Hari-hari berlalu dalam rutinitas melelahkan bagi Aini. Diana semakin manja dengan alasan kehamilannya, sementara Erwin selalu memintanya untuk bersabar. Aini tak punya pilihan selain mengurus rumah, memasak, dan menjaga Izzam seorang diri, tanpa dibayar. Jika saja aku berani untuk angkat kaki dari sini? Ada satu hal yang mengusik pikirannya belakangan ini. Setiap kali ia pulang dari mengantar Izzam mengaji, selalu ada aneka makanan di meja makan. Kadang nasi kotak lengkap dengan lauk, kadang buah-buahan segar, atau bahkan kue-kue mahal yang tak biasa mereka beli."Kak Diana, banyak sekali makanan sore ini," panggil Aini sambil menunjuk ke arah tumpukan paper bag logo bakery dan juga ada parcel buah. "Ini dari mana, ya?"Diana menoleh sekilas, lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu. Pas aku ke dapur tadi udah ada di situ.""Mungkin dari mama aku. Tapi dia suka gak bilang-bilang anter makanan. Tiba-tiba aja udah di meja teras. Asistennya mungkin yang anter." Aini mengernyit. "Kenapa, Ai?
Di depan ruang UGD, suasana mencekam. Aini duduk di bangku rumah sakit dengan tubuh lemas, tangannya masih gemetar setelah kejadian yang hampir merenggut nyawa Izzam. Diana berdiri di depan suaminya dengan napas berat. Keringat sebesar biji jagung pun keluar membasahi kening dan lehernya. Wanita itu takut dengan pertanyaan suaminya. Tak lama kemudian, tiba-tiba seorang perawat keluar dari ruang operasi. "Pak Erwin?" panggilnya.Erwin segera menghampiri. "Bagaimana keadaan anak saya?""Kami sudah mendapatkan donor darah yang cocok untuk Izzam. Operasi transfusi darah sedang berlangsung," jelas perawat itu.Erwin menghembuskan napas lega. "Siapa pendonornya?"Sebelum perawat menjawab, seorang dokter datang menghampiri mereka dengan ekspresi tenang."Pendonor darahnya adalah Pak Rio. Katanya masih kerabat Pak Erwin." Mata Erwin membelalak. "APA?!"Dokter itu mengangguk. "Ya. Untungnya, Pak Rio memiliki golongan darah yang cocok dengan Izzam, jadi transfusi bisa dilakukan segera."Erwi
Diana perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, dan kepalanya terasa berat. Ruangan putih rumah sakit yang sepi menyambutnya saat ia mulai sadar sepenuhnya.Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya menjadi gelap. Erwin... wajahnya penuh kemarahan... pertanyaan-pertanyaan yang menekan... dan lalu semuanya menghilang dalam kegelapan.Dengan napas masih tersengal, Diana menoleh ke samping dan melihat Aini duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Wajah wanita itu tampak lelah, matanya sembab seperti habis menangis."Aini..." suara Diana serak.Aini menoleh, ragu sejenak sebelum akhirnya mendekat. "Kamu sudah sadar, Kak?"Diana mengangguk lemah. "Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Mas Erwin?"Aini menatapnya dalam diam, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menjawab atau tidak. Namun, Diana menggenggam tangannya dengan lemah."Tolong, Aini... Katakan padaku... Apa yang terjadi setelah aku pingsan?"Aini menghela napas panjang sebelum akhirnya duduk di tepi tempat ti
