“Ibu, sedang apa kamu di sini? Kenapa pakaianmu seperti ini?” Zia bertanya untuk meyakinkan penglihatannya.
Napasnya terasa menggebu-gebu. Ia terlalu takut untuk meyakini kalau Ibunya bekerja di rumah bordil itu. Namun, terlihat jelas dari pakaian yang Resa kenakan. Zia berharap ibunya lupa memakai daster atau jaket. Tatapan Zia menjadi tajam, menatap tepat ke arah wajah Resa yang terlihat cemas.
“Zi—Zia, Ibu bisa jelaskan,” ucap Resa seraya berjalan mendekati Zia.
Zia memundurkan langkahnya seolah menjaga jarak dengan Resa. Bukan itu, yang ingin Zia dengar dari ibunya. “Jadi benar, Ibu bekerja di sana!” tunjuk Zia pada rumah bordil.
“Zia ...,” panggil Resa pelan, air matanya tiba-tiba menetes karena merasa sedih anaknya harus mengetahui pekerjaan hinanya.
“Jawab aku, Bu!” Zia berteriak. Tanpa terasa air matanya mengalir deras melihat Resa hanya terdiam. “Kenapa Ibu menangis? Jawab aku, Bu!” teriaknya lagi.
Resa kembali meneteskan air matanya. Ia mendekati Zia agar bisa menenangkan anaknya. Lagi, Zia memundurkan langkah kakinya. Ia enggan disentuh ibunya sendiri.
“Jangan sentuh aku!”
Zia bereaksi kasar saat Resa mencoba meraih tangannya. “Aku tidak percaya, Ibu seperti ini. Ibu tahu apa yang aku alami hari ini?” ucap Zia lirih. Kini, air matanya mengalir makin deras.
“Hari ini, di kampus, aku di bully. Seluruh teman-teman kampusku tahu, kalau Ibu bekerja di rumah bordil. Aku bahkan dikurung di toilet, disiram air. Aku dihina, Bu.” Zia memekik meluapkan kesedihannya.
“Apa? Kamu di bully?” Suara Resa meninggi, ia terkejut mendengar penuturan Zia.
Resa pun mencoba melangkah mendekati Zia lagi, tetapi Zia memundurkan langkahnya lagi. Zia benar-benar menunjukkan rasa sakitnya pada Resa. Resa makin terkejut dengan reaksi anaknya.
“Aku malu, Bu! Bagaimana besok aku harus ke kampus? Bagaimana aku bertemu teman-temanku? Bagaimana kalau mereka terus mem-bully aku lagi?” rintih Zia merasakan sakit di hatinya.
“Kamu tidak usah khawatir, sayang! Ibu akan memindahkan kamu ke kampus lain. Di mana tidak akan ada yang berani mem-bully kamu. Kamu mengerti kan, sayang?” sahut Resa menenangkan Zia.
Sayangnya ucapan Resa malah terasa menambah dalam rasa sakit di hatinya. Zia mencibir dan menatap sinis pada Resa. Ia benar-benar tidak bisa mengerti jalan pikiran Resa.
“Pindah kampus?” tanyanya sinis.
“Bukan itu yang membuat aku sakit hati, tetapi kenyataan bahwa Ibu ternyata benar bekerja di sana!” Zia menjerit sekencang-kencangnya.
Beberapa pengunjung bordil menatap mereka dan ada yang hendak menghampiri mereka. Namun, Resa memberi isyarat agar tak perlu diganggu. Ia hanya bisa diam dan membiarkan Zia meluapkan amarahnya.
“Aku berharap semuanya adalah fitnah, karena yang aku tahu Ibuku adalah orang baik. Ibuku tidak mungkin bekerja di rumah bordil. Yang aku tahu Ibu bekerja di sift malam, tapi.”
Suara Zia seperti hilang, bibirnya tak mampu melanjutkan kalimatnya. Zia merasa kecewa dan sedih yang teramat dalam. Ibu yang selama ini dikenalnya orang yang paling pengertian, ternyata tak seperti dugaannya. Dadanya terasa sesak melihat kenyataan tersebut. Zia pun memutarkan tubuhnya hendak meninggalkan Resa.
