“Aku bukan anak kecil, Paman!” protes Zia kesal saat lelaki itu menyebutnya anak kecil.
Lelaki itu seperti mengabaikan ucapan Zia. Ia fokus dengan aktivitasnya mencari benda di dalam laci. “Untung aku selalu membawa ini ke mana pun,” gumannya seraya mengeluarkan benda seperti penutup botol wine.
“Tolong ambilkan paper bag di sampingmu!” pinta lelaki itu pada Zia seraya menunjuk paper bag berwarna putih di samping Zia.
Zia menurut dan memberikan paper bag yang dimaksud. Wajahnya masih memasang tatapan tak suka. Tatapannya berubah penasaran dengan isi paper bag itu karena wajah lelaki itu terlihat sumringah. Sebuah box berwarna putih dan isinya adalah sebuah botol berwarna hitam pekat.
“Itu apa, Paman?” tanya Zia penasaran dengan botol berwarna hitam tersebut.
“Ini adalah wine. Minuman ini bisa menghangatkan tubuhmu agar tubuhmu tidak kedinginan,” jawab lelaki itu, lalu menenggak cairan dari dalam botol tersebut. “Anak kecil tidak boleh meminum ini!”
Lelaki itu menegaskan ucapannya karena ia dapat melihat ekspresi penasaran Zia. Sebenarnya ia hanya ingin menikmati cairan itu seorang diri, karena cairan itu harganya sangat mahal. Ia melirik ia dari cermin atas. Zia mengendus kesal mendengar ucapan lelaki itu.
“Memangnya kenapa? Aku bukan anak kecil, umurku sudah 20 tahun,” tegas Zia seraya memalingkan wajahnya dan menatap rintikan air hujan yang turun dengan lebatnya.
“Jangan pura-pura bodoh! Kamu pasti tahu kalau wine mengandung alkohol, lagi pula wine ini sangat mahal sekali. Aku akan menghabiskannya sendirian,” jawab lelaki itu sinis dan menenggak kembali cairan dalam botol berwarna hitam itu.
Tiba-tiba Zia menoleh ke depan, menatap botol hitam yang berada dalam genggaman tangan lelaki yang tidak dikenalnya itu. “Katanya minuman beralkohol bisa menghilangkan semua masalah,” guman Zia tersenyum senang.
Zia seperti mendapatkan obat untuk sakit hatinya. Tanpa permisi, Zia bergerak maju dan tangannya meraih paksa botol hitam dari tangan lelaki tersebut dan meminumnya tanpa jeda. Lelaki itu lengah, ia langsung terkejut karena Zia merebutnya dan langsung meminumnya tanpa jeda.
“Anak kecil, apa yang kamu lakukan?” Lelaki itu terkejut karena cairan dalam botol itu sudah tinggal sedikit.
“Wah, enak sekali minuman ini. Rasanya manis.”
Wajah Zia terlihat memerah, ia merasa suhu tubuhnya naik dan tak lagi merasa kedinginan. Lelaki itu berubah kesal, ia menjulurkan tangannya untuk meraih botol hitam itu. Ia harus merebut wine miliknya.
“Kembalikan wine milikku!” pekiknya keras.
Namun, Zia menjauhkan botol tersebut dari jangkauan tangannya. Zia menggeser posisi duduknya menghindari jangkauan tangan lelaki itu. Zia bahkan tertawa riang melihat wajah kesal dari lelaki itu.
“Sayang sekali aku sudah memilikinya, Paman.” Zia makin tertawa puas saat melihat ekspresi wajah lelaki itu yang menjadi emosi.
Zia sengaja memajukan botol wine itu, seolah memberikan pada lelaki itu, tetapi saat lelaki itu akan mengambilnya, Zia akan menjauhkan botol tersebut dari jangkauan lelaki itu. Lelaki itu memajukan tubuhnya, terus berusaha merebut kembali botol minumnya. Lagi, Zia menghindar bahkan Zia sudah dikuasai oleh alkohol hingga tidak bisa berpikir jernih.
