"Enak aja! Nggak mau lah! Saya mau ajak anak saya jalan-jalan. Ya sudah, permisi!" Aku pun naik ke mobil dan menyuruh Mas Andra melajukan mobilnya. Aku melambai sambil tersenyum manis pada Mbak Nesha. Sengaja, biar ia makin terbakar. Astaghfirullah, ya Allah! Ampuni hamba! Hamba terlalu dalam menaruh kebencian. Namun, jika dibiarkan, bisa saja semakin lama ia akan menggerogoti setiap inci dinding pernikahan kami. Terlebih lagi, Aura tipikal anak yang suka mengadu pada orang tuanya. Mending kalau orang tuanya bener, ini kan somplak! "Mama, kenapa sih suka berantem terus sama mamanya Aura?" tanya Keysha. "Siap yang berantem, Nak? Mama hanya bercanda saja kok sama Tante Nesha," ucapku berbohong. "Oh, gitu ya, Ma? Key kira Mama dan Tante Nesha bertengkar." Aku hanya nyengir dan mengangguk. Benarkah tindakanku ini? "Kenapa bohong, Dek?" tanya Mas Andra sambil berbisik. "Ya gimana lagi? Masa aku harus jujur kalau kita emang berantem? Nanti kalau mereka niru gimana?" Mas Andra hany
[Heh? Kenapa bisa begitu bu ngomongnya? Atas dasar apa?] [Tadi, Bu Nesha update status. Ibu nggak lihat?] [Ya kan saya nggak nyimpannya, Ibu Wina, bagaimana caranya saya melihat statusnya?] Lalu, Bu Wina mengirimkan sebuah tangkapan layar dari status Mbak Nesha yang ternyata lebih dari satu. Sungguh amazing janda satu anak itu! Bukannya ngajak anaknya liburan, malah ngomel di status. Dikira, kalau udah ngomel, bakal ada yang ngajak jalan-jalan, gitu? Status Mbak Nesha:[Tega banget pamer mau jalan-jalan ke anakku. Diajak juga nggak, malah dihina nggak pernah diurus sama mamanya. Bilang juga papanya gak ada, gimana perasaan kalian, kalau anak kalian digitukan] [Lihat saja! Allah itu tidak tidur. Sekarang kamu menghina kami, nanti suatu saat akan kami hina balik kamu] Aku hanya menggelengkan kepala, bingung dengan cara berpikirnya Mbak Nesha itu. Di mana letaknya aku ini pamer? Kalau dia ngeliat aku naik mobil, ya bukan pamer namanya. Kan rumah kami depan-depanan. Astaghfirullah!
"Maaf ya, Ibu-ibu. Saya nggak pernah pamer sama Aura. Juga nggak pernah nuduh Mbak Nesha dengan sebutan pelakor andai dia nggak memulai duluan," ucapku. "Maksudnya apa, Bu Nining?" tanya Bu Wina. "Awal saya kembali ke sini, setelah tinggal di kampung kurang lebih enam bulan, dia di rumah saya bahkan memanggilkan Mas Andra dengan sebutan Papa, pada Aura. Bu Wina, seandainya apa yang menimpa saya ini, menimpa pada Bu Wina, memang baka diam saja?" tanyaku. "Iya juga sih," jawabnya, yang lain pun ikutan berbisik. "Ya kalau saya sih biasa saja, Bu Nining. Namanya juga anak-anak," jawab Bu Isah. Aku mendelik, lalu mendekat ke arahnya yang sibuk memilih kangkung. Apa katanya? Biasa aja? Namanya anak-anak? Wah, salah pemikiran kalau begini. "Jadi begini ya, Bu Isah. Apa Ibu Isah lupa, dengan status sendiri? Bu Isah ini kan janda. Jadi mungkin bisa memaklumi, seandainya sudah punya suami lagi, apa yakin masih bisa bersikap biasa saja?" tanyaku sambil meremas terong yang tengah kupegang.