“Zia, dengarkan Ibu dulu!” ucap Resa yang berhasil meraih tangan Zia dan berhasil menghentikan langkah kaki Zia. “Kamu pikir, Ibu suka bekerja di bordil?
Resa bergerak maju, lalu berdiri di hadapan Zia dan menatap wajah putri tunggalnya. Namun, Zia memalingkan wajahnya. Ada rasa sakit di hatinya karena Zia tak mau menatap wajahnya.
“Kamu tahu alasan Ibu bekerja di bordil? Ini semua terpaksa. Ibu juga tidak mau bekerja di sana.” Resa menunjuk ke sampingnya, tepatnya menunjuk rumah bordil.
Zia melirik sinis pada Resa. Wajah Resa juga terlihat kecewa karena tanggapan Zia yang seperti menatap hina pada dirinya. “ini semua salah ayahmu! Ayahmu berselingkuh dan menghabiskan semua harta keluarga kita dan menelantarkan Ibu dan kamu.”
Resa seperti tak mau kalah dengan Zia, ia juga meluapkan kekesalannya. Napasnya pun menggebu penuh amarah. Ia tak mau disalahkan.
“Tidak ada yang mau menerima Ibu bekerja, sedangkan Ibu harus menghidupi kamu. Ibu terpaksa menjadi wanita malam di bordil agar bisa menghidupi kamu, memenuhi impian kamu,” suara Resa melemah.
“Lihatlah baju yang kamu kenakan! Tas, sepatu, rumah tempat kamu tinggal serta semua fasilitas yang kamu nikmati. Itu semua hasil kerja keras Ibu bekerja di sana!”
Mendengar penjelasan Resa, membuat Zia makin meradang dan bertambah kecewa. “Itu hanya alasan Ibu untuk membenarkan pekerjaan hina Ibu.” Sinis Zia penuh emosi.
Tiba-tiba, Zia melepaskan tas yang ia kenakan dan melemparkannya di hadapan ibunya. Tak sampai di sana, Zia juga melepaskan jaket yang ia kenakan, kemudian sepatunya serta celana jeans-nya. Untunglah Zia selalu memakai celana strit yang panjangnya selutut sebelum ia memakai celana jeans.
“Ambil itu semua! Aku tidak butuh pemberian Ibu,” ucap Zia tegas, kemudian ia berjalan meninggalkan Resa dan mengabaikan teriakan Resa.
“Zia, Zia! Mau ke mana kamu?”
Resa mengejar Zia yang berjalan cepat, tetapi Zia tidak menghiraukannya. Baru beberapa langkah, Resa mendengar seseorang memanggilnya. Resa memilih menghampiri orang yang memanggilnya dan mengurungkan niatnya untuk mengejar Zia. Zia pun menoleh ke belakang, ia merasakan kalau ibunya tak terdengar suaranya.
“Ternyata Ibu lebih memilih pekerjaan hinanya dari pada aku,” lirih Zia saat melihat Resa masuk ke rumah bordil.
**
Zia terus berjalan melangkah tanpa alas kaki. Tubuhnya mulai merasakan kedinginan karena ia hanya mengenakan kaos pendek dan celana strit selutut. Namun, hatinya terasa panas karena emosi dan kecewa memenuhi ruang hatinya.
“Aku harus pergi ke mana?” guman Zia yang tanpa sadar sudah berjalan jauh dari rumah bordil.
Tiba-tiba Zia tersenyum saat menoleh ke arah samping. Ada pantai dengan pemandangan malam yang indah. “Aku tidak tahu kalau aku sudah berada di pantai.”
Zia melangkah ke tepi laut. Ia memandangi ombak malam yang menggulung ke lautan. Angin malam meniupkan suhu dingin yang menusuk kulit. Ia harus meluapkan rasa kecewanya.
“Aaa ....”
Zia berteriak sekencang-kencangnya menghadap lautan. Tak cukup satu teriakan. Zia terus berteriak berkali-kali untuk meluapkan kekecewaannya. Zia tak peduli jika ada orang yang terganggu dengan teriakannya. Hanya cara tersebut yang mampu mengurangi rasa sesak di hatinya.
