Di ruang tamu Panti Cahaya Kasih, suasana terasa berat. Pak Zainal, pria paruh baya yang selama ini menjadi penjaga panti dan tangan kanan Bu Nara, duduk berhadapan dengan Fauzi. Donatur yang dianggap Pak Zainal, bisa menolongnya. “Terima kasih sudah datang, Pak Zainal,” ujar Fauzi memulai percakapan. Tangannya Pak Zainal gemetar. Pak Fauzi tersenyum tipis. “Saya yang terima kasih, Pak. karena akhirnya Pak Zainal menyempatksn mampir ke kantor saya.""Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pak Fauzi sambil memandang tamu di depannya dengan seksama. Pak Zainal menarik napas panjang. “Pak, saya mohon maaf harus mengatakan ini, tapi situasi panti benar-benar kritis. Kami... kami terancam kehilangan tempat ini.”Alis Pak Fauzi terangkat. “Kehilangan? Apa maksudmu?”Pak Zainal menunduk, lalu menjelaskan semuanya—utang Erwin, ancaman dari dua pria yang datang ke panti, dan risiko kehilangan rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi puluhan anak yatim piatu. “Pak, saya tidak tahu
Rumah kontrakan itu sederhana. Sebuah rumah kecil dengan dua kamar tidur, ruang tamu yang sempit, dan dapur mungil di bagian belakang. Tidak ada halaman luas seperti di panti. Tidak ada suara riang anak-anak yang berlarian. Hanya keheningan yang sesekali dipecahkan oleh suara tangisan Izzam atau helaan napas panjang dari salah satu penghuni rumah.Malam pertama di rumah baru terasa berat bagi Aini. Ia duduk di lantai ruang tamu, memeluk lututnya, menatap kosong ke dinding. Bayangan panti, suara anak-anak, dan semua kenangan yang ia tinggalkan masih menghantuinya. Rumah ini bukan rumahnya. Ia merasa asing, seolah tempat ini tidak bisa menggantikan tempat di mana ia tumbuh besar selama 24 tahun terakhir.Nara sudah berbaring di kamar setelah menyadari ia sudah bukan di tempat tidur biasanya. Rio duduk di kursi kayu di sudut ruangan, menatap diam ke arah Erwin yang duduk dengan kepala tertunduk. Tidak ada yang berbicara selama beberapa menit. Namun, akhirnya, Rio membuka suara.“Kamu ak
"Pak, saya bisa jelaskan ini. Ini semua salah paham. Saya gak kenal wanita ini dan.... ""Kalau gak kenal, kenapa bisa ada di sini? Kamar mandi masjid pula. Kamu gak punya duit buat sewa hotel apa?! Gak kenal tapi udah pelorotin celana!""Benar, bikin maksiat di rumah Allah. Udahlah, kita arak aja lelaki ini! Buka bajunya! Kalau perlu arak sampai kantor polisi!" Seru yang lain saling sahut menyahut. Semua orang sudah mengelilingiku. Mereka semua marah dan bersiap menghajarku karena kepergok berada di kamar mandi masjid bersama wanita yang aku pun gak tahu siapa. Bisa mati konyol aku jika terus memaksa membela diri. Masyarakat yang tengah gaduh tak mungkin aku lawan seorang diri saja. Di dalam kamar mandi, emangnya orang biasanya ngapain? Kalau udah buka celana tandanya emang kebelet. Gak mungkin aku buka warung di kamar mandi, apa lagi buka endors. Ampun, benar-benar warga di sini! "Heh, malah bengong! Cepet!""Oke, oke, saya akan nikahi wanita ini!" Aku merasa tidak punya pilihan