“Astaga bagaimana ini? Anak kecil itu sepertinya sudah mabuk,” ucap lelaki tersebut karena Zia tiba-tiba terus tertawa seorang diri. Lelaki itu terkejut karena Zia hendak membuka pintunya untuk melarikan diri. Cepat-cepat ia menekan tombol kunci pintu otomatis agar Zia tidak bisa membuka pintu mobilnya.
“Ah, buka! Buka pintunya, aku mau pergi,” rengek Zia dengan suara lemas karena sudah mabuk.
“Menyusahkan sekali, anak kecil ini.” Lelaki itu mengeluh, kemudian ia berpindah duduk ke arah belakang untuk mengambil botol wine miliknya. “Kembalikan padaku!”
Botol itu pun berhasil direbutnya. Lelaki itu meneguk cairan dari dalam botol itu lagi, ia perlu memulihkan dirinya karena sudah memarahi gadis yang kini tengah menatapnya sedih. Ia tak menoleh pada Zia yang berada di sampingnya. Zia bahkan sudah tak bisa duduk dengan tenang.
Bugh! Zia melabuhkan tubuhnya pada dada lelaki itu, hingga membuat lelaki sangat terkejut. “Paman. Aku sedang sedih, marah, kecewa dan sakit hati.” Zia berguman tidak jelas. Lelaki itu makin terkejut karena tiba-tiba Zia memeluknya erat.
“Aku rindu ayahku, Paman.” Zia terisak dalam pelukan lelaki itu.
Lelaki itu menatap wajah atas Zia, sebagian tubuhnya tertutup oleh dada bidangnya. Ia dapat melihat air mata Zia mengalir. Botol yang ia genggam diletakan di laci pintu samping mobil, kemudian ia membelai rambut Zia. Ia merasa iba pada Zia. Ia dapat merasakan kalau gadis yang menangis dalam pelukannya itu tengah putus asa.
“Menangislah, jika itu bisa membuatmu lega!” Air mata Zia makin mengalir deras saat mendengar ucapan lelaki itu.
“Terima kasih, Paman. Sepertinya kamu orang baik,” ucap Zia seraya menaikkan wajahnya menatap lelaki itu.
Jarak wajah Zia dan lelaki itu sangat dekat sekali. Tiba-tiba Zia merasakan ada desiran aneh saat matanya dan mata lelaki itu bertemu. Kemudian tangan kekar lelaki itu membelai pipi Zia. Kulit tangannya sangat halus sekali hingga Zia merasakan ada sentuhan lain di dalam tubuhnya. Hingga tanpa sadar lelaki itu mendekatkan bibirnya pada bibir Zia. Zia terlihat pasrah menerimanya.
Pengaruh alkohol telah menguasai dua insan itu, hingga tak terasa perbuatan yang tak seharusnya mereka lakukan harus terjadi. Kedua terbuai dalam perbuatan terlarang. Suara hujan yang turun deras dan angin laut yang kencang meredamkan suara desahan dua insan tersebut.
***
Zia merasakan sinar matahari mengganggu tidur pulasnya. Tak hanya itu saja yang membuatnya merasa terganggu dari tidurnya, ia merasakan perih di area selangkangannya. Ia belum pernah merasakan rasa perih dan sakit di area tersebut.
“Argh, perih sekali.” Rintihnya pelan dengan suara parau.
Zia memaksakan diri untuk membuka matanya. Kedua bola mata Zia langsung membulat saat menyadari keadaannya sekarang. Tubuhnya tak tertutup kain sehelai pun, bahkan di bawah tempat ia duduk ada bercak darah. Ia menutup mulutnya karena panik. Kemudian Zia melihat ke arah depan, lelaki yang bersamanya semalam masih tertidur pulas di kursi kemudi.
“Apa yang terjadi padaku?” Zia mencoba mengingat mundur kejadiannya, tetapi yang ia ingat hanya pertengkarannya dengan ibunya. Zia pun memaksa mengingat terus. Akhirnya ia ingat kalau bertemu lelaki itu saat memarahinya di pantai.
“Bodo amat dengan semua ini. Aku harus secepatnya pergi!”
