Apa yang lebih berat yang di alami seorang menantu ketika mendapati ibu mertuanya tengah memuji perempuan lain di depan suaminya? Bahwa Alya tak bisa melakukan apapun selain berharap pada Rama agar tak goyah mendengar pujian kepada Mayang.
"Ma, Alya juga kan bisa bikin bolu. Kalau Mama mau nanti tinggal bilang Alya saja," ucap Rama seolah membela Alya.Siang itu hari Minggu, dan Mayang membawakan bolu buatannya khusus untuk Martha."Alah, gak enak! Bosen! Itu-itu saja! Berbeda dengan punya Mayang. Bahan-bahannya di buat pake bahan premium. Jadi rasanya lebih enak!" nyinyir Martha.Ucapan itu membuat Rama segera menatap Alya untuk menenangkannya. Dia kemudian melipat korannya, dan menggenggam tangan istrinya."Hari ini kamu mau belanja kain, kan? Aku temenin kamu, ya?"Alya tersenyum simpul meski hatinya sedang perih. Hanya itu yang bisa dia lakukan di hadapan suaminya. Yaitu, berpura-pura tegar.Kemudian Rama bangkit berdiri seraya menggenggam tangan Alya. Membuat Martha dan Monik mendongak dengan kompak."Kalian mau kemana?" tanya Martha seraya melahap potong demi potong bolu yang tersaji."Aku mau temenin Alya ke pasar kain. Kami pergi dulu ya, Ma!""Eh gak bisa!"Alya melihat Mama mertuanya itu berdiri dengan ekspresi marah. Martha kemudian melepaskan genggaman tangan Rama dan Alya. Sungguh perih rasanya mendapat perlakuan kasar dari ibu mertuanya."Kamu harus temenin Mama dan Monik ke toko oleh-oleh! Besok kan Mama pulang! Masa kamu gak bawain apa-apa buat Mama!"Rama menghempas napasnya seraya menatap istrinya dengan rasa bersalah."Udah, Mas. Aku bisa pergi ke pasar sendiri," kata Alya seraya mengusap punggung suaminya."Tuh denger! Istri kamu itu emang udah biasa pergi kemana-mana sendiri! Biarkan saja!" celetuk Martha.Dengan rasa bersalah Rama mencoba mendengarkan kata istrinya. "Yaudah, kalau gitu Mama dan Monik siap-siap."Beberapa saat kemudian, mobil Rama terlihat berada di pinggir jalan. Sementara Rama menatap Mama dan adiknya yang tengah menunggu seseorang."Kita menunggu siapa sih, Ma?""Sebentar... Kamu juga akan tahu kok!"Monik tersenyum mendengar ucapan itu. Dia merasa senang karena akan menjodohkan kakaknya itu kepada Mayang."Itu dia!" seru Monik saat melihat Mayang baru saja turun dari taksi.Rama turut menoleh mengikuti pandangan Monik. Dia melihat wanita berpakaian dress selutut dengan rambut tergerai tengah tersenyum ke arah mobilnya."Bukannya itu Mayang? Memangnya ada keperluan apa?" tanya Rama bingung."Itu loh, Ram. Mayang kan pernah traktir Mama dan Monik ke Mall. Jadi, sekarang gantian. Mama pengen traktir Monik di hari hari terakhir Mama di Surabaya," jelas Martha dengan sengaja.Bersamaan dengan itu Mayang membuka pintu, dan Monik memintanya duduk di sisinya."Kalau begitu tadi aku ajak saja Alya. Biar kita bisa makan siang bersama," ujar Rama menyesal.Martha dan Monik saling menatap melalui spion, perlahan rencana mereka rasanya akan berhasil."Sudah! Nanti lagi saja! Lagi pula Alya kan sibuk sama pekerjaannya," kata Martha. Kemudian dia menoleh menyapa Mayang yang sudah duduk cantik."Halo, Tante," sapa Mayang dengan senyum ramah."Halo, Mayang. Kamu cantik sekali," puji Martha.Bersamaan dengan itu Rama melajukan mobilnya.Mendengar pujian Martha, Mayang dengan sengaja membuat dirinya menebarkan pesona pada Rama."Halo, Mas Rama. Maaf ya merepotkan," kata