Hiraya menarik nafas, terbangun. Tangannya berada di atas dada Alaric, membuatnya menelusurinya sementara alam bawah sadarnya masih terlalu banyak mengganggu pemikirannya. Mungkin dia seharusnya pergi, akan sedikit canggung baginya jika dia tetap tinggal.
Namun dia merasakan usapan di punggungnya, lalu tangan Alaric yang masih tetap berada di lengan dan pundaknya. Dan Hiraya sedikit menahan diri untuk bergerak. Lagipula, dia merasa bahwa dia akan terjatuh jika dia berjalan sekarang.
Laki-laki itu dengan begitu murah hati tidak meminta gilirannya tadi malam, dan walaupun dia merasa sedikit tidak enak, Hiraya meyakinkan diri bahwa itu bukan masalah besar. Juga, tadi malam adalah kali pertamanya. Akan sedikit menyesakkan jika dia melakukan segalanya sekaligus.
“Jangan berpikir untuk melarikan diri dariku,” dia memperingatkan pada malam tadi, menggenggam erat tangannya sementara dia berbaring di atasnya. “Aku akan menemukanmu jika begitu.”
Dia tertawa. “Kalau begitu, kau tak perlu takut.”
Hiraya dapat merasakannya menghela nafas, mencium tulang selangkanya sementara dia menyangga diri dengan lengan. Dia memperhatikannya menyingkirkan rambut dari poninya, tersenyum kecil. Kerlap-kerlip di rambutnya telah menghilang, dan dia yakin sekali bahwa riasan yang dia kenakan telah berantakan. Sedikit merah lipstiknya menempel di bibir Alaric.
“Namamu Aya,” mulainya. “Kenapa aku tak pernah mendengar nama Violetta sebelumnya?”
Gadis itu meraih tangannya, menyatukan jemari mereka. “Apa Fernthier adalah nama aslimu?”
Dia tersenyum kecil, menggeleng sebelum turun dan mengecup bibirnya. “Kau selalu mahir bersikap adil,” pujinya. Alaric turun dari atasnya, merengkuhnya dari sisi kirinya. “Aku akan menemukanmu,” janjinya. “Jadi simpan tenagamu dan jangan lari.”
Hiraya tersenyum, menghela nafas, dan secepat dia bergerak, Alaric mengeratkan pelukannya, seolah menyadari bahwa dia akan pergi. Namun dia menyadari bahwa dia takkan bisa berlama-lama disini.
Bahkan dengannya yang tak ingin pergi, hubungan mereka akan menjadi sebuah skandal. Seorang gadis yang belum debut akan dinyatakan tak pantas untuk seorang bangsawan manapun. Hiraya takkan ingin mengganggunya. Walaupun dia akan merasa bersalah untuk itu.
Dia dengan hati-hati menyingkirkan lengannya dari pinggang, meletakkannya di sampingnya sebelum merangkak ke arah pakaiannya. Sedikit kusut — tidak, tidak sedikit, sangat kusut. Namun dia harus tetap menggunakan ini. Setidaknya untuk pagi ini sebelum dia berganti.
Wajahnya memerah ketika melihat celananya yang sedikit basah di bagian tengah, meraih kain tipis untuk menjadi penghalang sebelum mengenakannya.
Dia menarik tali korsetnya dengan susah payah, menimbang jika dia harus membangunkannya untuk membantunya memasang talinya. Namun itu akan menyalahi tujuannya untuk lari. Jadi Hiraya harus bersusah payah mengikatnya.
Dia menoleh ke cermin, mengumpat ketika melihat maskaranya hancur, rambutnya berantakan setelah terlalu sering bergesekan dengan bantal. Ingatan tadi malam membuatnya kembali merah, kuku menggaruk tangannya sendiri dengan gelisah.
Gadis itu menoleh pada sepenjuru ruangan, mengingat bagaimana desahannya memenuhi ruangan.
Dia mungkin takkan kembali kemari. Itu bukanlah masalah yang besar.
Hiraya memperhatikan Alaric yang masih tertidur, seolah tak menyadari bahwa dia telah kehilangan orang di sampingnya. Namun itu takkan menjadi yang dia khawatirkan. Dia akan tetap hidup bahkan jika dia meninggalkannya. Alaric bukan urusannya.
