Wajah Deven terlihat memerah. Sepertinya suasana hati Deven sedang tidak baik.“Memangnya aku dan Mbak Ratna mau ke mana? Dan kenapa hanya aku dan Mbak Ratna?” cecar Deven.Adrian langsung bangkit, kemudian mendekat ke arah anaknya.“Dev, sepertinya kurang baik ketika berbicara dengan orang tuamu dengan jarak yang sajuh itu,” ucap Adrian.Deven mendengus, bibirnya maju ke depan sekarang. Dia pun akhirnya menghampiri sang ibu.“Kenapa Mbak Ratna mengemas barang-barangku? Dan kenapa kami harus pergi?” tanya Deven lagi.Tangan Nada membelai rambut lembut putranya, “Mbak Ratna izin pada Mama untuk pulang ke rumahnya. Bukannya waktu itu kamu pernah ingin mengunjungi rumah Mbak Ratna?” ucap Nada.Deven langsung terdiam. Dia memang ingat kalau dirinya selalu merasa penasaran dengan keluarga dan kampung halaman dari asisten rumah tangga, yang sudah menemaninya bahkan sejak dalam kandungan.“Nah, kebetulan Mbak mau pulang sekarang. Deven ikut saja,” imbuhnya.“Tapi … bagaimana dengan sekolahku
Setelah melakukan lima jam perjalanan, Nada sampai juga di hotel Victory kota kuda. Ya, dia hendak mengunjungi hotel yang sudah berdiri sekitar enam tahun terakhir ini.Kepala Nada mendongak ke atas. Hotel ini dibangun dekat dengan kaki gunung tertinggi di provinsi tersebut. Suasana yang sangat sejuk dan asri membuat siapa saja akan merasa nyaman beristirahat di tempat ini.“Dari luar nampak seperti hotel Victory kebanyakan,” gumam Nada.Tempat ini juga sempat dijadikan tempat untuk sebuah produksi film berskala internasional. Walau saat itu Nada tidak menonton film yang dimaksud, karena alasan pribadinya.“Ah, aku benar-benar merasa sangat miris,” ucapnya lagi, saat kakinya mulai menginjakan kaki di lobi hotel.Mata Nada mengededar ke setiap penjuru lobi. Nampak hiruk pikuk pegawai dan juga beberapa pengunjung yang memang menginap di hotel tersebut. Kemudian Nada berjalan menujur meja resepsionis.“Selamat siang, Bu. Apa ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang resepsionis perempuan,
Keesokan harinya Nada mencoba memindai setiap aktivitas di hotel. Pada waktu siang, mulai dia melihat beberapa pengunjung yang datang. Sebenarnya sudah sejak kemarin hotel juga ramai dengan pengunjung. Namun, hari ini pengunjung jadi lebih banyak yang datang. Sampai di malam hari, Nada sengaja makan malam lebih cepat. Kemudian dia duduk di lobi hotel, sambil pura-pura sibuk dengan tabletnya. Tujuan dia duduk di sana, untuk memantau siapa saja yang datang ke hotel tersebut. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tamu yang datang ke hotel sudah mulai terlihat perbedaannya. “Apakah mereka anggota Club Amtehys?” tanya Nada sambil memicingkan pandangannya. Pasalnya penampilan mereka terlihat berbeda. Walau mereka mengenakan pakaian yang bisa dikatakan casual, tapi aura mereka berbeda. Sampai akhirnya Nada melihat orang yang seperti tidak asing. Walau untuk beberapa saat Nada tidak mengingta siapa orang tersebut. “Itu bukannya pemilik hotel sebelah?” gumam Nada dengan penuh ras
Wajah pria yang bernama Rizal itu nampak terkejut dengan kehadiran Nada di sana. Dia mencoba memindai Nada, dan mencoba menelisik—seperti mencari sesuatu di tubuh Nada. “Kenapa kamu lihat saya seperti itu? Kamu orang mesum, ya?” tuduh Nada, yang merasa tidak nyaman dengan tatapan Rizal yang sangat tidak pantas. “Apa katamu? Aku bukan orang yang seperti kamu tuduhkan, Bu!” sergah Rizal dengan cepat, “katakan siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya lagi. Nada membenarkan postur tubuhnya, jadi lebih tegak. “Aku pengunjung di sini. Aku hanya penasaran ruanga apa yang ada di balik tirai itu,” kata Nada yang masih menutupi identitasnya. “Tidak ada apa-apa!” tampik Rizal dengan cepat. “Ck!” Nada berdecak, seraya memutar bolanya malas, “sudah jelas-jelas kamu keluar dari sana. Dan saya lihat sebelumnya, kamu juga masuk dengan seseorang dari kamar di lantai enam,” todong Nada. Alis Rizal terlihat mengerut . Dia nampak sedikit tersentak dengan tuduhan yang baru saja dilemparkan Nad
