Lima tahun kemudian setelah kejadian cinta satu malam Sean dan Zia. Pagi hari sekali, Sean sudah berkutat di depan meja kerjanya, tatapan wajahnya sangat serius. Wajah tampannya seperti tak memudar sejak lima tahun yang lalu, saat bertemu dengan Zia. Tiba-tiba map yang sedang diperiksanya menyentuh kotak bening yang berada di samping kanan mejanya. Gerak tangannya langsung tehenti, begitu juga perhatiannya teralihkan pada benda kotak kecil berukuran 5 x 5 cm.
Di dalam kotak itu terdapat ikat rambut berwarna merah muda. Sean membuka tutup kaca tersebut dan membukanya, kotak bening itu adalah tempat kotak perhiasan. Entah kenapa, ia meletakan ikat rambut di sana? Pastinya ikat rambut itu berharga untuknya.
“Di mana kamu, anak kecil?” guman Sean sembari memandangi ikat rambut tersebut.
Pikirannya langsung menelusur kejadian lima tahun lalu saat ia bertemu dengan Zia. Entah apa yang ia rasakan saat itu, hatinya merasa terpaut dengan Zia, yang ingat sebagai anak kecil. “Aku bahkan tidak tahu namamu, anak kecil itu?”
Ya, Sean memang hanya bertemu dengan Zia tanpa sempat berkenalan ataupun memperkenalkan dirinya. Sean mengingat jelas setiap rangkaian kejadiannya. Ia melihat seorang gadis kecil tanpa alas kaki dengan kaos pendek dan celana stirt pendek. Awalnya Sean mengira gadis kecil itu adalah anak jalanan, tetapi saat gadis itu berteriak kencang, Sean pun tahu kalau gadis itu sedang meluapkan kekesalannya.
Sean sudah memperkirakan cuaca saat itu akan turun hujan. Hingga tiba-tiba hujan turun tanpa di undang dan ia tidak tega meninggalkan gadis kecil sedirian di tepi pantai. Namun sayangnya, ia melakukan kesalahan karena sebotol wine. Sean dapat merasakan tatapan sedih dan suara pilu gadis itu saat menceritakan suasanan hatinya.
“Pilu sekali hidupmu, anak kecil,” guman Sean lagi, karena ia masih mengingat Zia yang tanpa sadar menceritakan kehidupannya. Dari ayahnya yang meninggalkanya, kemudian ibunya menjadi wanita malam di rumah bordil dan Zia di bully di kampusnya.
Saat itu Sean tahu kalau gadis itu seorang mahasiswa. Entah apa yang ada dalam pikiran Sean? Saat itu ia hanya berpikir untuk menghibur gadis kecil itu, mungkin karena pengaruh alkohol hingga ia dan gadis itu melakukan hal yang seharusnya tak patut mereka lakukan. Dari kedua sudut netranya meluncur tetesan bening, buru-buru ia mengusap tetesan air mata tersebut.
“Aku tidak bisa melupakan kejadian itu. Ternyata anak kecil itu masih perawan dan aku yang merenggut kesuciannya. Maafkan aku anak kecil.” Sean menyesali perbuatanya.
Sean kembali teringat saat melihat ada noda darah di kursi belakang mobilnya saat tersadar, kemudian menemukan ikat rambut yang sedang ia pegang. Pastilah ikat rambut itu miliknya, karena Sean tidak pernah mengijinkan wanita menaiki mobil pribadinya. Sean tersenyum pada ikat rambut yang dipegangnya.
“Ah tidak, seharusnya aku tidak perlu menyesal karena kamu mencuri uangku.” Sean berdialog dengan dirinya sendiri, mengoceh seorang diri karena mengingat lagi tentang uang dalam dompetnya raib tanpa ada sepersenpun.
“Tapi, kamu bukan hanya saja mencuri uangku. Kamu juga sudah mencuri hatiku, anak kecil.”
Lamunan Sean buyar karena mendengar pintu ruang kerjanya ada yang mengetuk. Sean memasukan kembali ikat rambut tersebut ke dalam kotak yang sudah ia siapkan. Kemudian meletakan kembali ke tempat tadi, di dekat papan nama kerjanya yang juga terbuat dari kaca bening dengan tulisan tinta berwarna emas. CEO’s Sean Mahandika.
“Masuk!” teriaknya santai.
Tak lama pintu pun terbuka, terlihat Sadin, asistennya masuk membawa tumpukan map. Sadin berjalan menuju meja kerja Sean. Ruangan Sean dihiasi dengan perabotan bernuansa warna putih dan emas. Tergambar jelas ruangan yang mewah dan klasik.