Itu adalah yang terus dia katakan. Ketika dia mengikat rambutnya menjadi satu buntalan. Ketika dia mengangkat roknya agar dapat berjalan dengan baik, menyadari bahwa kaki kotornya telah dibersihkan.
Ketika dia membuka pintu pelayan dan memutuskan untuk tak terlihat dari sana. Ketika dia menoleh sementara bibirnya mengucapkan salam perpisahan sunyi. Ketika dia menutup pintu dan meninggalkannya.
Atau bahkan, mungkin itu terus mempengaruhinya ketika dia berjalan menuju luar gerbang, beberapa orang memperhatikannya karena dia mengenakan gaun pestanya di pagi hari — dia seharusnya mengambil sebuah jubah. Atau mungkin itu karena kakinya yang tak memiliki alas apapun.
Dia menundukkan kepala, sedikit malu ketika seorang anak memperhatikannya. Rumahnya akan berada tak jauh dari blok ini, sebuah tempat terpencil dari kediaman yang awalnya adalah milik ayahnya sebelum diambil oleh pamannya.
Adalah sebuah keberuntungan dimana dia tak perlu berurusan dengan mereka ketika dia berada dalam keadaan seperti ini, walaupun dia merindukan setiap lorong dan ruang rekreasi yang ada di dalam rumahnya. Dia harus tetap hidup di rumah kecil tak jauh di pinggir kota.
“Malam yang menyenangkan?” Hiraya menoleh pada tetangganya, menyiram air bekas ke halaman. “Aku yakin kau akan berhati-hati, Hiraya.”
“Aku akan,” dia meyakinkan. “Terima kasih, Nyonya Wilson.”
Hiraya tak tahu jika dia sudah bersikap berhati-hati. Dia membiarkan Alaric melihat wajahnya, memberikan segelintir nama aslinya. Setidaknya dia tidak membiarkannya melihat Diora untuk menghubungkan asosiasinya dengan putri sang marquess.
Dia bersandar di dinding tepat setelah dia membuka pintu, menyentuh bibir dan tubuhnya sendiri. Seolah semua kenangan yang terjadi malam tadi menyeruak padanya.
Dia sebaiknya mandi. Setidaknya itu akan menghilangkan jejaknya.
Namun bisakah?
Bisakah dia benar-benar membinasakan semua sentuhan yang Alaric berikan ketika itu adalah kali pertamanya?
Bisakah dia melupakan kecerobohannya yang membawanya pada titik dimana dia begitu gelisah?
Hiraya tak memiliki pilihan selain memanaskan air dan menuangkannya ke dalam bak, melepas kembali pakaiannya dan membersihkan riasannya dengan baik kali ini, menyingkirkan sisa-sisa kerlip di rambut dan tubuhnya.
Sebagian dari dirinya berharap bahwa Alaric akan mendapati kerlip di tangan dan rambutnya sulit untuk dihapuskan. Setidaknya ada sebagian dari dirinya yang tak bisa pergi darinya.
Namun tentu saja itu mustahil. Dia tahu itu ketika dia mencelupkan diri ke dalam air. Wangi bebungaan menyeruak di hidungnya. Dia tak dapat mengatakan bagaimana bau Alaric — berbeda dari laki-laki yang ada di sekitar rumahnya. Mungkin karena dia lebih bersih. Mungkin dia membenamkan diri pada wewangian.
Alaric berada di belakangnya, hidung di lehernya sementara tangannya memeluknya erat. Nafasnya terasa berat, Hiraya menyandarkan kepala ke pundaknya, membuat dirinya tersadar tepat ketika kakinya terpeleset dan dia terbenam ke dalam air.
Dia menarik nafas, terengah.
Gadis itu berpegangan pada sisi-sisi bak, mengutuk dirinya sendiri ketika menyadari bahwa dia telah gagal untuk melupakannya. Tapi ini seharusnya berlalu. Ini akan berlalu. Malam itu hanyalah malam yang menjadi sebuah ketidak sengajaan. Dia harus menerima itu.