Mayang.Rama bersikap sewajarnya kepada Mayang. Dia hanya tersenyum membalas sikap ramah Mayang."Oh, iya. Di mana Alya? Dia tidak ikut?"Suasana mendadak hening. Hingga akhirnya Rama membuka suara. "Hm, nanti Alya menyusul," katanya.Ucapan itu membuat Martha dan Monik menatap bingung."Menyusul? Dia kan lagi sibuk. Nanti kamu ganggu waktu dia lagi!" kata Martha mencari alasan."Engga mungikn, Ma. Alya pasti akan mengesampingkan pekerjaannya kok. Dia kan tahu besok Mama akan pulang. Lagi pula, kita makan siang bersama, sementara Alya tidak ikut. Dia kan istri aku, Ma," lugas Rama. Dia sebenarnya tak suka akan sikap ibu mertuanya yang terus memojokan Alya. Dia begitu merasa kasihan karena Alya selalu bersabar dengan tingkah ibu mertuanya.Martha menatap putranya dengan tidak suka. Dia sengaja merangcang rencana agar Rama bisa PDKT dengan Mayang, tapi sepertinya Rama belum terbiasa dengan keberadaan Mayang.Hingga beberapa saat kemudian. Rama serta Ibu dan adiknya. Di sampingnya terdapat Mayang yang sengaja duduk di kursi sebelah Rama. Mereka tengah menunggu makanan yang sudah di pesan. Sekaligus menunggu kedatangan Alya.Rama sibuk dengan ponselnya. Dia mencoba menghubungi Alya beberapa kali tapi tak mendapat jawaban."Tuh kan, Mas. Kak Alya itu lagi sibuk sama kerjaannya. Dia pasti gak mungkin datang!" sahut Monik dari kursinya.Rama mendesah pelan mendapati sikap Monik yang memang sengaja tak ingin menunggu Alya."Mungkin lagi di jalan," ujar Rama membela.Saat itu juga pelayan datang membawakan hidangan. Mayang duduk manis seraya diam-diam mencuri pandang pada Rama yang berada di sampingnya."Mas, ikan bakar ini enak banget loh," kata Mayang seraya memberikan satu suapan untuk Rama."Eh, iya. Enak banget loh, Mas! Gak salah nih Kak Mayang pilih restoran!" sambung Monik mencicipi.Mayang begitu senang mendengarnya. Bersamaan dengan dirinya menunggu Rama membuka mulutnya agar dia bisa memberi satu suapan dari tangannya langsung."Aaaa..." kata Mayang membuka mulutnya.Rama merasa tak enak hati melihat sikap Mayang yang menurutnya berlebihan. Tapi Martha memintanya agar Rama bisa menerima kebaikan hati Mayang."Kemarin Mayang sudah baik loh mentraktir Mama dan Monik. Sekarang kamu tinggal buka mulut aja biar Mayang bisa siapin kamu!" gumam Martha memberikan sindiran.Rama merasa ibunya itu terlalu bersikap kenakak-kanakan. Tapi dia adalah seorang pria dan kepala keluarga. Dia tak mau Mayang mendapat sedikit harapan darinya. Bagaimana pun Rama telah memiliki seorang istri yang dia cintai."Terima kasih, saya bisa makan sendiri," ujar Rama menolak sendok dari Mayang. Kemudian dia menunduk menatap piringnya sendiri.Bersamaan dengan itu Alya tiba-tiba hadir di depan meja mereka."Maaf. Aku terjebak macet," ujar Alya. Tapi pandangannya seketika membeku saat melihat wanita cantik dengan tatapan yang sulit di artikan tengah duduk di samping suaminya."Hai, Alya. Kamu sibuk banget kayanya," sapa Mayang dengan ramah.Kemudian tatapan Alya beralih pada Mas Rama yang duduk di samping Mayang. Apalagi, tangan keduanya begitu berdekatan. Entah Alya harus menilai apa pandangan di depannya itu. Dia benar-benar cemburu dan marah. Kenapa tidak Martha atau Monik saja yang duduk di samping Mas Rama?Alya kemudian menarik kursi di samping Monik. Sementara Rama segera bangkit dari