Sadin, asistennya Sean memang selalu bisa diandalkan. Siang hari sebelum makan siang, Zia sudah datang bersama editor yang menaunginya. Ia pun langsung meminta keduanya yang sudah berada di depan ruang kerja Sean untuk masuk ke ruang kerja Sean.
“Silahkan masuk, Nona! Tuan Sean sudah menunggu di dalam,” ucap Sadin ramah seraya membukakan pintu ruang kerja Sean.
Dengan langkah gugup, Zia melangkah masuk ke dalam ruangan Sean. Zia sendiri belum mengetahui wajah Sean, karena editornya yang memberi kabar kalau Zia mendapatkan tawaran menulis biografi seorang CEO. Sadin mengekori langkah Zia dan editornya tersebut.
“Tuan, Penulis Zia dan editornya sudah sampai,” ucap Sadin tetap ramah.
“Terima kasih, Pak Sadin. Kamu boleh keluar!” jawab Sean yang duduk membelakangi meja kerjanya.
Sadin menurut keluar ruangan Sean. Sayangnya perbuatan Sean tadi, memberikan kesan tidak baik untuk Zia. Yang tersirat dalam pikiran Zia, sikap CEO di hadapannya tidak sopan. Wajah Zia tampak ragu untuk menjadi penulis CEO di hadapannya tersebut.
“Kak Risma, kamu yakin dia adalah CEO terbaik?” bisik Zia pelan pada wanita yang berada di sampingnya. “Lihat saja, CEO itu malah membelakangi kita, ‘kan nggak sopan.”
Wanita itu adalah Risma. Editor sekaligus sahabat terbaiknya yang membantu Zia menjadi seorang penulis hebat. Sebenarnya Zia adalah seorang penulis novel dengan genre romance, tetapi ia merasakan butuh pembaharuan untuk karya-karyanya. Zia memutuskan untuk mengalihkan tulisannya dengan menulis biografi orang-orang terkenal dan sukses. Setidaknya sudah ada 2 bukui bigrafi yang ia tulis langsung dari salah satu orang-orang sukses negeri ini.
Dari perjalanan kisah orang-orang sukses itu, Zia mempelajari perjuangan mereka. Tampaknya Risma tak sependapat dengan jalan pikiran Zia. Ia menyadarkan Zia yang sedang melamun membayangkan sikap menyebalkan CEO dihadapannya dengan menyikut lengannya. Zia meringkih pelan mendapatkan sikutan dari Risma.
“Jaga sikapmu!” tegur Risma halus dan berhasil membuat Zia menundukan pandangannya, walaupun Zia harus mengerucutkan bibirnya.
Sean bukannya bertindak tidak sopan dengan membelakangi tamunya, tetapi ia sedang mengatur napasnya karena tiba-tiba merasa salah tingkah untuk berhadapan dengan Zia, gadis kecilnya yang selama ini dicarinya. Terlihat hembusan napas dari mulut Sean, kemudian ia berdeham pelan. Isyarat ia sudah bisa menguasai dirinya. Sean pun memutar kursinya menghadap dua tamunya.
Mata Zia yang tadinya menatap malas pada belakang kursi di hadapannya, langsung membulat sempurna. Zia melihat jelas wajah CEO yang akan dijadikan tokoh biografinya. Ia masih mengenali lelaki tersebut. Mulutnya bahkan terbuka lebar dan seperti berucap kata paman. Buru-buru ia menutup mulutnya, karena Risma menyukut lengannya lagi.
“Aku kan sudah bilang kalau CEO kali ini sangat tampan, jadi jangan berlebihan!” bisik Risma dengan nada kesal karena Risma mengiranya kalau Zia bereaksi berlebihan.
“Maafkan aku, Kak,” sesalnya.
Sean tersenyum ramah menyembunyikan suasana hatinya yang berhasil menemukan Zia. Ia harus profesional karena saat ini pertemuannya dengan Zia adalah tentang pekerjaan dan juga ada Risma. Sean juga terkenal dengan kepribadian yang sangat tegas dan profesional, jadi ia tidak mau merusak citra yang sudah ia buat tentang dirinya.
