Tubuh Zia mematung dan tak bisa bersuara. Ia hanya bisa memandangi tubuh Asti yang berjalan cepat meninggalkan dirinya. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tetapi Zia bingung hendak bertanya pada siapa. Zia pun memilih masuk ke kamar yang ditujukan untuknya.
Kedua netra Zia membulat sempurna saat ia memasuki kamar yang dipersembahkan untuknya. Kamar dengan nuansa merah muda dan putih. Itu adalah warna favoritnya.
“Benarkan ini penjara untukku?” Zia menyindir dirinya sendiri, sedari tadi ia mengoceh rumah tersebut adalah penjara untuknya.
Kring ... Zia terkejut. Kekagumannya pada kamarnya langsung sirna saat mendengar ponselnya berbunyi. Bukan ponselnya, tetapi ponsel pemberian pak Sadin. Gadis itu menatap layarnya dan bertuliskan Paman. Tangan dan hatinya bergetar hebat.
“Paman siapa?”gumannya heran dan cemas.
Gadis itu meneliti ponsel tersebut hingga suara deringnya menghilang karena tak ada menjawabnya. Ia langsung menarik napas lega. Rasanya kejadian tadi sangat mengguncang hatinya.
Baru saja Zia selesai menghembukan napasnya, ponsel tersebut kembali berbunyi. Gadis itu terkejut kembali, perasaannya makin was-was. Terpaksa ia pun memberanikan diri menjawab telepon tersebut, menggeser layarnya ke arah tulisan jawab.
“Ha---halo,” sapa Zia gagap saat sambungan teleponnya sudah terhubung.
“Gadis Kecil, apakah kamu menyukai kamarmu?” sahut suara dari balik telepon.
“Hah?” pekik Zia terkejut.
Sontak saja kedua bola mata Zia membulat sempurna. Mulutnya menganga dan seluruh tubuhnya tiba-tiba gemetar hebat saat mendengar suara panggilan dari balik telepon tersebut. Tanpa sadar ponsel yang ia pegang terlepas dari genggamannya.
“Ga—gadis kecil?” gumannya tak jelas. Tampaknya ia tak asing dengan panggilan tadi.
“Halo ... Gadis Kecil! Gadis Kecil apa kamu ada di sana?” suara dari balik telepon kembali terdengar dan makin mengejutkan dirinya.
Pandangan Zia memberanikan diri menatap ke arah bawah tubuhnya, tepatnya ke arah ponsel terjatuh. “Pa--paman itu mengingatku?” gumannya masih dengan nada tak jelas, matanya sama sekali tidak mau diajak berkedip.
Indera pendengarannya masih menangkap suara di balik ponsel tersebut yang masih terhubung. Ia hanya bisa menatap detik demi detik pada tampilan layarnya, hingga tampilan detik itu menghilang dan tergantikan dengan tulisan panggilan berakhir. Gadis itu baru berani meraih ponsel tersbeut setelah suara dari ponsel itu hilang.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Zia kebingungan, kini ketakutan menguasai dirinya.
“Jangan-jangan ...,” ucapnya terhenti.
Zia curiga. Kemudian ia langsung bergegas meraih koper yang sudah ada di samping ranjang tidurnya. “Aku yakin membaca dan menandatangani kontrak kerja itu sebagai Penulis dan tokoh biografi. Aku harus memeriksa lagi, khawatir isinya diganti menjadi Sugar Daddy dan Sugar Baby atau mungkin aku dijadikan simpanan, karena itulah aku terpenjara di sini dengan fasilitas mewah,” cerocosnya.
Seraya membongkar, mulutnya terus mencerca dirinya dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya makin panik dan tubuhnya makin gemetar. Napasnya menggebu panik dan kesal. Ia seperti dibohongi dan dipermainkan, tetapi oleh siapa?
“Ini dia. Aku harus membaca ulang dengan benar!” perintahnya pada dirinya sendiri.
Tangannya terlihat gemetar saat membuka lembaran isi map perjanjian kontrak. Indera penglihatannya mulai membaca dengan sangat teliti, bahkan jari telunjuknya mengeja setiap rangakaian kata-katanya. Tiba-tiba ia merasa kecewa karena tidak ada kata ataupun kalimat yang membuatnya khawatirkan. Isinya tertulis jelas kontrak kerja penulis dan tokoh biografi.
“Tapi, kenapa aku malah kecewa yah? Seharusnya aku lega karena aku bukan sugar baby ataupun wanita simpanan,” Zia kembali mencerca dirinya dengan pertanyaan yang makin membuatnya bertambah panik dan bingung. “Ada apa ini?”
Sudah satu jam Zia terlihat mondar mandir di tempat seraya menggigit telunjuknya untuk mengilangkan rasa cemas dan panik. Mencoba menduga jawaban dari semua kebingungannya. Ataukan dia sendiri yang membuat keadaan ini menjadi bingung?
Zia tersentak. Sebuah suara ketukan pintu sangat mengejutkan dirinya. Bahkan jantungnya serasa melompat dari tempatnya. “Astaga mengejutkan saja!” keluh Zia seraya mengatur napasnya.
