanya padaku. Tak bisakah barang sedikit sa
Setelah selesai makan malam, Mas Firman langsung beranjak naik ke atas, aku membereskan sisa makan dan piring di meja makan. "Sayang, tolong beritahu kamar untuk Laras, dan temanya di kamar bawah, dan tolong jangan keluyuran naik ke atas, boleh naik ke atas hanya untuk menjemur pakaian. Itupun di lakukan pada siang hari." Mas Firman yang baru menaiki beberapa anak tangga berhenti kemudian mengatakan itu, serentak kami yang masih berada di meja makan menoleh ke arahnya. "Baik, Mas," sahutku cepat. Aku melirik Tania dan Laras, mereka saling pandang, entah apa yang ada dipikiran mereka aku tak tau. "Firman, masa mau naik ke atas aja, nggak boleh." Ibu pun ikut bersuara. "Tolong, Bu. Hargai keputusanku, jika ingin tinggal di rumah ini, ikuti aturan di rumah ini." Semua terdiam. Begitulah suamiku, ia akan berkata lembut saat bersamaku, tapi ia juga akan tegas jika ada yang menentang keputusannya. Memang aku pikir itu memang yang terbaik, Tania bukan siapa-siapa dan bukan muhrim bag
Diri ini hanya manusia biasa, perempuan lemah yang begitu sangat mencintainya, pun dengan hati ini, begitu cepat terbakar api cemburu saat melihatnya tengah berdua dengan Dia, apa aku terlalu posesif, atau aku berlebihan? 🌺🌺🌺Sejenak aku terpaku menatap mereka. Ada rasa nyeri menjalar begitu saja di dalam sini, melihat pemandangan di hadapanku. "Saya bisa bersihkan sendiri." Terlihat Mas Firman mundur satu langkah dan meraih tisu di meja."Maaf Kak, aku tadi tak sengaja.""Iya sudah nggak apa-apa. Maaf juga saya tak lihat kamu datang tadi.""Ehem! Mas, kamu lagi ngapain?" tanyaku saat mereka belum menyadari kedatanganku. Sontak mereka berdua menoleh ke arahku. "Sa–Sayang. Kamu bangun?" Mas Firman melangkah maju melewati Tania yang masih berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti.Aku hanya memicing, menatap Mas Firman dan Tania secara bergantian. Sebisa mungkin aku tenang dan tak terpancing emosi, melihat Mas Firman tetap tenang sepertinya tak ada hal yang mengkhawat
Akhirnya Tania turun dari mobil dan duduk di samping Laras. Aku menoleh ke arah Mas Firman, ia tersenyum melihatku. Sepanjang perjalanan kami terdiam, Laras pun sibuk dengan ponselnya, Sedangkan Tania sibuk melihat suasana jalanan kota ini. Hingga kami sampai di depan sebuah hotel, dan mereka turun, kami memutar balik arah menuju Rumah makan. "Aku nggak nyangka kamu bisa galak kaya tadi," ucap Mas Firman di sela-sela kesibukan mengemudinya. Aku hanya meliriknya. "Ya bisalah, masa ada cewek ganjen yang mau deket-deket suamiku, aku harus diem aja. Nanti yang ada lama-lama Mas kesenengen," cebikku. "Ya nggak lah. Aku senengnya kalau kamu yang deket-deket Mas." "Beneran ya. Pokoknya aku nggak mau sampai Tania deket-deket Mas lagi. Aku nggak suka. Dia kelihatan banget pengin deketin kamu." Aku terus berbicara mengeluarkan kekesalanku. "Iya, iyaa, Sayang. Lagian aku juga jadi takut sendiri lihat cewek model Tania begitu. Bener lho." "Halah, takut apa malah seneng?!" Aku masih merajuk
