Malam itu, Diana duduk termenung di dalam kamar. Tangannya mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara pikirannya terus dihantui pertanyaan yang sama: Ke mana Erwin pergi?Air matanya kembali mengalir. Setiap hari ia mencoba menghubungi ponsel suaminya, tetapi selalu tak tersambung. Diana bahkan mendatangi rumah orang tua Erwin, tetapi mereka juga tidak tahu keberadaannya."Aku tidak mengerti, Kak," kata Aini, duduk di sampingnya. "Mas Erwin seolah menghilang begitu saja. Aku sudah coba tanya teman-temannya, tapi mereka pun tidak tahu."Diana menggigit bibirnya. "Aku takut, Aini. Takut dia tidak akan kembali. Aku tahu aku salah, tapi aku benar-benar mencintainya."Aini menatap madunya dengan kasihan, tetapi ia juga tahu bahwa Diana harus menghadapi kenyataan. "Kak, kita harus tetap realistis. Mungkin Mas Erwin butuh waktu lebih lama untuk memikirkan semuanya. Yang penting sekarang Kak Diana fokus ke kesehatan bayi ini."Diana mengangguk lemah, tetapi hatinya tetap hancur."Apa
Di sebuah rumah sakit sederhana, Diana berbaring lemah di ranjang pasien. Wajahnya pucat, kantung matanya menghitam akibat kurang tidur dan terlalu sering menangis. Aini duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat."Kak, kamu harus makan," bujuk Aini dengan nada lembut. "Demi bayi ini."Diana hanya menggeleng pelan. "Aku tidak punya selera." Tangannya mendorong piring yang ada di tangan Aini. Aini menghela napas panjang. "Kak, ini bukan soal selera. Ini soal hidup bayi Kakak. Kalau Kakak terus begini, dia bisa lahir prematur!"Diana menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Hatinya terasa hampa. Bayangan Erwin masih memenuhi pikirannya, membuatnya semakin tenggelam dalam rasa bersalah dan penyesalan."Aku takut Erwin gak kembali lagi, Ai. Apalagi Erwin meragukan anak ini." Diana mengusap pelan perut buncitnya. "Kak, maaf, saya mau tanya, apa anak dalam kandungan ini bukan anaknya Mas Rio?" Diana terdiam. "Izzam memang anaknya Mas Rio, tapi ini, ini anakku dengan Mas Er
Keesokan paginya, suasana di rumah sakit masih sunyi. Hanya suara perawat yang berlalu lalang dan alat medis yang berbunyi pelan. Diana membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa sedikit lebih ringan dibanding semalam. Ia melirik ke samping dan melihat Erwin yang tertidur di kursi dengan kepala bersandar di dinding. Wajahnya tampak lelah, garis-garis kecemasan masih terlihat jelas.Diana tersenyum tipis. Setidaknya, ia masih di sini.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan Aini masuk membawa sarapan. Ia sedikit terkejut melihat Erwin masih ada di ruangan."Kak, kamu sudah bangun?" tanyanya pelan.Diana mengangguk. "Iya, Ai. Terima kasih ya sudah menjaga aku."Aini tersenyum lalu meletakkan nampan makanan di meja kecil di samping tempat tidur. "Ini bubur ayam dan jus jeruk. Kamu harus makan, Kak."Diana menghela napas, tapi kali ini ia tidak menolak. Ia tahu harus menjaga dirinya demi bayi dalam kandungannya. Ia mulai menyendok buburnya, meskipun lambungnya masih terasa mual."Nanti
Ruangan rumah sakit berubah menjadi kacau. Para perawat bergegas masuk setelah mendengar suara panggilan darurat. Diana terbaring di ranjang, tangannya mencengkeram erat perutnya yang terasa nyeri luar biasa. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya."Bu, tolong tenangkan diri. Kami harus membawa Diana ke ruang bersalin sekarang!" ujar seorang dokter yang baru masuk ke dalam ruangan."Tapi kandungannya baru tujuh bulan, Dok!" seru Aini panik."Kondisinya kritis. Jika tidak segera dilakukan tindakan, nyawa ibu dan bayinya bisa dalam bahaya."Tanpa pikir panjang, para perawat segera mendorong ranjang Diana keluar dari kamar. Ia menggigit bibirnya menahan tangis, hatinya hancur. Semua ini terlalu cepat, terlalu menyakitkan.Di sudut ruangan, Erwin berdiri mematung. Pipinya masih perih akibat tamparan Asma, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia baru saja menghancurkan hati Diana. Ia ingin bergerak, ingin menyusul Diana ke ruang bersalin, tapi kakinya terasa b
