(Malam ke-1.825 bersama Mas Rama).
"Mama dengar Alya mandul. Apa benar begitu, Rama?"Perasaan Rama sangat hancur saat Ibu kandungnya menanyakan hal itu padanya. Bagaimana pun, hari ini dia telah mendapat kabar dari Rumah Sakit kalau Alya memiliki gangguan di rahimnya, yang menyebabkannya tak bisa memiliki anak.Rama, terdiam lama di tempat duduknya. Ketika Ibunya mendesah keras karena dia gagal mendapatkan seorang cucu."Astaga, berarti kami tidak akan pernah memiliki cucu sampai kami mati?""Sssttt. Ibu, jangan bicara seperti itu! Jangan berbicara mendahului takdir," ujar Rama pada akhirnya.Ibu Rama menatap anaknya dengan sinis. Dia benar-benar kecewa dengan hasil pemeriksaan yang di lakukan beberapa hari lalu. Rama dan Alya telah menikah selama lima tahun, tapi sampai saat ini, keduanya belum juga di karuniai keturunan. Membuat keluarga Rama maupun Alya sendiri begitu berharap. Namun, semua harapan telah sirnah, Dokter telah mendiagnosa Alya tak akan pernah bisa mengandung.Demi menjauhkan Alya dari bisikan-bisikan yang akan menyakiti perasaannya, Rama membawa Alya pindah ke luar kota. Mereka berharap hidup mereka bisa lebih baik dari sebelumnya. Meski begitu, Alya selalu menyalahkan dirinya sendiri karena telah gagal menjadi seorang istri."Maafkan Alya, ya, Mas? Alya tidak bisa menjadi istri yang seutuhnya buat, Mas Rama," kata Alya saat makan malam bersama suaminya.Rama mencoba tersenyum untuk menghibur Alya yang hari itu tepat sedang berulang tahun. Karena mereka baru saja pindah rumah, dan banyak yang harus di kerjakan, membuat Rama tak sempat membelikan hadiah untuk istri tercintanya itu.Rama menggenggam tangan Alya yang tergeletak di atas meja. Dia tersenyum tabah seraya menatap istrinya."Selamat ulang tahun, Istriku. Mas tidak berniat mengabaikan kamu, tapi hari ini kita sangat sibuk. Jadi, Mas baru bisa mengucapkannya sekarang."Alya tersenyum malu, sekaligus tersentuh dengan sikap suaminya. Mereka telah lama menikah, tapi Mas Rama tak pernah sedikit pun melupakan hari ulang tahunnya. Bahkan, Mas Rama selalu mengingat hal-hal kecil di antara mereka."Mas Rama, terima kasih karena selalu mengingat ulang tahunku. Padahal, semakin tua, aku sudah tak peduli dengan ulang tahunku sendiri. Sekali lagi, terima kasih banyak, dan juga..."Alya mendadak berhenti berbicara. Dia mendesah pelan seraya menunduk. Dia sedang memberikan kekuatan untuk dirinya sendiri. Ketika sebuah genggaman semakin erat di rasakan. Menyadari kalau suaminya turut menguatkan dirinya.Alya, menaikan pandangannya. Menatap Mas Rama yang sedang tersenyum kepadanya."Maafkan Alya yang sebesar-besarnya. Alya benar-benar minta maaf," lanjut perempuan yang memiliki rambut lurus itu."Hei, kamu meminta maaf karena apa? Memangnya apa salahmu, Sayang? Berhentilah meminta maaf."Pertanyaan seperti itu praktis membuat mata Alya berkaca-kaca. Dia benar-benar tak mengerti bagaimana akan menjalani biduk rumah tangga dengan suaminya ke depannya. Dia takkan pernah bisa mengandung, dan Mas Rama pasti ingin memiliki keturunan dengan darah dagingnya sendiri. Begitu pun dengan Mertuanya. Bu Martha pasti sangat merindukan seorang cucu yang akan membuat suasana di rumah mereka berwarna. Alya sungguh tak bisa membayangkan jika Mas Rama akan menceraikannya dan menikah dengan wanita yang bisa memberinya keturunan. Demi Tuhan, Alya tak mau kehilangan seorang pria yang begitu baik dan pengertian seperti Mas Rama."Aku takut kalau