“Siapa?” teriak Zia keras dari dalam.
“Saya Asti, Nona. Nona sudah ditunggu tuan Sean di ruang makan!”
Zia terhuyung ke belakang mendengar ucapan Asti karena terkejut. Wajahnya panik dan tubuhnya makin bergetar hebat. Detak jantungnya makin tak karuan.“Si pa—paman, ah bukan! Tuan Sean hendak makan siang denganku?” Zia mencecar dirinya hingga membuatnya bertambah gugup.Asti yang masih berada di luar kamar Zia, kembali mengetuk pintu kamar Zia. “Nona, Nona baik-baik saja kah?” tanya Asti cemas karena ia tak mendengar suara Zia lagi.Gadis itu memaksa otaknya bekerja keras untuk menciptakan alasan agar dirinya tak perlu menemui Sean. Setelah ia yakin barulah ia membuka pintunya. Wajahnya maish terlihat panik, tetapi Asti menyambutnya dengan sennyuman ramah.“Mari ikut saya, Nona! Tuan Sean tidak suka menunggu,” pinta Asti seraya mempersilahkan pada Zia untuk mengikuti dirinya.Wajah Zia tersentak mendengar penjelasan Asti. “Tidak suka menunggu?” cetus Zia heran.“Benar, Nona. Tuan Sea
Sean mengukir senyuman puas melihat gadis di hadapannya gagap dan tampak salah tingkah. Lidah Zia terasa kelu melihat senyuman lelaki di hadapannya. Ia bingung dan panik, lalu dirinya memilih menundukkan pandangannya. Tak sanggup memandangi wajah Sean.“Kamu adalah tamuku dan aku yakin kamu belum makan dari tadi pagi. Jadi aku bawakan makanan untukmu,” jelas Sean seraya meletakkan nampan pada meja yang berada di dekat ranjang tidur Zia.“Ta—tapi aku belum lapar, Tuan,” kilah Zia gagap.Lelaki itu tertawa kecil hingga membuat Zia mengutuk dirinya dalam hati. Sean pasti mentertawakan dirinya yang terus berbicara gagap. Adakah cara untuknya menghilang dari pandangan Sean? Itulah yang sedang Zia pikirkan.“Kamu yakin belum lapar? Pak Sadin menjemputmu pagi hari loh,” tanya Sean dengan ekspresi berpikir.Tiba-tiba lelaki itu menatap dirinya dengan tatapan menggoda. Zia refleks memundurkan langkah kakinya. Gadis itu makin panih dan kebingungan mengartikan tatapan Sean.“Aku belum lapar!” s
Sean tersenyum melihat wajah Zia mematung. “Aku senang melihatmu hidup lebih baik dan menjalani kehidupan yang kamu inginkan,” ucapannya terhenti, ia melihat gadis di hadapannya mengatupkan mulutnya. “Kamu harus tahu kalau aku selalu mencarimu, dan aku begitu merindukanmu, gadis kecilku,” sambung Sean seraya menjauhkan wajahnya dari gadis kecilnya yang kini sudah tumbuh dewasa. Namun, wajah Zia masih mematung sesaat. Kemudian indera penglihatannya mengikuti Sean. Lelaki itu membungkuk ke di hadapannya. Bukan membungkuk, tetapi ia mengambil sendok dan garpu yang dijatuhkan Zia. “Aku akan mengganti sendok dan garpunya dulu,” ucapnya seraya menaikkan pandangannya. Tentu saja pandangannya langsung bertemu dengan Zia. Sean langsung bangkit dan berbalik, ia berjalan ke luar kamar gadis kecilnya dengan senyuman ceria. Sementara gadis itu seperti terpana. Zia memandangi tubuh lelaki itu hingga menghilang dari balik pintu. “Bagaimana ini, paman itu mengingat semuanya,” gumannnya dengan waj
“Ada apa, Penulis Zia?” tanya Sean dengan tatapan heran. Gadis tersebut terlihat memainkan bibirnya dengan giginya, hingga lima detik berlalu tak ada suara yang keluar setelah memanggill dirinya. Gadis tersebut ternyata hanya bisa menngungkap rasa sukanya dalam hati, jadi bagaimana lelaki itu tahu kalau dirinya berkata terima kasih dan ia juga mencari Sean. Sepertinya ia perlu mengumpulkan keberanian yang lebih banyak lagi, tetapi kapan? “Gadis kecil?” Zia tersentak dengan panggilan Sean barusan. Pikiran dan keberaniannya buyar. Sean masih menganggapnya gadis kecil. “Ti—tidak apa-apa, Tuan. Aku hanya akan mengumpulkan materi untuk wawancaramu nanti sore,” kilah Zia menutupi rasa panik dan cemasnya. “Baiklah, akan aku usahan untuk pulang cepat,” sahut Sean, kemudian lelaki itu tersenyum tipis sebelum menutup pintu kamar Zia. Gadis itu terkulai lemas. Tubuhnya melorot dari posisi duduk tegapnya. Pikirannya kembali berkecambuk. Dia senang Sean masih mengingatnya, tetapi dengan sebuta
