Halo, Kak! Maaf kemarin aku bolos update. Kebetulan di tempatku mati listrik, dan tidak ada signal :’(. Kemarin hujan dan petir di tempatku sangat besar. Karena sekarang sudah mulai hujan besar. Jadi, tolong jaga kesehatan, ya! <3
Adrian dan Nada sepakat, untuk membongkar semua kejahatan yang dilakukan oleh Calvin. Karena jika dibiarkan, entah apa yang akan dilakukan oleh Calvin ke depannya. Sebelum semuanya semakin terlambat, Nada dan Adrian akan berusaha menggunakan cara apa pun untuk bisa menggulingkan Calvin.“Mama cuman sebentar. Kalau tidak ada hambatan, besok juga pulang,” kata Nada pada anaknya.Rencananya hari ini, Nada dan Adrian akan pergi menuju sebuah kota yang jaraknya lumayan jauh dari Jakarta. Hanya saja ada drama kecil yang terjadi, saat mereka berdua hendak berangkat. Deven merajuk ingin ikut dengan ayah dan ibunya.“Aku ingin ikut, Ma. Aku tidak mau jauh dari Mama. Kalau Mama seperti kemarin lagi bagaimana? Siapa yang mau menjaga Mama?” cecar Deven.Mata Nada tiba-tiba berbinar, dia merasakan haru dengan ucapan anaknya.Alih-alih merasa kesal ditinggalkan sendirian. Ternyata Deven lebih mengkhawatirkan kondisi ibunya.“Ada Papa. Papa pasti akan menjaga mamamu dengan baik,” kata Adrian, menjaw
Ryan ternyata mantan pacar dari Clara. Cintanya pada Clara begitu besar, walau wanita itu memilih untuk menikah dengan pria lain.Namun begitu, hubungan Ryan dan Clara tetap baik-baik saja. Bahkan Ryan pun dekat sekali dengan Andre. Pria itu sama sekali tidak merasa risih dengan Ryan—yang statusnya adalah mantan pacar Clara. Andre juga tahu, bahwa Ryan masih memendam rasa pada istrinya. Karena hubungan yang dekat itulah, membuat Ryan sangat terpukul dengan berita meninggalnya Andre dan Clara. Dia berusaha untuk mengungkap tentang beberapa kejanggalan dari kasus yang menimpa mereka berdua. Namun, sayangnya usaha dia tidak membuahkan hasil, dan malah berakibat dengan dimutasi ya Ryan ke kota lain.“Nampaknya kamu terlihat tidak begitu terkejut, Adrian?” sindir Ryan. Selama Ryan bercerita panjang kali lebar, sesekali Ryan menelisik raut wajah Adrian. Dia pun melihat beragam ekspresi dari wajah adik angkat dari Andre itu.“Maksud, Bapak?” Adrian mengerutkan alisnya.Ryan menghela napas
Guyuran air pada shower yang membasahi tubuh Adrian, seolah menyapu bersih kepenatan dan kelelahan yang dia rasakan seharian ini. Sesekali Adrian merenung dengan apa yang baru saja terjadi hari ini.Ada perasaan sesal, karena langkah Adrian sungguh dirasa lambat dalam mengambil setiap keputusan. Dia merasa tidak secakap Andre, yang bisa langsung memutuskan sesuatu.“Ah, bodoh! Memang aku sudah bodoh sejak awal,” rutuk Adrian.Setelah selesai membersihkan dirinya, Adrian segera keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap. Rencananya setelah ini dia akan mengajak Nada untuk keluar dan mencari makan.Namun, nyatanya Adrian mendapati Nada sudah tertidur di atas kasur dengan posisi duduk menyandar pada sandaran kasur. Dengan cepat Adrian mendekat ke arah Nada.“Kamu pasti sangat lelah, Nada,” gumam Adrian.Melihat Nada tertidur pulas dengan posisi terduduk, menggambarkan kalau dia memang sudah sangat lelah.Perjalanan jauh ke daerah pantai selatan, dan juga tekanan batin yang sangat men
Wajah Deven terlihat memerah. Sepertinya suasana hati Deven sedang tidak baik.“Memangnya aku dan Mbak Ratna mau ke mana? Dan kenapa hanya aku dan Mbak Ratna?” cecar Deven.Adrian langsung bangkit, kemudian mendekat ke arah anaknya.“Dev, sepertinya kurang baik ketika berbicara dengan orang tuamu dengan jarak yang sajuh itu,” ucap Adrian.Deven mendengus, bibirnya maju ke depan sekarang. Dia pun akhirnya menghampiri sang ibu.“Kenapa Mbak Ratna mengemas barang-barangku? Dan kenapa kami harus pergi?” tanya Deven lagi.Tangan Nada membelai rambut lembut putranya, “Mbak Ratna izin pada Mama untuk pulang ke rumahnya. Bukannya waktu itu kamu pernah ingin mengunjungi rumah Mbak Ratna?” ucap Nada.Deven langsung terdiam. Dia memang ingat kalau dirinya selalu merasa penasaran dengan keluarga dan kampung halaman dari asisten rumah tangga, yang sudah menemaninya bahkan sejak dalam kandungan.“Nah, kebetulan Mbak mau pulang sekarang. Deven ikut saja,” imbuhnya.“Tapi … bagaimana dengan sekolahku