“Silahkan duduk!” tunjuk Sean pada sofa yang berada di depan meja kerjanya.
Sekarang, yang perlu mengatur napasnya adalah Zia. Terlihat jelas kedua tangannya bergetar karena grogi. Zia pun merasakan hal yang sama dengan Sean. Selama ini Zia juga menyimpan rasa yang sama pada Sean. Bedanya perasaan untuk berterima kasih dan menyesal telah mencuri uangnya.
Setelah kejadian malam itu, Zia mencuri isi dompet Sean tanpa sisa. Zia terpaksa mengambil uang Sean untuk melangsung hidupnya, ia sudah bertekad untuk menjauh dari hidup ibunya. Ternyata, uang yang dicurinya dari dompet Sean sangatlah banyak sekali, hingga cukup untuk menyewa kontrakan dan membeli ponsel baru, kemudian sisanya ia gunakan untuk membeli makan.
Dengan ponsel baru miliknya Zia meneruskan hobinya menulis. Zia memasukan cerita ke berbagai platform novel online. Beruntungnya novelnya banyak peminatnya hingga ia bisa menghasilkan uang dari hasil menulisnya, hingga ia bisa membiayai hidupnya sendiri. Zia melupakan keingainannya untuk melanjutkan kuliah. Kemudian dari novel onlien itu bertemu dengan Risma yang membantu dan membimbingnya hingga Zia bisa menerbitkan buku novel dan menjadi salah satu penulis yang terkenal.
Pandangan Zia tak bisa lepas dari wajah Sean. Ia ingin meminta maaf telah mencuri uangnya dulu dan berterima kasih, karena dengan uang tersebut ia bisa bisa bertahan hidup. Zia bahkan melupakan kejadian terlarang mereka karena Zia tidak bisa menyalahkan Sean. Ia sadar saat itu mereka berdua berada dalam pengaruh alkohol.
“Apakah Paman itu tidak mengenalku?” Zia bertanya dalam hatinya, karena wajah Sean tampak profesional sekali, seolah tak mengenal dirinya.
“Baiklah, kita langsung bahas tentang peraturan dan perjanjian kontraknya saja,” ucap Sean menyadarkan lamunan Zia. Zia refleks menunduk saat Sean menatap wajahnya.
“Tentu saja Tuan Sean. Kami senang sekali Tuan Sean memilih penulis kami untuk menuliskan biografi Pak Sean,” sahut Risma bersemangat. “Zia ini adalah salah satu penulis terbaik saya. Saya yakin Tuan Sean tidak akan kecewa dengan hasil tulisan Zia,” jelas Risma memuji Zia.
Sayangnya Zia kembali memasuki dunia lamunanya. “Zia, sadarlah! Dia bukan Pamanmu, CEO itu kebetulan bertemu denganmu. Kamu seharusnya berdoa agar CEO itu tidak mengingat wajahmu yang sudah mencuri uangnya!” Zia memarahi dirinya dalam hati.
Tanpa Zia sadari kalau Sean menatap wajahnya yang tertunduk. Pikiran Zia dilanda kebingungan. Ia bahkan bingung harus memasang wajah apa saat ini? Zia melihat lelaki di hadapannya tak menaruh perasaan apa pun padanya. Zia terus bertanya-tanya kenapa Sean tak mengenali dirinya, padahal ia sangat mengenali wajah Sean.
“Terima kasih, Nona Risma. Saya sudah mempelajari biodata penulis Zia. Penulis Zia, kapan kamu bisa memulainya? Saya yakin makin cepat makin baik,” ujar Sean ramah lalu bertanya pada Zia.
Sayangnya Zia masih terlarut dalam lamunanya. Hati dan pikirannya benar-benar sedang tidak berada dalam tempatnya. Tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas karena memikirkan sikap Sean yang tak mengenali dirinya. Ingin sekali ia mengacak rambutnya sendiri agar bisa sadar.
“Zia, Zia.” Risma memanggilnya, tetapi Zia tak meresponnya.
Plak! Risma menepuk lengannya kuat sembari memanggil namanya. Pikiran Zia langsung buyar. Ia menoleh kebingungan saat menatap Sean lalu menoleh pada Risma yang memanggil namanya. Wajahnya sedikit panik saat menyadari Risma menatapnya kesal.