nanti Mas Rama akan meninggalkanku karena aku tak bisa memberikan anak."Mas Rama sontak melompat dari kursinya. Hingga kursi yang di dudukinya itu terjatuh. Lelaki bertubuh tinggi itu lalu mendekati istrinya. Dia meraih tubuh Alya dan memeluknya."Ssstt. Sekarang, jangan pikirkan apapun. Mas Rama mohon sama kamu. Jangan pikirkan apapun, ya?"Alya mengangguk lemah. Perkataan itu seolah membuat hatinya tenang. Meskipun begitu, Alya tak pernah setenang sebelumnya. Karena dia tahu, Mas Rama hanya bisa bertahan untuk beberapa lama saja. Suami mana yang hanya akan diam saja ketika mengetahui istrinya tak kan pernah bisa memberikannya keturunan? Alya menyadari, kalau Mas Rama memiliki pikiran untuk menikah lagi demi memiliki seorang anak. Atau dia harus rela di madu oleh suaminya sendiri.Alya dan Rama tinggal di sebuah komplek perumahan. Sehari-hari Alya mengurus pesanan baju. Kebetulan dia memiliki usaha jahit sendiri.Pagi itu, seorang pelanggan datang untuk meminta di buatkan baju.Wanita cantik bernama Mayang itu duduk seraya menunggu Alya."Halo, Mbak Alya, ya?"Alya mengangguk ramah."Saya tahu dari tetangga, katanya jahitan Mba Alya itu bagus banget. Makanya aku ke sini," ujar Mayang."Wah, makasih banyak loh. Ayo, silahkan di minum dulu mbak.""Namanya siapa? Kita kenalan dulu," lanjut Alya mengulurkan tangannya."Nama saya Mayang. Saya adiknya Bude Rosita. Mba Alya kenal?""Oh, iya kenal banget. Kebetulan Bude Ros suka minta bikinin baju sama saya," jawab Alya.Sembari mengukur tubuh Mayang, kedua wanita itu berbincang-bincang tentang identitas mereka."Aku juga alumni di Universitas Cakrawala loh, mba. Berarti kita seangkatan? Mbak Alya ngambil jurusan apa?" tanya Mayang yang sikapnya lebih ceria dari Alya."Kebetulan Tata Busana," jawab Alya dengan suara rendah."Oh, begitu. Pantas ya jahitan dan desain bajunya bagus-bagus banget."Alya berterima kasih mendengar pujian itu.Sejak hari itu. Hubungan Mayang dan Alya semakin akrab.Ketika Mayang kembali datang ke rumah Alya untuk mengambil pesanannya."Eh, Mayang. Ayo, silahkan di minum tehnya," tawar Alya."Iya, makasih loh Mbak Alya. Jadi ngerepotin."Alya kemudian mengambil pesanan baju milik Mayang, dan meminta janda itu untuk mencobanya."Yaudah, aku coba ya mbak." Mayang pun masuk ke salah satu kamar.Kemudian, dia keluar dengan penampilan yang sangat cantik. Mayang meminta untuk di buatkan kebaya untuk proses lamaran sahabatnya. "Wah, bagus banget nih mbak. Aku suka designnya! Makasih banyak loh. Mbak Alya kreatif banget!"Alya senang mendengar Mayang yang selalu memujinya.Hingga tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan rumah Alya. Mayang tahu jika pria itu adalah suami Alya. Meskipun sering ke rumah Alya, tapi Mayang baru pertama kali bertemu dengan Rama."Assalamualaikum!""Waalaikum salam!" sahut Alya seraya mendekat. Perempuan mandul itu lekas mencium tangan suaminya.Sedangkan Mayang hanya duduk seraya melipat kebaya ke dalam plastik."Eh, ada pelanggan ya?" ujar Rama saat melihat Mayang."Iya nih, Mas. Namanya Mayang. Minta di buatin kebaya," jelas Alya."Oh, gitu..." gumam Rama."Kalau begitu saya masuk dulu ya," lanjut suami Alya itu.Mayang bangkit berdiri dan mempersilahkan."Oh, iya mas. Silahkan," katanya ramah.Sejak pertama kali melihat suami Alya, entah kenapa Mayang merasa jantungnya berdetak kencang. Dia merasa malu saat bertemu pria itu. Bukan saja karena paras Rama yang rupawan, tapi pria itu terlihat