Jangan terlalu dipikirkan. Jadi, tadi nggak belanja?" tanya Bu Mega. Aku hanya nyengir, lalu menggeleng. Bu Mega pun ikut menggelengkan kepalanya, kemudian memanggil Desi. "Belikan daging, kentang, sama cabai di tukang sayur depan, Des." "Baik, Nyah..." Setelah kepergian Desi, aku masih duduk di meja makan. "Oh iya, Bik Minah mau sampai kapan di kampung, Bu?" tanyaku. "Minggu depan juga balik, katanya. Kamu ketemu waktu itu?" Aku mengangguk. Bik Minah memang sudah mau sebulan tinggal di kampung, sebab anaknya dilarikan ke rumah sakit. Ia terlibat dengan tawuran dan mengakibatkan luka bacok di punggungnya. "Semoga anaknya cepat sembuh. Terakhir dengar sih sudah masa pemulihan. Lukanya panjang dan cukup dalam." "Iya, Nining juga lihat pas lagi di kampung. Tidurnya aja tengkurep. Kadang kalau lagi nggak sadar, suka telentang dan berakhir dengan sakit." "Itu lah, anak jaman sekarang bukannya cari uang yang benar malah ikutan tawuran begitu." Aku mengangguk. Jadi teringat dengan
"Aura di rumah?" tanyaku pada Keysha."Tadi sih Key lihat, lagi mainan boneka di teras pas mamanya nyiram bunga," jawab Keysha. Aku hanya ber-oh ria. Ah, ya, mungkin Mbak Nesha masih marah padaku sehingga tak mengizinkan anaknya untuk main. Tapi, kenapa? Bukan kah seharusnya jangan sampai mencampurkan urusan orang dewasa dengan anak-anak? "Boleh kan, Ma?" "Boleh, dong. Kasihan juga Dedek Ghani sama Shani kalau diajak main terus setiap minggu. Lebih baik di rumah, istirahat sama Papa. Bener kan, Mas?" tanyaku pada Mas Andra. "Eh? Iya, bener yang dibilang Mama. Key, sarapan dulu ya sama Mbak Sinta," ucap Mas Andra sambil memanggilkan Sinta, lalu menggendong Ghani dan membawanya keluar. Ghani memang dekat dengan papanya, sementara Shani terkesan biasa saja. Entah? Biasanya, anak perempuan begitu senang dengan papanya. Usia mereka pas enam bulan seminggu yang lalu, sehingga aku memutuskan untuk memulai memberikan makanan pendamping asi pada mereka. Setelah mencari di google sepanjan
"Ini, Susan W* katanya makasih kemarin kita udah mau dateng." Mendengar nama Susan disebut, aku segera menoleh, lalu memasang wajah judes kala suamiku itu menengok ke arahku. "Kenapa?" "Cari perhatian aja tuh si Susan. Padahal kemarin udah ngucapin terima kasih." Mas Andra yang semua duduk di sofa, kini turun dan duduk di sampingku. "Kenapa? Cemburu?" tanyanya menggoda. "Dih, pede." "Yakin? Dulu kamu cemburu loh sama dia." "Jadi?" "Jadi apa?" "Jadi kamu emang ada apa-apa ya sama dia makanya ngarep aku cemburu?" tanyaku. "Loh? Enggak, kok." "Lah, alasan!" "Kamu, kalau lagi cemburu gini, bikin aku pengen..." Prang! Suara pecahan gelas membuatku menoleh, di sana kulihat Desi tengah menatap kami berdua. Namun langsung membuka wajah. "Maaf, Bu, Pak. Saya nggak bermaksud ganggu. Coba kasih kode dulu, pasti saya nggak bakal ke sini," ucap Desi sambil membereskan pecahan piring dan pergi ke belakang. "Kamu sih, Mas." "Lah kenapa? Konsekwensi lah, punya bos udah nikah." "Tapi