Buru-buru Zia mengenakan pakaiannya agar bisa segera pergi dan melarikan diri. Saat ia hendak membuka pintu mobil, tatapan Zia tertuju pada dompet yang berada di dekat tuas rem tangan. Tangannya langsung meraih dompet tersebut dan membuka isinya. Isi dalam dompet tersebut sangat menggoda imannya.
“Wah banyak sekali uangnya,” guman Zia pelan sekali. “Maafkan aku, Paman. Aku janji pasti akan menggantinya.”
Entah berapa banyak uang yang ia ambil, karena uang itu tak bisa ia genggam. Kemudian Zia mengambil kemeja lelaki itu untuk menutupi tubuhnya. Untunglah pintu itu sudah bisa dibuka dan tak terkunci. Zia langsung melarikan diri meninggalkan lelaki itu yang masih tertidur pulas.
Tak lama setelah kepergian Zia, mobil lelaki itu ada yang mengetuk. Lelaki itu terbangun dan berubah panik karena ia hanya menggunakan celana dalam saja. Kesadarannya belum sepenuhnya sadar, tetapi rasa paniknya langsung menyadarkan rasa kantuknya.
“Ah sial! Apa yang terjadi,” gerutu lelaki itu kesal karena ia tak segera mengingat kejadian yang sudah menimpa dirinya.
Namun, suara ketukan di kaca jendela sampingnya makin kencang, hingga ia memilih untuk membuka kaca jendelanya dahulu. “Ada apa?” bentak lelaki itu kesal.
“Maaf Tuan, saya khawatir karena dari semalam Tuan Sean tidak bisa dihubungi,” jawab orang yang mengetuk kaca jendela mobilnya.
Lelaki itu langsung terkejut saat menyadari kalau Sean hanya mengenakan celana dalam yang berbentuk segitiga. “Maafkan saya, Tuan.”
Lelaki itu meminta maaf lagi karena ia menyadari kalau Sean tidak suka tatapannya saat menatap tubuhnya. Ia adalah Sadin, asisten Sean yang sedang mencari keberadaan Sean. Sadin hanya bisa menunduk, menyadari Sean tak menyukai kecerobohannya.
“Pak Sadin, bawakan aku baju ganti! Aku harus ganti baju dulu.” Pinta Sean pada Sadin yang umurnya lebih tua darinya.
“Baik, Tuan.”
Setelah Sadin meninggalkan dirinya, Sean memindai isi dalam mobilnya. “Berantakan sekali,” ujar Sean kesal.
Tiba-tiba indera penglihatannya terhenti pada kursi belakang. Ia menangkap kursi belakangnya terdapat noda darah. Wajahnya membulat sempurna dan menjadi panik.
“Ya Tuhan, apa itu?”
Lima tahun kemudian setelah kejadian cinta satu malam Sean dan Zia. Pagi hari sekali, Sean sudah berkutat di depan meja kerjanya, tatapan wajahnya sangat serius. Wajah tampannya seperti tak memudar sejak lima tahun yang lalu, saat bertemu dengan Zia. Tiba-tiba map yang sedang diperiksanya menyentuh kotak bening yang berada di samping kanan mejanya. Gerak tangannya langsung tehenti, begitu juga perhatiannya teralihkan pada benda kotak kecil berukuran 5 x 5 cm.Di dalam kotak itu terdapat ikat rambut berwarna merah muda. Sean membuka tutup kaca tersebut dan membukanya, kotak bening itu adalah tempat kotak perhiasan. Entah kenapa, ia meletakan ikat rambut di sana? Pastinya ikat rambut itu berharga untuknya.“Di mana kamu, anak kecil?” guman Sean sembari memandangi ikat rambut tersebut.Pikirannya langsung menelusur kejadian lima tahun lalu saat ia bertemu dengan Zia. Entah apa yang ia rasakan saat itu, hatinya merasa terpaut dengan Zia, yang ingat sebagai anak kecil. “Aku bahkan tidak ta