Nada yakin seratus persen, kalau Rizal ini melaporkan Nada pada atasannya. Kemudian dihubungkan kepada orang yang kini sedang meneleponnya. Demi mempersiapkan diri, Nada menghela napas kasar. Setelah itu dia segera mengangkat panggilannya. “Halo, Nada! Di mana kamu, hah?” serang pria tua itu. Suaranya cukup membuat telinga Nada sedikit berdengung. “Halo, Pak. Bisakah untuk tidak berteriak seperti itu? Gendang telingaku rasanya mau pecah,” sindir Nada. ‘”Kamu di mana?” tanyanya lagi, seolah tidak peduli dengan ucapan Nada. “Aku sedang berlibur, Bapak Calvin yang terhormat,” jawab Nada dengan sangat tegas. Apalagi saat mengucapkan nama orang yang sedang melakukan panggilan telepon dengannya. “Berlibur di mana?”Nada menghela napas panjang, “Sudahlah, Pak, jangan bertele-tele. Aku rasa Bapak sendiri tahu kalau aku sedang berada di mana. Karena kalau tidak, Bapak tidak akan repot-repot menghubungiku,” tuturnya. Tedengar decakan dari ujung sana, yang membuat Nada mendengus. “Iya, s
Nada baru saja tiba di rumahnya, tapi dia harus kembali pergi. Karena saat Nada hendak masuk ke dalam rumah, dia mendapatkan panggilan dari Calvin. Pria tua itu menginginkan Nada segera menemuinya. Permintaannya itu sangat memaksa, akhirnya membuat Nada tak bisa mengelak. “Pak Dadang bisa antarkan aku ke tempat Pak Calvin?” tanya Nada pada supir pribadi keluarganya. “Baik, Non.” Dadang segera bangun dan mempersiapkan diri. Jujur saja Nada sedikit lelah, karena dia baru saja tiba setelah perjalanan selama lima jam. Jika dia harus kembali mengemudikan mobil menuju rumah Calvin rasanya lelah sekali. “Kamu mau ke mana?” tanya Adrian yang sadar akan kedatangan Nada. Di belakang Adrian kini ada Eva, yang niatnya akan menyambut kedatangan MadaSegera Nada menoleh ke belakang, “Aku baru saja mendapatkan telepon dari Pak Calvin. Dan aku harus segera menemuinya.” “Biar aku ikut,” kata Adrian. Perasaannya mendadak tidak enak.Namun, Nada menggeleng, enggan untuk diantar oleh Adrian.“Janga
Calvin terperanjat, ketika dini hari dia dibangunkan oleh keributan di rumahnya. “Kenapa bisa terjadi kecelakaan?” sentak Calvin.Waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi, tapi dadanya sudah terasa sangat sesak. Bahkan udara dini hari yang terasa segar, tidak membuat dadanya membaik. “Pesawat gagal melandas dan menabrak pesawat penumpang dari Singa Air, sepertinya ada kegagalan mesin. Karena memang pesawat tersebut sedang mengalami kendala,” terang asisten pribadi Calvin.“Terus bagaimana dengan pesawat kita?”Alih-alih menanyakan bagaimana kondisi pesawat yang ditabraknya dan menanyakan bagaimana kondisi para penumpang di sana. Calvin malah mengkhawatirkan pesawat miliknya yang hanya berisi barang.“Sayangnya pesawat kita mengalami kondisi yang cukup serius,” jawabnya. Bagaikan disambar petir di dini hari. Calvin langsung merasakan kepalanya berdenyut nyeri. “Bawa aku ke sana sekarang!” perinta Calvin. Tidak membuang waktu terlalu lama, Calvin segera menuju bandara. Dia harus men
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p