ramah dan perlakuannya sangat manis. Membuat Mayang merasa sangat ingin memiliki suami seperti Rama."Suamimu kerja di mana, Al?" tanya Mayang penasaran."Di Bank, May," jawab Alya singkat."Oh, gitu. Mantan suami aku juga dulu kerja di Bank. Gajinya lumayan juga ya, tapi hati-hati loh, mereka suka main mata sama pegawai perempuan di sana.""Astagfirullah, jangan suudzon ah. Kali aja suamiku ngga," kata Alya tak ingin terjebak pada ucapan Mayang."Tapi bener loh Al, mantan suamiku juga kaya gitu. Dia selingkuh sama rekan kerjanya sendiri. Brengsek banget! Kamu harus liatin tuh hape suami kamu," lanjut Mayang mencoba menghasut.Alya tersenyum kecil. Dia menggelengkan kepalanya mendengar ucapan pelanggan yang kini menjadi sahabatnya itu.Bersambung.Di rumah Mayang, Bude Rosita sedang bergosip dengan tetangganya jika Alya dan Rama telah lama menikah tapi belum juga di berikan keturunan. "Wah, sayang sekali ya. Padahal mereka itu sudah mapan, mereka juga masih muda lagi," ujar seorang tetangga."Kenapa Rama gak nikah lagi aja ya?" Ucapan itu membuat Mayang yang sedang berada di balik jendela terdiam. Dia tiba-tiba memikirkan ucapan tetangganya itu. Apakah Rama kemungkinan akan menikah lagi untuk mendapatkan keturunan. Jika benar, Mayang tentu ingin menjadi istri kedua Rama. Senyum sinis tiba-tiba terlukis di wajahnya. Rasanya dia sangat terobsesi untuk memiliki suami seperti Rama. Hingga akhirnya, Mayang menjadi sering berkunjung ke rumah Alya dengan alasan ingin membuat baju. Namun, dia memiliki niat untuk lebih dekat dengan Rama. Ketika akhirnya Rama pulang bekerja, tingkah Mayang mendadak genit. Dia sengaja mencari perhatian pada suami temannya itu. "Aduh, gerah banget ya!" kata Mayang seraya melepas kancing bagian atas ke
"Mas, daging ayam ini berapa satu kilo nya?" tanya Mayang berbasa-basi. Dia kemudian berpura-pura melihat Alya. "Eh, Alya. Lagi belanja juga?" "Ini siapa?" lanjutnya seraya menatap Ibu Martha. "Ibu Mertua aku. Kenalin," jawab Alya. Mayang dengan penuh perhatiannya mengulurkan tangannya pada ibu Rama. Mengetahui Alya mandul, Mayang mencoba mencari perhatian agar bisa menjadi istri kedua Rama."Halo, Bu. Nama saya Mayang. Temannya Alya.""Halo, kamu cantik sekali," puji Martha. Mayang puas mendengar pujian itu. Sedangkan Alya merasa sangat rendah setelah di hina di depan banyak orang. "Sudah menikah?" Mayang menjawab malu-malu. "Sudah pernah, Bu. Sekarang saya janda."Martha terlihat sedih. "Waduh, tapi kamu cantik, kamu masih bisa mencari pria yang lebih baik.""Iya nih Bu. Kebetulan saya juga lagi nyari," jawab Mayang. Ibu Martha hanya memberi semangat pada Mayang. Kemudian Mayang menghampiri Alya, dan mengatakan kalau dia ingin menjahit baju lagi. "Oh, yaudah. Nanti ke rumah
"Alya!" Namun, karena terlalu lelah, Alya tak mendengar panggilan ibu mertuanya itu. Hingga Ibu Mertua Alya mengambil gelas berisi air dan menyiramnya tepat di wajah Alya. Membuat Alya terkejut sambil mencari oksigen. Dia mengusap wajahnya. Air itu mengenai wajah dan pakaiannya. Alya melihat Ibu Mertua dan Monik sedang menatapnya sinis. "Heh, enak-enakan kamu tidur! Liat noh lampu masih gelap belum kamu nyalakan! Dari jam berapa kamu tidur, Hah?!" "Astagfirullah, Bu. Maafin Alya. Alya capek banget habis beberes rumah," ujar Alya dengan keadaan basah. "Capek! Capek! Alesan aja kamu! Kamu emang doyan tidur kan kalo suami kamu kerja? Menerima gaji suami dan kamu leha-leha?" "Alya gak leha-leha, Bu. Alya juga kan kerja di rumah menjahit pakaian. Alya gak cuma mengandalkan uang dari Mas Rama aja."Ibu Martha tak terima setiap kalimatnya di jawab oleh Alya. "Oh, sekarang kamu sombong kalo kamu juga punya penghasilan sendiri? Begitu?" Alya merasa sakit hati. Apapun yang dia lakukan ra
