Hiraya dapat merasakan seluruh pasang mata menghadap ke arahnya. Ruang singgasana begitu luas, dan mereka memberikan jalan padanya melalui jalur karpet merah menuju Alaric, bersama dengan sang raja dan ratu yang menunggu di depannya.
Tidak.
Dia berusaha untuk tidak menyentuh tangannya yang bergetar, sementara sepatu yang membawanya ke arah mereka teredam, menutup gema yang seharusnya ada ketika dia menapaki lantai marmernya.
Akan sangat aneh jika dia mundur dan melarikan diri. Namun Hiraya dapat merasakan sesak di dadanya, dia terlalu gugup untuk ini.
Berjalan menuju mereka terasa begitu mudah, namun sulit di saat yang sama. Takkan ada kesempatan untuk berbalik ketika dia sudah sampai di ujung sana.
Dia akan benar-benar menja
Pesta dansa terakhir berada di Flarevana, tepat di kediaman putra sang duke dan istrinya — Dimitri dan Diora Fernthier.Itu berarti bahwa mereka yang diundang akan pergi dan diberikan penginapan selama mereka tinggal untuk pesta dansa tersebut. Termasuk pada putra dan putri mahkota kerajaan mereka.Hiraya mengintip dari jendela kereta mereka, sementara Alaric berada di depannya. Gadis itu tersenyum kecil, sementara suaminya menyentuh tangannya, menggenggamnya erat.“Ini adalah kali pertamamu datang kemari, benar ‘kan?”Dia menganggukkan kepala, tersenyum. “Kau sudah sering kemari?”“Tentu saja,” ucapnya. “Keluarga Fernthier adalah sepupu kita — aku telah menghabiskan
Enam tahun kemudianBloomingflame adalah sebuah pedesaan yang sangat sunyi. Begitu sunyi hingga bahkan teriakan Hiraya dapat terdengar malam itu.Sang putri mahkota telah memutuskan untuk menghabiskan masa kehamilannya yang kedua di rumah ibunya, mengulang apa yang Viscountess Clearwing alami selama dia memilikinya.Sang putra mahkota berada di luar, menggendong putra mereka yang dalam diam mengkhawatirkan ibunya.“Dia akan baik-baik saja,” Alaric meyakinkan. “Ibumu adalah orang yang kuat. Dia akan melahirkan adikmu dan segera kembali pada kita.”Vien menganggukkan kepala, namun terus mengeratkan pelukannya pada sang ayah, meneteskan air mata ketika mendengar ibunya berteriak kembali.
Hiraya Clearwing takkan menjadi orang yang mereka harapkan. Mereka takkan menyukai apa yang mereka puji — tidak gaun sutra berkilau dengan brokat, tidak rambut hitam panjang yang berkelip, tidak bibir merah di bawah topeng. Tak ada satupun yang nyata darinya malam ini. Tangannya menelusuri gaun yang dipinjamkan padanya. Beberapa orang pasti telah memperhatikannya, menyadari bahwa beberapa laki-laki datang dan memuji gaun tersebut, meraih tangan yang tertutupi sarung, dan mengecup punggungnya untuk mencoba mengajaknya ke lantai dansa. Tidak. Dia tak bisa melakukan itu, jadi dia menolak, menundukkan kepala. Dia seharusnya dari awal menolak ajakan Diora. Rasa malunya membuncah setiap kali seorang bangsawan datang dan memujinya. Hiraya dia meremas erat minumannya, sesekali meneguk alkohol tersebut, membuatnya sedikit meringis. Mungkin saja dia menunjukkan itu dari topengnya, hingga dua buah jemari menurunkan gelas tersebut menjauh dari wajah. Hiraya mendongak, memperhatikan laki-laki
Selesai satu lagu untuk berdansa, Diora mencari Hiraya. Lantas saja gadis itu langsung melepaskan tangan Alaric dan menarik Diora menuju halaman belakang kediaman earl.Diora tertawa, tangannya menggenggam temannya. Dia menghela nafas ketika menjatuhkan diri ke atas sebuah ayunan, gaun birunya bersinar menyaingi kerlip bintang. Hiraya di sampingnya, duduk dengan hati-hati dan membiarkan sepatunya terlepas. Keduanya menanggalkan topeng mereka masing-masing, dan Hiraya menyentuh wajahnya, tersenyum ketika mengenalinya sekali lagi. “Aku melihatmu berdansa,” dia berkomentar, mengayunkan ayunan ke kiri dan kanan. “Siapa dia? Apa kalian berkenalan?” Gadis itu menghela nafas. “Aku... Aku tak yakin soal itu.” Temannya mengernyitkan dahi, tubuh menegak. “Bagaimana bisa kau tak yakin? Apa kalian menyebutkan nama asli kalian? Aya, ini bisa menjadi kesempatanmu untuk melarikan diri. Kau seharusnya menggunakannya!” Tentu saja. Pertemuannya dengan Alaric bisa saja menjadi kesempatannya. Namun
