Kediaman keluarga Mistwatcher dipenuhi hiruk pikuk orang-orang, makanan disediakan di meja-meja bertaplak putih, sementara minuman berada di ujungnya.
Diora berkeliling dengan gaun pengantinnya, putih bersih dengan pita mengelilingi rambutnya. Gadis itu tersenyum, menerima ucapan selamat dan memberikan terima kasihnya pada tamu-tamu yang datang.
Hiraya mengawasinya dari salah satu meja, tersenyum kecil hingga temannya itu mendatanginya, minuman masih berada di tangan.
“Lady Fernthier,” sapanya, membuat Diora tertawa, memeluk lengannya erat. “Kau benar-benar sangat bahagia ya?”
“Tentu saja,” ucapnya. “Menurutmu dia akan segera melakukannya?”
Hiraya merasakan jantungnya berdetak.
Sepanjang hidupnya, Hiraya tak pernah mengira bahwa dia akan menjadi salah satu dari daftar yang langsung diterima sang ratu ketika dia mengundangnya untuk datang dan minum teh di serambinya.Sang ratu duduk di depannya, menyeruput teh yang disediakan, bersamaan dengan kue yang telah dengan hati-hati Eloise susun di atas meja.“Aku yakin kau memiliki alasan untuk memanggilku kemari, Lady Clearwing,” ucapnya. “Kau takkan mengundangku kemari tanpa alasan.”Hiraya meletakkan cangkirnya, menghela nafas.Dia dan Alaric telah meninggalkan pesta pernikahan Fernthier lebih cepat, tepat setelah mereka menerima dokumen-dokumen dari Sir Phillips. Dan Hiraya telah menghabiskan malam dengan memilah dokumen yang akan diinginkan sang ratu, bersama dengan menyusu
Hiraya dapat merasakan seluruh pasang mata menghadap ke arahnya. Ruang singgasana begitu luas, dan mereka memberikan jalan padanya melalui jalur karpet merah menuju Alaric, bersama dengan sang raja dan ratu yang menunggu di depannya.Tidak.Dia berusaha untuk tidak menyentuh tangannya yang bergetar, sementara sepatu yang membawanya ke arah mereka teredam, menutup gema yang seharusnya ada ketika dia menapaki lantai marmernya.Akan sangat aneh jika dia mundur dan melarikan diri. Namun Hiraya dapat merasakan sesak di dadanya, dia terlalu gugup untuk ini.Berjalan menuju mereka terasa begitu mudah, namun sulit di saat yang sama. Takkan ada kesempatan untuk berbalik ketika dia sudah sampai di ujung sana.Dia akan benar-benar menja
Pesta dansa terakhir berada di Flarevana, tepat di kediaman putra sang duke dan istrinya — Dimitri dan Diora Fernthier.Itu berarti bahwa mereka yang diundang akan pergi dan diberikan penginapan selama mereka tinggal untuk pesta dansa tersebut. Termasuk pada putra dan putri mahkota kerajaan mereka.Hiraya mengintip dari jendela kereta mereka, sementara Alaric berada di depannya. Gadis itu tersenyum kecil, sementara suaminya menyentuh tangannya, menggenggamnya erat.“Ini adalah kali pertamamu datang kemari, benar ‘kan?”Dia menganggukkan kepala, tersenyum. “Kau sudah sering kemari?”“Tentu saja,” ucapnya. “Keluarga Fernthier adalah sepupu kita — aku telah menghabiskan
Enam tahun kemudianBloomingflame adalah sebuah pedesaan yang sangat sunyi. Begitu sunyi hingga bahkan teriakan Hiraya dapat terdengar malam itu.Sang putri mahkota telah memutuskan untuk menghabiskan masa kehamilannya yang kedua di rumah ibunya, mengulang apa yang Viscountess Clearwing alami selama dia memilikinya.Sang putra mahkota berada di luar, menggendong putra mereka yang dalam diam mengkhawatirkan ibunya.“Dia akan baik-baik saja,” Alaric meyakinkan. “Ibumu adalah orang yang kuat. Dia akan melahirkan adikmu dan segera kembali pada kita.”Vien menganggukkan kepala, namun terus mengeratkan pelukannya pada sang ayah, meneteskan air mata ketika mendengar ibunya berteriak kembali.
