"Ada apa ini? Eh, I-ibu." Luna melotot saat mengenali suara wanita yang berteriak-teriak di rumahnya. "Heh, kamu ini istri yang gak tahu diri ya? Suami sakit, gak pernah sekali pun kamu ke sana!" Bu Ami berkacak pinggang. "Sabar, Bu, kita bisa bicara baik-baik!" Ujar bu Mira, menenangkan besannya. "Mana bisa saya sabar melihat menantu gak tahu diuntung seperti anak kamu ini. Udah bikin anak hilang, jadi pengamen. Suami sakit gak peduli, masih ngambil ATM anakku lagi. Kembalikan! Kembalikan!" Luna menelan ludah. "Tidak, Bu, itu adalah hak Luna.""Itu hak istri dan kamu bukan istri, kamu itu nyonya. Gak pernah masak, gak nyapu, gak setrika, semua dibawa ke laundry. Kamu makan, anak kamu gak kamu kasih makan. Ibu macam apa kamu?!" Kali ini bu Mira yang terkejut mendengar ucapan besannya. Bahkan warga yang saat ini sudah berkumpul di depan rumah wanita itu, menjadi tahu semuanya. Karena bu Mira tidak pernah tahu bagaimana kehidupan Luna dengan cucunya karena Luna tidak pernah bercerit
"Halo, Dhu, lo udah sampe Bandung?""Iya, udah. Kenapa, Kim?""Lo sekarang di mana?" "Di apartemen. Kenapa?""Ada nyokap lo nginep di rumah kakek yang di Margahayu. Lo bilang gak, kalau udah pulang ke Indo?""Nggak, nanti aja. Gue gak mau bertemu mama kalau yang diperdebatkan masalah Aini terus. Tapi dalam beberapa hari ini, gue bakalan balik ke Jakarta.""Oh, gitu, iya, gimana juga Mami Maria, ibu yang udah lahirin lo, Dhu. Lo jangan makin membangkang. Pendekatan lo sama mami harus benar-benar lembut biar lo bisa diterima kalau kembali sama Aini.""Gue juga mikirnya gitu, cuma untuk sekarang belom ada niat. Tiga harian lagi mungkin dan kayaknya gue mau menetap di sini saja. Gue mau kerja di sini sambil liat-liatin Aini dari jauh.""Lo gak mau balik ke perusahaan?""Nggak untuk sekarang. Lo bantu urus dulu dah. Katanya Fani mau balik dari Kanada. Lo gak jemput?""Nggak, besok mama yang jemput Fani. Lagian adek gue itu mandiri. Ketemu gue yang ada ribut mulu." "Lu enak ada sodara bia
"Nenek, Bapak sakit ya? Kapan Bapak sembuh?" tanya Aris pada neneknya; ibu dari Anton. Wanita itu dan suaminya tinggal di rumah yang pernah dikontrak Aini untuk sementara waktu, sampai Anton benar-benar pulih. Lagian, Aris adalah cucu lelaki pertama mereka, sedangkan adik dari Anton anaknya perempuan tiga orang. "Doakan bapak lekas sembuh ya. Aris tinggal sama nenek dan mbah kung dulu sampai bapak sembuh." Aris mengangguk paham. Anak kecil itu kembali menyeruput susu kotak yang baru dibelikan neneknya. "Ibu ke mana?" tanya Aris lagi. Bu Ami dan suaminya saling pandang. "Ibu lagi pergi, gak tahu ke mana. Kata ibu, Aris sama Mbahkung dan nenek saja dulu.""Iya, makasih ya Nek. Alis mau sama nenek saja. Kalau sama ibu nanti Alis dimalahin. Sama gak dimasakin. Alis juga gak papa kalau di kampung.""Tapi nanti bapak gak ada temennya kalau Aris ikut Nenek di kampung.""Ya sudah, di sini saja sama bapak deh." Aris pun berjalan masuk ke kamar untuk mengambil mainan. Bu Ami menghela napas.
