Ryan ternyata mantan pacar dari Clara. Cintanya pada Clara begitu besar, walau wanita itu memilih untuk menikah dengan pria lain.Namun begitu, hubungan Ryan dan Clara tetap baik-baik saja. Bahkan Ryan pun dekat sekali dengan Andre. Pria itu sama sekali tidak merasa risih dengan Ryan—yang statusnya adalah mantan pacar Clara. Andre juga tahu, bahwa Ryan masih memendam rasa pada istrinya. Karena hubungan yang dekat itulah, membuat Ryan sangat terpukul dengan berita meninggalnya Andre dan Clara. Dia berusaha untuk mengungkap tentang beberapa kejanggalan dari kasus yang menimpa mereka berdua. Namun, sayangnya usaha dia tidak membuahkan hasil, dan malah berakibat dengan dimutasi ya Ryan ke kota lain.“Nampaknya kamu terlihat tidak begitu terkejut, Adrian?” sindir Ryan. Selama Ryan bercerita panjang kali lebar, sesekali Ryan menelisik raut wajah Adrian. Dia pun melihat beragam ekspresi dari wajah adik angkat dari Andre itu.“Maksud, Bapak?” Adrian mengerutkan alisnya.Ryan menghela napas
Guyuran air pada shower yang membasahi tubuh Adrian, seolah menyapu bersih kepenatan dan kelelahan yang dia rasakan seharian ini. Sesekali Adrian merenung dengan apa yang baru saja terjadi hari ini.Ada perasaan sesal, karena langkah Adrian sungguh dirasa lambat dalam mengambil setiap keputusan. Dia merasa tidak secakap Andre, yang bisa langsung memutuskan sesuatu.“Ah, bodoh! Memang aku sudah bodoh sejak awal,” rutuk Adrian.Setelah selesai membersihkan dirinya, Adrian segera keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Rencananya setelah ini dia akan mengajak Nada untuk keluar dan mencari makan.Namun, nyatanya Adrian mendapati Nada sudah tertidur di atas kasur dengan posisi duduk menyandar pada sandaran kasur. Dengan cepat Adrian mendekat ke arah Nada.“Kamu pasti sangat lelah, Nada,” gumam Adrian.Melihat Nada tertidur pulas dengan posisi terduduk, menggambarkan kalau dia memang sudah sangat lelah.Perjalanan jauh ke daerah pantai selatan, dan juga tekanan batin yang sangat men
Wajah Deven terlihat memerah. Sepertinya suasana hati Deven sedang tidak baik.“Memangnya aku dan Mbak Ratna mau ke mana? Dan kenapa hanya aku dan Mbak Ratna?” cecar Deven.Adrian langsung bangkit, kemudian mendekat ke arah anaknya.“Dev, sepertinya kurang baik ketika berbicara dengan orang tuamu dengan jarak yang sajuh itu,” ucap Adrian.Deven mendengus, bibirnya maju ke depan sekarang. Dia pun akhirnya menghampiri sang ibu.“Kenapa Mbak Ratna mengemas barang-barangku? Dan kenapa kami harus pergi?” tanya Deven lagi.Tangan Nada membelai rambut lembut putranya, “Mbak Ratna izin pada Mama untuk pulang ke rumahnya. Bukannya waktu itu kamu pernah ingin mengunjungi rumah Mbak Ratna?” ucap Nada.Deven langsung terdiam. Dia memang ingat kalau dirinya selalu merasa penasaran dengan keluarga dan kampung halaman dari asisten rumah tangga, yang sudah menemaninya bahkan sejak dalam kandungan.“Nah, kebetulan Mbak mau pulang sekarang. Deven ikut saja,” imbuhnya.“Tapi … bagaimana dengan sekolahku
Setelah melakukan lima jam perjalanan, Nada sampai juga di hotel Victory kota kuda. Ya, dia hendak mengunjungi hotel yang sudah berdiri sekitar enam tahun terakhir ini.Kepala Nada mendongak ke atas. Hotel ini dibangun dekat dengan kaki gunung tertinggi di provinsi tersebut. Suasana yang sangat sejuk dan asri membuat siapa saja akan merasa nyaman beristirahat di tempat ini.“Dari luar nampak seperti hotel Victory kebanyakan,” gumam Nada.Tempat ini juga sempat dijadikan tempat untuk sebuah produksi film berskala internasional. Walau saat itu Nada tidak menonton film yang dimaksud, karena alasan pribadinya.“Ah, aku benar-benar merasa sangat miris,” ucapnya lagi, saat kakinya mulai menginjakan kaki di lobi hotel.Mata Nada mengededar ke setiap penjuru lobi. Nampak hiruk pikuk pegawai dan juga beberapa pengunjung yang memang menginap di hotel tersebut. Kemudian Nada berjalan menujur meja resepsionis.“Selamat siang, Bu. Apa ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang resepsionis perempuan,