duduknya."Sayang, kamu duduk di sini ya. Kebetulan aku mau pergi ke luar mau ngerokok," ujar Mas Rama. Niat sebenarnya adalah tak ingin membuat Alya salah paham karena kedekatannya dengan Mayang.Ucapan Rama itu membuat Martha dan Monik menoleh dengan kompak."Sudah, Kak Alya di sini saja sama Monik. Ada yang mau Monik bahas juga," kata Monik mencegah.Alya yang hendak berdiri pun mengurungkan niatnya. Dia kembali duduk melihat tatapan tajam ibu mertuanya.Saat Rama beranjak pergi dari meja, Alya menjadi bulan-bulanan tatapan tajam dari tiga wanita di depannya. Ada Mayang yang tersenyum manis dengan tatapan yang sulit di artikan. Sementara Monik dan Martha menatapnya dengan tatapan benci dan jijik."Bukannya kamu mau ke pasar kain? Memangnya sudah selesai?" tanya Martha seraya melahap makanannya."Belum sempat, Ma. Lain kali saja aku perginya," jawab Alya merasa canggung.Setelah itu, Mayang duduk mendekati Alya. "Alya, temanku mau kenalan sama kamu. Dia katanya mau di buatkan baju juga untuk gaun ulang tahun anaknya."Alya berusaha menepis semua tatapan Mayang yang nampak berbeda saat melihat suaminya. "Oh, boleh. Kalau begitu nanti kamu kasih alamat rumahku saja, ya sama teman kamu," katanya.Mayang tersenyum menyetujui."Tuh kan. Senang banget rasanya kalau punya anak," Martha tiba-tiba berceletuk.Membuat Alya langsung menatapnya."Kamu kan tukang jahit profesional. Kalau kamu punya anak, pastinya kamu bakal buatin beberapa baju buat anak kamu. Tapi sayang...."Alya menunduk sedih sebelum Martha melanjutkan ucapannya."Kamu mandul sih!" lanjut Martha membuat hati Alya seketika remuk.Entah sudah berapa kali Ibu mertuanya itu mengatainya dengan kata kasar. Kali ini, Ibu mertuanya itu kembali membahas kekurangannya di hadapan Mayang. Sosok wanita yang seolah sempurna di mata ibu mertuanya."Jika begini terus, apa kamu tidak kasihan pada Rama?" tanya Martha berhati-hati, tapi setiap kata yang di ucapkan ya penuh penekanan.Bersambung.Di kamarnya, Alya sengaja berbaring membelakangi Rama yang bersiap tidur. Keduanya baru saja membahas tentang kepulangan Martha dan Monik esok hari. "Kamu kapan mau pergi ke pasar kain lagi? Tadi kan kamu belum sempat pergi," ucap Rama mengetahui istrinya belum tidur. Sementara Alya sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia bahkan tak bisa melupakan bagaimana Martha menghina dan merendahkannya di depan Mayang. Kejadian siang tadi sungguh membuat hati Alya hancur menjadi berkeping-kepimg. Alya berusaha menahan suaranya agar tak bergetar. Dia tak mau membuat suaminya khawatir."Mungkin besok," katanya singkat."Besok sore bisa? Mas Rama usahakan pulang sore agar bisa antar kamu ke pasar."Alya menggelengkan kepalanya. Dia tak mampu lagi menahan tangisnya. "Alya?" Sebelum Rama mengetahui kepedihannya, Alya bergegas berlari menuju kamar mandi. "Sebentar," katanya sambil menutup mulutnya. Air matanya sudah mengalir d