"Key, kamu ke belakang terus panggil Mbak Desi dan mbak Sinta untuk mengambil adek Shani dan Ghani, ya?" "Mama mau ke mana?" tanyanya berusaha mengintip ke luar. "Sayang, Mama tadi minta tolong apa?" "Iya, Ma." "Mama nggak ke mana-mana, cuma ke depan aja. Mama minta tolong ya, Nak?" Keysha mengangguk, lalu berlari menuju dapur tempat Desi dan Sinta berada. Aku pun keluar, dengan menutup pintu tanpa suara. "Ehemmm, ngapain?" Suara dehemanku ternyata membuat Mas Andra dan Mbak Nesha terkejut, tangan Mas Andra yang tadi ada di lengan Mbak Nesha pun segera dilepaskannya. "Ning?" "Mbak Nesha? Ada urusan apa?" tanyaku, berusaha kalem. Jangan sampai ia tahu kalau sekarang aku tengah dikuasai oleh kecemburuan. "Mbak Nining tanya aja ke suaminya. Tadi Mas Andra yang manggil saya, kok. Ya kan, Mas?" tanya Mbak Nesha, sambil menatap Mas Andra. Bukannya menjawab, Mas Andra malah terlihat kebingungan dan mengaruk tengkuk yang kurasa tak benar-benar gatal itu. Kutarik napas, lalu mendeka
Kudorong tangan Mas Andra meski berat, lalu segera menutup pintu. Di dalam taxi, aku menangis. Kenapa peristiwa seperti ini kembali lagi? Apa Mas Andra mengkhianatiku? "Ke mana, Bu?" tanya supir taxi setelah cukup lama mobil berjalan. Aku berpikir sejenak. Sepertinya, pulang menggunakan bis tak efisien mengingat aku membawa Shaniya. Aku takut ia menangis sepanjang jalan, mengingat jauhnya perjalanan. "Kita cari hotel terdekat saja, Pak." Mobil pun berjalan menyusuri jalanan ibu kota yang padat kendaraan ini. Setelah beberapa kali melihat, akhirnya aku memilih menempati hotel bintang empat di kawasan Jakarta Timur ini. "Kembaliannya ambil saja, Pak," ucapku. "Tapi ini kebanyakan, Bu." "Nggak papa." Aku pun turun, lalu mulai menanyakan kamar kosong. Tak kusangka, resepsionis di hotel bagus ini, malah merendahkanku. "Maaf, Bu, yang tersisa hanya deluxe." "Berapa harga permalamnya, Mbak?" "Memangnya, Ibu bisa bayar? Mahal loh, Bu." Aku yang memang tengah emosi, malah semakin t
"Des?" panggilku. "Ah, iya, Bu." Lalu muncul Ibu dengan tergesa-gesa. Beliau langsung berlari ke tempat anak bungsunya itu. Bukannya memeluk, beliau malah memukulnya. "Bagus, ya! Kerjaanmu itu gak jelas! Pergi-pergi terus gak pulang-pulang! Sekalian aja lupain kalau Ibu sudah meninggal!" "Ibu! Kok gitu? Ibu gak boleh meninggal sebelum Kino menikah." "Menikah? Alhamdulillah, Ya Allah! Kamu sudah punya pacar, Kin? Siapa itu?" "Ada, Bu. Nanti Kino kenalkan. Sekarang dia lagi jauh." Jauh? Ah, tentu saja. Kenapa aku berpikir kalau Kino ada hubungan dengan Desi? Ibu pun mengajak Mas Kino ke meja makan dan mengambilkan jus jambu kesukaannya. "Kok pulang nggak ngasih kabar?" "Kan surprise, Bu." "Ya sudah, Ibu tinggal dulu ke kamar. Kamu habis ini istirahat." Ibu menarik tanganku ke kamar, lalu menutup pintu meski tak rapat. "Bu, ngapain?" "Sssst! Diem dulu." Tak lama kemudian, Kino ke depan, menghampiri Desi yang tengah duduk di tangga. Mataku membulat, saat melihat Kino memeluk
Aku tersenyum, dasar mirip bocah! Selesai menyuapi Ghani dan Shani, aku pun mengajak mereka ke kamar Keysha untuk kususui sambil menunggu Keysha pulang sekolah. Kuminta Desi untuk ikut, sambil menjaga Shani yang nanti menunggu giliran kususui. "Pacarmu orang mana, Des?" tanyaku. "Eh? Emmm, gak jauh dari sini kok, Ning.""Aku kenal?" Pelan, Desi mengangguk. Hal itu membuatku makin bingung dengan teka-teki pacarnya Desi ini. Jika aku mengenalnya, lantas ia siapa? "Siapa?" "Ada deh, nanti juga dia datang ke sini." Aku mengangguk saja, tak ingin mengorek lebih dalam lagi. Aku sadar akan privasinya. Jika ia mengatakan akan mengenalkannya padaku suatu hari nanti, maka aku tinggal menunggu saja. Lalu kami bercerita lagi, tentang apapun. Sampai aku tak sadar jika Ghani sudah terlelap. Kupindahkan Ghani ke tempat Shani, lalu Shani pindah ke tempat Ghani untuk kuberi asi. "Nikah itu, enak gak sih, Ning?" tanya Desi tiba-tiba. "Ya ada enaknya, ada gak enaknya. Tinggal gimana kita dan