“Ah, maaf Kak. Ada apa?” tanya Zia menyesal kemudian.
Risma melirik ke arah Sean, mengisyaratkan kalau ia harus meminta maaf pada Sean. Zia pun memberanikan diri menatap wajah Sean. Wajah Sean kini terlihat datar. Ya, memang Sean sengaja memasang wajah datar padanya.
“Maafkan saya, Tuan Sean. Saya benar-benar bahagia karena Tuan Sean memilih saya sebagai penulis biografi Tuan. Saking bahagianya, saya terlalu banyak mengkhayal,” ucap Zia memberi alasan sekenanya saja.
Zia berkilah menutupi rasa cemas dan malunya. “Astaga Zia, sedang apa kamu? Ingatlah kamu sedang butuh uang banyak. Jadi, kamu harus profesional agar tidak mengecewakan CEO ini.” Lagi, Zia memarahi dirinya sendiri dalam hatinya, menegaskan dirinya agar tidak melakukan kesalahan yang patal.
“Sepertinya penulis Nona Risma tidak bisa profesional karena tidak menyimak kata-kata saya dengen baik,” protes Sean dengan nada tegas.
Wajah Risma langsung berubah panik, sedangkan Zia terlihat ketakutan. “Maafkan saya, Tuan Sean. Biasanya Zia tidak pernah bersikap seperti ini. Mungkin benar apa yang dikatakannya kalau Zia ini terlalu bahagia,” timpal Risma.
Risma menunjukan wajah sungguh-sungguhnya dan Zia memasang wajah menyesal. Ia kembali tertunduk, hatinya memarahi dirinya lagi. Sean tersenyum tipis melihat wajah Zia yang menyesali perbuatannya. Memang Sean sengaja membuat wajah Zia ketakutan. Menurutnya ekspresi wajah Zia sangat menggemaskan saat cemas dan ketakutan.
“Apakah Anda yakin bisa merubah sikap Anda? Sekarang wajah Anda saja tidak mencerminkan rasa bersungguh-sungguh?” Pertanyaan Sean terdengar tegas. Wajahnya menatap tegas pada wajah Zia.
“Saya janji, saya pasti bisa profesional,” jawab Zia langsung, wajahnya menunjukan rasa penuh semangat.
Tiba-tiba wajah Zia berubah menjadi cemas dan grogi, ketika kedua matanya bertatapan langsung dengan kedua mata Sean. “Ada apa ini? Kenapa tatapannya seperti itu?”
Indera penglihatan Zia menaik karena panik. Sedetik saja, kedua netranya langsung bertemu dengan Sean. Untung lelaki itu langsung memutuskan kontak mata dengannya. Sean menoleh pada Risma. Tampaknya lelaki itu khawatir Zia akan mengalami kesulitan bernapas. Memang benar, gadis itu menahan napasnya saat bertatapan langsung dengannya. Bahkan gadis itu merasa bibirnya terasa terkunci.“Baiklah kalau begitu. Tujuan saya mengundang Nona Zia dan Nona Risma untuk menandatangani kontrak,” ucap Sean diikuti senyuman ramahnya.Namun, untuk Zia ucapan lelaki itu malah membuat dirinya terkejut dan panik, bahkan tangannya terlihat bergetar. Zia refleks bersuara karena sangat terkejut, “Secepat itu?” cetusnya hingga membuat Sean dan Risma menatapnya heran. “Maksudku lebih cepat lebih baik.” Zia langsung menjawab asal untuk menutupi rasa paniknya diakhiri tawa garing.Terdengar pintu ruangan kerja Sean terbuka. Terlihat pak Sadin memasuki ruangan Sean dengan membawa dua buah map. Map tersebut dibe