Erwin menatap Rio tajam, dadanya naik turun menahan emosi. Pertanyaan itu menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang hampir tak tertahankan.Rio menelan ludah. Tangannya mengepal di atas meja, sebelum akhirnya ia menggeleng dengan ragu. "Aku... aku tidak tahu, Erwin. Aku tidak pernah bersama Diana lagi setelah kejadian itu."Erwin mengalihkan pandangannya ke dokter, seakan mencari kepastian lain. Namun, dokter hanya bisa menghela napas panjang. "Untuk memastikan, sebaiknya dilakukan tes DNA setelah bayi lahir."Jawaban itu tidak meredakan amarah di hati Erwin. Sebaliknya, ia merasa semakin dikhianati.Rio menatap Erwin dengan penuh penyesalan. "Aku benar-benar minta maaf, Erwin. Aku tak pernah berniat merebut keluargamu. Aku juga tak menyangka bahwa Izzam adalah anakku."Erwin tertawa sinis. "Tak berniat? Tapi nyatanya, kamu tidur dengan istriku, Mas! Lalu, sekarang Izzam anakmu. Dan ada kemungkinan anak yang dikandung Diana pun juga bukan anakku."Rio hanya bisa diam.Erwin me
Malam itu, Diana duduk termenung di dalam kamar. Tangannya mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara pikirannya terus dihantui pertanyaan yang sama: Ke mana Erwin pergi?Air matanya kembali mengalir. Setiap hari ia mencoba menghubungi ponsel suaminya, tetapi selalu tak tersambung. Diana bahkan mendatangi rumah orang tua Erwin, tetapi mereka juga tidak tahu keberadaannya."Aku tidak mengerti, Kak," kata Aini, duduk di sampingnya. "Mas Erwin seolah menghilang begitu saja. Aku sudah coba tanya teman-temannya, tapi mereka pun tidak tahu."Diana menggigit bibirnya. "Aku takut, Aini. Takut dia tidak akan kembali. Aku tahu aku salah, tapi aku benar-benar mencintainya."Aini menatap madunya dengan kasihan, tetapi ia juga tahu bahwa Diana harus menghadapi kenyataan. "Kak, kita harus tetap realistis. Mungkin Mas Erwin butuh waktu lebih lama untuk memikirkan semuanya. Yang penting sekarang Kak Diana fokus ke kesehatan bayi ini."Diana mengangguk lemah, tetapi hatinya tetap hancur."Apa
Di sebuah rumah sakit sederhana, Diana berbaring lemah di ranjang pasien. Wajahnya pucat, kantung matanya menghitam akibat kurang tidur dan terlalu sering menangis. Aini duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat."Kak, kamu harus makan," bujuk Aini dengan nada lembut. "Demi bayi ini."Diana hanya menggeleng pelan. "Aku tidak punya selera." Tangannya mendorong piring yang ada di tangan Aini. Aini menghela napas panjang. "Kak, ini bukan soal selera. Ini soal hidup bayi Kakak. Kalau Kakak terus begini, dia bisa lahir prematur!"Diana menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Hatinya terasa hampa. Bayangan Erwin masih memenuhi pikirannya, membuatnya semakin tenggelam dalam rasa bersalah dan penyesalan."Aku takut Erwin gak kembali lagi, Ai. Apalagi Erwin meragukan anak ini." Diana mengusap pelan perut buncitnya. "Kak, maaf, saya mau tanya, apa anak dalam kandungan ini bukan anaknya Mas Rio?" Diana terdiam. "Izzam memang anaknya Mas Rio, tapi ini, ini anakku dengan Mas Er
Keesokan paginya, suasana di rumah sakit masih sunyi. Hanya suara perawat yang berlalu lalang dan alat medis yang berbunyi pelan. Diana membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa sedikit lebih ringan dibanding semalam. Ia melirik ke samping dan melihat Erwin yang tertidur di kursi dengan kepala bersandar di dinding. Wajahnya tampak lelah, garis-garis kecemasan masih terlihat jelas.Diana tersenyum tipis. Setidaknya, ia masih di sini.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan Aini masuk membawa sarapan. Ia sedikit terkejut melihat Erwin masih ada di ruangan."Kak, kamu sudah bangun?" tanyanya pelan.Diana mengangguk. "Iya, Ai. Terima kasih ya sudah menjaga aku."Aini tersenyum lalu meletakkan nampan makanan di meja kecil di samping tempat tidur. "Ini bubur ayam dan jus jeruk. Kamu harus makan, Kak."Diana menghela napas, tapi kali ini ia tidak menolak. Ia tahu harus menjaga dirinya demi bayi dalam kandungannya. Ia mulai menyendok buburnya, meskipun lambungnya masih terasa mual."Nanti