Jika bukan untuk menghindari perbincangan orang-orang, ini untuk dirinya sendiri. Dia tak perlu untuk berurusan dengan bangsawan yang bisa saja mempertanyakan dirinya. Dia tak ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan Alaric ketika waktunya tiba.
Sudah cukuplah malam itu.
Sudah cukup antara Hiraya dan Alaric.
Dengan pemikiran itu, dia kembali menyandarkan kepala ke ujung bak. Tangannya naik ke bahunya sendiri. Air dan sabun telah menyapu kerlip dari tubuhnya. Dan dia harus menghapus Alaric dari dirinya.
Alaric menarik nafas, mengerang ketika terbangun, matanya segera terbuka ketika rabaan tangan di sampingnya hanyalah kosong dengan selimut yang tersibak. Bahkan ketika dia tertidur tadi malam, ada sebuah perasaan yang memohon padanya untuk terus membuka mata. Bahwa gadis itu akan pergi seperti embun mengucapkan selamat tinggal di bawah sinar matahari. Dan dia benar. “Selamat pagi, Sepupu.” Pangeran itu menoleh, menatap pada sepupunya yang telah menuangkan teh untuk dirinya sendiri, duduk di meja dan kursi sarapannya, kaki tersilang. “Sejak kapan kau ada disini?” “Kau tak senang karena melihatku?” tanya Dimitri, meletakkan cangkirnya. “Atau kau hanya tak senang karena aku bukan yang ingin kau lihat pagi ini?” Dia menghela nafas. Dimitri Fernthier adalah putra sang duke dari Flarevana, yang juga merupakan pamannya — kakak sang ratu. Namun dengan segala kedekatan mereka, Alaric begitu berharap bahwa adik sepupunya itu tak terlalu sering menyelinap masuk ke dalam ruangannya. Teruta
“Aku tak percaya kau membawaku kemari.” Dimitri tertawa, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Para debutante duduk bersama keluarga mereka, beberapa anak memainkan lempar lingkaran dan bola, beberapa melayangkan layangan. Para bangsawan berkumpul dan berbisik, memperhatikan gadis-gadis yang melewati mereka sebelum melanjutkan pembicaraan. Promenade penuh dengan taktik perjodohan — gerakan kipas, pandangan mata, dan senyum penuh hormat. Dia mungkin akan menikmatinya jika itu bukan karena dia terlalu memikirkan malamnya bersama Aya. “Ayolah,” mulai sepupunya. “Aku yakin kau akan menemukannya.” Alaric berdeham, memperbaiki pakaiannya sebelum berjalan mengikutinya. “Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa dia ada?” “Entahlah,” dia membalas. “Aku juga tak yakin sebenarnya — tapi setiap debutante tahun ini akan berada disini. Aku yakin dia juga. Jika dia tak ingin, aku yakin ibunya akan membuatnya berada disini.” Mungkinkah? Dia melihat betapa gelisahnya Aya ketika dia belum me
Sang ratu adalah seorang dengan kesukaan terhadap musik dan anjing, membuat baik Alaric maupun Dimitri duduk di depannya dengan kaku, sementara pangeran itu memperhatikan seekor yang tengah digendong ibunya.“Alaric,” panggilnya, mengusap anjingnya.“Ya, Ibu.”“Bukan kau, Sayangku,” dia meralat. “Aku menamai ini Alaric, lucu bukan?”Dia mendengar kekehan dari Dimitri, yang berusaha meredam tawa di balik cangkir tehnya. Dan untuk sejenak, Alaric tergoda untuk menendang sepupunya tepat di tulang kering. Mungkin itu akan memuaskan kekesalannya.“Aku rasa aku bisa merubah namanya,” ucap sang ratu kembali. “Jika kau tidak bersikap seperti dia yang senang berlari tanpa mendengarkanku. Faktanya, anjingku yang ini adalah yang paling tidak bisa dikendalikan.”“Ibu,” dia berdeham. “Ibu menyakanku dengan anjing milik Ibu?”Sekali lagi, Alaric mendengar tawa teredam dari sepupunya, cangkir teh yang dia genggam bergetar karena menahan setiap hembusan nafas yang ingin di keluarkan keras-keras. Alar
