Siapa yang meyangka perjalanan dua jam lebih siang ini ternyata sudah lewat begitu saja. Meski suasana di dalam mobil terasa seperti di neraka. Terutama buat Hana yang semakin benci dengan Pak Robert.
Bos sialan satu itu sampai detik ini masih belum juga menjawab pertanyaan Hana. Bagaimana mungkin pulau reklamasi di Perairan Dumadi tidak punya kamar hotel mewah tersisa? Pasti ini semua akal-akalan Pak Robert biar dia bisa menikmati tubuh Hana diam-diam. Ini semua pasti sudah direncanakan bos busuk satu itu.
Namun apalah daya Hana di hadapan Pak Robert dia cuma bawahan. Dia tak bisa mendesak Pak Robert. Toh waktu yang ia punya tidak banyak, tidak mungkin putar balik pulang. Perahu boat mewah yang disiapkan Siska sudah menunggu di dermaga depan sana.
&nbs
Kapal boat mewah yang sudah berpindah tangan dari pemilik sebelumnya ke tangan Pak Robert melaju. Bukan cuma body kapal yang dirombak total, tapi juga dua mesin utama yang tengah menderu halus memutar kipas di bawah permukaan air. Kapal berwarna putih tulang dengan tulisan PT. Cakra tergambar di tubuhnya memecah ombak. Berselancar di atas lapisan air membawa tiga orang penting di atasnya. “Gimana kapalnya sekarang?” Pak Robert muncul dari balik pintu ruang kemudi. Mengalihkan perhatian Fredy yang sebelumnya sibuk memperhatikan kecepatan kapal. “Jadi lebih enak kan sekarang?” Ibu jari Fredy menyusul tubuhnya yang sudah lebih dulu menoleh. “Mantap sih ini, Pak.” Kembali perhatian Fredy tertuju pada perairan di hadapan perahu.
“Pak Robert mending diem deh,” ketus Hana dengan mata melotot. Fredy yang baru pertama kali bertemu Hana sampai terperangah kaget. Baru kali ini ia melihat ada asisten pribadi yang seberani itu pada Pak Robert. Asisten Pak Robert sebelumnya yang pernah Fredy temui tak ada yang seberani Hana. Jangankan menyuruh Pak Robert diam, menurunkan senyum kaku mereka saja rasanya tak pernah. “Gara-gara Pak Robert saya dan Arya jadi putus. Gara-gara bapak loh semua chatku nggak ada yang dibalas Arya. Pak Robert jahat banget asli.” “Hah?? Serius?” Kedua alis Pak Robert sampai terangkat saking keheranannya.&nbs
Siapa juga yang mengira Arya sudah berdiri di sana. Seperti penerima tamu, berdiri tegap persis di ujung tangga satu-satunya jalan menuju pintu masuk hotel. Berdiri dengan jaket hoodie Tim Arkana yang khas dengan corak warna merah hitam. Dicetak sedemikian rupa dengan nomor punggung dan nama Arya tertulis jelas di belakangnya. “Ka-kamu …” Hana masih belum juga bisa mengendalikan tubuhnya. Gugur, kaget, bercampur getir yang mengerubungi hati jadi satu. Hana sendiri tak tahu ekspresi seperti apa yang harus ia pasang sekarang. Senang? Sedih? Terharu? Panik? Hana tak bisa mendefinikan perasaan yang ia rasakan saat ini. Satu sisi Hana bahagia sekaligus terharu, akhirnya rasa rindunya dilunasi sekarang. Akhirnya ia bisa bertemu lagi dengan sosok laki-laki yan
Pertemuan yang sama-sama tidak pernah Hana atau Arya sangka berlangsung cukup lama. Di depan hotel, disaksikan banyak orang mulai dari media sampai tim-tim basket lain. Ciuman yang kembali lahir menyambung kembali hubungan mereka Hana yang awalnya Arya akan mengacuhkannya sekarang mendapatkan jawaban yang di luar dugaan. Cinta Arya pada Hana sama kuatnya dengan cinta Hana pada anggota Tim Arkana itu. “Aku main besok sore,” ucap Arya di pengujung perpisahan. Dengan lembut mengangkat tangan Hana dan mengecup punggung tangannya. “Aku harap kamu bisa datang ya besok. Biar aku lebih semangat,” tandasnya dengan mata berkaca-kaca iba. “Aku selama ini kesepian nggak ada kamu, Han.” Senyum paling manis te