Ruangan rumah sakit berubah menjadi kacau. Para perawat bergegas masuk setelah mendengar suara panggilan darurat. Diana terbaring di ranjang, tangannya mencengkeram erat perutnya yang terasa nyeri luar biasa. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya."Bu, tolong tenangkan diri. Kami harus membawa Diana ke ruang bersalin sekarang!" ujar seorang dokter yang baru masuk ke dalam ruangan."Tapi kandungannya baru tujuh bulan, Dok!" seru Aini panik."Kondisinya kritis. Jika tidak segera dilakukan tindakan, nyawa ibu dan bayinya bisa dalam bahaya."Tanpa pikir panjang, para perawat segera mendorong ranjang Diana keluar dari kamar. Ia menggigit bibirnya menahan tangis, hatinya hancur. Semua ini terlalu cepat, terlalu menyakitkan.Di sudut ruangan, Erwin berdiri mematung. Pipinya masih perih akibat tamparan Asma, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia baru saja menghancurkan hati Diana. Ia ingin bergerak, ingin menyusul Diana ke ruang bersalin, tapi kakinya terasa b
Ruangan rumah sakit berubah menjadi kacau. Para perawat bergegas masuk setelah mendengar suara panggilan darurat. Diana terbaring di ranjang, tangannya mencengkeram erat perutnya yang terasa nyeri luar biasa. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya."Bu, tolong tenangkan diri. Kami harus membawa Diana ke ruang bersalin sekarang!" ujar seorang dokter yang baru masuk ke dalam ruangan."Tapi kandungannya baru tujuh bulan, Dok!" seru Aini panik."Kondisinya kritis. Jika tidak segera dilakukan tindakan, nyawa ibu dan bayinya bisa dalam bahaya."Tanpa pikir panjang, para perawat segera mendorong ranjang Diana keluar dari kamar. Ia menggigit bibirnya menahan tangis, hatinya hancur. Semua ini terlalu cepat, terlalu menyakitkan.Di sudut ruangan, Erwin berdiri mematung. Pipinya masih perih akibat tamparan Asma, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia baru saja menghancurkan hati Diana. Ia ingin bergerak, ingin menyusul Diana ke ruang bersalin, tapi kakinya terasa b
Keesokan paginya, suasana di rumah sakit masih sunyi. Hanya suara perawat yang berlalu lalang dan alat medis yang berbunyi pelan. Diana membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa sedikit lebih ringan dibanding semalam. Ia melirik ke samping dan melihat Erwin yang tertidur di kursi dengan kepala bersandar di dinding. Wajahnya tampak lelah, garis-garis kecemasan masih terlihat jelas.Diana tersenyum tipis. Setidaknya, ia masih di sini.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan Aini masuk membawa sarapan. Ia sedikit terkejut melihat Erwin masih ada di ruangan."Kak, kamu sudah bangun?" tanyanya pelan.Diana mengangguk. "Iya, Ai. Terima kasih ya sudah menjaga aku."Aini tersenyum lalu meletakkan nampan makanan di meja kecil di samping tempat tidur. "Ini bubur ayam dan jus jeruk. Kamu harus makan, Kak."Diana menghela napas, tapi kali ini ia tidak menolak. Ia tahu harus menjaga dirinya demi bayi dalam kandungannya. Ia mulai menyendok buburnya, meskipun lambungnya masih terasa mual."Nanti
Di sebuah rumah sakit sederhana, Diana berbaring lemah di ranjang pasien. Wajahnya pucat, kantung matanya menghitam akibat kurang tidur dan terlalu sering menangis. Aini duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat."Kak, kamu harus makan," bujuk Aini dengan nada lembut. "Demi bayi ini."Diana hanya menggeleng pelan. "Aku tidak punya selera." Tangannya mendorong piring yang ada di tangan Aini. Aini menghela napas panjang. "Kak, ini bukan soal selera. Ini soal hidup bayi Kakak. Kalau Kakak terus begini, dia bisa lahir prematur!"Diana menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Hatinya terasa hampa. Bayangan Erwin masih memenuhi pikirannya, membuatnya semakin tenggelam dalam rasa bersalah dan penyesalan."Aku takut Erwin gak kembali lagi, Ai. Apalagi Erwin meragukan anak ini." Diana mengusap pelan perut buncitnya. "Kak, maaf, saya mau tanya, apa anak dalam kandungan ini bukan anaknya Mas Rio?" Diana terdiam. "Izzam memang anaknya Mas Rio, tapi ini, ini anakku dengan Mas Er
Malam itu, Diana duduk termenung di dalam kamar. Tangannya mengelus perutnya yang semakin membesar, sementara pikirannya terus dihantui pertanyaan yang sama: Ke mana Erwin pergi?Air matanya kembali mengalir. Setiap hari ia mencoba menghubungi ponsel suaminya, tetapi selalu tak tersambung. Diana bahkan mendatangi rumah orang tua Erwin, tetapi mereka juga tidak tahu keberadaannya."Aku tidak mengerti, Kak," kata Aini, duduk di sampingnya. "Mas Erwin seolah menghilang begitu saja. Aku sudah coba tanya teman-temannya, tapi mereka pun tidak tahu."Diana menggigit bibirnya. "Aku takut, Aini. Takut dia tidak akan kembali. Aku tahu aku salah, tapi aku benar-benar mencintainya."Aini menatap madunya dengan kasihan, tetapi ia juga tahu bahwa Diana harus menghadapi kenyataan. "Kak, kita harus tetap realistis. Mungkin Mas Erwin butuh waktu lebih lama untuk memikirkan semuanya. Yang penting sekarang Kak Diana fokus ke kesehatan bayi ini."Diana mengangguk lemah, tetapi hatinya tetap hancur."Apa
Erwin menatap Rio tajam, dadanya naik turun menahan emosi. Pertanyaan itu menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang hampir tak tertahankan.Rio menelan ludah. Tangannya mengepal di atas meja, sebelum akhirnya ia menggeleng dengan ragu. "Aku... aku tidak tahu, Erwin. Aku tidak pernah bersama Diana lagi setelah kejadian itu."Erwin mengalihkan pandangannya ke dokter, seakan mencari kepastian lain. Namun, dokter hanya bisa menghela napas panjang. "Untuk memastikan, sebaiknya dilakukan tes DNA setelah bayi lahir."Jawaban itu tidak meredakan amarah di hati Erwin. Sebaliknya, ia merasa semakin dikhianati.Rio menatap Erwin dengan penuh penyesalan. "Aku benar-benar minta maaf, Erwin. Aku tak pernah berniat merebut keluargamu. Aku juga tak menyangka bahwa Izzam adalah anakku."Erwin tertawa sinis. "Tak berniat? Tapi nyatanya, kamu tidur dengan istriku, Mas! Lalu, sekarang Izzam anakmu. Dan ada kemungkinan anak yang dikandung Diana pun juga bukan anakku."Rio hanya bisa diam.Erwin me
Diana perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, dan kepalanya terasa berat. Ruangan putih rumah sakit yang sepi menyambutnya saat ia mulai sadar sepenuhnya.Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya menjadi gelap. Erwin... wajahnya penuh kemarahan... pertanyaan-pertanyaan yang menekan... dan lalu semuanya menghilang dalam kegelapan.Dengan napas masih tersengal, Diana menoleh ke samping dan melihat Aini duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Wajah wanita itu tampak lelah, matanya sembab seperti habis menangis."Aini..." suara Diana serak.Aini menoleh, ragu sejenak sebelum akhirnya mendekat. "Kamu sudah sadar, Kak?"Diana mengangguk lemah. "Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Mas Erwin?"Aini menatapnya dalam diam, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menjawab atau tidak. Namun, Diana menggenggam tangannya dengan lemah."Tolong, Aini... Katakan padaku... Apa yang terjadi setelah aku pingsan?"Aini menghela napas panjang sebelum akhirnya duduk di tepi tempat ti