"Makanya, Mbak kalo kerja itu yang bener donk! Mbak tau nggak, saya ini calon istrinya Kak Firman, kamu tau?! Saya bisa laporkan ini ke Kak Firman, biar di pecat aja kamu!" "Sekali lagi saya mohon maaf kakak, tolong jangan laporkan ke Pak Firman, saya sangat butuh pekerjaan ini." Lagi Fitri memohon. Tanpa membuang waktu aku segera berjalan menemui mereka yang tengah menjadi tontonan pengunjung lain. "Vita, tolong kamu panggilkan Pak Firman di ruangannya ya, cepat!" titahku pada Vita karyawan bagian kebersihan untuk memanggil Mas Firman, sebelum aku melangkah menuju Fitri dan Tania. Aku lihat sekeliling, Tania hanya sendiri dimana Laras. "Kamu tau nggak, baju ini harganya berapa, gaji kamu sebulan juga nggak akan cukup buat gantiin baju ini." Tania dengan suara lantang menghardik Fitri yang hanya terdiam. "Tania, Fitri, ada apa ini ribut-ribut? Kalian itu mengganggu ketenangan orang-orang yang lagi makan tau! Kita bicara di dalam, kalian ikut saya," ucapku. "Lihat aja nih Kak, di
Aku hanya menghela napas, setelah kejadian ini, aku harus lebih hati-hati lagi dengan Tania, apalagi tadi aku sempat mendengar ia mengucapkan kata 'calon istrinya Pak Firman' melihat sikapnya tadi, aku bisa menyimpulkan dia bisa saja berbuat nekat untuk mencapai tujuannya.Entah apa yang disampaikan Ibu pada Tania, sehingga ia kini begitu berani berkata ia calon istrinya Mas Firman. Apa Ibu berniat menjodohkan Tania dengan Mas Firman, seperti yang beliau katakan jika aku tak kunjung hamil, Mas Firman harus bersedia menikah lagi ?"Kamu nggak apa-apa kan, Sayang? Tania benar-benar arogan," Mas Firman menggeleng, kemudian menggandeng tanganku dan masuk ke ruangannya.Aku duduk dengan pikiran entah berantah. "Kamu kenapa? Kok diam? Aku minta Iwan membawakan makan siang kita kemari ya!" Melihatku terdiam, Mas Firman mendekat, raut wajahnya melukiskan kekhawatiran yang begitu tersirat dari tatapan matanya. Perlahan tangan lembutnya menyapu lembut pipiku, hingga kedua netra kami bertemu."
"Calon Istrinya siapa dia bilang?!" tiba-tiba Mas Firman sudah ada di belakangku dan ikut bersuara, aku sedikit terkejut jika Mas Firman ternyata mendengar penuturan Wati."Calon istri Pak Firman." Wati melanjutkan bicaranya yang tadi sempat terputus dengan menunjuk ke arah Mas Firman dengan ibu jarinya."Bicara apa kamu, Tania itu bukan siapa-siapa saya, jadi jangan membesar-besarkan suatu berita tak bermutu seperti ini. Paham kamu!" ucap Mas Firman tegas."Ma–Maafkan saya Pak Firman, saya sendiri pun tak akan setuju, perempuan itu tidak cocok samasekali sama Bapak." Lagi Wati menambahkan."Lalu cocoknya sama siapa? Sama kamu?!" tukasku."Bukan Bu, Pak Firman dan Ibu Yunita itu sudah pasangan yang sangat cocok, sangat serasi," jawabnya, membuat kedua alisku bertaut."Bukanya kamu tadi bilang kamu lebih cocok daripada Tania itu. Hem?!"