Apa yang lebih berat yang di alami seorang menantu ketika mendapati ibu mertuanya tengah memuji perempuan lain di depan suaminya? Bahwa Alya tak bisa melakukan apapun selain berharap pada Rama agar tak goyah mendengar pujian kepada Mayang. "Ma, Alya juga kan bisa bikin bolu. Kalau Mama mau nanti tinggal bilang Alya saja," ucap Rama seolah membela Alya. Siang itu hari Minggu, dan Mayang membawakan bolu buatannya khusus untuk Martha. "Alah, gak enak! Bosen! Itu-itu saja! Berbeda dengan punya Mayang. Bahan-bahannya di buat pake bahan premium. Jadi rasanya lebih enak!" nyinyir Martha. Ucapan itu membuat Rama segera menatap Alya untuk menenangkannya. Dia kemudian melipat korannya, dan menggenggam tangan istrinya. "Hari ini kamu mau belanja kain, kan? Aku temenin kamu, ya?"Alya tersenyum simpul meski hatinya sedang perih. Hanya itu yang bisa dia lakukan di hadapan suaminya. Yaitu, berpura-pura tegar. Kemudian Rama bangkit berdiri seraya menggenggam tangan Alya. Membuat Martha dan Mon
Di kamarnya, Alya sengaja berbaring membelakangi Rama yang bersiap tidur. Keduanya baru saja membahas tentang kepulangan Martha dan Monik esok hari. "Kamu kapan mau pergi ke pasar kain lagi? Tadi kan kamu belum sempat pergi," ucap Rama mengetahui istrinya belum tidur. Sementara Alya sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia bahkan tak bisa melupakan bagaimana Martha menghina dan merendahkannya di depan Mayang. Kejadian siang tadi sungguh membuat hati Alya hancur menjadi berkeping-kepimg. Alya berusaha menahan suaranya agar tak bergetar. Dia tak mau membuat suaminya khawatir."Mungkin besok," katanya singkat."Besok sore bisa? Mas Rama usahakan pulang sore agar bisa antar kamu ke pasar."Alya menggelengkan kepalanya. Dia tak mampu lagi menahan tangisnya. "Alya?" Sebelum Rama mengetahui kepedihannya, Alya bergegas berlari menuju kamar mandi. "Sebentar," katanya sambil menutup mulutnya. Air matanya sudah mengalir d
Alya dan Rama tengah asik berciuman setelah satu Minggu lebih mereka tak bisa bermesraan di rumah selama Martha dan Monik menginap. Tapi kegiatan mereka harus terhenti saat seorang tamu mengacaukannya. "Mengganggu saja!" gerutu Rama. Saat Rama akan melanjutkan, ketukan pintu kembali terdengar. Hal itu terpaksa membuat Rama harus menghentikan kegiatannya bersama sang istri. "Ya, sebentar!" sahut Rama seraya meninggalkan Alya. Sebelum itu, dia kembali mencium istrinya karena belum puas. Rama sempat menggerutu karena mengira itu adalah kurir paket. "Ganggu aja nih." Tapi ucapannya langsung terhenti begitu pintu terbuka. Di hadapannya adalah sosok wanita cantik yang menggerai rambutnya. Mayang membawa paperbag yang di pastikan berisi kain yang akan di jahit. "Mayang?" ucap Rama seraya menyentuh pelipisnya. Dia merasa malu karena dia pikir hanya kurir paket. "Maaf. Aku ganggu waktu kalian, ya?" tanya Mayang melangkah mundur
