Hai, kakak-kakak. Bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu, ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih, atas dukungan kakak-kakak sekalian untuk Nada dan Adrian. Terima kasih karena sudah memberikan gem-gem indahnya untuk mereka, ya. Jangan kapok untuk senantiasa menantikan kelanjutan cerita ini. Mohon maaf, aku sekarang hanya bisa update 1 bab sehari. Sehat-sehat selalu, ya, Kak. Boleh banget kalau mau menyumbang lebih banyak gem lagi. Terima kasih :)
“Bapak Adrian!” seru seorang laki-laki.Dengan cepat Adrian menoleh dan langsung bangkit dari kursinya. Kemudian dia menghampiri salah satu petugas rumah tahanan.“Bagaimana, Pak?” tanya Adrian dengan harap-harap cemas.“Mari ikut saya. Bu Sindy mau untuk bertemu dengan Bapak,” terangnya.Perasaan Adrian lega sekarang, padahal sebelumnya dia merasa cemas. Khawatir jika Sindy tidak ingin menemuinya.Adrian melangkah menyusuri sebuah koridor, di depannya adalah petugas rumah tahanan. Kemudian mereka berhenti dan menghadap ke arah pintu berwarna biru. Sang petugas membuka pintu tersebut.“Silakan, waktunya lima belas menit, ya, Pak,” terang sang petugas.Dari seberang sana, Adrian bisa melihat Sindy yang nampak sangat kacau dengan kostum berwarna orange.Tidak memiliki waktu lama, Adrian pun segera masuk ke dalam ruangan. Sang penjaga menutup pintu dan menjaganya di luar sana.“Adrian, tolong aku,” lirih Sindy, matanya benar-benar sayu. Nampak kalau wanita itu sudah frustrasi dengan apa y
Adrian pulang dengan hati yang berat. Kini dia merasa pundaknya benar-benar ditindih oleh beban yang sangat berat. Bukan sebuah hal baru, Adrian mengetahui fakta bahwa Calvin adalah seorang mafia obat-obat terlarang. Pasalnya informasi yang dia dapatkan dari Gilang tempo hari, sudah menjelaskan bahwa memang Calvin berbuat kriminal. Benar juga kata Sindy, kalau Calvin bekerja sama dengan orang-orang penting, untuk menutupi bau bangkainya. “Pa, aku harus bagaimana? Kenapa rasanya berat sekali,” lirih Adrian. Kebimbangan dan kehampaan yang dirasakan oleh Adrian, membawanya menuju pusara sang ayah angkat. Adrian tak kuasa menahan tangis. Membayangkan perusahaan yang sudah dibesarkan oleh ayahnya, harus ternodai dengan ambisi seseorang—yang bukan bagian dari keluarganya. “Haruskah aku membongkar semuanya? Tapi bagaimana dengan Victory?” ucapnya lagi. Dia seolah sedang meminta jawaban dari sang ayah. “Aku bimbang, Pa. Jika aku membuka kedok Calvin, pastilah perusahaan yang sudah Papa ba
Eva mematung ketika mendapati pertanyaan seperti itu dari Nada. Tangannya kini terlihat gemetar, bahkan sampai kertas yang dipegangnya jatuh berserakan.“Jawab, Nek!” sentak Nada.Air mata Nada kini sudah tidak bisa ia bendung lagi. Sikap Eva yang seperti itu, seolah menjawab pertanyaannya barusan.“Kamu mendapatkan ini dari mana, Nada?” tanya Eva lagi. Rasanya dia masih menghindari pertanyaan Nada.“Jawab saja, Nek. Nenek tidak usah tahu aku mendapatkan ini dari mana. Aku hanya butuh jawaban. Apa benar kalau mama dan papa meninggal bukan karena kecelakaan?” raung Nada lagi.Suara bentakan Nada sangat terdengar dengan jelas dan keras. Bahkan sampai Deven yang sedang berada di kamar pun, bisa mendengar teriakan sang ibunda. Anak laki-laki itu, seraya langsung berlari dan menghampiri ibunya.“Mama, Mama kenapa? Kenapa Mama marah pada Nenek?” tanya Deven dengan raut wajah yang terlihat bingung. Dia kini berdiri di samping sang ibu, sambil mendongak.Namun, sepertinya Nada sudah gelap mat
“Nada!” panggil Adrian, ketika dirinya tiba-tiba bangkit dan menunjukkan wajah marah dan kecewa. Nada tidak menggubris panggilan dari sang paman. Dia segera menuju kamar dan membanting pintunya keras-keras. Adrian langsung mengalihkan pandangannya pada sang ibu angkat. Terlihat Eva memegang dada sambil menangis.“Ma, kenapa Mama sejahat itu pada Nada.” Adrian menggeleng, “tidak, tapi pada Mas Andre?” desis Adrian. Isak tangis Eva tak membuat Adrian merasa iba. Rasa kecewanya mengalahkan nurani seorang anak, yang sudah dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang. “Maaf, Mama saat itu gelap mata,” sesal Eva.Hal yang paling Eva hindari sejak awal, yaitu ketika publik mengetahui siapa dia sebenarnya. Eva bisa berada di tempatnya sekarang, karena masa lalu yang banyak ditentang orang. Bahkan sejujurnya Andre pun tidak mengetahui sampai akhir hayatnya. “Mama tahu, sikap Mama itu tidak ada yang bisa dibenarkan. Tapi Mama juga saat itu memiliki alasan,” katanya. Sebelum bersama den