Semburat warna keemasan memancar dengan gagah, menyinari alam fana ini, memperlihatkan langit senja sore ini yang begitu indah. Sang Surya yang mulai meredup, menandakan sebentar lagi tergantikan oleh pekatnya malam. *Baru saja kami hendak masuk ke dalam rumah, Indra pendengaranku sedikit terganggu saat mendengar suara alunan musik yang cukup keras, saat pintu masih tertutup tidak terlalu terdengar, tapi saat kami membuka pintu, suara musik itu begitu keras terdengar, lebih mirip seperti orang yang sedang hajatan, jika di orang hajatan itu adalah musik dangdut, yang ini genre musik pop luar negeri, membuat bising telinga, kepalaku pun berdenyut.Siapa lagi pelakunya kalau bukan Laras dan Tania. Mentang-mentang kami sedang tidak ada di rumah, mereka seenaknya memutar musik dengan begitu kerasnya. "Astaghfirullah, berisik sekali. Laras benar-benar," gumam Mas Firman seraya melangkah masuk ke dalam menuju kamar Laras. Aku menutup pintu dan menyusul Mas Firman.Klik.Mas Firman memati
Mengapa rasa sakit ini melebihi rasanya sakit hati ketika putus cinta? Aku seakan tengah berlayar di lautan tenang tiba-tiba di terjang badai ombak yang begitu dahsyat hingga kapal yang kukemudikan terombang-ambing.Aku melajukan mobilku menuju ke pemakaman dimana Bapak beristirahat dengan tenang, teringat saat aku masih anak-anak dulu, Aku pernah di ajak Bapak ke pemakaman, namun aku yang masih kecil pun tak bertanya itu makam siapa, dan Bapak juga tak bicara apapun soal makam itu. Aku yang sejak kecil tak pernah kekurangan kasih sayang dari orang tua pun tak sedikitpun aku mengira akan seperti ini kenyataannya.Terlihat sepele, aku ternyata bukanlah anak kandung Ibu, tapi Ibu menyayangiku seperti anak kandungnya, tapi tetap saja hati ini terkoyak, ada rasa sakit menelusup ke dalam sini. Air mataku luruh begitu saja, di sepanjang jalan aku mengemudi. Sakit. Aku mengetahui kenyataan ini di saat Bapak sudah tiada, andaikan saja mereka menceritakan ini jauh sebelum Bapak pergi, mungki
POV Firman"Ehm, Bu. Alhamdulillah tebakan Ibu benar!" ucapku sumringah pada Ibu yang sudah menatap kami penuh tanya."Alhamdulillah! Akhirnya. Ibu mau punya Cucu!" Ibu menghambur ke arah Yunita dan memeluknya erat."Selamat ya Yun, Ibu seneng banget dengernya akhirnya kamu bisa hamil dan kasih cucu untuk Ibu. Maafkan Ibu yang kemarin-kemarin begitu angkuh dan nyakitin kamu! Ibu minta maaf Nak!" ucap Ibu dengan suara parau, Punggungnya bergetar. Ibu menangis dalam pelukan istriku.Aku hanya menatap haru."Ini semua berkat Doa Ibu, Yunita yang harusnya bilang makasih sama Ibu, Ibu sudah bisa menerima Yunita yang banyak kekurangan ini." Lembut Yunita mengusap punggung Ibu."Nggak Sayang. Ibu yang banyak salah sama Yuni, Ibu minta maaf." Yunita mengangguk, seraya mengulum senyum."Sudah Bu. Kita lupakan semua yang sudah berlalu, kita buka lembaran baru menyambut anggota keluarga baru di rumah ini." Aku mengusap punggung Ibu."Iya, Man. Jaga baik-baik istrimu dan calon bayinya ya!""Iya,