“Hei, berisik sekali! Siapa itu?” Terdengar suara bariton dengan nada setinggi 10 oktaf, hingga mengejutkan Zia.
Zia menoleh ke belakang untuk mengetahui pemilik suara tersebut. Wajahnya berubah cemas saat melihat pria tinggi mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam. Dari bahan baju dan celananya terlihat kalau lelaki itu adalah orang kaya. Zia terus menatap lelaki asing yang sama sekali tidak dikenalinya.
“Hei, anak kecil! Di mana orang tuamu? Kenapa kamu berkeliaran malam-malam begini? Apalagi dengan pakaian seperti itu? Masuk angin baru tahu rasa!” seru lelaki itu menatap heran pada Zia.
“Memangnya kenapa? Terserah aku mau ke mana pun.”
Zia membalas teriakan lelaki di hadapannya. Sebenarnya itu adalah teriakan pelepasan kekecewaannya, karena ia merasa perlu meluapkan kekecewaannya. Lelaki itu adalah lawan yang pas untuk sasarannya karena berani mengusiknya.
Namun sayang, tiba-tiba hujan datang tanpa diundang. “Ah menyebalkan, kenapa harus turun hujan di saat seperti ini,” keluh Zia kesal.
Tiba-tiba lelaki itu menarik tangan Zia untuk mencari tempat berteduh. Sayangnya, lokasi pantai itu jauh dari tempat pemukiman dan tak ada tempat untuk berteduh. Indera penglihatannya tertuju pada mobil mewah miliknya yang terparkir tak jauh dari pantai. Ia langsung menarik Zia menuju mobilnya.
“Cepat masuk ke mobilku!” perintah lelaki itu setelah membuka pintu mobil mewah miliknya.
Zia terkejut panik karena lelaki itu mendorong paksa tubuh Zia masuk ke dalam mobil. Zia cemas. Kemudian ia berubah lega, karena lelaki itu ternyata memilih duduk kursi depan, sedangkan Zia berada di kursi belakang.
“Kenapa kamu membawaku ke sini?” tanya Zia cemas saat ia menyadari, saat itu hanya berdua di dalam mobil. Apalagi saat malam hari dan turun hujan deras.
“Lalu, aku harus membiarkan kamu sendirian dan basah kuyup!” sahutnya sebal. Wajah lelaki itu terlihat kesal karena pertanyaan konyol Zia.
“Tenang saja! Wajahku ini memiliki tampang menakutkan, tapi aku tidak pernah menyakiti wanita, terutama anak kecil,” ucap lelaki itu seraya membuka laci di samping kemudinya.
“Aku bukan anak kecil, Paman!”
“Aku bukan anak kecil, Paman!” protes Zia kesal saat lelaki itu menyebutnya anak kecil.Lelaki itu seperti mengabaikan ucapan Zia. Ia fokus dengan aktivitasnya mencari benda di dalam laci. “Untung aku selalu membawa ini ke mana pun,” gumannya seraya mengeluarkan benda seperti penutup botol wine.“Tolong ambilkan paper bag di sampingmu!” pinta lelaki itu pada Zia seraya menunjuk paper bag berwarna putih di samping Zia.Zia menurut dan memberikan paper bag yang dimaksud. Wajahnya masih memasang tatapan tak suka. Tatapannya berubah penasaran dengan isi paper bag itu karena wajah lelaki itu terlihat sumringah. Sebuah box berwarna putih dan isinya adalah sebuah botol berwarna hitam pekat.“Itu apa, Paman?” tanya Zia penasaran dengan botol berwarna hitam tersebut.“Ini adalah wine. Minuman ini bisa menghangatkan tubuhmu agar tubuhmu tidak kedinginan,” jawab lelaki itu, lalu menenggak cairan dari dalam botol tersebut. “Anak kecil tidak boleh meminum ini!”Lelaki itu menegaskan ucapannya kar