Setelah di rasa aman, Rama menghentikan mobilnya di pinggir lapangan yang berjarak sepertiga kilometer dari jalan utama. Lapangan itu masuk ke dalam gang yang di apit pepohonan tinggi. Rama menatap Mayang yang masih ketakutan sambil meredam tangisnya. Dia benar-benar tak tahu kejadian apa yang baru saja Mayang alami, dan siapa pria yang akan menyerangnya itu. Meski begitu, Rama ingin memberikan waktu pada Mayang agar bisa menenangkan pikirannya. "Terima kasih banyak, Mas Rama," ujar Mayang sesegukan. Sorot matanya masih menunjukan ketakutan dan keputusasaan. "Dia mantan suami aku, Mas. Dia pengen culik dan celakai aku," katanya lagi. "Culik? Memangnya kalian ada masalah apa?" Mayang menggelengkan kepalanya. Pertanyaan itu membuat bulir air mata kembali turun dari pelupuk matanya. "Menikahi pria itu adalah kesalahan terbesar aku, Mas. Aku benar-benar menyesal karena sudah mengenalnya. Dia menyakiti aku bahkan sejak kami awal
Suara ketukan jari yang di adu ke meja menemani suasana hening batin Alya. Dia duduk menunggu suaminya selesai mandi. Sementara pikirannya melayang pada banyaknya pertanyaan akan kebersamaan suaminya bersama Mayang. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rama bisa basah kuyup? Di mana mobilnya? Dan apa saja yang sudah mereka lakukan sehingga harus pulang terlambat? Mengapa Mas Rama meninggalkannya? Mengapa? "Sayang?" panggil Rama seraya menyentuh pundak Alya. Sang istri pun menoleh dan melihat Rama telah rapih dengan pakaiannya. Alya segera meraih secangkir teh hangat untuk suaminya itu. "Mas, ini di minum dulu tehnya," tawarnya. Rama duduk di samping Alya dengan perasaan tak nyaman. Dia menyesap teh seraya memikirkan perasaan Alya setelah mengetahui bahwa dirinya baru saja pergi bersama Mayang. "Mayang di culik dan di aniaya oleh mantan suaminya."Alya menoleh cepat. "Apa?"Rama menghela nafas sembari menyimpan tehnya. "Wa
Minggu pagi, Rama dan Alya kembali mendatangi panti asuhan untuk mengurus dokumen adopsi. Di sana, Rama bertemu dengan balita perempuan yang akan dia adopsi. "Halo, Binar..."Balita itu hanya melambaikan tangannya dan kembali bermain. Sementara itu Alya tersentuh melihat betapa bahagianya Rama bersama dengan seorang anak. Alya benar-benar menyesal karena dia belum bisa memberikan anak kandung untuk Rama. Saat mereka asik bermain dengan Binar, Tiba-tiba ponsel Rama berdering. "Sebentar ya, aku angkat telepon dulu," katanya menjauh. Namun, belum sampai satu menit Rama menjawab panggilan, dia segera mengakhirnya dan mendekati Alya dengan wajah panik. "Ibu pingsan di kamar mandi, Al. Aku harus ke Jakarta sekarang."Alya yang sedang bermain dengan Binar pun terkejut. "Kalau gitu aku ikut!" Tapi tangan yang begitu mungil sedang menggenggamnya. Seolah Balita itu tak mau ditinggalkan oleh calon kedua orang tuanya. Rama pun berjongkok di hadapan Binar yang berusia empat tahun. "Sayang,
Di mobil dalam perjalanan pulang, Rama terus saja menggenggam tangan istrinya. Seolah dia tak pernah Sudi melepaskannya. Sesekali Rama mencium punggung tangan Alya hingga membuat Alya tersentuh. "Sepertinya kamu sayang banget sama aku," ucap Alya menatap. "Tentu saja! Kamu wanita satu-satunya yang bikin aku bahagia. Aku gak tahu deh gimana jadinya kalau hidupku tanpa kamu."Ucapan itu membuat Alya tersenyum sekaligus berpikir. Lalu, bagaimana jadinya jika Rama menikah dengan wanita lain dan dia hanya akan di abaikan setelah ada orang baru? Apakah Rama akan mengingat kalimat yang baru saja di katakannya?"Sepertinya kita harus membicarakan sesuatu yang serius," kata Alya mencoba tenang. Rama menoleh, dan dia benar-benar melihat ekspresi serius di wajah istrinya. "Jika kita sudah sampai di rumah, ya?"Alya mengangguk kecil. Tapi sebuah pemandangan di pinggir jalan membuat Alya menoleh. Dia meminta Rama untuk menghentikan mobilnya saat melihat sesosok wanita tengah menangis dalam ke