“Gaji ??” Pertanyaan Han sontak mengerutkan dahi Pak Robert. “Oh my god …” Buku tentang mengelola perusahaan digital di tangan Pak Robert jadi tak lagi menarik. Buku ditutup, perhatian Pak Robert sekarang terkunci sepenuhnya pada Hana. “Kamu kerja sama aku baru 4 hari loh. Lima hari aja belum genap. Bisa-bisanya udah minta gaji.” “Ayolah, Pak.” Hanya terduduk lemas di pinggir ranjang. Duduk menghadap Pak Robert yang merebahkan tubuhnya di ranjang seberang. “Saya butuh banget uang sekarang.” “Butuh uang??! Buat apa, Han??” Pak Robert sedikit menaikkan nada bicaranya. “Buat apa coba? Segala akomodasi kamu sekarang ditanggung perusahaan. Makan kamu, transportasi, akomodasi, bahkan sampai baj
“Sudah aku kirim ke rekenigmu.” Pak Robert menunjukkan layar ponselnya.Hana yang masih duduk di tepi ranjang balas tersenyum lebar, meski ada sedikit penyesalan yang tak bisa ia tepis dari alasan bodoh yang ia pakai tadi. “Makasih ya, Pak.”“Iya sama-sama.”Yang tidak Pak Robert tahu adalah alasan sebenarnya untuk apa Hana mengambil uangnya. Kalau saja Pak Robert tahu, ia tak akan sudi memberi uang pada karyawan yang baru bekerja dengannya 4 hari.Sekitar satu jam yang lalu, Pak Robert yang sudah muak melihat romantisme dua orang di depan hotel memutuskan pergi meninggalkan mereka. Meneruskan perjalanannya ke lantai lima yang sempat tertunda. Pilih menunggu Hana di kamar hotel mewah mereka.Padahal, andai saja Pak Robert mau menunggu sedikit lebih lama. Ia pasti bisa tahu untuk apa sebenarnya uang yang Hana minta barusan. Ini semua terjadi karena Arya. Kalau bukan karena laki-laki itu, Hana tak akan sudi melakuk
“Aku sudah kirim sepuluh juta ke rekeningmu, Ya.” Ibu jari Hana menekan tombol pesawat warna hijau. Pesan pendeknya meluncur menyusul sebuah screenshoot bukti transfer yang sudah lebih dulu berangkat. Kulit ibu jarinya mengambang di atas permukaan layar digital, ada banyak yang isi kepala Hana ingin sampaikan. Tapi ibu jarinya tak lantas mengetikkan apa pun. Sempat ia menuliskan beberapa kata seperti; “Tolong dihemat, Ya.” “Uang itu sangat berharga buat aku. Aku sampai harus bohong pakai nama ibuku. Jangan dihambur-hamburkan seenaknya, Ya.’&n
Waktu yang membeku mendobrak batas tebal yang selama ini terpasang di antara Hana dan Pak Robert. Batas tak kasat mata yang membedakan mereka. Atasan dan bawahan, laki-laki paruh baya dan wanita kemarin sore, Hana yang egois tapi cengeng, Pak Robert yang kesepian di balik pribadinya yang serba mandiri. Dua detik rasanya seperti dua jam, Hana terjebak di dalam teduh tatap mata Pak Robert. Pria dewasa yang hanya dengan menatapnya saja bisa merasakan rasa aman, jauh dari semua hal yang mengkhawatirkan. Dua detik yang juga rasanya seperti dua jam untuk Pak Robert sebab tersesat di bening nan biru bola mata Hana. Parasnya yang cantik meski tanpa make up. Bibirnya yang tipis, bulu matanya yang lentik serta deretan gigi yang rapi. Tingkah menyebalkannya sanggup jadi pelipur sepi
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y