Amel mendengar suara di luar yang memanggilnya, langsung membuka pintu. Ia baru saja mengganti pakaian, menjadi lebih santai. Setelan piyama bergaris berwarna marun. "Ada apa, Pak?" tanya Amel. "Di depan Ada tamu, Bapak minta tolong, apapun yang Bapak dan ibu katakan, Nak Amel cukup jawab iya. Apapun itu, jawab iya!" Amel mengangguk kaku. "Ayo, Nak, orangnya ada di depan!" Amel pun mengikuti langkah pak Mul. Menyadari kedatangan Amel, bu Ami langsung tersenyum dan menyambut Amel dengan pelukan, tapi tidak dengan wajah kaku Luna. Kakinya bahkan tidak bisa digerakkan karena sebuah kejutan yang tidak disangka-sangka. "Oh, iya, Nak Amel, kenalkan ini Luna. Luna, ini Amel, istri kedua Anton. Ya, kan, Amel?" Amel menatap suami istri itu bergantian, lalu mengangguk. "Bohong, gak mungkin Anton nikah lagi. Dia sibuk mulung sampah di sini. Pasti gak ada wanita yang mau nikah sama dia, kecuali aku!" "Mungkin saja karena poligami diperbolehkan. Ada masalah?" Pak Mul tersenyum dari balik tu
Aini sebenarnya malas pergi ke restoran karena ia ingin menghindari Alex, tetapi karena salah satu karyawan kepercayaaannya resign tiba-tiba, tentu saja di restoran tidak punya pasukan lain. Hingga ia pun harus turun tangan. Anak-anak masih menginap di rumah bu Asma. Wanita itu yang meminta karena ia rindu cucunya. Anak-anak pun sudah terbiasa dengan bu Asma dan Alex, serta beberapa orang keluarga Alex lainnya. Pagi ini, Aini makan tanpa semangat karena rumah sepi tanpa anak-anak. "Makanannya gak dihabiskan, Bu?" tanya bibik. "Nggak, Bi, lagi gak selera makan. Saya mau ke restoran ya.""Baik, Bu. Anak-anak hari ini pulang dari rumah omanya?" tanya bibik lagi. "Saya belum tahu, mungkin saja. Tapi pulang sekolah. Saya juga udah kabari jemputan sekolah untuk tidak perlu menjemput Izzam dan Intan. Ya sudah, saya naik ya, Bik. Mau siap-siap dulu." Aini pun naik ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tadi subuh ia sudah mandi dan sempat berolahraga sebentar sebelum mandi. Begitu tiba di
Dhuha mengusap wajahnya yang tampak lelah. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam, namun pikirannya tak kunjung tenang. Sudah seminggu ini ia berusaha membujuk Aini, istrinya, untuk menerima permintaannya. Ia ingin bekerja di restoran milik Aini, namun istrinya selalu menolak dengan alasan yang sama: “Aku tidak ingin dekat denganmu, Mas, kita sudah berpisah, Mas."Dhuha menarik napas panjang. Ia tahu Aini tidak bermaksud buruk. Restoran yang dirintis Aini sejak empat tahun lalu itu telah menjadi kebanggaannya sebagai seorang wanita dan juga ibuSebagai seorang istri, Aini tidak hanya sukses mengelola restoran, tetapi juga mampu menjaga keharmonisan rumah tangga, meskipun tanpa hadirnya suami. Namun, Dhuha merasa perlu pendekatan lagi dengan Aini agar hubungan mereka kembali baik, meskipun semua berproses. “Aku tidak ingin hanya menjadi penonton saja, ” gumam Dhuha lirih sambil menatap kerja Aini. Tidak lama kemudian, suara langkah kaki Aini terdengar. Wanita itu muncul denga
Langit sore menguning ketika Alex melangkah keluar dari mobilnya di depan sebuah restoran cukup besar bernama Cahaya Senja. Seminggu yang lalu ia berada di Malang dan belum sempat berkunjung ke restoran Aini. Masalah mereka harus segera diluruskan. Alex menarik napas dalam, mencoba meredam kekesalannya. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang Aini dan keputusan yang tak kunjung mereka buat. Kesalahan yang lalu membuat Aini benar-benar menjauh darinya. Bahkan menjawab telepon pun hanya sederhana saja. "Apa dia masih mencintainya?" gumam Alex pelan, suara hatinya dipenuhi keraguan.Ia mendorong pintu restoran, dan aroma masakan rumah yang hangat menyambutnya. Restoran itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati makanan. Di meja kasir, seorang perempuan berkerudung sedang tersenyum ramah melayani pelanggan. Aini.Aini menoleh dan melihat Alex. "Alex? Kamu ke sini? Tumben banget," sapanya lembut, tetapi tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ada senyum
"Alex, apa masalahmu dengan Aini sudah selesai?" tanya Bu Asma sambil menata gelas teh di meja. Sorot matanya tajam namun penuh kasih, khas seorang ibu yang tak ingin melihat anaknya dirundung masalah. Sudah terlampau lama Alex dan Aini mengulur waktu. Seharusnya, kemarin putranya dan Aini menikah. Alex menghela napas panjang. Ia menatap ibunya sejenak sebelum mengalihkan pandangan ke jendela, di mana hujan rintik-rintik mulai membasahi kaca. "Belum, Ma," jawabnya pelan."Belum? Kamu sudah mendekati Aini? Kamu sudah membujuknya? Kamu sudah minta maaf padanya?! cecar bu Asma dengan satu kali tarikan napas. Nada suara Bu Asma meninggi, meski ia berusaha menahan emosinya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Kamu tidak pernah cerita ada masalah apa sebenarnya kamu dengan Aini?"Alex terdiam, rahangnya mengeras. Ia memainkan cincin pertunangan yang melingkar di jarinya. "Pernikahan kami mungkin saja batal." Suara itu sangat pelan, terdengar seperti berbisik. Kata-kata itu jatuh seperti palu me
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.