POV FirmanDi sebuah ruangan dimana ada Laras berdiri di sana, bersama seorang temannya, dan Tania terbaring di ranjang rumah sakit, terlihat tengah menangis tersedu-sedu. Kenapa Dia?"Laras!" panggilku. Laras tengah berdiri di sisi ranjang, sepertinya sedang menenangkan Tania. Laras sepertinya tidak mendengar Aku memanggilnya.Belum juga Laras menoleh ke arahku, aku sudah dibuat terkejut oleh pertanyaan seorang perawat yang sudah berdiri di belakangku."Maaf Apa Bapak suaminya Ibu Tania?" Degh!"Oh bukan Sus. Saya mau jemput adik saya Laras," tegasku seraya mengibaskan tangan pada perawat itu.Seketika Laras menoleh ke arahku, mungkin karena mendengar namanya kusebut."Kak Firman!""Ayo pulang!" ajakku."Oh saya kira, suaminya pasien. Maaf ya Pak!""Iya gak apa-apa, Sus. Saya permisi!"Aku mendekati Laras dan menggandeng tangannya. Aku bahkan tak melirik sedikit pun ke arah Tania."Kak Firman!" panggil Tania lirih, namun masih jelas terdengar olehku."Ehm Tania, Gue pamit pulang dul
POV FirmanAku dan Yunita pun saling pandang, mendengar percakapan Laras di telepon, terdengar kata kalau Tania pingsan. Pingsan kenapa Dia, kenapa pula menghubunginya pada Laras, kenapa tidak langsung di bawa ke rumah sakit, berbagai pertanyaan muncul dalam benakku."Udah Yuk, Sayang kita ke klinik sekarang!" ajakku pada Yunita, aku juga tak ingin di pusingkan dengan urusan Tania yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga kami."Ya udah Ayo!" Yunita pun mengamit lenganku dan bergelayut manja menuju ke luar rumah."Wah ini motornya, Sayang." Yunita menyentuh dan mengitari motor itu ketika kami sampai di teras rumah."Iya, bagus ya, Sayang. Pilihan kamu memang tak pernah salah." Aku memujinya, karena motor itu memang Dia yang memilih.Beberapa saat Yunita memperhatikan motor itu."Udah Yuk, Sayang. Nanti keburu malam, jadi makin ngantri di klinik." Aku mengingatkan, karena jika semakin malam juga khawatir kliniknya tutup. Malam ini juga malam Minggu, tentu di jalan juga
POV FirmanSetelah menyelesaikan semuanya. Aku pun pamit pulang. Karena sebentar lagi pasti pihak dealer akan mengantarkan motor yang aku beli siang tadi. "Pulang sekarang, Yuk Sayang.""Ayo!"Kami pun berjalan bersisian menuju ke mobil yang terparkir di parkiran Rumah makan."Kira-kira udah diantar belum ya Mas, motornya?" tanya Yunita"Kayaknya sih belum, Laras juga nggak ada telpon Mas. Kalo udah datang pasti Dia kaget dan bingung, kan pasti telpon Mas.""Iya juga Ya." Yunita terlihat begitu bersemangat, meski wajahnya masih terlihat pucat, tapi tidak menutupi rona bahagia yang terpancarkan."Sayang, kamu beneran nggak apa-apa. Wajah kamu pucat lho." "Nggak apa-apa, Mas. Cuma sedikit pusing sih. Nanti aku sampai rumah langsung istirahat aja. Mas nggak usah khawatir, ya!" Meskipun Yunita bicara dengan tenang dan seakan Ia benar-benar baik-baik saja. Tapi tetap saja aku mengkhawatirkannya. Tak biasanya Dia seperti ini.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota
Pov FirmanTak ada yang lebih membahagiakan selain melihat Ibu dan adikku bisa akur dengan istriku. Itu adalah harapan yang selalu aku langitkan di setiap sujudku. Akhirnya Allah menjawab semuanya sekarang. Ibuku sudah kembali seperti dulu, wanita cinta pertamaku sudah kembali lembut dan hangat padaku.Meskipun beberapa tahun belakangan ini, Ibu lebih menunjukkan rasa tak sukanya pada Yunita, istriku. Tapi itu sama artinya juga untukku. Karena istriku adalah cerminan diriku. Jika ada yang mencela atau tidak menyukainya, itu sama saja mencelaku. Aku hanya mampu membesarkan hati Yunita, menghiburnya, dan meminta maaf padanya atas nama Ibu. Hanya itu yang bisa kulakukan, meski dalam hatiku juga merasakan sakit yang sama.Alhamdulillah setelah acara makan malam di restoran itu sikap Ibu banyak berubah. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan sikap Ibu pada kami, terutama padaku dan Yunita. Ibu menjadi begitu baik dan tidak lagi memintaku menikahi Tania.Sungguh sebuah keajaiban yang beg