Keesokan harinya Nada mencoba memindai setiap aktivitas di hotel. Pada waktu siang, mulai dia melihat beberapa pengunjung yang datang. Sebenarnya sudah sejak kemarin hotel juga ramai dengan pengunjung. Namun, hari ini pengunjung jadi lebih banyak yang datang. Sampai di malam hari, Nada sengaja makan malam lebih cepat. Kemudian dia duduk di lobi hotel, sambil pura-pura sibuk dengan tabletnya. Tujuan dia duduk di sana, untuk memantau siapa saja yang datang ke hotel tersebut. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tamu yang datang ke hotel sudah mulai terlihat perbedaannya. “Apakah mereka anggota Club Amtehys?” tanya Nada sambil memicingkan pandangannya. Pasalnya penampilan mereka terlihat berbeda. Walau mereka mengenakan pakaian yang bisa dikatakan casual, tapi aura mereka berbeda. Sampai akhirnya Nada melihat orang yang seperti tidak asing. Walau untuk beberapa saat Nada tidak mengingta siapa orang tersebut. “Itu bukannya pemilik hotel sebelah?” gumam Nada dengan penuh ras
Wajah pria yang bernama Rizal itu nampak terkejut dengan kehadiran Nada di sana. Dia mencoba memindai Nada, dan mencoba menelisik—seperti mencari sesuatu di tubuh Nada. “Kenapa kamu lihat saya seperti itu? Kamu orang mesum, ya?” tuduh Nada, yang merasa tidak nyaman dengan tatapan Rizal yang sangat tidak pantas. “Apa katamu? Aku bukan orang yang seperti kamu tuduhkan, Bu!” sergah Rizal dengan cepat, “katakan siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya lagi. Nada membenarkan postur tubuhnya, jadi lebih tegak. “Aku pengunjung di sini. Aku hanya penasaran ruanga apa yang ada di balik tirai itu,” kata Nada yang masih menutupi identitasnya. “Tidak ada apa-apa!” tampik Rizal dengan cepat. “Ck!” Nada berdecak, seraya memutar bolanya malas, “sudah jelas-jelas kamu keluar dari sana. Dan saya lihat sebelumnya, kamu juga masuk dengan seseorang dari kamar di lantai enam,” todong Nada. Alis Rizal terlihat mengerut . Dia nampak sedikit tersentak dengan tuduhan yang baru saja dilemparkan Nad
Nada yakin seratus persen, kalau Rizal ini melaporkan Nada pada atasannya. Kemudian dihubungkan kepada orang yang kini sedang meneleponnya. Demi mempersiapkan diri, Nada menghela napas kasar. Setelah itu dia segera mengangkat panggilannya. “Halo, Nada! Di mana kamu, hah?” serang pria tua itu. Suaranya cukup membuat telinga Nada sedikit berdengung. “Halo, Pak. Bisakah untuk tidak berteriak seperti itu? Gendang telingaku rasanya mau pecah,” sindir Nada. ‘”Kamu di mana?” tanyanya lagi, seolah tidak peduli dengan ucapan Nada. “Aku sedang berlibur, Bapak Calvin yang terhormat,” jawab Nada dengan sangat tegas. Apalagi saat mengucapkan nama orang yang sedang melakukan panggilan telepon dengannya. “Berlibur di mana?”Nada menghela napas panjang, “Sudahlah, Pak, jangan bertele-tele. Aku rasa Bapak sendiri tahu kalau aku sedang berada di mana. Karena kalau tidak, Bapak tidak akan repot-repot menghubungiku,” tuturnya. Tedengar decakan dari ujung sana, yang membuat Nada mendengus. “Iya, s
Nada baru saja tiba di rumahnya, tapi dia harus kembali pergi. Karena saat Nada hendak masuk ke dalam rumah, dia mendapatkan panggilan dari Calvin. Pria tua itu menginginkan Nada segera menemuinya. Permintaannya itu sangat memaksa, akhirnya membuat Nada tak bisa mengelak. “Pak Dadang bisa antarkan aku ke tempat Pak Calvin?” tanya Nada pada supir pribadi keluarganya. “Baik, Non.” Dadang segera bangun dan mempersiapkan diri. Jujur saja Nada sedikit lelah, karena dia baru saja tiba setelah perjalanan selama lima jam. Jika dia harus kembali mengemudikan mobil menuju rumah Calvin rasanya lelah sekali. “Kamu mau ke mana?” tanya Adrian yang sadar akan kedatangan Nada. Di belakang Adrian kini ada Eva, yang niatnya akan menyambut kedatangan MadaSegera Nada menoleh ke belakang, “Aku baru saja mendapatkan telepon dari Pak Calvin. Dan aku harus segera menemuinya.” “Biar aku ikut,” kata Adrian. Perasaannya mendadak tidak enak.Namun, Nada menggeleng, enggan untuk diantar oleh Adrian.“Janga
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p