Reaksi Zia mengejutkan seluruh ruangan itu. Risma bahkan sampai memukul lengan Zia keras. Menurutnya reaksi penulisnya bereaksi berlebihan. Tentu saja, gadis itu protes. “Kak, aku tidak mau tinggal satu rumah dengan laki-laki yang tidak aku kenal,” suara Zia tegas, kemudian ia menatap tajam pada CEO di hadapannya. “Jangan mentang-mentang Tuan Sean ini CEO! Anda kira saya wanita murahan!” Sean yang mendapatkan cercaan Zia hanya tersenyum dan tertawa kecil. Ekspresi marahnya makin terlihat menggemaskan di matanya. Cepat-cepat ia mengakhiri tawanya, gadis itu makin membulatkan matanya dan menggertakkan giginya. “Tenanglah, Penulis Zia! Anda pikir saya ini lelaki cab*l?” Sean berusaha keras menahan tawanya. Gadis itu kebingungan. Emosi Zia mendadak turun, ia menoleh pada Risma yang sama kebingungan dengannya. Lantas, ia menatap kembali pada Sean. “Alasan saya kenapa meminta Penulis Zia untuk tinggal di rumah saya, agar mempermudah proses interview dengan saya. Pastinya Anda tahu kala
Tubuh Zia terasa melemas, tetapi ia tak mampu melawan. “Pak bolehkan saya menelepon editor saya dulu, sebelum saya memberikan ponsel saya?” Pak Sadin terlihat mengangguk. “Tentu saja, Nona!” jawab pak Sadin ramah. “Terima kasih, Pak,” ucapnya ramah, kemudian tangannya langsung membuka ponsel miliknya dan mencari nomor Risma dan ditekannya tulisan panggil. “Hallo, Kak Risma. Kak kenapa nggak bilang kalau ponselku nantinya disita?” keluh Zia pada Risma tanpa menyapanya dahulu saat sudah tersambung. “Kalau aku bilang, kamu pasti makin ngeluh dari malam hari sampai pagi. Terus kamu tidak akan bisa tidur, nanti bangunmu kesiangan,” sahut Risma dari balik telepon. Gadis itu menarik napas panjang. Ia tak bisa menyalahkan tindakan editor, sekaligus sahabatnya. Memang ucapan Risma benar, jika Zia sedang kesal ia akan kesulitan untuk tidur dan selalu bangun kesiangan. “Kamu nggak perlu khawatir dengan ayahmu! Aku sudah menengoknya dan mengatakan kalau kamu ada project menulis di luar kot
Tubuh Zia mematung dan tak bisa bersuara. Ia hanya bisa memandangi tubuh Asti yang berjalan cepat meninggalkan dirinya. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan tetapi Zia bingung hendak bertanya pada siapa. Zia pun memilih masuk ke kamar yang ditujukan untuknya. Kedua netra Zia membulat sempurna saat ia memasuki kamar yang dipersembahkan untuknya. Kamar dengan nuansa merah muda dan putih. Itu adalah warna favoritnya. “Benarkan ini penjara untukku?” Zia menyindir dirinya sendiri, sedari tadi ia mengoceh rumah tersebut adalah penjara untuknya. Kring ... Zia terkejut. Kekagumannya pada kamarnya langsung sirna saat mendengar ponselnya berbunyi. Bukan ponselnya, tetapi ponsel pemberian pak Sadin. Gadis itu menatap layarnya dan bertuliskan Paman. Tangan dan hatinya bergetar hebat. “Paman siapa?”gumannya heran dan cemas. Gadis itu meneliti ponsel tersebut hingga suara deringnya menghilang karena tak ada menjawabnya. Ia langsung menarik napas lega. Rasanya kejadian tadi sangat menggunca
Zia terhuyung ke belakang mendengar ucapan Asti karena terkejut. Wajahnya panik dan tubuhnya makin bergetar hebat. Detak jantungnya makin tak karuan.“Si pa—paman, ah bukan! Tuan Sean hendak makan siang denganku?” Zia mencecar dirinya hingga membuatnya bertambah gugup.Asti yang masih berada di luar kamar Zia, kembali mengetuk pintu kamar Zia. “Nona, Nona baik-baik saja kah?” tanya Asti cemas karena ia tak mendengar suara Zia lagi.Gadis itu memaksa otaknya bekerja keras untuk menciptakan alasan agar dirinya tak perlu menemui Sean. Setelah ia yakin barulah ia membuka pintunya. Wajahnya maish terlihat panik, tetapi Asti menyambutnya dengan sennyuman ramah.“Mari ikut saya, Nona! Tuan Sean tidak suka menunggu,” pinta Asti seraya mempersilahkan pada Zia untuk mengikuti dirinya.Wajah Zia tersentak mendengar penjelasan Asti. “Tidak suka menunggu?” cetus Zia heran.“Benar, Nona. Tuan Sea