Lima tahun kemudian setelah kejadian cinta satu malam Sean dan Zia. Pagi hari sekali, Sean sudah berkutat di depan meja kerjanya, tatapan wajahnya sangat serius. Wajah tampannya seperti tak memudar sejak lima tahun yang lalu, saat bertemu dengan Zia. Tiba-tiba map yang sedang diperiksanya menyentuh kotak bening yang berada di samping kanan mejanya. Gerak tangannya langsung tehenti, begitu juga perhatiannya teralihkan pada benda kotak kecil berukuran 5 x 5 cm.Di dalam kotak itu terdapat ikat rambut berwarna merah muda. Sean membuka tutup kaca tersebut dan membukanya, kotak bening itu adalah tempat kotak perhiasan. Entah kenapa, ia meletakan ikat rambut di sana? Pastinya ikat rambut itu berharga untuknya.“Di mana kamu, anak kecil?” guman Sean sembari memandangi ikat rambut tersebut.Pikirannya langsung menelusur kejadian lima tahun lalu saat ia bertemu dengan Zia. Entah apa yang ia rasakan saat itu, hatinya merasa terpaut dengan Zia, yang ingat sebagai anak kecil. “Aku bahkan tidak ta
Sadin, asistennya Sean memang selalu bisa diandalkan. Siang hari sebelum makan siang, Zia sudah datang bersama editor yang menaunginya. Ia pun langsung meminta keduanya yang sudah berada di depan ruang kerja Sean untuk masuk ke ruang kerja Sean.“Silahkan masuk, Nona! Tuan Sean sudah menunggu di dalam,” ucap Sadin ramah seraya membukakan pintu ruang kerja Sean.Dengan langkah gugup, Zia melangkah masuk ke dalam ruangan Sean. Zia sendiri belum mengetahui wajah Sean, karena editornya yang memberi kabar kalau Zia mendapatkan tawaran menulis biografi seorang CEO. Sadin mengekori langkah Zia dan editornya tersebut.“Tuan, Penulis Zia dan editornya sudah sampai,” ucap Sadin tetap ramah. “Terima kasih, Pak Sadin. Kamu boleh keluar!” jawab Sean yang duduk membelakangi meja kerjanya.Sadin menurut keluar ruangan Sean. Sayangnya perbuatan Sean tadi, memberikan kesan tidak baik untuk Zia. Yang tersirat dalam pikiran Zia, sikap CEO di hadapannya tidak sopan. Wajah Zia tampak ragu untuk menjadi p
Indera penglihatan Zia menaik karena panik. Sedetik saja, kedua netranya langsung bertemu dengan Sean. Untung lelaki itu langsung memutuskan kontak mata dengannya. Sean menoleh pada Risma. Tampaknya lelaki itu khawatir Zia akan mengalami kesulitan bernapas. Memang benar, gadis itu menahan napasnya saat bertatapan langsung dengannya. Bahkan gadis itu merasa bibirnya terasa terkunci.“Baiklah kalau begitu. Tujuan saya mengundang Nona Zia dan Nona Risma untuk menandatangani kontrak,” ucap Sean diikuti senyuman ramahnya.Namun, untuk Zia ucapan lelaki itu malah membuat dirinya terkejut dan panik, bahkan tangannya terlihat bergetar. Zia refleks bersuara karena sangat terkejut, “Secepat itu?” cetusnya hingga membuat Sean dan Risma menatapnya heran. “Maksudku lebih cepat lebih baik.” Zia langsung menjawab asal untuk menutupi rasa paniknya diakhiri tawa garing.Terdengar pintu ruangan kerja Sean terbuka. Terlihat pak Sadin memasuki ruangan Sean dengan membawa dua buah map. Map tersebut dibe
Reaksi Zia mengejutkan seluruh ruangan itu. Risma bahkan sampai memukul lengan Zia keras. Menurutnya reaksi penulisnya bereaksi berlebihan. Tentu saja, gadis itu protes. “Kak, aku tidak mau tinggal satu rumah dengan laki-laki yang tidak aku kenal,” suara Zia tegas, kemudian ia menatap tajam pada CEO di hadapannya. “Jangan mentang-mentang Tuan Sean ini CEO! Anda kira saya wanita murahan!” Sean yang mendapatkan cercaan Zia hanya tersenyum dan tertawa kecil. Ekspresi marahnya makin terlihat menggemaskan di matanya. Cepat-cepat ia mengakhiri tawanya, gadis itu makin membulatkan matanya dan menggertakkan giginya. “Tenanglah, Penulis Zia! Anda pikir saya ini lelaki cab*l?” Sean berusaha keras menahan tawanya. Gadis itu kebingungan. Emosi Zia mendadak turun, ia menoleh pada Risma yang sama kebingungan dengannya. Lantas, ia menatap kembali pada Sean. “Alasan saya kenapa meminta Penulis Zia untuk tinggal di rumah saya, agar mempermudah proses interview dengan saya. Pastinya Anda tahu kala