“Tuan, saya membawakan berkas beberapa penulis terkenal dan berbakat yang akan membuat biografi tentang Tuan Sean,” ucap Sadin seraya meletakan tumpukan berkas di hadapan Sean.
“Silahkan diperiksa dahulu dan beri tahu saya jika Tuan sudah menemukan penulis yang cocok dan sesuai dengan kriteria Tuan!”
Sean hanya menjawab dengan dehaman malas. Kedua bola matanya juga terlihat malas melihat tumpukan berkas yang menanti sentuhan tangannya. Sebenarnya Sean malas untuk berbagi kehidupan pribadinya pada umum, apalagi melalui biografi yang harus diceritakan. Pasti harus jelas tertulis perjalanannya menjadi CEO sukses. Akan tetapi ayahnya, Alan Mahandika memaksanya dengan alasan promosi pemasaran agar namanya dikenal para pengusaha lainnya.
Alan bukannya meragukan kemampuan Sean yang menjadikan hotel Holfive menjadi salah satu hotel terbaik di Indnesia, bahkan hotel Holfive keluarganya menjadi 10 besar hotel terbaik di dunia. Alan meminta Sean agar namanya dikenal dunia. Sean berharap investor asing akan berbondong-bondong berinvestasi pada hotelnya. Setelah Sadin keluar dari ruangannya, ia pun terpaksa membuka berkas-berkas yang berisi biodata penulis. Sesekali terlihat hembusan napas malas dari mulut Sean.
“Kenapa semua yang tertulis di sini keunggulannya saja? Para penulis ini seperti menutupi kekurangannya,” keluh Sean saat menutup berkas dan melemparkan kasar berkas tersebut pada samping kanannya. Menandakan kalau tumpukan sebelah kanan sudah ia periksa.
Sean kembali membuka tumpukan sebelah kirinya. Tiba-tiba matanya terbelalak dan membulat sempurna saat membuka map selanjutnya. Matanya langsung berbinar-binar dan senyuman mengembang sempurna menghiasi wajah tampannya.
“Akhirnya aku menemukanmu, anak kecilku.” Sean berguman bahagia pada dirinya sendiri.
“Zia Mustika, ternyata itu namamu. Wajahmu semakin cantik saja, anak kecil.”
Tangan Sean mengambil foto yang dilampirkan dalam berkas biodata penulis seraya berdialog dengan dirinya sendiri. “Anak kecilku sudah dewasa. Kini kamu adalah seorang penulis hebat. Mungkin aku harus memanggilmu gadis kecilku.”
Sean membaca informasi yang dituliskan dalam biodata dalam berkas di hadapannya. Rasanya tak sabar ia ingin berjumpa dengan gadis kecilnya. Tangannya langsung menekan tombol telepon kantornya yang berada di sudut kanan meja kerjanya.
“Pak Sadin, segera ke ruangan saya. Sekarang!”
Perintah Sean berbicara pada saluran telepon kantor yang terhubung dengan asisten pribadinya yang sekaligus menjadi sekertarisnya. Pak Sadin ternyata sangat gesit, hanya hitungan beberapa detik setelah mendengar perintah atasannya sudah langsung masuk ke ruang kerja Sean. Sean tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya.
“Saya sudah menemukan penulis yang sesuai dengan keinginan saya. Segera buat janji dan kontrak kerja secepatnya!” perintah Sean langsung seraya menunjukan biodata milik Zia. “Saya mau siang ini, penulis itu berada di ruangan saya!”
Wajah Sadin berubah heran. Biasanya atasannya selalu penuh pertimbangan yang sangat detail. Bahkan jika Sean hendak memutuskan sesuatu, ia akan berpikir seharian agar semua rencananya berjalan sempurna. Sadin seperti melihat orang yang berbeda pada diri Sean.
“Tapi, Tuan, apakah Tuan sudah mempertimbakan sedetail mungkin?” tanya Sadin tak bermaksud menolak permintaan atasanya.
“Saya katakan, kalau saya mau penulis itu ada di ruangan saya siang ini juga dan kamu urus kontraknya! Apa kurang jelas perintah saya?” bentak Sean keras karena sanggahan Sadin seolah mengusik kebahagiaanya.
“Maafkan saya, Tuan. Saya akan mengurus semuanya dan memastikan siang ini, penulis Zia sudah berada di ruangan Tuan.”