Di depan ruang UGD, suasana mencekam. Aini duduk di bangku rumah sakit dengan tubuh lemas, tangannya masih gemetar setelah kejadian yang hampir merenggut nyawa Izzam. Diana berdiri di depan suaminya dengan napas berat. Keringat sebesar biji jagung pun keluar membasahi kening dan lehernya. Wanita itu takut dengan pertanyaan suaminya. Tak lama kemudian, tiba-tiba seorang perawat keluar dari ruang operasi. "Pak Erwin?" panggilnya.Erwin segera menghampiri. "Bagaimana keadaan anak saya?""Kami sudah mendapatkan donor darah yang cocok untuk Izzam. Operasi transfusi darah sedang berlangsung," jelas perawat itu.Erwin menghembuskan napas lega. "Siapa pendonornya?"Sebelum perawat menjawab, seorang dokter datang menghampiri mereka dengan ekspresi tenang."Pendonor darahnya adalah Pak Rio. Katanya masih kerabat Pak Erwin." Mata Erwin membelalak. "APA?!"Dokter itu mengangguk. "Ya. Untungnya, Pak Rio memiliki golongan darah yang cocok dengan Izzam, jadi transfusi bisa dilakukan segera."Erwi
Hari-hari berlalu dalam rutinitas melelahkan bagi Aini. Diana semakin manja dengan alasan kehamilannya, sementara Erwin selalu memintanya untuk bersabar. Aini tak punya pilihan selain mengurus rumah, memasak, dan menjaga Izzam seorang diri, tanpa dibayar. Jika saja aku berani untuk angkat kaki dari sini? Ada satu hal yang mengusik pikirannya belakangan ini. Setiap kali ia pulang dari mengantar Izzam mengaji, selalu ada aneka makanan di meja makan. Kadang nasi kotak lengkap dengan lauk, kadang buah-buahan segar, atau bahkan kue-kue mahal yang tak biasa mereka beli."Kak Diana, banyak sekali makanan sore ini," panggil Aini sambil menunjuk ke arah tumpukan paper bag logo bakery dan juga ada parcel buah. "Ini dari mana, ya?"Diana menoleh sekilas, lalu mengangkat bahu. "Nggak tahu. Pas aku ke dapur tadi udah ada di situ.""Mungkin dari mama aku. Tapi dia suka gak bilang-bilang anter makanan. Tiba-tiba aja udah di meja teras. Asistennya mungkin yang anter." Aini mengernyit. "Kenapa, Ai?
Sejak mengetahui dirinya hamil, sikap Diana kembali ke setelan awal. Jika sebelumnya ia cukup mandiri dalam mengurus rumah, kini semuanya berbeda. Ia lebih sering berbaring di kamar, mengeluh lelah, atau sekadar duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Jika sebelumnya, ia masih mau mencuci piring, sekarang sudah tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga apapun. "Aku nggak bisa masak, baunya bikin mual," keluh Diana suatu pagi saat Aini sedang menyiapkan sarapan.Aini yang tengah mengiris sayuran hanya melirik sekilas. "Kalau begitu, aku yang masak saja."Diana tersenyum puas dan kembali bersandar di sofa. Izzam, anaknya yang berusia tiga tahun, berlari ke arahnya sambil membawa mobil-mobilan."Mama, main!" seru Izzam, menarik-narik tangan ibunya.Diana menghela napas panjang. "Izzam, main sendiri dulu, ya. Mama lagi capek."Anak kecil itu merengek, tapi Diana tetap diam. Akhirnya, Aini yang menghampiri dan menggendong Izzam."Sini, Nak. Biar Ibu yang temani main," katanya lembu