Breaking News: Supermodel Alexander Juan baru saja tiba dibandara usai
Aktivitasnya sebagai model utama di Jepang Fashion Week. Laura membuka pintu mobil, bergegas duduk dikursi pengemudi,menghela nafasnya yang terasa sesak, jatung wanita itu berdetak cukup cepat saat ia membuka ponsel dan benar saja artikel suaminya yang akan kembali dari jepang sudah muncul dalam pencarian pertama. Laura menatap layar ponselnya lagi, memandangi deretan foto juan dan membaca sekilas komentar-komentar yang sesungguhnya sedikit mengusiknya, terutama jika ia menemukan komentar bernada mengoda daripengguna internet. Tanpa sadar ia tersenyum tipis, menyadari betapa egoisnya ia dalam hubungan pernikahan mereka selama ini. Usai menyalakan mesin mobil, laura bergegas menuju apartement tempatnya dan juan tinggal selama dua tahun sejak pernikahan mereka secara diam-diam, tentu saja dengan restu kedua orangtua mereka dan kehadiran beberapa orang kerabat terdekat mereka. Dirinya mengenal juan nyaris selama hidupnya, mereka bertetangga saat di jepang dua puluh tahun yang lalu, Ayah Laura seorang dokter spesialis saraf dan ibunya adalah seorang desainer yang harus mengabdikan dirinya pada perusahaan yang mengontraknya untuk melanjutkan hidup di Jepang. Sedangkan juan berasal dari keluarga bisnismen yang cukup berada bisa dikatakan terlalu mapan bagi orang sepertinya. Ibu mertuanya bersahabat dengan ibunya,sekaligus Pelanggan jasa dari ibu Laura. Pernukahan yang tidak pernah di baysngkan sebelumnya, hingga ia dan juan menyadari persahabatan mereka yang ternyata sudah melewati batas, saat itu mereka berada di senior high school dengan pronm night sebagai malam perayaan kelulusan.Saat itu, Laura yang baru saja menyelesaikan tugas kimianya, berjalan keluar dari kelas dan mendapati juan sedang bersama seorang gadis paling cantik diangkatan mereka. "Juan, kau mau pergi prom night bersamaku?" Gadis itu mendongkak menatap sosok tinggi itu dengan ekspresi berharap. laura yang bersembunyi disela dinding sambil mengintip, tanpa sadar berdecih dengan kedua tangan mengepal melihat sahabatnya saat itudigoda oleh gadis lain. la bisa mendengar kekehan pelan juan dari balik tembok itu. "Sorry" suara berat juan membuat laura semakin mencondongkan tubuhnya, sosok jangkung itu tengah mengaruk lehernya sembari memberikan cengiran."Aku tidak bisa pergi denganmu, ada orang lain yang ingin ku ajak" tegasnya. Gadis itu mencebik, berbalik meninggalkan juan yang tengah menarik ranselnya menuju koridor disebrang laura. "Siapa yang akan dia ajak?" Guman laura, dirinya mengangkat bahunya, melanjutkan perjalanan menuju tempat parkir dan menemukan juan yang menunggunya didepan mobil sedan miliknya. "Lama sekali." desisnya. "Sorry, aku harus mengumpulkan tugas kimiaku dulu tadi." "Oke! Cepat masuk, aku lapar."uan membuka pintu penumpang, membiarkan wanita manis itu masuk terlebih dahulu sebelum ia berjalan memutar dan duduk dibangku pengemudi. "Hmm Lau...." Juan menoleh kearahnya. "Ya?" "Ada yang mengajakku ke Prom" "So?" laura menatap pemuda tinggi itu datar pura-pura tak tahu. "Aku menolak" Kedua alis laura berkerut meskipun ia tengah menahan senyuman lebarnya. "Kenapa?" Laura mendongkak, menatap lekat sosok tinggi dihadapnya itu. "Semalam" juan menelan salivanya, kembali menatap sosok manis sahabatnya itu dengan