Alya dan Rama tengah asik berciuman setelah satu Minggu lebih mereka tak bisa bermesraan di rumah selama Martha dan Monik menginap. Tapi kegiatan mereka harus terhenti saat seorang tamu mengacaukannya. "Mengganggu saja!" gerutu Rama. Saat Rama akan melanjutkan, ketukan pintu kembali terdengar. Hal itu terpaksa membuat Rama harus menghentikan kegiatannya bersama sang istri. "Ya, sebentar!" sahut Rama seraya meninggalkan Alya. Sebelum itu, dia kembali mencium istrinya karena belum puas. Rama sempat menggerutu karena mengira itu adalah kurir paket. "Ganggu aja nih." Tapi ucapannya langsung terhenti begitu pintu terbuka. Di hadapannya adalah sosok wanita cantik yang menggerai rambutnya. Mayang membawa paperbag yang di pastikan berisi kain yang akan di jahit. "Mayang?" ucap Rama seraya menyentuh pelipisnya. Dia merasa malu karena dia pikir hanya kurir paket. "Maaf. Aku ganggu waktu kalian, ya?" tanya Mayang melangkah mundur
Setelah di rasa aman, Rama menghentikan mobilnya di pinggir lapangan yang berjarak sepertiga kilometer dari jalan utama. Lapangan itu masuk ke dalam gang yang di apit pepohonan tinggi. Rama menatap Mayang yang masih ketakutan sambil meredam tangisnya. Dia benar-benar tak tahu kejadian apa yang baru saja Mayang alami, dan siapa pria yang akan menyerangnya itu. Meski begitu, Rama ingin memberikan waktu pada Mayang agar bisa menenangkan pikirannya. "Terima kasih banyak, Mas Rama," ujar Mayang sesegukan. Sorot matanya masih menunjukan ketakutan dan keputusasaan. "Dia mantan suami aku, Mas. Dia pengen culik dan celakai aku," katanya lagi. "Culik? Memangnya kalian ada masalah apa?" Mayang menggelengkan kepalanya. Pertanyaan itu membuat bulir air mata kembali turun dari pelupuk matanya. "Menikahi pria itu adalah kesalahan terbesar aku, Mas. Aku benar-benar menyesal karena sudah mengenalnya. Dia menyakiti aku bahkan sejak kami awal
Suara ketukan jari yang di adu ke meja menemani suasana hening batin Alya. Dia duduk menunggu suaminya selesai mandi. Sementara pikirannya melayang pada banyaknya pertanyaan akan kebersamaan suaminya bersama Mayang. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rama bisa basah kuyup? Di mana mobilnya? Dan apa saja yang sudah mereka lakukan sehingga harus pulang terlambat? Mengapa Mas Rama meninggalkannya? Mengapa? "Sayang?" panggil Rama seraya menyentuh pundak Alya. Sang istri pun menoleh dan melihat Rama telah rapih dengan pakaiannya. Alya segera meraih secangkir teh hangat untuk suaminya itu. "Mas, ini di minum dulu tehnya," tawarnya. Rama duduk di samping Alya dengan perasaan tak nyaman. Dia menyesap teh seraya memikirkan perasaan Alya setelah mengetahui bahwa dirinya baru saja pergi bersama Mayang. "Mayang di culik dan di aniaya oleh mantan suaminya."Alya menoleh cepat. "Apa?"Rama menghela nafas sembari menyimpan tehnya. "Wa
Hari semakin berlalu, dan keadaan Mas Rama sudah sepenuhnya membaik. Alya berlari kecil mengejar suaminya yang akan pergi bekerja. Dia memeluk Rama yang begitu dia cintai. "Mas, nanti malam mau temenin aku ke restoran yang baru buka gak?" Rama menunduk menatap istrinya yang sebatas dada. Dia merapihkan anak rambut Alya yang berantakan di wajah Alya. "Lagi diskon, ya?"Alya mengangguk ceria. "Oke!" seru Rama setuju. "Asik! Nanti malam jangan pulang telat, yah. Kita ketemuan di restorannya langsung. Ingat! Jangan pulang malam-malam. Nanti restorannya keburu tutup!" pinta Alya seraya melepaskan pelukannya, tapi Rama mencegahnya. Dia mengeratkan pelukan untuk istrinya, dan mendaratkan beberapa ciuman di wajah Alya. "Iya, iya. Cerewet sekali!" ujarnya merasa gemas. Alya tersenyum senang dan keduanya benar-benar melepaskan pelukan mereka. Alya melambaikan tangannya sambil memamerkan senyum manisnya. "Hati-hati suamiku."