"Bu Nining tenang saja, Pak Andra ga mungkin nikah lagi. Orang kaya kulkas gitu, siapa yang mau?" "Buktinya, Mbak Nesha mau tuh. Andai Mas Andra ngeladenin, pasti mangsanya itu Mas Andra.""Untungnya Pak Andra gak nanggepin, ya?" Aku mengangguk. Lalu fokus mengambil bayam yang sangat menggoda mataku itu. "Bu Wina juga katanya nemuin duit di tumpukan selimut yang nggak pernah dipake. Pas ditanya, katanya mau buat gugurin kandungannya Bu Nesha." "Apa?" Kami semua terkejut mendengar penuturan Bu Dian. Selama ini, Bu Wina memang lebih dekat dengan Bu Dian, sehingga beliau selalu up to date tentang temannya itu. "G*la, ya? Jadi perempuan itu sudah hamil?" Aku benar-benar tak menyangka dengan berita pagi ini. Mbak Nesha, pantas saja akhir-akhir ini sering pakai baju kegedean, nyatanya ada yang tengah coba ia sembunyikan?Setelah membayar belanjaan, aku pun pamit pulang pada ibu-ibu yang lain. Kasihan Shani dan Ghani yang belum sarapan. "Des, sudah siap sarapan si kembar?" "Sudah, Bu
"Hampir, andai Winto tak melihatmu, mungkin orang itu sudah membawamu pergi.""Ah, nggak sampai hutang budi kok, Mbak. Biasa aja." "Jadi, Nesha yang centil itu, istrimu?" "Mantan istri, Mbak." "Kok, semalem aku nggak lihat kamu? Kapan datangnya?" "Pak Winto datang setelah Ibu pulang. Paling selisih tiga menit Ibu masuk, mobil Pak Winto datang." "Oh, iya. Bagus lah kalau kamu ceraikan dia. Bukan bermaksud mengompori, tapi istrimu itu emang benar-benar, kok! Masa rumah tangga anakku mau dirusakin?" "Ah, masa, Mbak? Benar begitu, Bu Nining?" "Panggil Nining saja, Pak. Iya, begitu lah, Pak." "Ah, kan Bu Nining istrinya Pak Andra, jadi saya harus menghormati. Sebelumnya, saya mau minta maaf kalau kelakuan mantan istri saya keterlaluan ya, Pak, Bu, Mbak." "Nggak papa, Win. Namanya manusia. Tapi untungnya anakku nggak goyah. Mantan istrimu itu pakaiannya sexy banget. Sampe mau muntah aku lihatnya." "Bu...." Mas Andra mengingatkan Ibu, supaya jangan terlalu jauh menceritakan tentang
"Betul." "Ingat, ya. Kalau aku jadi Bu Wina, bukan hanya kupukul kalian, tapi kumusnahkan senj*t*mu dan kucabein punya si perempuan. Jangan main-main sama aku, Mas." "Ish! Ngeri amat, sih?" protes Mas Andra dengan wajah meringis, aku malah jadi ingin tertawa melihatnya. "Makanya, mau gitu, nggak?" "Ya nggak, lah." "Bagus!" "Punya satu aja pusing, apa lagi dua." "Apaaaa?" --Pagi hari. Biasanya aku hanya mengurus Keysha, namun kali ini juga ada Aura. Meski mempunyai Sinta dan Desi, tapi aku tetap akan turun tangan jika itu urusan anak-anak. "Aura, nanti setelah mandi, ambil seragam sekolah di rumah, ya? Biar diantar sama Mbak Desi. Soalnya Kalau bareng sama Keysha, beda arah," ucapku sambil mengolesi salep di bekas lukanya. Memar yang terlihat seperti baru, kupikir hanya bagian lengan saja, tapi ternyata saat Desi membuka bajunya, makin banyak terlihat. Aku sampai bergidik ngeri, kok ada ibu sejahat ini pada anaknya? "Aura, kenapa banyak luka begini?" "Karena Aura nakal, T
Aku membeliakkan mata saat melihat Mbak Nesha terkena tinjuan Pak Winto. Lelaki itu bukannya merasa bersalah telah meninju istrinya malah makin menjadi. Beruntung, semua itu bisa dipisahkan dan akhirnya Pak RT duduk di antara mereka. "Jadi bagaimana ini, Pak Winto? Bu Wina?" "Saya sih sudah nggak mau tahu, Pak RW. Pokoknya saya mau mereka diusir dari sini." "Ma, kan tadi Papa sudah bilang..." "Maaf, Pa, tapi kami menolak kehadiran Papa di tengah-tengah kami lagi," ucap Wandi sambil berdiri di samping Bu Wina, begitupun Meriska. "Begini saja, silakan selesaikan urusannya secara pribadi. Tapi, kami mengharapkan hal seperti ini tak akan terulang kembali, alis Pak Adi dan Bu Nesha pergi dari komplek ini," ucap Bu Dian. "Saya setuju." "Saya juga." Terdengar sahutan dari yang lain. Begitu pula aku dan Mas Andra. Lelaki itu sibuk menggenggam jemariku. "Tapi, Papa mau ke mana kalau nggak di rumah kita, Ma?" "Ya terserah. Pergi saja sama wanita selingkuhanmu itu. Lagi pula, itu rumah