Hari semakin berlalu, dan keadaan Mas Rama sudah sepenuhnya membaik. Alya berlari kecil mengejar suaminya yang akan pergi bekerja. Dia memeluk Rama yang begitu dia cintai. "Mas, nanti malam mau temenin aku ke restoran yang baru buka gak?" Rama menunduk menatap istrinya yang sebatas dada. Dia merapihkan anak rambut Alya yang berantakan di wajah Alya. "Lagi diskon, ya?"Alya mengangguk ceria. "Oke!" seru Rama setuju. "Asik! Nanti malam jangan pulang telat, yah. Kita ketemuan di restorannya langsung. Ingat! Jangan pulang malam-malam. Nanti restorannya keburu tutup!" pinta Alya seraya melepaskan pelukannya, tapi Rama mencegahnya. Dia mengeratkan pelukan untuk istrinya, dan mendaratkan beberapa ciuman di wajah Alya. "Iya, iya. Cerewet sekali!" ujarnya merasa gemas. Alya tersenyum senang dan keduanya benar-benar melepaskan pelukan mereka. Alya melambaikan tangannya sambil memamerkan senyum manisnya. "Hati-hati suamiku."
Suara ketukan jari yang di adu ke meja menemani suasana hening batin Alya. Dia duduk menunggu suaminya selesai mandi. Sementara pikirannya melayang pada banyaknya pertanyaan akan kebersamaan suaminya bersama Mayang. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rama bisa basah kuyup? Di mana mobilnya? Dan apa saja yang sudah mereka lakukan sehingga harus pulang terlambat? Mengapa Mas Rama meninggalkannya? Mengapa? "Sayang?" panggil Rama seraya menyentuh pundak Alya. Sang istri pun menoleh dan melihat Rama telah rapih dengan pakaiannya. Alya segera meraih secangkir teh hangat untuk suaminya itu. "Mas, ini di minum dulu tehnya," tawarnya. Rama duduk di samping Alya dengan perasaan tak nyaman. Dia menyesap teh seraya memikirkan perasaan Alya setelah mengetahui bahwa dirinya baru saja pergi bersama Mayang. "Mayang di culik dan di aniaya oleh mantan suaminya."Alya menoleh cepat. "Apa?"Rama menghela nafas sembari menyimpan tehnya. "Wa
Setelah di rasa aman, Rama menghentikan mobilnya di pinggir lapangan yang berjarak sepertiga kilometer dari jalan utama. Lapangan itu masuk ke dalam gang yang di apit pepohonan tinggi. Rama menatap Mayang yang masih ketakutan sambil meredam tangisnya. Dia benar-benar tak tahu kejadian apa yang baru saja Mayang alami, dan siapa pria yang akan menyerangnya itu. Meski begitu, Rama ingin memberikan waktu pada Mayang agar bisa menenangkan pikirannya. "Terima kasih banyak, Mas Rama," ujar Mayang sesegukan. Sorot matanya masih menunjukan ketakutan dan keputusasaan. "Dia mantan suami aku, Mas. Dia pengen culik dan celakai aku," katanya lagi. "Culik? Memangnya kalian ada masalah apa?" Mayang menggelengkan kepalanya. Pertanyaan itu membuat bulir air mata kembali turun dari pelupuk matanya. "Menikahi pria itu adalah kesalahan terbesar aku, Mas. Aku benar-benar menyesal karena sudah mengenalnya. Dia menyakiti aku bahkan sejak kami awal
