Nessa mengikuti langkah Rizal menuju kamar dengan tergesa-gesa. Sampai di kamar, Rizal yang kesal langsung membuka lemari, kemudian menarik dan menghempas semua pakaian yang ada ke lantai.
"Ini! Kamu masukin semuanya ke dalam tas! Semua ini gara-gara kamu!" ucapnya sambil terus menurunkan pakaian mereka dengan kasar.
"Mas! Kok semua gara-gara aku? Pelan-pelan kenapa sih?" ucap Nessa tak terima, sambil memungut satu persatu pakaian yang berceceran.
"kenapa dari awal datang, kamu enggak cerita kalau kamu sudah dipecat?"
"Apa hubungannya antara aku dipecat sama kamu diusir, Mas?" Nessa berbicara nyaring."Ya, kalau aku tahu kamu sudah enggak kerja lagi, aku enggak bakal nyanggupin pergi hari ini juga!" jawab Rizal sengit.
"Salahmu sendiri, Mas! Kenapa enggak berusaha membujuk kakakmu yang sombong itu!"
"Uh!"
Rizal menghempas pakaian terakhir dari lemari mereka kuat-kuat untuk menumpahkan kekesalannya.
"Sekarang ki
Selepas tidur siang, Abidzar dan Hussein mencari keberadaan ayah mereka. Mereka langsung menuju ke kamar Rizal. Melihat tidak ada siapa-siapa, mereka berdua pergi ke kamar ibu mereka.Setelah mengetuk pintu, keduanya masuk dan Abi langsung bertanya,"Ma, Papa kemana? Kok enggak ada di kamarnya?""Papa ... mungkin ... mungkin Papa pergi sama Tante Nessa, Nak!" jawab Lily."Memangnya, Tante Nessa tadi ada, Ma?"Lily mengangguk. Wajah Abi dan Husen langsung berubah sedih. Bila ada Nessa, Rizal langsung melupakan mereka berdua."Ma! Besok ... papa jadi, kan? Ngajak kita ke Trans Studio?" Lily menatap anaknya bergantian."Papa enggak ada ngomong apa-apa tadi sebelum pergi, Sayang?""Emang Papa pergi kemana sih, Ma? Lama enggak ya?" Abi mulai resah."Enggak tahu juga. Coba Abi sama Husen periksa lemari Papa. Kalau bajunya enggak ada, berarti Papa perginya lama," perintah Lily akhirnya karena bingung mau menje
Keesokan harinya, Rizal dan Nessa kembali melanjutkan mencari rumah sewaan. Seseorang menunjukkan bahwa ada satu kamar yang kosong berupa bangsalan, tapi posisinya sedikit masuk gang."Bagaimana, Nes? Aku sudah capek nyari dari kemaren?" Rizal mengusap wajah putus asa. Nessa memasang wajah kecewa."Udah! Aku mau ambil aja. Kalau kamu enggak mau ikut, Aku enggak maksa. Daripada bikin masalah!"Rizal memutuskan untuk menuju pada alamat, yang ditunjuk oleh orang tempat mereka bertanya tadi. Setelah menemui pemilik bangsalan, Rizal menurunkan semua barang miliknya.Nessa masih enggan turun dari mobil. Tapi, apa boleh buat. Walaupun terpaksa, ia ikut menurunkan barangnya juga. Nessa melihat ke sekeliling dengan perasaan gelisah. Pemilik bangsalan membukakan pintu untuk mereka dan menyerahkan kunci."Mas, kamu yakin tinggal di sini?" tanya Nessa sambil memasukkan tasnya ragu-ragu."Kalau bukan di sini, mau di mana lagi?" tanya Rizal.
"Biarlah, anak-anak nanti menjadi tanggung jawabku! Doakan aja usaha ini berjalan lancar, sama seperti waktu usahaku yang dulu mendadak kutinggalkan," ucap Lily berusaha tersenyum."Tapi kan, Ly! Kamu sekarang istriku. Aku juga dosa kalau enggak nafkahin kamu. Memang tidak ada kewajiban ayah tiri menafkahi anaknya. Tapi , aku ingin menafkahi keponakanku sendiri, karena ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu saudaraku," ucap Arjuna memberi alasan yang memang sangat logis. Lily diam mencerna ucapan Arjuna."Nafkahi aku sewajarnya saja, Juna. Cukup kasih aku buat biaya makan kita sehari-hari aja," jawab Lily masih merasa tak enak hati."Ya sudah. Makanya kamu pegang aja ini, beli saja apa yang dibutuhkan," Arjuna kembali memberikan kartu ATM ke tangan Lily."Juna ... tolong jangan membebani aku! A-aku merasa enggak pantas memegang ini. Aku kan, hanya menjadi istrimu di depan orang-orang saja. Selama berdua, kita enggak pernah melakukan sesuatu
Setelah seminggu tinggal di rumah sewaan yang sempit, barulah Rizal menjemput ibunya untuk ikut tinggal bersama mereka. Ia pergi menjemput pagi-pagi sekali, sebelum berangkat kerja.Sampai di rumah Arjuna, Rizal enggan untuk turun dan menginjak rumah kakak dan mantan istrinya tersebut. Rizal hanya menelpon ibunya dan mengatakan bahwa ia menunggu di mobil saja. Bu Erna setuju saja, karena sesungguhnya dia juga takut terjadi perkelahian lagi bila Rizal dan Arjuna bertemu masih dalam keadaan sama-sama emosi."Juna, ibu pergi ya," pamitnya pada Arjuna yang sedang bersiap-siap sarapan. Tadi Bu Erna sarapan lebih dulu."Iya. Hati-hati ya, Bu. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk ibu kapan saja," ucap Arjuna sambil meraih tangan Bu Erna dan menciumnya Takdzim. Bu Erna hanya mengangguk sambil tersenyum. Pada Lily ia hanya mengulurkan tangan, tanpa ucapan.Lily dan Arjuna mengantar Bu Erna sampai pintu depan. Arjuna dan Rizal saling bersitatap sejenak,
Sementara Lily kembali ke dalam rumah sambil menatap jari-jemarinya yang di jadikan alat praktek oleh Arjuna tadi. Bibirnya menyungging senyum, entah senyum bahagia atau senyum malu. Yang jelas, ia tidak merasa keberatan atas perlakuan dan permintaan Arjuna tadi.Setelah merapikan bekas sarapan, Lily langsung meraih kontak motor dan menjalankan kendaraan kesayangannya tersebut, menuju ke ruko yang kurang lebih seminggu ini menjadi tempat kerjanya yang baru. Hari ini sepanjang jalan hatinya terasa riang.Lily dan Arjuna memang tidak pernah berangkat bersama saat pagi, karena lokasi warung makannya dan perusahaan tempat Arjuna bekerja tidak satu arah.***Malam hari setelah anak-anak tidur, Lily bersiap-siap untuk memindahkan barang-barangnya ke kamar yang ia inginkan.Baru saja tangannya bergerak untuk menurunkan beberapa lembar baju, tiba-tiba Arjuna mengeluarkan suara seperti mengigil dari tempat tidurnya.Lily menurunkan ta
"Maaf ibu-ibu, ada apa ini? Kok tahu nama saya?" tanya Bu Erna makin tak mengerti."Loh?" Mereka yang berada di tempat saling bertukar pandang."Itu! Tulisan yang di situ, nama ibu kan?" telunjuk salah seorang di antara mereka tertuju ke dinding di dekat pintu bangsalan mereka. Bu Erna beringsut keluar untuk membaca tulisan di sebuah kertas yang menempel di dinding. LOUNDRY 'BU ERNA' Murah Meriah Cuci saja = Rp 4000/kg Cuci lipat = Rp 5000/kg Cuci lipat setrika= Rp 6000/kg CUCI, JEMUR, SETRIKA, LIPAT, ANTAR! PROSES CEPAT DAN DIJAMIN WANGI."Apa-apaan ini?" Bu Erna ingin memberon
Siang harinya, Bu Erna tidak bisa beristirahat dengan tenang, karena harus membolak-balik jemuran supaya cepat kering. Setelah kering, lengannya yang masih terasa sakit, ia paksakan untuk menggosok. Berkali-kali dia beristirahat untuk mengurut lengannya. Tepat sebelum waktu magrib tiba, semua pekerjaannya beres. Kemudia Bu Erna mengantar semua baju ke tuannya masing-masing dengan membawa nota.Semua yang menerima hasil kerja Bu Erna tersenyum dan berkata mereka puas dengan hasil kerjanya. Sebagian dari mereka sudah berpesan dua hari lagi, mereka akan mengantar cucian kembali.Bu Erna tersenyum getir mendengar ucapan mereka. Sungguh ia tak tahu, apakah harus bersyukur atau bersedih, karena rejeki dari mereka adalah penderitaan untuknya.Sebelum waktu maghrib tiba, Bu Erna ingin merenggangkan otot-ototnya sebentar. Ia berbaring di ambal kecil tempatnya tidur semalam. Baru dua hari hidup di rumah kontrakan bersama Rizal dan Nessa, Bu Erna mulai me
"Juna! Kok, malah tidur di sini juga?" Lily panik saat Hussein memanggilnya subuh-subuh. Arjuna tak bergerak. Karena tidur kemalaman, semakin mendekati subuh tidurnya juga semakin nyenyak.Lily kembali menempelkan telapak tangannya ke kening Husen. Demamnya makin tinggi."Pa ... paaa!" Husen mengigil seperti memanggil Papa, tapi tidak jelas. Lily menjadi cemas. Tak biasanya Husen sakit memanggil Papa.Lily membungkus tubuh Husen dengan selimut tebal. Badannya panas, namun ia seperti merasa kedinginan. Ingin sekali Lily membangunkan Arjuna. Tapi menatap wajahnya yang sangat pulas hanya beralaskan ambal, Lily jadi tidak tega. Hatinya malah tergerak untuk merapikan selimut Arjuna saja.Lily beranjak untuk mengambil obat penurun panas berupa syrup, dan air minum untuk Husen. Tak lupa ia membawa serta baskom kecil berisi air hangat untuk mengganti air kompresan."Husen, minum dulu obatnya, ya?"Hussen yang masih mengantuk mengangguk k