Adrian dan Nada sepakat, untuk membongkar semua kejahatan yang dilakukan oleh Calvin. Karena jika dibiarkan, entah apa yang akan dilakukan oleh Calvin ke depannya. Sebelum semuanya semakin terlambat, Nada dan Adrian akan berusaha menggunakan cara apa pun untuk bisa menggulingkan Calvin.“Mama cuman sebentar. Kalau tidak ada hambatan, besok juga pulang,” kata Nada pada anaknya.Rencananya hari ini, Nada dan Adrian akan pergi menuju sebuah kota yang jaraknya lumayan jauh dari Jakarta. Hanya saja ada drama kecil yang terjadi, saat mereka berdua hendak berangkat. Deven merajuk ingin ikut dengan ayah dan ibunya.“Aku ingin ikut, Ma. Aku tidak mau jauh dari Mama. Kalau Mama seperti kemarin lagi bagaimana? Siapa yang mau menjaga Mama?” cecar Deven.Mata Nada tiba-tiba berbinar, dia merasakan haru dengan ucapan anaknya.Alih-alih merasa kesal ditinggalkan sendirian. Ternyata Deven lebih mengkhawatirkan kondisi ibunya.“Ada Papa. Papa pasti akan menjaga mamamu dengan baik,” kata Adrian, menjaw
Ryan ternyata mantan pacar dari Clara. Cintanya pada Clara begitu besar, walau wanita itu memilih untuk menikah dengan pria lain.Namun begitu, hubungan Ryan dan Clara tetap baik-baik saja. Bahkan Ryan pun dekat sekali dengan Andre. Pria itu sama sekali tidak merasa risih dengan Ryan—yang statusnya adalah mantan pacar Clara. Andre juga tahu, bahwa Ryan masih memendam rasa pada istrinya. Karena hubungan yang dekat itulah, membuat Ryan sangat terpukul dengan berita meninggalnya Andre dan Clara. Dia berusaha untuk mengungkap tentang beberapa kejanggalan dari kasus yang menimpa mereka berdua. Namun, sayangnya usaha dia tidak membuahkan hasil, dan malah berakibat dengan dimutasi ya Ryan ke kota lain.“Nampaknya kamu terlihat tidak begitu terkejut, Adrian?” sindir Ryan. Selama Ryan bercerita panjang kali lebar, sesekali Ryan menelisik raut wajah Adrian. Dia pun melihat beragam ekspresi dari wajah adik angkat dari Andre itu.“Maksud, Bapak?” Adrian mengerutkan alisnya.Ryan menghela napas
Guyuran air pada shower yang membasahi tubuh Adrian, seolah menyapu bersih kepenatan dan kelelahan yang dia rasakan seharian ini. Sesekali Adrian merenung dengan apa yang baru saja terjadi hari ini.Ada perasaan sesal, karena langkah Adrian sungguh dirasa lambat dalam mengambil setiap keputusan. Dia merasa tidak secakap Andre, yang bisa langsung memutuskan sesuatu.“Ah, bodoh! Memang aku sudah bodoh sejak awal,” rutuk Adrian.Setelah selesai membersihkan dirinya, Adrian segera keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Rencananya setelah ini dia akan mengajak Nada untuk keluar dan mencari makan.Namun, nyatanya Adrian mendapati Nada sudah tertidur di atas kasur dengan posisi duduk menyandar pada sandaran kasur. Dengan cepat Adrian mendekat ke arah Nada.“Kamu pasti sangat lelah, Nada,” gumam Adrian.Melihat Nada tertidur pulas dengan posisi terduduk, menggambarkan kalau dia memang sudah sangat lelah.Perjalanan jauh ke daerah pantai selatan, dan juga tekanan batin yang sangat men
Wajah Deven terlihat memerah. Sepertinya suasana hati Deven sedang tidak baik.“Memangnya aku dan Mbak Ratna mau ke mana? Dan kenapa hanya aku dan Mbak Ratna?” cecar Deven.Adrian langsung bangkit, kemudian mendekat ke arah anaknya.“Dev, sepertinya kurang baik ketika berbicara dengan orang tuamu dengan jarak yang sajuh itu,” ucap Adrian.Deven mendengus, bibirnya maju ke depan sekarang. Dia pun akhirnya menghampiri sang ibu.“Kenapa Mbak Ratna mengemas barang-barangku? Dan kenapa kami harus pergi?” tanya Deven lagi.Tangan Nada membelai rambut lembut putranya, “Mbak Ratna izin pada Mama untuk pulang ke rumahnya. Bukannya waktu itu kamu pernah ingin mengunjungi rumah Mbak Ratna?” ucap Nada.Deven langsung terdiam. Dia memang ingat kalau dirinya selalu merasa penasaran dengan keluarga dan kampung halaman dari asisten rumah tangga, yang sudah menemaninya bahkan sejak dalam kandungan.“Nah, kebetulan Mbak mau pulang sekarang. Deven ikut saja,” imbuhnya.“Tapi … bagaimana dengan sekolahku