Aini menatap Diana dengan pandangan penuh ketidakpercayaan. Kata-kata Diana barusan bagai petir yang menyambar di siang bolong. Meninggalkan Izzam begitu saja? Bagaimana bisa seorang ibu membuat keputusan seperti itu?"Tidak, Kak... Aku tidak bisa menerima ini begitu saja," kata Aini dengan suara bergetar.Diana mendesah, tangannya erat menggenggam jarik yang membungkus tubuh mungil Intan. "Aku sudah terlalu lelah, Ai. Aku ingin memulai hidup baru. Izzam mengingatkanku pada semua kesalahan masa lalu, dan aku tidak mau terus hidup dalam penyesalan.""Tapi, Kak, ini bukan tentang kamu saja! Ini tentang Izzam! Dia masih kecil! Dia butuh ibunya! Kenapa anak-anak yang selalu menjadi korban keegoisan orang tua?""Harusnya kamu tanya pada Rio atau Erwin. Mereka berdua lelaki, tetapi gak berani tanggung jawab. Jangankan tanggung jawab, menampakkan barang hidungnya saja, tidak!"Bu Asma menghela napas berat. Tatapannya tajam mengarah pada Diana, seolah mencoba menembus benteng yang selama ini
Aini memandangi layar ponselnya dengan gemetar. Pikirannya berkecamuk. Erwin sakit? Bahkan sampai pingsan? Ia menoleh ke arah Izzam yang tertidur pulas di pangkuannya. Bocah itu baru saja berhenti menangis setelah seharian merajuk mencari ibunya.Apa yang harus ia lakukan?Di satu sisi, ia masih menyimpan amarah terhadap Erwin—lelaki yang meninggalkan Diana dalam keadaan hamil, lelaki yang bahkan tak pernah peduli pada anaknya sendiri. Tapi di sisi lain, hatinya tetap saja luluh. Seberapa buruk pun Erwin, ia tetap lelaki yang masih berstatua suaminya. Aini menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus memutuskan dengan cepat. Jika Erwin memang dalam kondisi buruk, setidaknya ia harus memastikan keadaannya.Perlahan, ia membaringkan Izzam di kasur dan menyelimutinya. Bocah itu menggeliat sebentar, lalu kembali terlelap.Aini meraih ponselnya dan menghubungi Bu Dian. Tetangga depan rumah yang cukup perhatian pada kondisinya setelah bu Nara wafat. "Assalamualaykum, B
Aini berjalan lunglai menuju ruang perawatan. Kepalanya terasa penuh dengan berbagai pikiran yang bercampur aduk. Erwin, lelaki yang telah menyakitinya begitu dalam, kini terbaring di ambang maut. Haruskah ia benar-benar peduli? Ataukah ini hanya perasaan iba yang tidak seharusnya ada?Saat ia membuka pintu kamar rawat, matanya langsung tertuju pada Erwin yang terbaring dengan wajah pucat. Tatapannya kosong menatap langit-langit. Napasnya masih terdengar berat, sementara suara mesin infus berdetak pelan di sisi tempat tidurnya.Aini menarik kursi dan duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan Erwin, yang terasa dingin dan lemah. Perasaan marah, kecewa, dan kasihan berkelindan di dalam dadanya."Mas," panggilnya lirih.Erwin menoleh perlahan, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku tahu kamu tadi dipanggil dokter,kan, bukan untuk urus administrasi aku? aku nggak punya banyak waktu lagi, ya?"Aini menggigit bibirnya, tak ingin menunjukkan emosinya di depan Erwin. "Kamu harus kuat, Mas. Kamu
Sejak kepergian Erwin, suasana di rumah menjadi lebih suram. Aini berusaha kuat, tetapi kenyataan bahwa ia kini harus mengurus Izzam dan Intan seorang diri sering kali membuatnya hampir menyerah.Izzam, meskipun masih kecil, mulai mengerti bahwa papanya tak akan kembali. Ia sering menangis di malam hari, memanggil nama Erwin dalam tidurnya.Namun, yang lebih mengkhawatirkan bagi Aini bukan hanya anak-anak, melainkan kondisi Diana. Wanita yang pernah menjadi madunya itu seperti kehilangan separuh jiwanya setelah kepergian Erwin.Beberapa hari setelah pemakaman, Diana tiba-tiba datang ke rumah kontrakan Aini, membawa koper kecil bersama Intan yang menangis dalam gendongannya. "Aku ingin tinggal di sini," ucapnya lirih.Aini terkejut. "Kak Diana… tapi rumahmu—""Aku ingin dekat dengan makam Mas Erwin," potong Diana cepat.Tak ingin memperpanjang perdebatan, Aini membiarkannya tinggal. Namun, sejak saat itu, keadaan Diana semakin memburuk. Ia lebih banyak mengurung diri di kamar, jarang
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.