Sadin, asistennya Sean memang selalu bisa diandalkan. Siang hari sebelum makan siang, Zia sudah datang bersama editor yang menaunginya. Ia pun langsung meminta keduanya yang sudah berada di depan ruang kerja Sean untuk masuk ke ruang kerja Sean.“Silahkan masuk, Nona! Tuan Sean sudah menunggu di dalam,” ucap Sadin ramah seraya membukakan pintu ruang kerja Sean.Dengan langkah gugup, Zia melangkah masuk ke dalam ruangan Sean. Zia sendiri belum mengetahui wajah Sean, karena editornya yang memberi kabar kalau Zia mendapatkan tawaran menulis biografi seorang CEO. Sadin mengekori langkah Zia dan editornya tersebut.“Tuan, Penulis Zia dan editornya sudah sampai,” ucap Sadin tetap ramah. “Terima kasih, Pak Sadin. Kamu boleh keluar!” jawab Sean yang duduk membelakangi meja kerjanya.Sadin menurut keluar ruangan Sean. Sayangnya perbuatan Sean tadi, memberikan kesan tidak baik untuk Zia. Yang tersirat dalam pikiran Zia, sikap CEO di hadapannya tidak sopan. Wajah Zia tampak ragu untuk menjadi p
Indera penglihatan Zia menaik karena panik. Sedetik saja, kedua netranya langsung bertemu dengan Sean. Untung lelaki itu langsung memutuskan kontak mata dengannya. Sean menoleh pada Risma. Tampaknya lelaki itu khawatir Zia akan mengalami kesulitan bernapas. Memang benar, gadis itu menahan napasnya saat bertatapan langsung dengannya. Bahkan gadis itu merasa bibirnya terasa terkunci.“Baiklah kalau begitu. Tujuan saya mengundang Nona Zia dan Nona Risma untuk menandatangani kontrak,” ucap Sean diikuti senyuman ramahnya.Namun, untuk Zia ucapan lelaki itu malah membuat dirinya terkejut dan panik, bahkan tangannya terlihat bergetar. Zia refleks bersuara karena sangat terkejut, “Secepat itu?” cetusnya hingga membuat Sean dan Risma menatapnya heran. “Maksudku lebih cepat lebih baik.” Zia langsung menjawab asal untuk menutupi rasa paniknya diakhiri tawa garing.Terdengar pintu ruangan kerja Sean terbuka. Terlihat pak Sadin memasuki ruangan Sean dengan membawa dua buah map. Map tersebut dibe
Reaksi Zia mengejutkan seluruh ruangan itu. Risma bahkan sampai memukul lengan Zia keras. Menurutnya reaksi penulisnya bereaksi berlebihan. Tentu saja, gadis itu protes. “Kak, aku tidak mau tinggal satu rumah dengan laki-laki yang tidak aku kenal,” suara Zia tegas, kemudian ia menatap tajam pada CEO di hadapannya. “Jangan mentang-mentang Tuan Sean ini CEO! Anda kira saya wanita murahan!” Sean yang mendapatkan cercaan Zia hanya tersenyum dan tertawa kecil. Ekspresi marahnya makin terlihat menggemaskan di matanya. Cepat-cepat ia mengakhiri tawanya, gadis itu makin membulatkan matanya dan menggertakkan giginya. “Tenanglah, Penulis Zia! Anda pikir saya ini lelaki cab*l?” Sean berusaha keras menahan tawanya. Gadis itu kebingungan. Emosi Zia mendadak turun, ia menoleh pada Risma yang sama kebingungan dengannya. Lantas, ia menatap kembali pada Sean. “Alasan saya kenapa meminta Penulis Zia untuk tinggal di rumah saya, agar mempermudah proses interview dengan saya. Pastinya Anda tahu kala
Tubuh Zia terasa melemas, tetapi ia tak mampu melawan. “Pak bolehkan saya menelepon editor saya dulu, sebelum saya memberikan ponsel saya?” Pak Sadin terlihat mengangguk. “Tentu saja, Nona!” jawab pak Sadin ramah. “Terima kasih, Pak,” ucapnya ramah, kemudian tangannya langsung membuka ponsel miliknya dan mencari nomor Risma dan ditekannya tulisan panggil. “Hallo, Kak Risma. Kak kenapa nggak bilang kalau ponselku nantinya disita?” keluh Zia pada Risma tanpa menyapanya dahulu saat sudah tersambung. “Kalau aku bilang, kamu pasti makin ngeluh dari malam hari sampai pagi. Terus kamu tidak akan bisa tidur, nanti bangunmu kesiangan,” sahut Risma dari balik telepon. Gadis itu menarik napas panjang. Ia tak bisa menyalahkan tindakan editor, sekaligus sahabatnya. Memang ucapan Risma benar, jika Zia sedang kesal ia akan kesulitan untuk tidur dan selalu bangun kesiangan. “Kamu nggak perlu khawatir dengan ayahmu! Aku sudah menengoknya dan mengatakan kalau kamu ada project menulis di luar kot