sorot mata yang berubah sendu. "Saat kau menginap dikamarku, dan kau bilang menyukaiku, usai mencium bibirku...." laura merasakan perutnya mendadak kram. "Aku rasa aku juga menyukaimu." juan mengerjapkan matanya, bingung. Meskipun pipinya terasa panas dan memerah. "jadi Lau ...." juan meraih jemari laura."Kau keberatan bila status sahabat kita berganti menjadi pacaran?" tanya Juan sedikit ragu namun yakin. Lura terkekeh pelan. "Okay, kau pacarku!" ucapnya To the point. Juan tertawa gemas, membawa yang lebih mungil dalam pelukannya. "Aku tak mau melepaskanmu selamanya." bisiknya. laura tersenyum, mengangguk sembari membalas pelukan juan "Ya,jangan lepaskan aku!" ---- Suara klakson mobil menyadarkan lamunan laura, dirinya yang tengah berada didepan lampu merah, segera menginjakan pedal gas, sebelum berbelok menuju arah kanan dimana apartmentnya berada. Usai memarkir mobilnya ditempat biasa, laura meraih dustbag dikursi belakang, mengambil sepasang setelan tidurnya dan Mengganti setelan kerjanya semalam,sembari mengecek leher dan area tubuh lainnya dengan gugup.Usai memastikan tidak ada jejak Brian di tubuhnya, ia menarik kunci mobil keluar dari mobil sembari menenteng tas belanja berisi makanan instan dan keperluan diapartmentnya.laura yakin juan sudah tiba lebih dahulu, dan ia memutuskan untuk mengambil cuti satu atau dua hari dari kantor, ia enggan mengungkapkan alasannya pada lisa, manager HRD yang dirinya hubungi semalam untuk apa ia cuti hari ini. Laura hanya ingin pernikahannya baik-baik saja, meskipun dirinya tahu ia tengah bermain-main dengan pernikahannya tersebut. ---- Unit mereka berada dilantai paling atas, bukan apartment sebenarnya. Mirip penthouse hadiah pernikahan dari mertuanya, Laura ingat saat Juan melamarnya langsung usai wisudanya di Boston, didepan Ayah-Ibunya itu dan Mendiang Ibunya. Syukurnya kedua orangtua mereka tidak keberatan dengan hubungan mereka, dan Juan menikahinya seminggu sebelum ibunya meninggal karena kanker. Laura menarink nafasnya, mengacak rambut coklatnya sebelum menekan password apartment dan masuk. Benar saja didepannya sudah berdiri suaminya yang sudah berganti pakaian dengan kaos putih polos dan celana jeans. "Hey sayang." Juan tersenyum lebar, merentangkan kedua tangannya menunggu Laura untuk menghambur kedalam pelukannya. "Heyy Sayang ..." Laura berseru, tertawa ketika Juan merengkuh tubuhnya. "I miss you so bad Lau." juan mengecup puncak kepalanya. "Me too" laura mencebik "kau mau makan sesuatu?" Lanjut Laura mengoyangkan tas belanjanya didepan sang suami. "Hmm aku saja yang masak" Juan meraih tas belanjanya "Kau pasti lelah bekerja dikantor selama ini" ucapnya. Laura mengeleng "kau yang lebih lelah.." Laura mendongkak, sorot mata Juan bahkan tak pernah berubah setelah sekian lama mereka bersama. "Lelahku sudah menguap saat aku memelukmu" ucap Juan dengan datar Namun lembut. Keduanya tertawa dan kembali berpelukan. Tidak ada yang salah dalam pernikahan mereka. Hanya saja terkadang Laura jenuh ketika Juan kembali cuek dan tidak mengajak laura berbicara. Hanya itu. Selebihnya Juan adalah typekal suami yang nyaris sempurna. ----Suara dentingan kaca pecah memenuhi ruangan besar itu, dan menggema di setiap sudutnya. Brian berdiri di tengah kekacauan, dadanya naik turun, wajahnya memerah oleh amarah yang tak tertahan. