Beberapa hari berikutnya, Arjuna mengajak Lily mengisi sisa waktu cutinya untuk beres-beres dan mengatur segala sesuatunya yang akan digunakan untuk memulai usaha baru.
Sementara, Rizal tak mau kalah. Ia mengisi waktu yang ia miliki dengan terus mendekati anak-anaknya kembali.
Sudah beberapa malam, ia selalu tidur dengan Abidzar dan Hussein. Sepertinya ia benar-benar kesepian. Kendati demikian, Rizal tidak berusaha menghubungi Nessa, ia seperti tidak membutuhkan kehadiran Nessa lagi.
"Bi ...." panggil Rizal di suatu malam sebelum tidur pada putra sulungnya.
"Apa, Pa?"
"Paman Juna, baik enggak sama Abi sama husen?"
"Baik, Pa! Paman Juna kan emang dari dulu baik sama kita, Pa!" jawab Abidzar polos, membuat Rizal harus menelan rasa kecewa.
"Nanti ... kalau kita ke Balikpapan, Abi sama Husen pengen enggak, kalau kita jalan berempat lagi sama mama? Seperti dulu, pas belum ada Tante Nessa?" Rizal memancing pembicaraan.
Pagi-pagi sekali, Rizal masih enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Sejak tadi ia hanya berbaring sambil sesekali senyum-senyum sendiri. Hayalannya belum juga bisa lepas dari keindahan yang akan dilaluinya esok, di hari Minggu.Ia kemudian pindah tempat bersantai, di depan televisi. Tak sabar rasanya menunggu kedua anaknya pulang sekolah. Ia sudah menyiapkan telinganya baik-baik, untuk menguping drama keluarga Arjuna, dimana dia berperan sebagai sutradaranya.Sementara Arjuna juga masih bersantai menonton TV saja di kamar. Segala urusan di ruko sudah beres. Rencana, senin baru akan dimulai usaha mereka. Mbak Fi hari minggu pagi, baru tiba di sana. Lily sendiri setelah beberes di kamar mereka, langsung beberes di kamar kedua anaknya. Bu Erna tidak tahu, apa yang ia lakukan di kamar yang selalu tertutup rapat.Terdengar suara pintu diketuk. Rizal yang sedang asik menonton televisi tidak mendengar. Terdengar suara ketukan sekali lagi. Kamar Abi dan Husen yang dek
Hari sudah beranjak siang. Bukannya senang, perasaan Rizal malah gelisah dengan kedatangan Nessa yang mendadak, tanpa menelpon terlebih dahulu.Ia hanya menatap punggung Nessa yang kembali memasukkan pakaiannya di lemari. Nessa sedari tadi juga diam, tidak menjelaskan apa-apa, membuat Rizal bertanya-tanya dalam hati. Tapi, ia juga enggan untuk mengutarakan pertanyaanya. Takut membuat Nessa marah. Rizal sedang tidak ingin ribut.Pikiran Rizal masih disibukkan oleh rencananya yang terancam batal. Mana mungkin ia bersenang-senang, jika ada Nessa. Nessa pasti akan ikut, atau sebaliknya, Nessa akan melarangnya. Hati Rizal menjadi Risau, mengingat janjinya pada Abidazar dan Hussein.Rizal melirik jam tangan. Sebentar lagi, waktu pulang sekolah anak-anak. Tiba-tiba Rizal panik, mengingat perintahnya pada Abidzar dan Hussein tadi malam. Ia langsung melompat turun dari pembaringan, berinisiatif untuk menjemput mereka dan membatalkan perintahnya tadi malam. Bisa runyam ak
Arjuna merekam baik-baik apa yang Abidzar katakan tadi. Hatinya mulai berontak. Bukankah selama ini ia sudah cukup baik, memberi Rizal dan Ibunya tempat tinggal. Separuh kebutuhan rumah ia yang membayar. Memberi uang tak pernah telat pada Bu Erna untuk membantu biaya kehidupan mereka sehari-hari. Ia tak mempermasalahkan Rizal dari saat ia bekerja dulu sampai beristri dua yang tak pernah tahu soal pengeluaran listrik dan air mereka dalam sebulan.Bisa-bisanya Rizal memfitnah dirinya sebagai pemilik rumah. Arjuna mengepalkan tangan dan jemarinya sendiri, berusaha supaya amarahnya tidak meledak di depan Lily.Bukan hal itu saja yang membangkitkan geram di hati Arjuna, melainkan ajaran yang ia berikan pada kedua anaknya yang masih polos. Arjuna merasa Rizal sudah mati rasa pada anaknya sendiri. Jika tidak, mana mungkin ia mengajarkan hal buruk pada kedua anaknya. Ayah mana yang ingin melihat anak memiliki kpribadian yang buruk. Mungkin hanya Rizal seorang.Lil