Di mobil dalam perjalanan pulang, Rama terus saja menggenggam tangan istrinya. Seolah dia tak pernah Sudi melepaskannya. Sesekali Rama mencium punggung tangan Alya hingga membuat Alya tersentuh. "Sepertinya kamu sayang banget sama aku," ucap Alya menatap. "Tentu saja! Kamu wanita satu-satunya yang bikin aku bahagia. Aku gak tahu deh gimana jadinya kalau hidupku tanpa kamu."Ucapan itu membuat Alya tersenyum sekaligus berpikir. Lalu, bagaimana jadinya jika Rama menikah dengan wanita lain dan dia hanya akan di abaikan setelah ada orang baru? Apakah Rama akan mengingat kalimat yang baru saja di katakannya?"Sepertinya kita harus membicarakan sesuatu yang serius," kata Alya mencoba tenang. Rama menoleh, dan dia benar-benar melihat ekspresi serius di wajah istrinya. "Jika kita sudah sampai di rumah, ya?"Alya mengangguk kecil. Tapi sebuah pemandangan di pinggir jalan membuat Alya menoleh. Dia meminta Rama untuk menghentikan mobilnya saat melihat sesosok wanita tengah menangis dalam ke
Minggu pagi, Rama dan Alya kembali mendatangi panti asuhan untuk mengurus dokumen adopsi. Di sana, Rama bertemu dengan balita perempuan yang akan dia adopsi. "Halo, Binar..."Balita itu hanya melambaikan tangannya dan kembali bermain. Sementara itu Alya tersentuh melihat betapa bahagianya Rama bersama dengan seorang anak. Alya benar-benar menyesal karena dia belum bisa memberikan anak kandung untuk Rama. Saat mereka asik bermain dengan Binar, Tiba-tiba ponsel Rama berdering. "Sebentar ya, aku angkat telepon dulu," katanya menjauh. Namun, belum sampai satu menit Rama menjawab panggilan, dia segera mengakhirnya dan mendekati Alya dengan wajah panik. "Ibu pingsan di kamar mandi, Al. Aku harus ke Jakarta sekarang."Alya yang sedang bermain dengan Binar pun terkejut. "Kalau gitu aku ikut!" Tapi tangan yang begitu mungil sedang menggenggamnya. Seolah Balita itu tak mau ditinggalkan oleh calon kedua orang tuanya. Rama pun berjongkok di hadapan Binar yang berusia empat tahun. "Sayang,
(Malam ke-1.825 bersama Mas Rama)."Mama dengar Alya mandul. Apa benar begitu, Rama?" Perasaan Rama sangat hancur saat Ibu kandungnya menanyakan hal itu padanya. Bagaimana pun, hari ini dia telah mendapat kabar dari Rumah Sakit kalau Alya memiliki gangguan di rahimnya, yang menyebabkannya tak bisa memiliki anak. Rama, terdiam lama di tempat duduknya. Ketika Ibunya mendesah keras karena dia gagal mendapatkan seorang cucu. "Astaga, berarti kami tidak akan pernah memiliki cucu sampai kami mati?""Sssttt. Ibu, jangan bicara seperti itu! Jangan berbicara mendahului takdir," ujar Rama pada akhirnya. Ibu Rama menatap anaknya dengan sinis. Dia benar-benar kecewa dengan hasil pemeriksaan yang di lakukan beberapa hari lalu. Rama dan Alya telah menikah selama lima tahun, tapi sampai saat ini, keduanya belum juga di karuniai keturunan. Membuat keluarga Rama maupun Alya sendiri begitu berharap. Namun, semua harapan telah sirnah, Dokter telah mendiagnosa Alya tak akan pernah bisa mengandung. D
Minggu pagi, Rama dan Alya kembali mendatangi panti asuhan untuk mengurus dokumen adopsi. Di sana, Rama bertemu dengan balita perempuan yang akan dia adopsi. "Halo, Binar..."Balita itu hanya melambaikan tangannya dan kembali bermain. Sementara itu Alya tersentuh melihat betapa bahagianya Rama bersama dengan seorang anak. Alya benar-benar menyesal karena dia belum bisa memberikan anak kandung untuk Rama. Saat mereka asik bermain dengan Binar, Tiba-tiba ponsel Rama berdering. "Sebentar ya, aku angkat telepon dulu," katanya menjauh. Namun, belum sampai satu menit Rama menjawab panggilan, dia segera mengakhirnya dan mendekati Alya dengan wajah panik. "Ibu pingsan di kamar mandi, Al. Aku harus ke Jakarta sekarang."Alya yang sedang bermain dengan Binar pun terkejut. "Kalau gitu aku ikut!" Tapi tangan yang begitu mungil sedang menggenggamnya. Seolah Balita itu tak mau ditinggalkan oleh calon kedua orang tuanya. Rama pun berjongkok di hadapan Binar yang berusia empat tahun. "Sayang,
Di mobil dalam perjalanan pulang, Rama terus saja menggenggam tangan istrinya. Seolah dia tak pernah Sudi melepaskannya. Sesekali Rama mencium punggung tangan Alya hingga membuat Alya tersentuh. "Sepertinya kamu sayang banget sama aku," ucap Alya menatap. "Tentu saja! Kamu wanita satu-satunya yang bikin aku bahagia. Aku gak tahu deh gimana jadinya kalau hidupku tanpa kamu."Ucapan itu membuat Alya tersenyum sekaligus berpikir. Lalu, bagaimana jadinya jika Rama menikah dengan wanita lain dan dia hanya akan di abaikan setelah ada orang baru? Apakah Rama akan mengingat kalimat yang baru saja di katakannya?"Sepertinya kita harus membicarakan sesuatu yang serius," kata Alya mencoba tenang. Rama menoleh, dan dia benar-benar melihat ekspresi serius di wajah istrinya. "Jika kita sudah sampai di rumah, ya?"Alya mengangguk kecil. Tapi sebuah pemandangan di pinggir jalan membuat Alya menoleh. Dia meminta Rama untuk menghentikan mobilnya saat melihat sesosok wanita tengah menangis dalam ke
Hari semakin berlalu, dan keadaan Mas Rama sudah sepenuhnya membaik. Alya berlari kecil mengejar suaminya yang akan pergi bekerja. Dia memeluk Rama yang begitu dia cintai. "Mas, nanti malam mau temenin aku ke restoran yang baru buka gak?" Rama menunduk menatap istrinya yang sebatas dada. Dia merapihkan anak rambut Alya yang berantakan di wajah Alya. "Lagi diskon, ya?"Alya mengangguk ceria. "Oke!" seru Rama setuju. "Asik! Nanti malam jangan pulang telat, yah. Kita ketemuan di restorannya langsung. Ingat! Jangan pulang malam-malam. Nanti restorannya keburu tutup!" pinta Alya seraya melepaskan pelukannya, tapi Rama mencegahnya. Dia mengeratkan pelukan untuk istrinya, dan mendaratkan beberapa ciuman di wajah Alya. "Iya, iya. Cerewet sekali!" ujarnya merasa gemas. Alya tersenyum senang dan keduanya benar-benar melepaskan pelukan mereka. Alya melambaikan tangannya sambil memamerkan senyum manisnya. "Hati-hati suamiku."
Suara ketukan jari yang di adu ke meja menemani suasana hening batin Alya. Dia duduk menunggu suaminya selesai mandi. Sementara pikirannya melayang pada banyaknya pertanyaan akan kebersamaan suaminya bersama Mayang. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Mas Rama bisa basah kuyup? Di mana mobilnya? Dan apa saja yang sudah mereka lakukan sehingga harus pulang terlambat? Mengapa Mas Rama meninggalkannya? Mengapa? "Sayang?" panggil Rama seraya menyentuh pundak Alya. Sang istri pun menoleh dan melihat Rama telah rapih dengan pakaiannya. Alya segera meraih secangkir teh hangat untuk suaminya itu. "Mas, ini di minum dulu tehnya," tawarnya. Rama duduk di samping Alya dengan perasaan tak nyaman. Dia menyesap teh seraya memikirkan perasaan Alya setelah mengetahui bahwa dirinya baru saja pergi bersama Mayang. "Mayang di culik dan di aniaya oleh mantan suaminya."Alya menoleh cepat. "Apa?"Rama menghela nafas sembari menyimpan tehnya. "Wa
Setelah di rasa aman, Rama menghentikan mobilnya di pinggir lapangan yang berjarak sepertiga kilometer dari jalan utama. Lapangan itu masuk ke dalam gang yang di apit pepohonan tinggi. Rama menatap Mayang yang masih ketakutan sambil meredam tangisnya. Dia benar-benar tak tahu kejadian apa yang baru saja Mayang alami, dan siapa pria yang akan menyerangnya itu. Meski begitu, Rama ingin memberikan waktu pada Mayang agar bisa menenangkan pikirannya. "Terima kasih banyak, Mas Rama," ujar Mayang sesegukan. Sorot matanya masih menunjukan ketakutan dan keputusasaan. "Dia mantan suami aku, Mas. Dia pengen culik dan celakai aku," katanya lagi. "Culik? Memangnya kalian ada masalah apa?" Mayang menggelengkan kepalanya. Pertanyaan itu membuat bulir air mata kembali turun dari pelupuk matanya. "Menikahi pria itu adalah kesalahan terbesar aku, Mas. Aku benar-benar menyesal karena sudah mengenalnya. Dia menyakiti aku bahkan sejak kami awal