"Dhuha, bangun! Opa kamu datang tuh!" "Ya ampun, Ma, Du baru aja tidur. Masa udah harus bangun lagi. Du ada meeting siang, jadi.... ""Bangun, Opa perlu bicara!" Aku pun langsung melompat begitu mendengar suara ayah dari pihak papaku yang aku panggil opa. Mata ini langsung segar, apalagi Opa Fauzi sudah duduk di depanku. "Maria, bawakan Papa pisang rebus di bawah.""Baik, Pa." Mama pun keluar dari kamar. Tinggal aku berdua opa saja. Tumben sekali opaku masih jam tujuh pagi sudah ada di rumahku. "Kamu ada masalah apa sama Monic?" aku mengernyit. "Oh, Monic, terlalu lebay, Pa. Jajannya banyak. Baru sekali jalan, udah minta dibelikan emas. Memangnya saya juragan?""Baru sekali, coba lagi. Siapa tahu dia berubah." Opaku masih berusaha membujuk. "Kesan pertama itu sangat membekas, Pa. Baru satu kali ketemu udah kapok.""Tapi Opa udah janji mau jodohkan kamu dengan Monic. Begini, perusahaan akan bisa berkembang jika kamu menikahi Monic. Papa Monic dan almarhum papa kamu udah menjodohka
"Lu kenapa gak belain gue tadi?" tanyaku kesal pada Hakim yang sejak kami keluar dari kamar perawatan opa, terus saja tertawa cekikan. "Gue gak mau kena omel opa. Mana berani gue ikut campur." Aku menghela napas kesal mendengar alasannya. "Gue aja berasa kayak mimpi kalau lu udah nikah beneran." "Itu bukan nikah beneran namanya. Buset, gue gak tahu kayak apa nanti opa, mama, dan yang lainnya kalau tahu wanita itu gelandangan dan janda! Anaknya dua pula. Duh, nasibku.... " Hakim menyalakan mesin mobil. "Pikirkan nanti saja yang penting sekarang, kita jemput dulu istri lu ha ha ha.... " aku meninju lengan Hakim yang sudah siap memutar stir. Sepanjang jalan, aku gak tahu mau bicara apa karena aku pun bingung. Alasan apa nanti yang aku ucapkan pada mama, opa, dan yang lainnya. Keluargaku adalah keluarga terpandang. Bahkan opa sudah menyiapkan simpanan warisan yang bisa digunakan sampai anak dan cucu tujuh turunan. Asalkan, semua anak cucunya bisa mengelola usaha dengan baik. "Bil
"Ibu, bajunya bagus sekali. Ibu jadi cantik dan wangi. Hhuumm.... " Anak lelaki kecil itu terus memeluk ibunya dengan erat sambil tersenyum begitu lama. Nampak sekali ia bahagia dan terpesona dengan bentukan ibunya yang baru. Kuakui dengan berganti pakaian dan menumpang sholat di masjid, wajahnya tidak sekucel seperti awal. "Izzam, ikut Om beli mainan yuk! Ibu mau bicara dulu sama Ayah Dhuha." Hakim yang sudah aku beritahu apa tugasnya, langsung bergerak cepat. "Iya, Om." "Adik Izzam siapa namanya, Mbak?" tanyaku. "Intan, Mas.""Umur?" "Setahun setengah." Aku memandangi wajah kecilnya yang tengah terlelap beralaskan kain gendongan. "Mbak mulung, Anak-anak ditinggal berdua saja?" ia mengangguk. "Kasihan kalau dibawa dua-dua. Tapi memang saya mulung gak jauh-jauh, Mas. Saya dua kali pulang kalau pergi mulung dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas." Aku mengangguk paham. "Ayahnya anak-anak ke mana?" "Udah gak ada.""Meninggal?" ia mengangguk. "Usia kamu berapa?" tanyaku lagi.