Hiraya menarik nafas, merasakan bibir Alaric di lehernya. Dia dapat menyadari betapa panas hela nafasnya, setiap ciuman yang mendarat di kulitnya begitu hangat dan membara sementara tangannya mengusap lengannya. Dia bahkan sudah lupa dimana dia meletakkan sarung tangan serta sepatunya — mungkin tertinggal di taman. Dia menutup matanya sejenak. Sulit untuk berpikir ketika– “Alaric!” Dia menyangga tubuhnya dengan kedua lengan, menunduk pada laki-laki itu yang tengah memainkan pahanya, mengecup begitu banyak kulit disana. “Yang tenang, Aya,” tegurnya, tersenyum. “Aku takkan melukaimu.” Namun Hiraya dapat merasakan tangan di atas rusuknya, membuatnya mendongak. Sedikit kerlip terjatuh dari rambutnya, dan bahkan beberapa tersisa pada laki-laki itu. Alaric menyentuh pipinya kembali, mengecup bibirnya sebelum membaliknya, memberikan sentuhan yang sama pada tengkuknya sementara dia dapat merasakan tangannya bermain di kancing gaunnya. Dia menunduk, ragu, teringat akan korsetnya yang beg
Hiraya menarik nafas, terbangun. Tangannya berada di atas dada Alaric, membuatnya menelusurinya sementara alam bawah sadarnya masih terlalu banyak mengganggu pemikirannya. Mungkin dia seharusnya pergi, akan sedikit canggung baginya jika dia tetap tinggal. Namun dia merasakan usapan di punggungnya, lalu tangan Alaric yang masih tetap berada di lengan dan pundaknya. Dan Hiraya sedikit menahan diri untuk bergerak. Lagipula, dia merasa bahwa dia akan terjatuh jika dia berjalan sekarang. Laki-laki itu dengan begitu murah hati tidak meminta gilirannya tadi malam, dan walaupun dia merasa sedikit tidak enak, Hiraya meyakinkan diri bahwa itu bukan masalah besar. Juga, tadi malam adalah kali pertamanya. Akan sedikit menyesakkan jika dia melakukan segalanya sekaligus. “Jangan berpikir untuk melarikan diri dariku,” dia memperingatkan pada malam tadi, menggenggam erat tangannya sementara dia berbaring di atasnya. “Aku akan menemukanmu jika begitu.” Dia tertawa. “Kalau begitu, kau tak perlu taku
Alaric menarik nafas, mengerang ketika terbangun, matanya segera terbuka ketika rabaan tangan di sampingnya hanyalah kosong dengan selimut yang tersibak. Bahkan ketika dia tertidur tadi malam, ada sebuah perasaan yang memohon padanya untuk terus membuka mata. Bahwa gadis itu akan pergi seperti embun mengucapkan selamat tinggal di bawah sinar matahari. Dan dia benar. “Selamat pagi, Sepupu.” Pangeran itu menoleh, menatap pada sepupunya yang telah menuangkan teh untuk dirinya sendiri, duduk di meja dan kursi sarapannya, kaki tersilang. “Sejak kapan kau ada disini?” “Kau tak senang karena melihatku?” tanya Dimitri, meletakkan cangkirnya. “Atau kau hanya tak senang karena aku bukan yang ingin kau lihat pagi ini?” Dia menghela nafas. Dimitri Fernthier adalah putra sang duke dari Flarevana, yang juga merupakan pamannya — kakak sang ratu. Namun dengan segala kedekatan mereka, Alaric begitu berharap bahwa adik sepupunya itu tak terlalu sering menyelinap masuk ke dalam ruangannya. Teruta
“Aku tak percaya kau membawaku kemari.” Dimitri tertawa, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Para debutante duduk bersama keluarga mereka, beberapa anak memainkan lempar lingkaran dan bola, beberapa melayangkan layangan. Para bangsawan berkumpul dan berbisik, memperhatikan gadis-gadis yang melewati mereka sebelum melanjutkan pembicaraan. Promenade penuh dengan taktik perjodohan — gerakan kipas, pandangan mata, dan senyum penuh hormat. Dia mungkin akan menikmatinya jika itu bukan karena dia terlalu memikirkan malamnya bersama Aya. “Ayolah,” mulai sepupunya. “Aku yakin kau akan menemukannya.” Alaric berdeham, memperbaiki pakaiannya sebelum berjalan mengikutinya. “Apa yang membuatmu begitu yakin bahwa dia ada?” “Entahlah,” dia membalas. “Aku juga tak yakin sebenarnya — tapi setiap debutante tahun ini akan berada disini. Aku yakin dia juga. Jika dia tak ingin, aku yakin ibunya akan membuatnya berada disini.” Mungkinkah? Dia melihat betapa gelisahnya Aya ketika dia belum me