Pagi-pagi sekali, Rizal masih enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Sejak tadi ia hanya berbaring sambil sesekali senyum-senyum sendiri. Hayalannya belum juga bisa lepas dari keindahan yang akan dilaluinya esok, di hari Minggu.
Ia kemudian pindah tempat bersantai, di depan televisi. Tak sabar rasanya menunggu kedua anaknya pulang sekolah. Ia sudah menyiapkan telinganya baik-baik, untuk menguping drama keluarga Arjuna, dimana dia berperan sebagai sutradaranya.
Sementara Arjuna juga masih bersantai menonton TV saja di kamar. Segala urusan di ruko sudah beres. Rencana, senin baru akan dimulai usaha mereka. Mbak Fi hari minggu pagi, baru tiba di sana. Lily sendiri setelah beberes di kamar mereka, langsung beberes di kamar kedua anaknya. Bu Erna tidak tahu, apa yang ia lakukan di kamar yang selalu tertutup rapat.
Terdengar suara pintu diketuk. Rizal yang sedang asik menonton televisi tidak mendengar. Terdengar suara ketukan sekali lagi. Kamar Abi dan Husen yang dek
Hari sudah beranjak siang. Bukannya senang, perasaan Rizal malah gelisah dengan kedatangan Nessa yang mendadak, tanpa menelpon terlebih dahulu.Ia hanya menatap punggung Nessa yang kembali memasukkan pakaiannya di lemari. Nessa sedari tadi juga diam, tidak menjelaskan apa-apa, membuat Rizal bertanya-tanya dalam hati. Tapi, ia juga enggan untuk mengutarakan pertanyaanya. Takut membuat Nessa marah. Rizal sedang tidak ingin ribut.Pikiran Rizal masih disibukkan oleh rencananya yang terancam batal. Mana mungkin ia bersenang-senang, jika ada Nessa. Nessa pasti akan ikut, atau sebaliknya, Nessa akan melarangnya. Hati Rizal menjadi Risau, mengingat janjinya pada Abidazar dan Hussein.Rizal melirik jam tangan. Sebentar lagi, waktu pulang sekolah anak-anak. Tiba-tiba Rizal panik, mengingat perintahnya pada Abidzar dan Hussein tadi malam. Ia langsung melompat turun dari pembaringan, berinisiatif untuk menjemput mereka dan membatalkan perintahnya tadi malam. Bisa runyam ak
Arjuna merekam baik-baik apa yang Abidzar katakan tadi. Hatinya mulai berontak. Bukankah selama ini ia sudah cukup baik, memberi Rizal dan Ibunya tempat tinggal. Separuh kebutuhan rumah ia yang membayar. Memberi uang tak pernah telat pada Bu Erna untuk membantu biaya kehidupan mereka sehari-hari. Ia tak mempermasalahkan Rizal dari saat ia bekerja dulu sampai beristri dua yang tak pernah tahu soal pengeluaran listrik dan air mereka dalam sebulan.Bisa-bisanya Rizal memfitnah dirinya sebagai pemilik rumah. Arjuna mengepalkan tangan dan jemarinya sendiri, berusaha supaya amarahnya tidak meledak di depan Lily.Bukan hal itu saja yang membangkitkan geram di hati Arjuna, melainkan ajaran yang ia berikan pada kedua anaknya yang masih polos. Arjuna merasa Rizal sudah mati rasa pada anaknya sendiri. Jika tidak, mana mungkin ia mengajarkan hal buruk pada kedua anaknya. Ayah mana yang ingin melihat anak memiliki kpribadian yang buruk. Mungkin hanya Rizal seorang.Lil
Di kamar lain, Rizal membolak-balikkan tubuhnya dengan gelisah di tempat tidur. Bukan tanpa sebab, sejak tadi ia mendengar suara anak-anaknya menangis, walaupun tidak terlalu keras, namun sampai juga di telinganya.Suara tangisan itulah yang membuat ia tidak bisa berhenti menduga. Apakah kedua anaknya menangis karena menjalankan perintahnya, atau karena di marahi oleh Lily?Jika mereka menangis karena menjalankan perintahnya, matilah dia. Karena sejak kedatangan Nessa, ia sudah berniat membatalkan rencana mereka. Ia yakin, Nessa tak akan mengijinkan.Tapi, kalaupun mereka berdua menangis karena dimarahi oleh Lily, pasti tetap ada hubungan dengan perintahnya. Semakin banyak pertanyaan di kepala Rizal, semakin gelisah pula dirinya di tempat tidur.Tok ... tok ... tok ...Rizal mendadak meriang mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia yakin, itu pasti Lily, datang untuk memarahi dan memakinya habis-habisan."Bukain, Nes!" perintahny
Nessa mengikuti langkah Rizal menuju kamar dengan tergesa-gesa. Sampai di kamar, Rizal yang kesal langsung membuka lemari, kemudian menarik dan menghempas semua pakaian yang ada ke lantai."Ini! Kamu masukin semuanya ke dalam tas! Semua ini gara-gara kamu!" ucapnya sambil terus menurunkan pakaian mereka dengan kasar."Mas! Kok semua gara-gara aku? Pelan-pelan kenapa sih?" ucap Nessa tak terima, sambil memungut satu persatu pakaian yang berceceran."kenapa dari awal datang, kamu enggak cerita kalau kamu sudah dipecat?""Apa hubungannya antara aku dipecat sama kamu diusir, Mas?" Nessa berbicara nyaring."Ya, kalau aku tahu kamu sudah enggak kerja lagi, aku enggak bakal nyanggupin pergi hari ini juga!" jawab Rizal sengit."Salahmu sendiri, Mas! Kenapa enggak berusaha membujuk kakakmu yang sombong itu!""Uh!"Rizal menghempas pakaian terakhir dari lemari mereka kuat-kuat untuk menumpahkan kekesalannya."Sekarang ki
Selepas tidur siang, Abidzar dan Hussein mencari keberadaan ayah mereka. Mereka langsung menuju ke kamar Rizal. Melihat tidak ada siapa-siapa, mereka berdua pergi ke kamar ibu mereka.Setelah mengetuk pintu, keduanya masuk dan Abi langsung bertanya,"Ma, Papa kemana? Kok enggak ada di kamarnya?""Papa ... mungkin ... mungkin Papa pergi sama Tante Nessa, Nak!" jawab Lily."Memangnya, Tante Nessa tadi ada, Ma?"Lily mengangguk. Wajah Abi dan Husen langsung berubah sedih. Bila ada Nessa, Rizal langsung melupakan mereka berdua."Ma! Besok ... papa jadi, kan? Ngajak kita ke Trans Studio?" Lily menatap anaknya bergantian."Papa enggak ada ngomong apa-apa tadi sebelum pergi, Sayang?""Emang Papa pergi kemana sih, Ma? Lama enggak ya?" Abi mulai resah."Enggak tahu juga. Coba Abi sama Husen periksa lemari Papa. Kalau bajunya enggak ada, berarti Papa perginya lama," perintah Lily akhirnya karena bingung mau menje
Keesokan harinya, Rizal dan Nessa kembali melanjutkan mencari rumah sewaan. Seseorang menunjukkan bahwa ada satu kamar yang kosong berupa bangsalan, tapi posisinya sedikit masuk gang."Bagaimana, Nes? Aku sudah capek nyari dari kemaren?" Rizal mengusap wajah putus asa. Nessa memasang wajah kecewa."Udah! Aku mau ambil aja. Kalau kamu enggak mau ikut, Aku enggak maksa. Daripada bikin masalah!"Rizal memutuskan untuk menuju pada alamat, yang ditunjuk oleh orang tempat mereka bertanya tadi. Setelah menemui pemilik bangsalan, Rizal menurunkan semua barang miliknya.Nessa masih enggan turun dari mobil. Tapi, apa boleh buat. Walaupun terpaksa, ia ikut menurunkan barangnya juga. Nessa melihat ke sekeliling dengan perasaan gelisah. Pemilik bangsalan membukakan pintu untuk mereka dan menyerahkan kunci."Mas, kamu yakin tinggal di sini?" tanya Nessa sambil memasukkan tasnya ragu-ragu."Kalau bukan di sini, mau di mana lagi?" tanya Rizal.
"Biarlah, anak-anak nanti menjadi tanggung jawabku! Doakan aja usaha ini berjalan lancar, sama seperti waktu usahaku yang dulu mendadak kutinggalkan," ucap Lily berusaha tersenyum."Tapi kan, Ly! Kamu sekarang istriku. Aku juga dosa kalau enggak nafkahin kamu. Memang tidak ada kewajiban ayah tiri menafkahi anaknya. Tapi , aku ingin menafkahi keponakanku sendiri, karena ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu saudaraku," ucap Arjuna memberi alasan yang memang sangat logis. Lily diam mencerna ucapan Arjuna."Nafkahi aku sewajarnya saja, Juna. Cukup kasih aku buat biaya makan kita sehari-hari aja," jawab Lily masih merasa tak enak hati."Ya sudah. Makanya kamu pegang aja ini, beli saja apa yang dibutuhkan," Arjuna kembali memberikan kartu ATM ke tangan Lily."Juna ... tolong jangan membebani aku! A-aku merasa enggak pantas memegang ini. Aku kan, hanya menjadi istrimu di depan orang-orang saja. Selama berdua, kita enggak pernah melakukan sesuatu
Setelah seminggu tinggal di rumah sewaan yang sempit, barulah Rizal menjemput ibunya untuk ikut tinggal bersama mereka. Ia pergi menjemput pagi-pagi sekali, sebelum berangkat kerja.Sampai di rumah Arjuna, Rizal enggan untuk turun dan menginjak rumah kakak dan mantan istrinya tersebut. Rizal hanya menelpon ibunya dan mengatakan bahwa ia menunggu di mobil saja. Bu Erna setuju saja, karena sesungguhnya dia juga takut terjadi perkelahian lagi bila Rizal dan Arjuna bertemu masih dalam keadaan sama-sama emosi."Juna, ibu pergi ya," pamitnya pada Arjuna yang sedang bersiap-siap sarapan. Tadi Bu Erna sarapan lebih dulu."Iya. Hati-hati ya, Bu. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk ibu kapan saja," ucap Arjuna sambil meraih tangan Bu Erna dan menciumnya Takdzim. Bu Erna hanya mengangguk sambil tersenyum. Pada Lily ia hanya mengulurkan tangan, tanpa ucapan.Lily dan Arjuna mengantar Bu Erna sampai pintu depan. Arjuna dan Rizal saling bersitatap sejenak,