Alya dan Rama tengah asik berciuman setelah satu Minggu lebih mereka tak bisa bermesraan di rumah selama Martha dan Monik menginap. Tapi kegiatan mereka harus terhenti saat seorang tamu mengacaukannya. "Mengganggu saja!" gerutu Rama. Saat Rama akan melanjutkan, ketukan pintu kembali terdengar. Hal itu terpaksa membuat Rama harus menghentikan kegiatannya bersama sang istri. "Ya, sebentar!" sahut Rama seraya meninggalkan Alya. Sebelum itu, dia kembali mencium istrinya karena belum puas. Rama sempat menggerutu karena mengira itu adalah kurir paket. "Ganggu aja nih." Tapi ucapannya langsung terhenti begitu pintu terbuka. Di hadapannya adalah sosok wanita cantik yang menggerai rambutnya. Mayang membawa paperbag yang di pastikan berisi kain yang akan di jahit. "Mayang?" ucap Rama seraya menyentuh pelipisnya. Dia merasa malu karena dia pikir hanya kurir paket. "Maaf. Aku ganggu waktu kalian, ya?" tanya Mayang melangkah mundur
Di kamarnya, Alya sengaja berbaring membelakangi Rama yang bersiap tidur. Keduanya baru saja membahas tentang kepulangan Martha dan Monik esok hari. "Kamu kapan mau pergi ke pasar kain lagi? Tadi kan kamu belum sempat pergi," ucap Rama mengetahui istrinya belum tidur. Sementara Alya sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia bahkan tak bisa melupakan bagaimana Martha menghina dan merendahkannya di depan Mayang. Kejadian siang tadi sungguh membuat hati Alya hancur menjadi berkeping-kepimg. Alya berusaha menahan suaranya agar tak bergetar. Dia tak mau membuat suaminya khawatir."Mungkin besok," katanya singkat."Besok sore bisa? Mas Rama usahakan pulang sore agar bisa antar kamu ke pasar."Alya menggelengkan kepalanya. Dia tak mampu lagi menahan tangisnya. "Alya?" Sebelum Rama mengetahui kepedihannya, Alya bergegas berlari menuju kamar mandi. "Sebentar," katanya sambil menutup mulutnya. Air matanya sudah mengalir d
Apa yang lebih berat yang di alami seorang menantu ketika mendapati ibu mertuanya tengah memuji perempuan lain di depan suaminya? Bahwa Alya tak bisa melakukan apapun selain berharap pada Rama agar tak goyah mendengar pujian kepada Mayang. "Ma, Alya juga kan bisa bikin bolu. Kalau Mama mau nanti tinggal bilang Alya saja," ucap Rama seolah membela Alya. Siang itu hari Minggu, dan Mayang membawakan bolu buatannya khusus untuk Martha. "Alah, gak enak! Bosen! Itu-itu saja! Berbeda dengan punya Mayang. Bahan-bahannya di buat pake bahan premium. Jadi rasanya lebih enak!" nyinyir Martha. Ucapan itu membuat Rama segera menatap Alya untuk menenangkannya. Dia kemudian melipat korannya, dan menggenggam tangan istrinya. "Hari ini kamu mau belanja kain, kan? Aku temenin kamu, ya?"Alya tersenyum simpul meski hatinya sedang perih. Hanya itu yang bisa dia lakukan di hadapan suaminya. Yaitu, berpura-pura tegar. Kemudian Rama bangkit berdiri seraya menggenggam tangan Alya. Membuat Martha dan Mon
"Alya!" Namun, karena terlalu lelah, Alya tak mendengar panggilan ibu mertuanya itu. Hingga Ibu Mertua Alya mengambil gelas berisi air dan menyiramnya tepat di wajah Alya. Membuat Alya terkejut sambil mencari oksigen. Dia mengusap wajahnya. Air itu mengenai wajah dan pakaiannya. Alya melihat Ibu Mertua dan Monik sedang menatapnya sinis. "Heh, enak-enakan kamu tidur! Liat noh lampu masih gelap belum kamu nyalakan! Dari jam berapa kamu tidur, Hah?!" "Astagfirullah, Bu. Maafin Alya. Alya capek banget habis beberes rumah," ujar Alya dengan keadaan basah. "Capek! Capek! Alesan aja kamu! Kamu emang doyan tidur kan kalo suami kamu kerja? Menerima gaji suami dan kamu leha-leha?" "Alya gak leha-leha, Bu. Alya juga kan kerja di rumah menjahit pakaian. Alya gak cuma mengandalkan uang dari Mas Rama aja."Ibu Martha tak terima setiap kalimatnya di jawab oleh Alya. "Oh, sekarang kamu sombong kalo kamu juga punya penghasilan sendiri? Begitu?" Alya merasa sakit hati. Apapun yang dia lakukan ra