“Tuan Sean menurut saya?” Asti mencerna pertanyaan Zia, kemudian ia mengulum senyum. “Dia adalah orang yang sangat lembut,” Zia memutarkan kedua bola matanya. Sepertinya ucapan Asti tidak sesuai dengan dugaanya. Tentu saja, kesan pertama kali ia saat bertemu dengannya sangat tidak baik. Gadis itu sangat mengingat jelas kalau lelaki yang dulu ia panggil paman justru membuat suasana hatinya makin kacau. “Selama hampir 30 tahun saya bekerja dengan keluarga tuan Sean, tidak pernah sekalipun dia memarahi saya,” ucapan Asti membuat ingatan Zia tentang masa lalunya memudar. Ia memilih fokus dengan ucapan wanita di hadapannya. “Jika saya atapun pekerja lain melakukan kesalahan, maka tuan Sean meminta kami untuk beristirahat. Kemudian berkata, pasti aku membuat kalian kelelahan dengan suaranya yang merasa bersalah,” Asti memncontohkan nada suara Sean. “Wah, sepertinya tuan Sean adalah orang kaya baik hati,” guman gadis itu datar. Sekali lagi itu adalah pendapatnya dari kesan pertma pertemua
“Tuan Sean menentang keras keputusan tuan Alan dan ia berjanji untuk membuat perusahaan keluarganya lebih baik. Sejak saat itu yang ada dalam hidupnya hanya bekerja. Hingga akhirnya tuan Sean berhasil membuat perusahaan keluarganya berkembang pesat,” jelas Asti bangga.Zia terdiam. Sean terdengar sangat sempurna sekali, tetapi ia merasa kalau hidupnya terasa membosankan. Ia lalu tersenyum simpul pada wanita di hadapannya.“Terima kasih, Bi Asti. Aku akan ke kamar dulu untuk mengerjakan pekerjaanku,” Zia pamit.Gadis itu langsung undur diri setelah mendapatkan anggukan dari Asti. Indera penglihatannya berselancar ke seluruh penjuru ruangan seraya berjalan menuju kamar yang diberikan untuknya. Sunyi, hampa yang ia rasakan padahal isinya begitu sempurna. Seharusnya rumah itu terasa hangat.Zia menghentikkan langkah kakinya dan berbalik ke arah dapur. Rupanya rumah tangganya Sean masih berada di sana. “Bi Asti, aku boleh berkeliling ke luar mansion?” tanya gadis itu seraya menunjuk ke pin
Sayangnya permintaan Sean malam membuat Zia penasaran. Jari jemarinya saling bergantian mengetuk sampul buku di hadapannya. Sementara wajahnya terlihat berpikir. “Gadis kecil, kamu mendengarku?” suara Sean berkumandang kembali di balik panggilan teleponnya. “Ada rahasia ‘kah di dalamnya?” sahut Zia seraya tersenyum nakal. Entah kenapa ia menyukai suara cemasnya Sean. Rasa penasarannya maninggi memintanya untuk segera membuka sampul album foto tersebut. Tidak! Zia tidak boleh begitu, itu tidak sopan. “Gadis kecil! Kamu tidak akan membuka albumnya ‘kan?” suara Sean terdengar makin cemas. Sekali lagi, suara cemasnya Sean menambah rasa penasarannya. Oh tidak! Gadis itu sudah membuka sampul albumnya. Wajah seorang bayi mungil menyambutnya di sana. “Ini Tuan waktu bayi ‘kah?” cetus gadis itu seraya mengukir senyuman. “Menggemaskan sekali,” “Astaga, kamu benar-benar membukanya,” Gadis itu tampaknya tak mengindahkan suara keluhan di balik teleponnya. Indera penglihatannya langsung te
[Seorang ibu akan bahagia jika melihat anaknya bahagia, tetapi jika anaknya sedih ibu akan lebih sedih. Jadi, tuan harus terus bahagia agar ibunya di sana bisa bahagia. Semangat paman!]Sean tersenyum membaca pesan yang baru saja masuk. Padahal sebelumnya, wajahnya tampak gelisah dan cemas saat ia mengetahui bi Asti memberikan album foto miliknya. Di sanalah rasa sedih, sakit dan rindunya terwakilkan. Alasan itu yang membuat dirinya melarang Zia membuka album tersebut.Lelaki itu tak ingin ada yang tahu rasa sedihnya. Sean juga punya alasan lain, ia tahu Zia memiliki hubungan yang buruk dengan ibunya. Tentu saja, dia tahu. Bukankah, gadis itu sendiri yang menceritakan kisah sedihnya lima tahun yang lalu saat tengah mabuk dan sebelum mereka berdua melakukan kesalahan.“Kamu mau memanggil saya tuan atau paman?” tanyanya pada layar ponsel di hadapannya seolah bertanya pada Zia langsung.Tentu saja Sean merasa ambigu, pesan yang sedang ia baca memiliki panggilan berbeda. Namun, lelaki itu