Alya dan Rama tengah asik berciuman setelah satu Minggu lebih mereka tak bisa bermesraan di rumah selama Martha dan Monik menginap. Tapi kegiatan mereka harus terhenti saat seorang tamu mengacaukannya. "Mengganggu saja!" gerutu Rama. Saat Rama akan melanjutkan, ketukan pintu kembali terdengar. Hal itu terpaksa membuat Rama harus menghentikan kegiatannya bersama sang istri. "Ya, sebentar!" sahut Rama seraya meninggalkan Alya. Sebelum itu, dia kembali mencium istrinya karena belum puas. Rama sempat menggerutu karena mengira itu adalah kurir paket. "Ganggu aja nih." Tapi ucapannya langsung terhenti begitu pintu terbuka. Di hadapannya adalah sosok wanita cantik yang menggerai rambutnya. Mayang membawa paperbag yang di pastikan berisi kain yang akan di jahit. "Mayang?" ucap Rama seraya menyentuh pelipisnya. Dia merasa malu karena dia pikir hanya kurir paket. "Maaf. Aku ganggu waktu kalian, ya?" tanya Mayang melangkah mundur
Di kamarnya, Alya sengaja berbaring membelakangi Rama yang bersiap tidur. Keduanya baru saja membahas tentang kepulangan Martha dan Monik esok hari. "Kamu kapan mau pergi ke pasar kain lagi? Tadi kan kamu belum sempat pergi," ucap Rama mengetahui istrinya belum tidur. Sementara Alya sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia bahkan tak bisa melupakan bagaimana Martha menghina dan merendahkannya di depan Mayang. Kejadian siang tadi sungguh membuat hati Alya hancur menjadi berkeping-kepimg. Alya berusaha menahan suaranya agar tak bergetar. Dia tak mau membuat suaminya khawatir."Mungkin besok," katanya singkat."Besok sore bisa? Mas Rama usahakan pulang sore agar bisa antar kamu ke pasar."Alya menggelengkan kepalanya. Dia tak mampu lagi menahan tangisnya. "Alya?" Sebelum Rama mengetahui kepedihannya, Alya bergegas berlari menuju kamar mandi. "Sebentar," katanya sambil menutup mulutnya. Air matanya sudah mengalir d
Apa yang lebih berat yang di alami seorang menantu ketika mendapati ibu mertuanya tengah memuji perempuan lain di depan suaminya? Bahwa Alya tak bisa melakukan apapun selain berharap pada Rama agar tak goyah mendengar pujian kepada Mayang. "Ma, Alya juga kan bisa bikin bolu. Kalau Mama mau nanti tinggal bilang Alya saja," ucap Rama seolah membela Alya. Siang itu hari Minggu, dan Mayang membawakan bolu buatannya khusus untuk Martha. "Alah, gak enak! Bosen! Itu-itu saja! Berbeda dengan punya Mayang. Bahan-bahannya di buat pake bahan premium. Jadi rasanya lebih enak!" nyinyir Martha. Ucapan itu membuat Rama segera menatap Alya untuk menenangkannya. Dia kemudian melipat korannya, dan menggenggam tangan istrinya. "Hari ini kamu mau belanja kain, kan? Aku temenin kamu, ya?"Alya tersenyum simpul meski hatinya sedang perih. Hanya itu yang bisa dia lakukan di hadapan suaminya. Yaitu, berpura-pura tegar. Kemudian Rama bangkit berdiri seraya menggenggam tangan Alya. Membuat Martha dan Mon
"Alya!" Namun, karena terlalu lelah, Alya tak mendengar panggilan ibu mertuanya itu. Hingga Ibu Mertua Alya mengambil gelas berisi air dan menyiramnya tepat di wajah Alya. Membuat Alya terkejut sambil mencari oksigen. Dia mengusap wajahnya. Air itu mengenai wajah dan pakaiannya. Alya melihat Ibu Mertua dan Monik sedang menatapnya sinis. "Heh, enak-enakan kamu tidur! Liat noh lampu masih gelap belum kamu nyalakan! Dari jam berapa kamu tidur, Hah?!" "Astagfirullah, Bu. Maafin Alya. Alya capek banget habis beberes rumah," ujar Alya dengan keadaan basah. "Capek! Capek! Alesan aja kamu! Kamu emang doyan tidur kan kalo suami kamu kerja? Menerima gaji suami dan kamu leha-leha?" "Alya gak leha-leha, Bu. Alya juga kan kerja di rumah menjahit pakaian. Alya gak cuma mengandalkan uang dari Mas Rama aja."Ibu Martha tak terima setiap kalimatnya di jawab oleh Alya. "Oh, sekarang kamu sombong kalo kamu juga punya penghasilan sendiri? Begitu?" Alya merasa sakit hati. Apapun yang dia lakukan ra