Alaric tak tahu menahu tentang apa yang ingin dibicarakan oleh ibunya dengan sepupunya. Sejujurnya, dia juga tak ingin tahu. Dimitri memiliki sedikit kebebasan sebagai putra sang duke, membiarkan dirinya sendiri berada di dalam gemerlap pesta-pesta dan minuman.Sang pangeran tak memiliki kemewahan itu.Tapi itu memberinya sedikit rasa bersyukur bahwa dia takkan mendapatkan masalah soal itu. Walaupun sebentar lagi dia akan terjerat masalah jika dia tak menemukan Aya.Dia tengah berjalan-jalan di kota, memperhatikan orang-orang lalu lalang. Beberapa gadis dan ibu mereka menuju toko pakaian, beberapa debutante dan peminang mereka berada di kedai teh, bercengkrama ditemani para pendamping.Dia ingin tahu jika ada seorang bangsawan yang mengetuk rumah Aya dan memperkenalkan diri, memberikannya bunga dan pujian demi memenangkan hatinya.Jika dia berada disana, mereka semua akan kalah. Alaric akan memberikannya hadiah gaun dan perhiasan yang lebih berharga dari yang mereka persembahkan. Dia
Diora membuka pintu rumah Hiraya, menghela nafas ketika menyadari bahwa itu tak terkunci. Temannya memiliki sebuah kebiasaan dimana dia lupa untuk menutup pintu rapat-rapat sebelum dia pergi. Gadis itu sangat yakin bahwa dia tengah berada di rumah pamannya, membantu pekerjaan rumah.Atau dia harus mengatakan bahwa Hiraya adalah salah satu pembantu di dalam rumah tersebut. Temannya itu akan kembali ketika sore tiba. Satu-satunya saat dimana dia tak berada disana adalah ketika makan pagi. Dimana yang lain mengambil alih. Namun Hiraya harus tetap berada disana hingga sebelum makan malam nanti.Diora membenci keluarga paman temannya dengan sepenuh hatinya.Waktu telah mencapai pukul lima ketika gadis itu kembali, membuka pintu tanpa mempertanyakan banyak hal, bahkan ketika dia melihat temannya merebahkan diri di tempat
Hiraya memperhatikan Diora yang kini terbaring di ranjangnya, matanya kosong penuh rasa sedih dan penasaran. Dia merasa gagal berempati dengan temannya sendiri, namun dia tak bisa memaksakan dirinya untuk mengatakan bahwa dia mengetahui perasaannya.“Bagaimana kau bisa melakukan itu?” tanya Diora, membuatnya menoleh kembali padanya, bergumam penuh pertanyaan. “Bersikap seolah tak terjadi apapun.”Dia tidak.Sudah semenjak pagi tadi dia menyesali apa yang terjadi bersama Alaric — mencoba menghapusnya dari ingatan dan mengalihkan perhatiannya. Walaupun dia merasa bahwa laki-laki itu menemukannya tepat ketika dia berjalan menuju rumah pamannya.Dia memberikan selamat pada dirinya sendiri ketika berhasil menghindar. Ketika dia tak menggubris pan
Ketika dia membuka mata, Hiraya mendapati dirinya kembali ke taman, lampu-lampu yang temaram menyala di sekitarnya, sementara gemerisik dedaunan berbisik ketika dia berjalan melewatinya.Taman memiliki jalur setapak yang sedikit sempit, namun tak mustahil baginya untuk berjalan sementara dia berada di dalam gaunnya. Dia tak memahami apa yang membawanya kemari, mengernyitkan dahi sementara matanya berusaha melihat melalui lampu temaram.Dia dapat menyadari sebuah ruang terbuka di ujung lorong dedaunan, memperhatikan seorang laki-laki yang berdiri di tengahnya. Pakaiannya hitam, lebih gelap dari rambutnya yang kecoklatan.Ketika dia berbalik, Alaric tersenyum padanya, mengulurkan tangan.Dan Entah kenapa, Hiraya mendapati dirinya menerima uluran itu, membalas senyumannya s
Hiraya tak mengharapkan apapun bahkan hingga esok harinya, dimana dia berjalan kembali ke rumah pamannya, membawa keranjang makanan seperti biasa. Dia berpikir untuk mengenakan tudung hanya agar tak dikenali, namun justru mengurungkan niat.Untuk apa dia menyembunyikan identitasnya?Seharusnya seperti itu, kecuali dia melihat seorang asing berdiri di dekat gerbang, tangannya menggenggam kekang kuda seolah tengah menunggu. Dan Hiraya berdoa bahwa yang ditunggu bukanlah dia.Laki-laki itu menoleh, binar mata berseri ketika melihatnya. “Aya.”Gadis tersebut berjengit, mengingat jelas suara yang memanggilnya tersebut. Dia menoleh pada Alaric, yang menatapnya penuh harap. Dia seharusnya tak menggubrisnya — tepat seperti kemarin. Namun entah kenapa, Hiraya me