Tubuh Zia terasa melemas, tetapi ia tak mampu melawan. “Pak bolehkan saya menelepon editor saya dulu, sebelum saya memberikan ponsel saya?” Pak Sadin terlihat mengangguk. “Tentu saja, Nona!” jawab pak Sadin ramah. “Terima kasih, Pak,” ucapnya ramah, kemudian tangannya langsung membuka ponsel miliknya dan mencari nomor Risma dan ditekannya tulisan panggil. “Hallo, Kak Risma. Kak kenapa nggak bilang kalau ponselku nantinya disita?” keluh Zia pada Risma tanpa menyapanya dahulu saat sudah tersambung. “Kalau aku bilang, kamu pasti makin ngeluh dari malam hari sampai pagi. Terus kamu tidak akan bisa tidur, nanti bangunmu kesiangan,” sahut Risma dari balik telepon. Gadis itu menarik napas panjang. Ia tak bisa menyalahkan tindakan editor, sekaligus sahabatnya. Memang ucapan Risma benar, jika Zia sedang kesal ia akan kesulitan untuk tidur dan selalu bangun kesiangan. “Kamu nggak perlu khawatir dengan ayahmu! Aku sudah menengoknya dan mengatakan kalau kamu ada project menulis di luar kot
Tubuh Zia mematung dan tak bisa bersuara. Ia hanya bisa memandangi tubuh Asti yang berjalan cepat meninggalkan dirinya. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tetapi Zia bingung hendak bertanya pada siapa. Zia pun memilih masuk ke kamar yang ditujukan untuknya. Kedua netra Zia membulat sempurna saat ia memasuki kamar yang dipersembahkan untuknya. Kamar dengan nuansa merah muda dan putih. Itu adalah warna favoritnya. “Benarkan ini penjara untukku?” Zia menyindir dirinya sendiri, sedari tadi ia mengoceh rumah tersebut adalah penjara untuknya. Kring ... Zia terkejut. Kekagumannya pada kamarnya langsung sirna saat mendengar ponselnya berbunyi. Bukan ponselnya, tetapi ponsel pemberian pak Sadin. Gadis itu menatap layarnya dan bertuliskan Paman. Tangan dan hatinya bergetar hebat. “Paman siapa?”gumannya heran dan cemas. Gadis itu meneliti ponsel tersebut hingga suara deringnya menghilang karena tak ada menjawabnya. Ia langsung menarik napas lega. Rasanya kejadian tadi sangat menggunca
Zia terhuyung ke belakang mendengar ucapan Asti karena terkejut. Wajahnya panik dan tubuhnya makin bergetar hebat. Detak jantungnya makin tak karuan.“Si pa—paman, ah bukan! Tuan Sean hendak makan siang denganku?” Zia mencecar dirinya hingga membuatnya bertambah gugup.Asti yang masih berada di luar kamar Zia, kembali mengetuk pintu kamar Zia. “Nona, Nona baik-baik saja kah?” tanya Asti cemas karena ia tak mendengar suara Zia lagi.Gadis itu memaksa otaknya bekerja keras untuk menciptakan alasan agar dirinya tak perlu menemui Sean. Setelah ia yakin barulah ia membuka pintunya. Wajahnya maish terlihat panik, tetapi Asti menyambutnya dengan sennyuman ramah.“Mari ikut saya, Nona! Tuan Sean tidak suka menunggu,” pinta Asti seraya mempersilahkan pada Zia untuk mengikuti dirinya.Wajah Zia tersentak mendengar penjelasan Asti. “Tidak suka menunggu?” cetus Zia heran.“Benar, Nona. Tuan Sea