Sadin, asistennya Sean memang selalu bisa diandalkan. Siang hari sebelum makan siang, Zia sudah datang bersama editor yang menaunginya. Ia pun langsung meminta keduanya yang sudah berada di depan ruang kerja Sean untuk masuk ke ruang kerja Sean.“Silahkan masuk, Nona! Tuan Sean sudah menunggu di dalam,” ucap Sadin ramah seraya membukakan pintu ruang kerja Sean.Dengan langkah gugup, Zia melangkah masuk ke dalam ruangan Sean. Zia sendiri belum mengetahui wajah Sean, karena editornya yang memberi kabar kalau Zia mendapatkan tawaran menulis biografi seorang CEO. Sadin mengekori langkah Zia dan editornya tersebut.“Tuan, Penulis Zia dan editornya sudah sampai,” ucap Sadin tetap ramah. “Terima kasih, Pak Sadin. Kamu boleh keluar!” jawab Sean yang duduk membelakangi meja kerjanya.Sadin menurut keluar ruangan Sean. Sayangnya perbuatan Sean tadi, memberikan kesan tidak baik untuk Zia. Yang tersirat dalam pikiran Zia, sikap CEO di hadapannya tidak sopan. Wajah Zia tampak ragu untuk menjadi p
Indera penglihatan Zia menaik karena panik. Sedetik saja, kedua netranya langsung bertemu dengan Sean. Untung lelaki itu langsung memutuskan kontak mata dengannya. Sean menoleh pada Risma. Tampaknya lelaki itu khawatir Zia akan mengalami kesulitan bernapas. Memang benar, gadis itu menahan napasnya saat bertatapan langsung dengannya. Bahkan gadis itu merasa bibirnya terasa terkunci.“Baiklah kalau begitu. Tujuan saya mengundang Nona Zia dan Nona Risma untuk menandatangani kontrak,” ucap Sean diikuti senyuman ramahnya.Namun, untuk Zia ucapan lelaki itu malah membuat dirinya terkejut dan panik, bahkan tangannya terlihat bergetar. Zia refleks bersuara karena sangat terkejut, “Secepat itu?” cetusnya hingga membuat Sean dan Risma menatapnya heran. “Maksudku lebih cepat lebih baik.” Zia langsung menjawab asal untuk menutupi rasa paniknya diakhiri tawa garing.Terdengar pintu ruangan kerja Sean terbuka. Terlihat pak Sadin memasuki ruangan Sean dengan membawa dua buah map. Map tersebut dibe
Reaksi Zia mengejutkan seluruh ruangan itu. Risma bahkan sampai memukul lengan Zia keras. Menurutnya reaksi penulisnya bereaksi berlebihan. Tentu saja, gadis itu protes. “Kak, aku tidak mau tinggal satu rumah dengan laki-laki yang tidak aku kenal,” suara Zia tegas, kemudian ia menatap tajam pada CEO di hadapannya. “Jangan mentang-mentang Tuan Sean ini CEO! Anda kira saya wanita murahan!” Sean yang mendapatkan cercaan Zia hanya tersenyum dan tertawa kecil. Ekspresi marahnya makin terlihat menggemaskan di matanya. Cepat-cepat ia mengakhiri tawanya, gadis itu makin membulatkan matanya dan menggertakkan giginya. “Tenanglah, Penulis Zia! Anda pikir saya ini lelaki cab*l?” Sean berusaha keras menahan tawanya. Gadis itu kebingungan. Emosi Zia mendadak turun, ia menoleh pada Risma yang sama kebingungan dengannya. Lantas, ia menatap kembali pada Sean. “Alasan saya kenapa meminta Penulis Zia untuk tinggal di rumah saya, agar mempermudah proses interview dengan saya. Pastinya Anda tahu kala
Tubuh Zia terasa melemas, tetapi ia tak mampu melawan. “Pak bolehkan saya menelepon editor saya dulu, sebelum saya memberikan ponsel saya?” Pak Sadin terlihat mengangguk. “Tentu saja, Nona!” jawab pak Sadin ramah. “Terima kasih, Pak,” ucapnya ramah, kemudian tangannya langsung membuka ponsel miliknya dan mencari nomor Risma dan ditekannya tulisan panggil. “Hallo, Kak Risma. Kak kenapa nggak bilang kalau ponselku nantinya disita?” keluh Zia pada Risma tanpa menyapanya dahulu saat sudah tersambung. “Kalau aku bilang, kamu pasti makin ngeluh dari malam hari sampai pagi. Terus kamu tidak akan bisa tidur, nanti bangunmu kesiangan,” sahut Risma dari balik telepon. Gadis itu menarik napas panjang. Ia tak bisa menyalahkan tindakan editor, sekaligus sahabatnya. Memang ucapan Risma benar, jika Zia sedang kesal ia akan kesulitan untuk tidur dan selalu bangun kesiangan. “Kamu nggak perlu khawatir dengan ayahmu! Aku sudah menengoknya dan mengatakan kalau kamu ada project menulis di luar kot