Enam tahun kemudianBloomingflame adalah sebuah pedesaan yang sangat sunyi. Begitu sunyi hingga bahkan teriakan Hiraya dapat terdengar malam itu.Sang putri mahkota telah memutuskan untuk menghabiskan masa kehamilannya yang kedua di rumah ibunya, mengulang apa yang Viscountess Clearwing alami selama dia memilikinya.Sang putra mahkota berada di luar, menggendong putra mereka yang dalam diam mengkhawatirkan ibunya.“Dia akan baik-baik saja,” Alaric meyakinkan. “Ibumu adalah orang yang kuat. Dia akan melahirkan adikmu dan segera kembali pada kita.”Vien menganggukkan kepala, namun terus mengeratkan pelukannya pada sang ayah, meneteskan air mata ketika mendengar ibunya berteriak kembali.
Pesta dansa terakhir berada di Flarevana, tepat di kediaman putra sang duke dan istrinya — Dimitri dan Diora Fernthier.Itu berarti bahwa mereka yang diundang akan pergi dan diberikan penginapan selama mereka tinggal untuk pesta dansa tersebut. Termasuk pada putra dan putri mahkota kerajaan mereka.Hiraya mengintip dari jendela kereta mereka, sementara Alaric berada di depannya. Gadis itu tersenyum kecil, sementara suaminya menyentuh tangannya, menggenggamnya erat.“Ini adalah kali pertamamu datang kemari, benar ‘kan?”Dia menganggukkan kepala, tersenyum. “Kau sudah sering kemari?”“Tentu saja,” ucapnya. “Keluarga Fernthier adalah sepupu kita — aku telah menghabiskan
Hiraya dapat merasakan seluruh pasang mata menghadap ke arahnya. Ruang singgasana begitu luas, dan mereka memberikan jalan padanya melalui jalur karpet merah menuju Alaric, bersama dengan sang raja dan ratu yang menunggu di depannya.Tidak.Dia berusaha untuk tidak menyentuh tangannya yang bergetar, sementara sepatu yang membawanya ke arah mereka teredam, menutup gema yang seharusnya ada ketika dia menapaki lantai marmernya.Akan sangat aneh jika dia mundur dan melarikan diri. Namun Hiraya dapat merasakan sesak di dadanya, dia terlalu gugup untuk ini.Berjalan menuju mereka terasa begitu mudah, namun sulit di saat yang sama. Takkan ada kesempatan untuk berbalik ketika dia sudah sampai di ujung sana.Dia akan benar-benar menja
Sepanjang hidupnya, Hiraya tak pernah mengira bahwa dia akan menjadi salah satu dari daftar yang langsung diterima sang ratu ketika dia mengundangnya untuk datang dan minum teh di serambinya.Sang ratu duduk di depannya, menyeruput teh yang disediakan, bersamaan dengan kue yang telah dengan hati-hati Eloise susun di atas meja.“Aku yakin kau memiliki alasan untuk memanggilku kemari, Lady Clearwing,” ucapnya. “Kau takkan mengundangku kemari tanpa alasan.”Hiraya meletakkan cangkirnya, menghela nafas.Dia dan Alaric telah meninggalkan pesta pernikahan Fernthier lebih cepat, tepat setelah mereka menerima dokumen-dokumen dari Sir Phillips. Dan Hiraya telah menghabiskan malam dengan memilah dokumen yang akan diinginkan sang ratu, bersama dengan menyusu
Kediaman keluarga Mistwatcher dipenuhi hiruk pikuk orang-orang, makanan disediakan di meja-meja bertaplak putih, sementara minuman berada di ujungnya.Diora berkeliling dengan gaun pengantinnya, putih bersih dengan pita mengelilingi rambutnya. Gadis itu tersenyum, menerima ucapan selamat dan memberikan terima kasihnya pada tamu-tamu yang datang.Hiraya mengawasinya dari salah satu meja, tersenyum kecil hingga temannya itu mendatanginya, minuman masih berada di tangan.“Lady Fernthier,” sapanya, membuat Diora tertawa, memeluk lengannya erat. “Kau benar-benar sangat bahagia ya?”“Tentu saja,” ucapnya. “Menurutmu dia akan segera melakukannya?”Hiraya merasakan jantungnya berdetak.