Benar seperti tebakanku bahwa mamaku terdiam sepanjang jalan pulang ke rumah. Wajahnya nampak tidak senang dengan kenyataan bahwa aku menikahi janda anak dua. Aku pun bingung mau mengatakan apa karena ini semua serba tiba-tiba dan aku belum menyiapkan plan A ataupun plan B. "Tante mau mampir ke mana, biar Hakim anter," kata Hakim mencaurkan suasana. "Pulang saja. Tante mau bicara sama sepupu kamu ini!" Jawab mama ketus. Aku menelan ludah. Aku perhatikan Aini pun sama. Ia tertunduk malu sambil memilih ujung bajunya. "Masih lama gak sih, mobil kamu bau banget ini, Dhu. Apa nggak dicuci?" tanya mamaku sebal. "Dikit lagi Tante. Sabar ya. Iya, ini Dhuha belum sempat cuci mobil semalam, cucian mobilnya udah keburu tutup." "Ck, ya sudah, cepat, cepat!" Lima belas menit berlalu dan kami pun tiba di rumahku. Lebih tepatnya rumah mamaku. Untung saja Izzam dan adiknya masih tidur sampai aku dan Hakim membawa keduanya masuk ke kamarku yang ada di lantai dua. "Kamu di sini dulu, Aini. Jangan
"Buka baju, Mas?" tanyanya dengan wajah polos. Aku terbahak sambil mengibaskan tangan. "Bukan, mana mungkin kita tidur seperti suami istri. Mbak, ini tuh seperti pernikahan kontrak. Imbalannya anak-anak dapat tempat tinggal nyaman, bukan di sini. Saya ada rumah sendiri. Mbak punya suami yang menafkahi. Punya mertua dan keluarga. Saya akan kasih uang juga, meski gak banyak, tapi saya akan tetap tanggung jawab. Gimana?""Baik, Mas. Terima kasih banyak atas kebaikannya. Saya gak tahu bagaimana membalas kebaikan Mas dan juga keluarga Mas.""Kamu cukup lakukan apa yang aku perintahkan. Oke! Oh, iya, satu lagi, kamu gak boleh ikut campur urusan pribadi aku. Paham kan maksudnya?""Baik, Mas." Aku mengangguk sambil tersenyum. Anggap saja aku tengah beramal dengan janda miskin dan juga anak yatim. Pasti Tuhan akan balas kebaikanku dengan kebaikan pula. Aku mematikan lampu kamar, kemudian ikut terlelap. Aini dan dua anaknya masih tetap tidur di bawah. Aku tidak mau merayu meminta mereka pinda
Rumah kontrakan itu sederhana. Sebuah rumah kecil dengan dua kamar tidur, ruang tamu yang sempit, dan dapur mungil di bagian belakang. Tidak ada halaman luas seperti di panti. Tidak ada suara riang anak-anak yang berlarian. Hanya keheningan yang sesekali dipecahkan oleh suara tangisan Izzam atau helaan napas panjang dari salah satu penghuni rumah.Malam pertama di rumah baru terasa berat bagi Aini. Ia duduk di lantai ruang tamu, memeluk lututnya, menatap kosong ke dinding. Bayangan panti, suara anak-anak, dan semua kenangan yang ia tinggalkan masih menghantuinya. Rumah ini bukan rumahnya. Ia merasa asing, seolah tempat ini tidak bisa menggantikan tempat di mana ia tumbuh besar selama 24 tahun terakhir.Nara sudah berbaring di kamar setelah menyadari ia sudah bukan di tempat tidur biasanya. Rio duduk di kursi kayu di sudut ruangan, menatap diam ke arah Erwin yang duduk dengan kepala tertunduk. Tidak ada yang berbicara selama beberapa menit. Namun, akhirnya, Rio membuka suara.“Kamu ak
Di ruang tamu Panti Cahaya Kasih, suasana terasa berat. Pak Zainal, pria paruh baya yang selama ini menjadi penjaga panti dan tangan kanan Bu Nara, duduk berhadapan dengan Fauzi. Donatur yang dianggap Pak Zainal, bisa menolongnya. “Terima kasih sudah datang, Pak Zainal,” ujar Fauzi memulai percakapan. Tangannya Pak Zainal gemetar. Pak Fauzi tersenyum tipis. “Saya yang terima kasih, Pak. karena akhirnya Pak Zainal menyempatksn mampir ke kantor saya.""Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya pak Fauzi sambil memandang tamu di depannya dengan seksama. Pak Zainal menarik napas panjang. “Pak, saya mohon maaf harus mengatakan ini, tapi situasi panti benar-benar kritis. Kami... kami terancam kehilangan tempat ini.”Alis Pak Fauzi terangkat. “Kehilangan? Apa maksudmu?”Pak Zainal menunduk, lalu menjelaskan semuanya—utang Erwin, ancaman dari dua pria yang datang ke panti, dan risiko kehilangan rumah yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi puluhan anak yatim piatu. “Pak, saya tidak tahu