"Mas!" teriak Bu Wina. Namanya wanita, maka akan tetap berperilaku seperti wanita. Di luar tadi, Bu Wina mengatakan takkan mengeluarkan satu tetes pun air mata untuk kedua pasangan zina itu. Nyatanya, kini wajahnya sudah bersimbah air mata. "Mama." Bu Wina merangsek maju, menarik selimut yang digunakan oleh Mbak Nesha untuk menutupi badannya. Saat semuanya tersingkap, aku langsung menyuruh Mas Andra untuk keluar. "Iya, Ning, aku juga takkan melihat." Ibu-ibu lain sudah menjambaki Mbak Nesha, sementara aku masih bingung harus berbuat apa?"Ibu-ibu, jangan main hakim!" teriak Pak RW, sementara Pak RT sudah dalam cengkeraman Pak Satpam. Teriakan Pak RW nampaknya tak dihiraukan oleh ibu-ibu itu, sementara warga lain yang mungkin mendengar suara bising dari rumah ini pun keluar. "Sudah, Bu Wina. Jangan disiksa, nanti kalau dia mengadu pada polisi bagaimana?" "Biarkan saja, Ning! Dasar lakor murahan kamu, ya! Sudah jadi bini kedua, masih aja nggaet suami orang. Sadar woy! Busuk m***
"Sudah kamu hubungi, Mas?" Mas Andra mengangguk. Aku melihat jam di dinding, sudah pukul sebelas malam. Apakah tindakanku ini tak sembrono? Ah, semoga saja tidak. Bismillah, semoga ini adalah titik terang di balik siapa sebenarnya suami Mbak Nesha itu. "Kamu benar melihat Pak RT di sana, Ning?" tanya Bu Mega. Beliau kuberi tahu karena melihatku dan Mas Andra turun dengan tergesa."Iya, Bu. Masa Nining bohong?" Ibu hanya nyengir saja, kemudian ikut kami keluar. Bu Aisyah dan suaminya sudah keluar, Bu Isah, Bu Dian, pun begitu. Kami semua berkumpul di depan rumah Bu Dian. "Memang siapa yang di rumah itu, Bu Nining?" "Suaminya Bu Wina," jawabku sambil berbisik. "Hah? Pak RT?" Aku mengangguk, kemudian kami menoleh saat ada yang baru bergabung. Dia Bu Wina. Aku terkesiap saat melihat di tangannya banyak perkakas. "Sebenarnya aku sudah curiga kalau suamiku ada main sama perempuan tak jelas asal-usulnya itu." Kami semua terperanjat. Niat hati ingin menenangkan dan memberi kesabaran,
"Ma?" "Eh, iya, Sayang?" Aku tersentak saat Keysha memanggilku. "Ayo masuk. Adek Shani bangun." Aku mengangguk, kemudian menuju kamar dan menggendong Shani yang tengah digendong oleh Mas Andra. "Papa, minggu depan ada acara rekreasi sama teman teman sekolah," ucap Keysha seraya mengulurkan selembar kertas yang memiliki cap sekolahan TK. Darul Iman itu. "Tanya Mama dulu, Key, mau nggak?" "Gimana, Ma?" "Harus sama wali murid?" Keysha mengangguk. Aku bimbang. Jika aku ikut, maka kasihan Shani dan Ghani karena kuajak pergi terus. Tapi, tak apa kan? Bukannya itu bagus? "Ke mana rekreasinya?" "Ke taman mini, Ma." Aku mengangguk, lalu terkekeh saat melihat anak kecil itu melompat riang.--"Kamu yakin mau ikut rekreasi?" tanya Mas Andra saat kami hendak bersiap untuk tidur. "Iya, Mas. Sekalian kita jalan-jalan. Nanti ajak juga Desi. Kebetulan, besok pagi Bik Minah datang, kan?" "Iya, sih. Emang hari apa perginya?" "Tuh, kan? Makanya kalau ada surat dari sekolahan begitu, usahak