Hiraya memperhatikan dirinya di depan cermin, rambutnya telah tersisir dan terlepas dari ikat dan jepit — Eloise telah mundur dari ruangannya dan kembali sementara malam semakin larut.Dia menundukkan kepala, memainkan kalung yang ada di lehernya dan melepasnya, meletakkannya di atas meja riasnya. Bahkan saat itu, dia dapat melihat wajah Alaric yang tersenyum memperhatikannya dari cermin.“Apa apa?” sahutnya, mengetahui bahwa pangeran itu tengah duduk di ranjangnya. “Berhenti memperhatikanku.”Alaric tertawa, berbaring disana walaupun mengalihkan sisi tubuhnya hingga dia masih dapat terus memperhatikannya. “Kau sadar akan pandanganku?”“Setelah terlalu lama, aku akhirnya bisa menyadarinya bahkan ketika aku tak dapat melihat kehadiranmu.”
Diora terdiam sepanjang Hiraya menjelaskan padanya.Keduanya tengah duduk di sebuah bangku, sementara temannya mengusir dua laki-laki yang mengikuti mereka untuk tidak terlalu dekat sebelum duduk bersamanya.Mungkin ini karena mereka dekat. Diora merasa bahwa Hiraya tidak memiliki kekakuan ketika menjelaskan padanya.Penjelasannya hati-hati — namun tidak seperti ibunya yang terlalu berputar dan membuatnya kebingungan. Tapi tetap saja, Diora merasakan panas menjalar di pipinya ketika dia terus melanjutkan penjelasannya.Dan gadis itu pasti menyadari kegundahannya, menghela nafas. “Kita seharusnya tidak membicarakan ini disini,” ucapnya. “Aku seharusnya mengatakan ini di lain tempat.”Ketika dia he
Hiraya telah menduga bahwa Julian telah merubah pikirannya, namun dia tak pernah menduga bahwa Dimitri Fernthier cukup berdedikasi untuk segera meminang gadis itu.Dia dan Alaric tengah memutuskan untuk pergi bersama. Dengan musim yang akan berakhir, begitulah dengan acara-acara sosial mereka. Ini akan menjadi promenade terakhir sebelum semuanya mengucapkan selamat tinggal pada musim ini.Hiraya tengah terduduk di tenda mereka, mengibaskan kipas di hari yang panas ketika dia melihat putra sang duke berjalan ke arah tenda para Mistwatcher. sang marquess dan Julian berdiri untuk menyambutnya.Alaric menundukkan kepala untuk membisikkan sesuatu padanya. “Menurutmu apa yang akan terjadi?”
"Kau benar-benar akan menikah dengan Tuan Fernthier?”Dia memperhatikan Diora yang menundukkan kepala, mengangguk. Dia memahami bahwa gadis itu telah bersama Dimitri Fernthier sepanjang musim ini, dan dengan sedikitnya bangsawan yang mendekatinya, putra sang duke dapat dengan mudah mendapatkan perhatiannya.“Aku menyukainya,” dia mengakui. “Dan aku tahu bahwa dia memiliki perasaan yang sama denganku.”Tentu saja. Semua orang yang mengenal mereka bisa melihat itu. Dan dia merasa bahwa Diora tak perlu tahu tentang apa yang dikatakan oleh Julian — bahkan dia memiliki keraguan seperti itu pada Alaric di hari-hari pertama dia mengenalnya.“Menurutmu,” mulainya lagi. “Kakakku sudah merubah pikirannya?”