Hiraya Clearwing takkan menjadi orang yang mereka harapkan. Mereka takkan menyukai apa yang mereka puji — tidak gaun sutra berkilau dengan brokat, tidak rambut hitam panjang yang berkelip, tidak bibir merah di bawah topeng. Tak ada satupun yang nyata darinya malam ini. Tangannya menelusuri gaun yang dipinjamkan padanya. Beberapa orang pasti telah memperhatikannya, menyadari bahwa beberapa laki-laki datang dan memuji gaun tersebut, meraih tangan yang tertutupi sarung, dan mengecup punggungnya untuk mencoba mengajaknya ke lantai dansa. Tidak. Dia tak bisa melakukan itu, jadi dia menolak, menundukkan kepala. Dia seharusnya dari awal menolak ajakan Diora. Rasa malunya membuncah setiap kali seorang bangsawan datang dan memujinya. Hiraya dia meremas erat minumannya, sesekali meneguk alkohol tersebut, membuatnya sedikit meringis. Mungkin saja dia menunjukkan itu dari topengnya, hingga dua buah jemari menurunkan gelas tersebut menjauh dari wajah. Hiraya mendongak, memperhatikan laki-laki
Selesai satu lagu untuk berdansa, Diora mencari Hiraya. Lantas saja gadis itu langsung melepaskan tangan Alaric dan menarik Diora menuju halaman belakang kediaman earl.Diora tertawa, tangannya menggenggam temannya. Dia menghela nafas ketika menjatuhkan diri ke atas sebuah ayunan, gaun birunya bersinar menyaingi kerlip bintang. Hiraya di sampingnya, duduk dengan hati-hati dan membiarkan sepatunya terlepas. Keduanya menanggalkan topeng mereka masing-masing, dan Hiraya menyentuh wajahnya, tersenyum ketika mengenalinya sekali lagi. “Aku melihatmu berdansa,” dia berkomentar, mengayunkan ayunan ke kiri dan kanan. “Siapa dia? Apa kalian berkenalan?” Gadis itu menghela nafas. “Aku... Aku tak yakin soal itu.” Temannya mengernyitkan dahi, tubuh menegak. “Bagaimana bisa kau tak yakin? Apa kalian menyebutkan nama asli kalian? Aya, ini bisa menjadi kesempatanmu untuk melarikan diri. Kau seharusnya menggunakannya!” Tentu saja. Pertemuannya dengan Alaric bisa saja menjadi kesempatannya. Namun
Hiraya menarik nafas, merasakan bibir Alaric di lehernya. Dia dapat menyadari betapa panas hela nafasnya, setiap ciuman yang mendarat di kulitnya begitu hangat dan membara sementara tangannya mengusap lengannya. Dia bahkan sudah lupa dimana dia meletakkan sarung tangan serta sepatunya — mungkin tertinggal di taman. Dia menutup matanya sejenak. Sulit untuk berpikir ketika– “Alaric!” Dia menyangga tubuhnya dengan kedua lengan, menunduk pada laki-laki itu yang tengah memainkan pahanya, mengecup begitu banyak kulit disana. “Yang tenang, Aya,” tegurnya, tersenyum. “Aku takkan melukaimu.” Namun Hiraya dapat merasakan tangan di atas rusuknya, membuatnya mendongak. Sedikit kerlip terjatuh dari rambutnya, dan bahkan beberapa tersisa pada laki-laki itu. Alaric menyentuh pipinya kembali, mengecup bibirnya sebelum membaliknya, memberikan sentuhan yang sama pada tengkuknya sementara dia dapat merasakan tangannya bermain di kancing gaunnya. Dia menunduk, ragu, teringat akan korsetnya yang beg
Hiraya menarik nafas, terbangun. Tangannya berada di atas dada Alaric, membuatnya menelusurinya sementara alam bawah sadarnya masih terlalu banyak mengganggu pemikirannya. Mungkin dia seharusnya pergi, akan sedikit canggung baginya jika dia tetap tinggal. Namun dia merasakan usapan di punggungnya, lalu tangan Alaric yang masih tetap berada di lengan dan pundaknya. Dan Hiraya sedikit menahan diri untuk bergerak. Lagipula, dia merasa bahwa dia akan terjatuh jika dia berjalan sekarang. Laki-laki itu dengan begitu murah hati tidak meminta gilirannya tadi malam, dan walaupun dia merasa sedikit tidak enak, Hiraya meyakinkan diri bahwa itu bukan masalah besar. Juga, tadi malam adalah kali pertamanya. Akan sedikit menyesakkan jika dia melakukan segalanya sekaligus. “Jangan berpikir untuk melarikan diri dariku,” dia memperingatkan pada malam tadi, menggenggam erat tangannya sementara dia berbaring di atasnya. “Aku akan menemukanmu jika begitu.” Dia tertawa. “Kalau begitu, kau tak perlu taku