Di kamar lain, Rizal membolak-balikkan tubuhnya dengan gelisah di tempat tidur. Bukan tanpa sebab, sejak tadi ia mendengar suara anak-anaknya menangis, walaupun tidak terlalu keras, namun sampai juga di telinganya.Suara tangisan itulah yang membuat ia tidak bisa berhenti menduga. Apakah kedua anaknya menangis karena menjalankan perintahnya, atau karena di marahi oleh Lily?Jika mereka menangis karena menjalankan perintahnya, matilah dia. Karena sejak kedatangan Nessa, ia sudah berniat membatalkan rencana mereka. Ia yakin, Nessa tak akan mengijinkan.Tapi, kalaupun mereka berdua menangis karena dimarahi oleh Lily, pasti tetap ada hubungan dengan perintahnya. Semakin banyak pertanyaan di kepala Rizal, semakin gelisah pula dirinya di tempat tidur.Tok ... tok ... tok ...Rizal mendadak meriang mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia yakin, itu pasti Lily, datang untuk memarahi dan memakinya habis-habisan."Bukain, Nes!" perintahny
Nessa mengikuti langkah Rizal menuju kamar dengan tergesa-gesa. Sampai di kamar, Rizal yang kesal langsung membuka lemari, kemudian menarik dan menghempas semua pakaian yang ada ke lantai."Ini! Kamu masukin semuanya ke dalam tas! Semua ini gara-gara kamu!" ucapnya sambil terus menurunkan pakaian mereka dengan kasar."Mas! Kok semua gara-gara aku? Pelan-pelan kenapa sih?" ucap Nessa tak terima, sambil memungut satu persatu pakaian yang berceceran."kenapa dari awal datang, kamu enggak cerita kalau kamu sudah dipecat?""Apa hubungannya antara aku dipecat sama kamu diusir, Mas?" Nessa berbicara nyaring."Ya, kalau aku tahu kamu sudah enggak kerja lagi, aku enggak bakal nyanggupin pergi hari ini juga!" jawab Rizal sengit."Salahmu sendiri, Mas! Kenapa enggak berusaha membujuk kakakmu yang sombong itu!""Uh!"Rizal menghempas pakaian terakhir dari lemari mereka kuat-kuat untuk menumpahkan kekesalannya."Sekarang ki
Selepas tidur siang, Abidzar dan Hussein mencari keberadaan ayah mereka. Mereka langsung menuju ke kamar Rizal. Melihat tidak ada siapa-siapa, mereka berdua pergi ke kamar ibu mereka.Setelah mengetuk pintu, keduanya masuk dan Abi langsung bertanya,"Ma, Papa kemana? Kok enggak ada di kamarnya?""Papa ... mungkin ... mungkin Papa pergi sama Tante Nessa, Nak!" jawab Lily."Memangnya, Tante Nessa tadi ada, Ma?"Lily mengangguk. Wajah Abi dan Husen langsung berubah sedih. Bila ada Nessa, Rizal langsung melupakan mereka berdua."Ma! Besok ... papa jadi, kan? Ngajak kita ke Trans Studio?" Lily menatap anaknya bergantian."Papa enggak ada ngomong apa-apa tadi sebelum pergi, Sayang?""Emang Papa pergi kemana sih, Ma? Lama enggak ya?" Abi mulai resah."Enggak tahu juga. Coba Abi sama Husen periksa lemari Papa. Kalau bajunya enggak ada, berarti Papa perginya lama," perintah Lily akhirnya karena bingung mau menje
Keesokan harinya, Rizal dan Nessa kembali melanjutkan mencari rumah sewaan. Seseorang menunjukkan bahwa ada satu kamar yang kosong berupa bangsalan, tapi posisinya sedikit masuk gang."Bagaimana, Nes? Aku sudah capek nyari dari kemaren?" Rizal mengusap wajah putus asa. Nessa memasang wajah kecewa."Udah! Aku mau ambil aja. Kalau kamu enggak mau ikut, Aku enggak maksa. Daripada bikin masalah!"Rizal memutuskan untuk menuju pada alamat, yang ditunjuk oleh orang tempat mereka bertanya tadi. Setelah menemui pemilik bangsalan, Rizal menurunkan semua barang miliknya.Nessa masih enggan turun dari mobil. Tapi, apa boleh buat. Walaupun terpaksa, ia ikut menurunkan barangnya juga. Nessa melihat ke sekeliling dengan perasaan gelisah. Pemilik bangsalan membukakan pintu untuk mereka dan menyerahkan kunci."Mas, kamu yakin tinggal di sini?" tanya Nessa sambil memasukkan tasnya ragu-ragu."Kalau bukan di sini, mau di mana lagi?" tanya Rizal.
"Biarlah, anak-anak nanti menjadi tanggung jawabku! Doakan aja usaha ini berjalan lancar, sama seperti waktu usahaku yang dulu mendadak kutinggalkan," ucap Lily berusaha tersenyum."Tapi kan, Ly! Kamu sekarang istriku. Aku juga dosa kalau enggak nafkahin kamu. Memang tidak ada kewajiban ayah tiri menafkahi anaknya. Tapi , aku ingin menafkahi keponakanku sendiri, karena ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu saudaraku," ucap Arjuna memberi alasan yang memang sangat logis. Lily diam mencerna ucapan Arjuna."Nafkahi aku sewajarnya saja, Juna. Cukup kasih aku buat biaya makan kita sehari-hari aja," jawab Lily masih merasa tak enak hati."Ya sudah. Makanya kamu pegang aja ini, beli saja apa yang dibutuhkan," Arjuna kembali memberikan kartu ATM ke tangan Lily."Juna ... tolong jangan membebani aku! A-aku merasa enggak pantas memegang ini. Aku kan, hanya menjadi istrimu di depan orang-orang saja. Selama berdua, kita enggak pernah melakukan sesuatu
"Waduh!" Rizal garuk-garuk kepala."Ta-pi, saya bukan suaminya, Mbak," tolak Rizal."Oh, Maaf! Suaminya kemana?""Suaminya di tempat kerja. Hapenya ketinggalan, tapi, nanti ada ibu saya datang dampingin," jelas Rizal. Perawat akhirnya mengerti. Rizal kembali menelpon ibunya yang tak kunjung tiba. Tapi tak di angkat-angkat. Beberapa saat kemudian, wajah Rizal berubah cerah saat Bu Erna sudah tiba di pintu ruang bersalin.Rizal segera membawa Ayezha menjauh, dan Bu Erna langsung masuk dan mendekat pada Lily, yang mulai mengejan. Ia langsung memegang tangan Lily dan menyapu bulir keringat yang menempel di dahinya."Oooeeek ... oeeeek ...."Karena ini pengalaman ke empat kalinya Lily melahirkan, tak perlu waktu lama mengejan, terdengar suara tangis bayi. Lily langsung terkulai lemas. Bayi yang sangat mungil karena lahir di bulan ke tujuh itu diangkat oleh perawat untuk dibersihkan. Bu Erna sendiri, membantu membersihkan anggota
Rizal mengangkat wajahnya pelan-pelan mengikuti arah ekor mata Lily, melirik-lirik pada pasien yang mengisi di satu bagian ruangan mereka."Iya. Kayaknya iya!" jawab Rizal setengah berbisik juga.Mereka semua penasaran apa yang terjadi dengan Nessa. Kenapa yang menjaganya bukan ayah atau ibunya. Kenapa dia didampingi oleh dua orang asing yang sebaya dengan mereka? Nessa sendiri begitu menatap mereka dengan tatapan kosong. Seolah mereka tidak pernah saling mengenal.Rizal jadi penasaran. Arjuna pun mendukungnya untuk mendekat. Nampaknya ia juga sangat penasaran. Begitu wanita yang ikut menjaga Nessa tadi keluar, Rizal mewakili mereka semua mendekat."Permisi Pak. Dia Nessa kan?""Iya," jawab lelaki tadi singkat sambil menoleh."Dia sakit apa? Perempuan yang tadi disini siapanya? Ibu sama Bapaknya kemana?" Rizal memberondong lelaki tersebut dengan pertanyaan beruntun."Oh, tadi itu istri saya. Orang tuanya Nessa meninggal sa