Siang itu, matahari bersinar terik, memanaskan atap genting panti Cahaya Kasih yang dikelola Bu Nara sejak belasan tahun lalu. Anak-anak panti sedang bermain di halaman, riang tertawa sambil berlarian ke sana ke mari. Aini, yang sedang menyuapi bayi kecilnya, Diana, duduk di ruang depan bersama bayi tiga tahun lainnya yang tengah merengek pelan. Meski hari itu tampak biasa saja, suasana damai itu segera berubah saat dua pria asing masuk ke pekarangan panti tanpa permisi.“Permisi, ini panti Cahaya Kasih, kan?” salah satu pria, bertubuh tinggi besar dan bersuara berat, menghampiri Aini yang duduk di dekat pintu masuk.Aini menoleh. Wajahnya berubah heran. "Iya, betul. Ada yang bisa saya bantu, Pak?""Ada apa ini?" Pak Zainal dengan tergopoh menghampiri Aini yang berdiri di depan pintu berhadapan dengan dua orang pria. Wajah pria itu sangat asing. Pria itu tidak langsung menjawab. Ia melirik rekan di sebelahnya, seorang pria berperawakan lebih kecil namun dengan wajah yang tampak ding
Siang itu, rumah sakit dipenuhi ketegangan. Diana dibawa masuk ke ruang persalinan darurat setelah dokter memastikan bahwa ia mengalami komplikasi yang memaksa kelahiran dini. Kehamilannya baru memasuki usia tujuh bulan, tetapi kondisi pendarahan yang terus berlangsung membuat dokter tidak punya pilihan lain.Rio duduk gelisah di ruang tunggu bersama Aini menunggu Erwin yang belum juga tiba. Wajahnya tegang, tangannya terus menggenggam ponsel. Sesekali ia melirik ke arah pintu, menanti kedatangan Erwin, suami Diana, yang sedang dalam perjalanan.“Aini, gimana ini?” bisik Rio dengan suara gemetar. “Kita berdoa saja, Mas. Dokter-dokter di sini pasti akan melakukan yang terbaik. Kak Diana dan bayinya akan baik-baik saja. Kak Diana wonder Woman he he.... ""Saya tahu hati kamu bersih, Ai. Meskipun Diana bersikap jahat sama kamu, tapi kamu tidak membalasnya." Aini yang duduk diam di sudut ruangan memandang lantai dengan tatapan kosong. Ia tahu Diana sering bersikap semena-mena padanya, t
Siang itu, Dhuha tiba di panti asuhan Cahaya Kasih dengan sebuah mobil penuh sembako dan peralatan sekolah. Ini adalah kunjungan ketiga sebenarnya setelah sebelumnya ia mengantar bantuan dari opa Fauzi. Kunjungan kedua, Hakim yang melakukan karena bulan lalu, ia masih galau karena diputuskan Luna. Kemarin ia sudah bertekad untuk tidak terus larut dalam kegalauan karena putus cinta. Rio yang sedang cuti kerja, muncul untuk menyambut Dhuha di depan panti. Rio mengenakan kemeja kasual biru muda dan celana jeans, terlihat ramah dan santai.“Mas Dhuha, ya? saya Rio. Selamat datang lagi di Cahaya Kasih,” sapa Rio sambil menjabat tangan Dhuha dengan hangat.“Iya, Mas. Maaf, tadi saya sempat macet sebentar. Biasanya Mbak Diana yang menyambut,” ujar Dhuha. “Oh, Mbak Diana lagi istirahat di dalam. Katanya tadi sempat kontraksi palsu, jadi disuruh bed rest sama dokter,” jawab Rio sambil tersenyum tipis."Oh, Mbak Diana sedang hamil?""Iya betul. Tidak keliatan ya karena memang perutnya kecil