Setelah melakukan lima jam perjalanan, Nada sampai juga di hotel Victory kota kuda. Ya, dia hendak mengunjungi hotel yang sudah berdiri sekitar enam tahun terakhir ini.Kepala Nada mendongak ke atas. Hotel ini dibangun dekat dengan kaki gunung tertinggi di provinsi tersebut. Suasana yang sangat sejuk dan asri membuat siapa saja akan merasa nyaman beristirahat di tempat ini.“Dari luar nampak seperti hotel Victory kebanyakan,” gumam Nada.Tempat ini juga sempat dijadikan tempat untuk sebuah produksi film berskala internasional. Walau saat itu Nada tidak menonton film yang dimaksud, karena alasan pribadinya.“Ah, aku benar-benar merasa sangat miris,” ucapnya lagi, saat kakinya mulai menginjakan kaki di lobi hotel.Mata Nada mengededar ke setiap penjuru lobi. Nampak hiruk pikuk pegawai dan juga beberapa pengunjung yang memang menginap di hotel tersebut. Kemudian Nada berjalan menujur meja resepsionis.“Selamat siang, Bu. Apa ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang resepsionis perempuan,
Keesokan harinya Nada mencoba memindai setiap aktivitas di hotel. Pada waktu siang, mulai dia melihat beberapa pengunjung yang datang. Sebenarnya sudah sejak kemarin hotel juga ramai dengan pengunjung. Namun, hari ini pengunjung jadi lebih banyak yang datang. Sampai di malam hari, Nada sengaja makan malam lebih cepat. Kemudian dia duduk di lobi hotel, sambil pura-pura sibuk dengan tabletnya. Tujuan dia duduk di sana, untuk memantau siapa saja yang datang ke hotel tersebut. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tamu yang datang ke hotel sudah mulai terlihat perbedaannya. “Apakah mereka anggota Club Amtehys?” tanya Nada sambil memicingkan pandangannya. Pasalnya penampilan mereka terlihat berbeda. Walau mereka mengenakan pakaian yang bisa dikatakan casual, tapi aura mereka berbeda. Sampai akhirnya Nada melihat orang yang seperti tidak asing. Walau untuk beberapa saat Nada tidak mengingta siapa orang tersebut. “Itu bukannya pemilik hotel sebelah?” gumam Nada dengan penuh ras
Wajah pria yang bernama Rizal itu nampak terkejut dengan kehadiran Nada di sana. Dia mencoba memindai Nada, dan mencoba menelisik—seperti mencari sesuatu di tubuh Nada. “Kenapa kamu lihat saya seperti itu? Kamu orang mesum, ya?” tuduh Nada, yang merasa tidak nyaman dengan tatapan Rizal yang sangat tidak pantas. “Apa katamu? Aku bukan orang yang seperti kamu tuduhkan, Bu!” sergah Rizal dengan cepat, “katakan siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya lagi. Nada membenarkan postur tubuhnya, jadi lebih tegak. “Aku pengunjung di sini. Aku hanya penasaran ruanga apa yang ada di balik tirai itu,” kata Nada yang masih menutupi identitasnya. “Tidak ada apa-apa!” tampik Rizal dengan cepat. “Ck!” Nada berdecak, seraya memutar bolanya malas, “sudah jelas-jelas kamu keluar dari sana. Dan saya lihat sebelumnya, kamu juga masuk dengan seseorang dari kamar di lantai enam,” todong Nada. Alis Rizal terlihat mengerut . Dia nampak sedikit tersentak dengan tuduhan yang baru saja dilemparkan Nad
Nada yakin seratus persen, kalau Rizal ini melaporkan Nada pada atasannya. Kemudian dihubungkan kepada orang yang kini sedang meneleponnya. Demi mempersiapkan diri, Nada menghela napas kasar. Setelah itu dia segera mengangkat panggilannya. “Halo, Nada! Di mana kamu, hah?” serang pria tua itu. Suaranya cukup membuat telinga Nada sedikit berdengung. “Halo, Pak. Bisakah untuk tidak berteriak seperti itu? Gendang telingaku rasanya mau pecah,” sindir Nada. ‘”Kamu di mana?” tanyanya lagi, seolah tidak peduli dengan ucapan Nada. “Aku sedang berlibur, Bapak Calvin yang terhormat,” jawab Nada dengan sangat tegas. Apalagi saat mengucapkan nama orang yang sedang melakukan panggilan telepon dengannya. “Berlibur di mana?”Nada menghela napas panjang, “Sudahlah, Pak, jangan bertele-tele. Aku rasa Bapak sendiri tahu kalau aku sedang berada di mana. Karena kalau tidak, Bapak tidak akan repot-repot menghubungiku,” tuturnya. Tedengar decakan dari ujung sana, yang membuat Nada mendengus. “Iya, s