Arjuna mandi secepat kilat. Rengekan Ayezha memanggil-manggil dari luar memaksanya buru-buru untuk menyelesaikan mandinya.Baru keluar dari kamar mandi, Ayezha sudah menunggunya di pintu. Alhasil, masih menggunakan handuk ia mengangkat dan membawa Ayezha duduk di pangkuannya."Papa pakai baju dulu ya, sama mama dulu ya?" bujuk Arjuna. Ayezha menggeleng, ia malah berpegangan erat di leher Arjuna.Arjuna memandang istri dan anaknya bergantian dengan gemas. Lily tertawa senang melihat wajah Arjuna yang lucu, menghadapi tingkahnya dan Ayezha. Tiba-tiba ponsel Arjuna berdering. Panggilan dari Bu Erna."Assalamu'alaikum Bu ....""Wa'alaikumsallam, Juna. Ibu mau ngabarin, istrinya Rizal sudah melahirkan," ucap Bu Erna langsung."Alhamdulillah, ini di mana sekarang, Bu?""Masih di rumah sakit," jawab Bu Erna."Oh, Ya Bu! Sebentar kami ke sana ya, Bu ... mau dibawakan apa?" suara Arjuna terdengar bersemangat."E
"Ngomong apa sih, Mas? Iya. Sejak ketemu Rizal tadi, hatiku berubah. Berubah makin saayaaang sama suamiku yang luar biasa dan baik hati ini. Peduli sama adeknya yang dulu cuma bisa nyusahin dia aja," jawab Lily manja membuat Arjuna tersenyum bahagia."Bagaimanapun, dia adekku. Dalam tubuh kami ada aliran darah yang sama kan? Walaupun beda ibu? Seburuk-buruknya Rizal, sifat baiknya yang kuacungi jempol itu sayang sama ibu. Coba kamu ingat, pernah enggak Rizal berbicara kasar sama ibu? Enggak pernah kan? Meskipun dulu dia berlebihan sampai ngabaikan istrinya karena patuh sama ibu. Tapi kalau dulu dia enggak begitu, bisa jadi yang duduk di sampingku hari ini bukan kamu. Iyakan?"Arjuna bertanya sambil melirik pada Lily yang mengangguk sambil memandangnya penuh cinta. Kekagumannya atas kebijakan Arjuna bertambah besar."Ternyata memang semua ada sisi baik dan hikmahnya ya," gumam Lily begitu Arjuna mulai menjalankan kendaraan mereka."
Sesaat kemudian Rizal seperti tersadar akan sesuatu, lalu melangkahkan kaki masuk ke dapur untuk mengangkat menu makanan keluar.Lily merasa bersalah melihat tatapan Rizal. Arjuna memperhatikan perubahan raut wajah Lily, seperti gelisah. Ia menarik Lily menjauh sebentar."Kamu merasa bersalah, ya?" tanya Arjuna. Lily hanya diam. Ia sendiri tak tahu kenapa ia harus merasa bersalah."Minta maaflah pada Rizal. Atas kebohonganmu selama jadi istrinya dulu. Bagaimanapun, yang namanya bohong apalagi saat itu dia berstatus suamimu, tetaplah dosa," ucap Arjuna lembut. Lily hanya diam. Ia ragu dan takut. Lily masih saja berpikir, Rizal masih sama seperti yang dulu."Ly! Euumm, boleh aku ngomong sebentar?" tiba-tiba Rizal muncul dari belakang.Arjuna langsung masuk meninggalkan Lily dan Rizal yang duduk di kursi pel Keduanya duduk berhadapan. Jantung Lily berdegup kencang. Ia berpikir pasti Rizal akan menanyakan soal kebohongannya.