Belum lagi reda rasa terkejutnya, sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya. Kali ini bukan kontak Luna, tapi mamanya. "Dhuha, maafkan aku. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi. Jarak ini terlalu sulit untukku. Aku tidak ingin membuatmu terus berharap pada sesuatu yang mungkin tidak bisa kupenuhi. Aku harap kamu bisa mengerti. Terima kasih untuk segalanya. Kamu akan selalu menjadi bagian penting dalam hidupku."Pesan itu kembali menghantam dadanya dengan keras. Dhuha membaca ulang kata-kata itu beberapa kali, berharap ia salah paham, berharap ini hanya mimpi buruk yang akan berlalu saat ia membuka mata. Namun, kenyataan tetap tidak berubah. Luna telah memutuskan hubungan mereka.Ia merasakan air mata mengalir tanpa ia sadari. Perasaan kecewa, kehilangan, dan kesepian bercampur menjadi satu. Dhuha ingin membalas pesan itu, ingin memohon pada Luna untuk mempertimbangkan ulang, tetapi ia sadar bahwa tidak ada gunanya memaksakan sesuatu yang tidak lagi diinginkan oleh Luna.Sebagia
Setelah pertemuan yang emosional dengan Luna di kafe, Dhuha memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Perjalanan malam itu terasa berat, pikirannya penuh dengan kekhawatiran dan rencana-rencana yang tak pasti. Namun, ia merasa butuh ruang sendiri untuk mencerna semuanya, jauh dari rumah yang biasanya diwarnai suasana hangat keluarganya. Chat whatsapp darinya pun belum dibuka oleh Luna. Setibanya di apartemen, ponselnya berbunyi. Nama "Mama" muncul di layar. Dhuha menghela napas sejenak sebelum menjawab. Ia meletakkan ransel di gantungan tas, lalu meletakkan bokongnya dengan keras di ranjang. “Halo, Ma,” sapanya dengan suara datar.“Dhuha, kamu di mana, Nak?” suara Maria terdengar cemas. “Mama pikir kamu sudah pulang ke rumah tadi, tapi pas Mama cek kamar kamu, malah kosong. Kata bibik, kamu belum pulang dari sore."“Aku di apartemen, Ma,” jawab Dhuha sambil membuka pintu dan masuk ke ruangannya yang sederhana. “Ada banyak yang harus kupikirkan, jadi aku nggak sempat pulang.”Maria te
Setelah berhasil keluar dari kemacetan menuju kampus, Dhuha meraih ponselnya yang tergeletak di kursi penumpang. Ia menekan kontak “Opa Fauzi” dan menempelkan telepon ke telinganya. Suara dering terdengar sebentar sebelum akhirnya disambut suara lembut sang kakek.“Halo, Dhuha. Kamu sudah sampai panti?”Dhuha tersenyum kecil. “Sudah, Opa. Aku baru selesai mengantar sembako dan alat sekolahnya. Anak-anak panti kelihatan senang sekali. Pak Zainal juga menyampaikan terima kasih untuk bantuan dari Opa.”“Alhamdulillah, Nak. Opa lega dengarnya. Kamu gimana, ada kesulitan?”“Tidak ada, kok. Semuanya berjalan lancar. Oh ya, tadi aku sempat dikenalkan dengan salah satu pengurus panti, namanya Diana karena ownernya Bu Nara sedang sakit. Sepertinya dia yang banyak mengurus anak-anak di sana. Orangnya ramah."Pak Fauzi terkekeh. “Bagus kalau begitu. Diana memang pengurus yang rajin, kata Zainal. Sama ada satu lagi yang biasa mengurus anak-anak di sana, tapi Opa lupa namanya.Opa senang kamu bisa
Suara dering telepon memecah keheningan pagi di ruang kerja Pak Zainal. Pria paruh baya itu menatap layar ponselnya sebelum menjawab panggilan tersebut. Nama “Pak Fauzi” tertera di sana. Majikan kedua orang tuanya yang sangat baik dan juga dermawan. “Halo, Assalamu’alaikum, Pak Fauzi,” sapa Pak Zainal ramah begitu mengangkat telepon.“Wa’alaikumussalam, Zainal. Apa kabar?” jawab suara berat di seberang, terdengar hangat dan penuh keramahan.“Alhamdulillah, sehat. Fauzi sendiri bagaimana? Lama tidak bertemu,” tanya Pak Zainal sembari meneguk secangkir kopi hitam.“Alhamdulillah sehat juga. Orang tua kamu gimana? Masih bekerja di panti gak?""Alhamdulillah bapak ibu masih ada, cuma udah sepuh. Jadi, saya yang bekerja di panti.""Oh, baiklah, titip salam untuk mereka ya. Mm... Begini, Zainal, aku sebenarnya mau tanya. Kalau aku ingin kirim santunan berupa sembako dan alat sekolah ke panti asuhan, sebaiknya aku kirim ke mana? Ada alamat yang bisa dituju?”“Oh, tentu bisa, Pak Fauzi. Lang