Sean mengukir senyuman puas melihat gadis di hadapannya gagap dan tampak salah tingkah. Lidah Zia terasa kelu melihat senyuman lelaki di hadapannya. Ia bingung dan panik, lalu dirinya memilih menundukkan pandangannya. Tak sanggup memandangi wajah Sean.“Kamu adalah tamuku dan aku yakin kamu belum makan dari tadi pagi. Jadi aku bawakan makanan untukmu,” jelas Sean seraya meletakkan nampan pada meja yang berada di dekat ranjang tidur Zia.“Ta—tapi aku belum lapar, Tuan,” kilah Zia gagap.Lelaki itu tertawa kecil hingga membuat Zia mengutuk dirinya dalam hati. Sean pasti mentertawakan dirinya yang terus berbicara gagap. Adakah cara untuknya menghilang dari pandangan Sean? Itulah yang sedang Zia pikirkan.“Kamu yakin belum lapar? Pak Sadin menjemputmu pagi hari loh,” tanya Sean dengan ekspresi berpikir.Tiba-tiba lelaki itu menatap dirinya dengan tatapan menggoda. Zia refleks memundurkan langkah kakinya. Gadis itu makin panih dan kebingungan mengartikan tatapan Sean.“Aku belum lapar!” s
Sean tersenyum melihat wajah Zia mematung. “Aku senang melihatmu hidup lebih baik dan menjalani kehidupan yang kamu inginkan,” ucapannya terhenti, ia melihat gadis di hadapannya mengatupkan mulutnya. “Kamu harus tahu kalau aku selalu mencarimu, dan aku begitu merindukanmu, gadis kecilku,” sambung Sean seraya menjauhkan wajahnya dari gadis kecilnya yang kini sudah tumbuh dewasa. Namun, wajah Zia masih mematung sesaat. Kemudian indera penglihatannya mengikuti Sean. Lelaki itu membungkuk ke di hadapannya. Bukan membungkuk, tetapi ia mengambil sendok dan garpu yang dijatuhkan Zia. “Aku akan mengganti sendok dan garpunya dulu,” ucapnya seraya menaikkan pandangannya. Tentu saja pandangannya langsung bertemu dengan Zia. Sean langsung bangkit dan berbalik, ia berjalan ke luar kamar gadis kecilnya dengan senyuman ceria. Sementara gadis itu seperti terpana. Zia memandangi tubuh lelaki itu hingga menghilang dari balik pintu. “Bagaimana ini, paman itu mengingat semuanya,” gumannnya dengan waj
“Ada apa, Penulis Zia?” tanya Sean dengan tatapan heran. Gadis tersebut terlihat memainkan bibirnya dengan giginya, hingga lima detik berlalu tak ada suara yang keluar setelah memanggill dirinya. Gadis tersebut ternyata hanya bisa menngungkap rasa sukanya dalam hati, jadi bagaimana lelaki itu tahu kalau dirinya berkata terima kasih dan ia juga mencari Sean. Sepertinya ia perlu mengumpulkan keberanian yang lebih banyak lagi, tetapi kapan? “Gadis kecil?” Zia tersentak dengan panggilan Sean barusan. Pikiran dan keberaniannya buyar. Sean masih menganggapnya gadis kecil. “Ti—tidak apa-apa, Tuan. Aku hanya akan mengumpulkan materi untuk wawancaramu nanti sore,” kilah Zia menutupi rasa panik dan cemasnya. “Baiklah, akan aku usahan untuk pulang cepat,” sahut Sean, kemudian lelaki itu tersenyum tipis sebelum menutup pintu kamar Zia. Gadis itu terkulai lemas. Tubuhnya melorot dari posisi duduk tegapnya. Pikirannya kembali berkecambuk. Dia senang Sean masih mengingatnya, tetapi dengan sebuta