Tubuh Zia mematung dan tak bisa bersuara. Ia hanya bisa memandangi tubuh Asti yang berjalan cepat meninggalkan dirinya. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tetapi Zia bingung hendak bertanya pada siapa. Zia pun memilih masuk ke kamar yang ditujukan untuknya. Kedua netra Zia membulat sempurna saat ia memasuki kamar yang dipersembahkan untuknya. Kamar dengan nuansa merah muda dan putih. Itu adalah warna favoritnya. “Benarkan ini penjara untukku?” Zia menyindir dirinya sendiri, sedari tadi ia mengoceh rumah tersebut adalah penjara untuknya. Kring ... Zia terkejut. Kekagumannya pada kamarnya langsung sirna saat mendengar ponselnya berbunyi. Bukan ponselnya, tetapi ponsel pemberian pak Sadin. Gadis itu menatap layarnya dan bertuliskan Paman. Tangan dan hatinya bergetar hebat. “Paman siapa?”gumannya heran dan cemas. Gadis itu meneliti ponsel tersebut hingga suara deringnya menghilang karena tak ada menjawabnya. Ia langsung menarik napas lega. Rasanya kejadian tadi sangat menggunca
Zia terhuyung ke belakang mendengar ucapan Asti karena terkejut. Wajahnya panik dan tubuhnya makin bergetar hebat. Detak jantungnya makin tak karuan.“Si pa—paman, ah bukan! Tuan Sean hendak makan siang denganku?” Zia mencecar dirinya hingga membuatnya bertambah gugup.Asti yang masih berada di luar kamar Zia, kembali mengetuk pintu kamar Zia. “Nona, Nona baik-baik saja kah?” tanya Asti cemas karena ia tak mendengar suara Zia lagi.Gadis itu memaksa otaknya bekerja keras untuk menciptakan alasan agar dirinya tak perlu menemui Sean. Setelah ia yakin barulah ia membuka pintunya. Wajahnya maish terlihat panik, tetapi Asti menyambutnya dengan sennyuman ramah.“Mari ikut saya, Nona! Tuan Sean tidak suka menunggu,” pinta Asti seraya mempersilahkan pada Zia untuk mengikuti dirinya.Wajah Zia tersentak mendengar penjelasan Asti. “Tidak suka menunggu?” cetus Zia heran.“Benar, Nona. Tuan Sea
Sean mengukir senyuman puas melihat gadis di hadapannya gagap dan tampak salah tingkah. Lidah Zia terasa kelu melihat senyuman lelaki di hadapannya. Ia bingung dan panik, lalu dirinya memilih menundukkan pandangannya. Tak sanggup memandangi wajah Sean.“Kamu adalah tamuku dan aku yakin kamu belum makan dari tadi pagi. Jadi aku bawakan makanan untukmu,” jelas Sean seraya meletakkan nampan pada meja yang berada di dekat ranjang tidur Zia.“Ta—tapi aku belum lapar, Tuan,” kilah Zia gagap.Lelaki itu tertawa kecil hingga membuat Zia mengutuk dirinya dalam hati. Sean pasti mentertawakan dirinya yang terus berbicara gagap. Adakah cara untuknya menghilang dari pandangan Sean? Itulah yang sedang Zia pikirkan.“Kamu yakin belum lapar? Pak Sadin menjemputmu pagi hari loh,” tanya Sean dengan ekspresi berpikir.Tiba-tiba lelaki itu menatap dirinya dengan tatapan menggoda. Zia refleks memundurkan langkah kakinya. Gadis itu makin panih dan kebingungan mengartikan tatapan Sean.“Aku belum lapar!” s
Sean tersenyum melihat wajah Zia mematung. “Aku senang melihatmu hidup lebih baik dan menjalani kehidupan yang kamu inginkan,” ucapannya terhenti, ia melihat gadis di hadapannya mengatupkan mulutnya. “Kamu harus tahu kalau aku selalu mencarimu, dan aku begitu merindukanmu, gadis kecilku,” sambung Sean seraya menjauhkan wajahnya dari gadis kecilnya yang kini sudah tumbuh dewasa. Namun, wajah Zia masih mematung sesaat. Kemudian indera penglihatannya mengikuti Sean. Lelaki itu membungkuk ke di hadapannya. Bukan membungkuk, tetapi ia mengambil sendok dan garpu yang dijatuhkan Zia. “Aku akan mengganti sendok dan garpunya dulu,” ucapnya seraya menaikkan pandangannya. Tentu saja pandangannya langsung bertemu dengan Zia. Sean langsung bangkit dan berbalik, ia berjalan ke luar kamar gadis kecilnya dengan senyuman ceria. Sementara gadis itu seperti terpana. Zia memandangi tubuh lelaki itu hingga menghilang dari balik pintu. “Bagaimana ini, paman itu mengingat semuanya,” gumannnya dengan waj