Tubuh Zia mematung dan tak bisa bersuara. Ia hanya bisa memandangi tubuh Asti yang berjalan cepat meninggalkan dirinya. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tetapi Zia bingung hendak bertanya pada siapa. Zia pun memilih masuk ke kamar yang ditujukan untuknya. Kedua netra Zia membulat sempurna saat ia memasuki kamar yang dipersembahkan untuknya. Kamar dengan nuansa merah muda dan putih. Itu adalah warna favoritnya. “Benarkan ini penjara untukku?” Zia menyindir dirinya sendiri, sedari tadi ia mengoceh rumah tersebut adalah penjara untuknya. Kring ... Zia terkejut. Kekagumannya pada kamarnya langsung sirna saat mendengar ponselnya berbunyi. Bukan ponselnya, tetapi ponsel pemberian pak Sadin. Gadis itu menatap layarnya dan bertuliskan Paman. Tangan dan hatinya bergetar hebat. “Paman siapa?”gumannya heran dan cemas. Gadis itu meneliti ponsel tersebut hingga suara deringnya menghilang karena tak ada menjawabnya. Ia langsung menarik napas lega. Rasanya kejadian tadi sangat menggunca
Zia terhuyung ke belakang mendengar ucapan Asti karena terkejut. Wajahnya panik dan tubuhnya makin bergetar hebat. Detak jantungnya makin tak karuan.“Si pa—paman, ah bukan! Tuan Sean hendak makan siang denganku?” Zia mencecar dirinya hingga membuatnya bertambah gugup.Asti yang masih berada di luar kamar Zia, kembali mengetuk pintu kamar Zia. “Nona, Nona baik-baik saja kah?” tanya Asti cemas karena ia tak mendengar suara Zia lagi.Gadis itu memaksa otaknya bekerja keras untuk menciptakan alasan agar dirinya tak perlu menemui Sean. Setelah ia yakin barulah ia membuka pintunya. Wajahnya maish terlihat panik, tetapi Asti menyambutnya dengan sennyuman ramah.“Mari ikut saya, Nona! Tuan Sean tidak suka menunggu,” pinta Asti seraya mempersilahkan pada Zia untuk mengikuti dirinya.Wajah Zia tersentak mendengar penjelasan Asti. “Tidak suka menunggu?” cetus Zia heran.“Benar, Nona. Tuan Sea
Sean mengukir senyuman puas melihat gadis di hadapannya gagap dan tampak salah tingkah. Lidah Zia terasa kelu melihat senyuman lelaki di hadapannya. Ia bingung dan panik, lalu dirinya memilih menundukkan pandangannya. Tak sanggup memandangi wajah Sean.“Kamu adalah tamuku dan aku yakin kamu belum makan dari tadi pagi. Jadi aku bawakan makanan untukmu,” jelas Sean seraya meletakkan nampan pada meja yang berada di dekat ranjang tidur Zia.“Ta—tapi aku belum lapar, Tuan,” kilah Zia gagap.Lelaki itu tertawa kecil hingga membuat Zia mengutuk dirinya dalam hati. Sean pasti mentertawakan dirinya yang terus berbicara gagap. Adakah cara untuknya menghilang dari pandangan Sean? Itulah yang sedang Zia pikirkan.“Kamu yakin belum lapar? Pak Sadin menjemputmu pagi hari loh,” tanya Sean dengan ekspresi berpikir.Tiba-tiba lelaki itu menatap dirinya dengan tatapan menggoda. Zia refleks memundurkan langkah kakinya. Gadis itu makin panih dan kebingungan mengartikan tatapan Sean.“Aku belum lapar!” s