"Mas, kenapa sih aku enggak boleh ke ruko lagi? Mbak Fi juga kayaknya takut banget aku ke sana? Kenapa?" Lily mencoba kembali memancing pembicaraan setelah penolakan Mbak Fi sebulan yang lalu."Enggak apa-apa. kan aku sudah bilang, alasannya. Aku pengen kamu cepat hamil. Enggak perlu capek-capek lagi," Arjuna bersikukuh dengan alasan lamanya."Yaelah! kalo ke sana kan nengok doang, gak ngapa-ngapain! Gak capek. Gak ngaruh, Mas!" protes Lily."Pokoknya enggak boleh!""Kalau aku sudah hamil, baru boleh berarti ya?" tanya Lily. Arjuna diam, nampak masih enggan mengiyakan. Lily jadi makin penasaran melihat tingkah laku suaminya."Maaaas! Kalau sudah hamil, jangan kurung aku lagi, ya!" Lily mulai merengek."Heeeeeemmm. Hamil aja dulu!" Arjuna akhirnya mulai tak tega mendengar rengekan Lily."Bener, Mas?" Lily berbalik menatap suaminya. Arjuna hanya menaikkan alis sebagai jawaban."Mas. Liat deh!" Lily mengambil ses
Tiga minggu berlalu begitu cepat.Lily bersiap tidur mengenakan piyama lengan panjang. Ia menyusun bantal seperti biasanya. Arjuna masih menggosok gigi di kamar mandi.Setelah semuanya beres, Lily memilih-milih kaset yang sudah hampir semuanya ditonton."Yaaaah!"Suara Lily terdengar kecewa."Kenapa?" tanya Arjuna yang baru keluar dari kamar mandi."Ngadat semua kasetnya! Padahal tinggal ini aja yang belum diputar. Besok kita cari kaset-kaset baru yang banyak, ya!" ucap Lily.Arjuna diam saja, tak menjawab. Lily menuju pembaringan, sambil membuka ponsel ia berbaring. Jari-jarinya langsung berselancar di youtube. Tiba-tiba Arjuna berbaring dan langsung merampas ponsel Lily."Mau ngapain?" ucapnya sambil meletakkan kembali ponsel Lily di dekatnya."Mau cari tontonan. Kan kasetnya rusak, besok kita cari lagi kaset baru, ya?" sahut Lily sambil bertanya."Enggak perlu! Mulai sekarang sebelum
Arjuna menurut saja pada ajakan Lily. Begitupun saat Lily memaksanya duduk sambil menatap wajahnya."Jadi, dulu itu aku melakukan sterill enggak dipotong. Cuma diikat, dan masih bisa dibuka lagi," terang Lily membuat Arjuna sangat terkejut."Emang bisa?" Arjuna menampakkan ketidakpercayaan."Kenapa enggak? Jaman udah semakin canggih. Tubektomi yang kulakukan hanya sebatas menutupi saluran indung telur kanan dan kiri supaya tidak terjadi pembuahan, jadi masih bisa dibuka. Prosedur membuka ikatan itu namanya anastomosis tuba, yaitu menggabungkan bagian saluran indung telur yang masih sehat," terang Lily sambil mengingat ucapan Dokter yang membantunya beberapa tahum silam.Arjuna menatap Lily penuh rasa syukur. Tetapi sesaat kemudian senyumnya meredup. "Tapi, apa enggak ada resiko kalau dibuka lagi ? Kalau membahayakan kamu, sebaiknya enggak usah. Kita sudah punya Husen dan Abi. Aku enggak masalah punya anak tiri aja. Bukankan selama aku ja
Setelah Rizal keluar, Arjuna langsung menutup pintu dan menguncinya. Ia tak ingin Rizal kembali mengusik mereka berdua. Arjuna merasa tak tega, melihat Lily selalu menangis bila berurusan dengan Rizal.Di luar kamar mereka, Rizal serasa tak mampu melangkah. Tulangnya seperti tak mampu menopang tubuh. Rizal bergeser dari pintu kamar Arjuna dan Lily, untuk bersandar di dinding. Ia meremas dadanya yang terasa sakit luar dalam. Berkali-kali ia menyapu matanya yang kabur, karena aliran air mata yang tak mampu dibendung.Rizal baru tahu rasa dan arti sebuah kehilangan, setelah hartanya yang paling berharga kini dalam genggaman orang yang tepat. Dia tak lagi memiliki alasan untuk memintanya kembali.Menyesalkah dia? Sangat! Tapi, kini Rizal sadar. Sesal tinggallah sesal. Mungkin memang sudah tiba waktu dan garis jodohnya dengan Lily terputus, dan tak bisa disambung lagi. Jodoh mereka sudah habis, tak akan bisa ia paksakan untuk bersatu lagi.Bu Erna mengha