Pov Laras"Bu, Laras seneng deh, sekarang Ibu bisa akur sama Kak Yunita, ternyata Dia baik ya Bu." Aku mulai membuka percakapan malam ini. Aku merebahkan tubuhku di samping Ibu, sudah cukup lama juga aku tidak tidur dengan Ibu. Aroma wangi tubuhnya yang selalu menenangkan. Hangat dan nyaman yang selalu aku rasakan jika berada di dekatnya.Malam ini aku begitu senang bisa bersembunyi di dekat ketiaknya."Iya, Ibu yang salah. Ibu terlalu egois, hanya karena termakan omongan teman-teman Ibu, secara tak sadar Ibu telah menyiksa batin menantu Ibu. Ibu sangat merasa bersalah, Ras."Ibu menatap langit-langit kamar ini, berucap tanpa menoleh menatapku. Ibu sudah menyadari kesalahannya. Sejenak terdiam."Ibu lihat juga kamu banyak berubah, Ras. Nggak ada lagi Laras yang manja yang selalu memaksa untuk dipenuhi semua keinginannya. Sekarang Ibu lihat anak gadis Ibu ini jauh lebih dewasa, lebih sopan, dan ramah, terutama pada Kakak iparnya," sindir Ibu."Bukankah setiap orang itu memiliki hak untu
Pov LarasAku pun memilih tak menanggapinya lagi, dan melangkah cepat untuk pulang. Tania masih berdiri di tempatnya.Setelah tiba di ujung gang tempat kos Tania, aku menunggu sebentar ojek online yang tadi kupesan.Kemudian aku langsung pulang ke rumah karena siang tadi Kak Firman mengabarkan, jika Ibu sudah di ijinkan pulang hari ini, jadi sekarang ini kemungkinan Ibu sudah ada di rumah Kak Firman. Kami sepakat untuk sementara Ibu tinggal di rumah Kak Firman, sampai kondisi Ibu benar-benar membaik.Dengan tinggal di rumah Kak Firman, di saat aku ke kantor dan Kak Firman sibuk di rumah makannya, ada Kak Yunita yang dengan telaten merawat Ibu. Aku bersyukur di saat aku sudah mulai dekat dengan Kak Yunita, Ibu mulai menyadari kesalahannya. Semoga hubungan baik diantara kami ini bisa terus seperti ini. Aku yang paling merasa bersalah pada Kakak iparku itu. Aku yang terlambat menyadari semuanya. Kini aku sadar pilihan Kak Firman memang yang terbaik, wajar saja jika Dia begitu bucin deng
Pov Laras.Hari terus bergulir, hingga hari ini, aku mendapatkan pesan dari Ibu, kalau hari ini beliau meminta kami. Aku, Kak Firman dan juga Kak Yunita untuk makan malam disebuah restoran. Aku sedikit heran karena tak biasa Ibu mengajak kami makan di luar, Padahal biasanya, jika Aku atau Kak Firman mengajak Ibu makan keluar, Ibu sering menolak, beliau lebih suka makan di rumah, lebih leluasa katanya.Walaupun dalam hati ini meragu karena ternyata Ibu juga mengajak serta Tania, aku pun menyanggupinya untuk datang, sepulang dari kantor aku langsung menuju ke restoran yang sudah ditentukan Ibu. Dalam hati ini juga ada rasa was-was. Takut Ibu akan membahas rencananya yaitu menjodohkan Kak Firman dengan Tania.Jika benar itu yang akan Ibu katakan, aku akan langsung bersuara. Tidak setuju. Bahkan saat itu juga aku akan langsung bongkar tabiat asli Tania itu seperti apa. Agar Ibu tidak terus menerus harus menekan Kak Firman lagi.Aku berusaha untuk menyelesaikan pekerjaanku agar lebih cepat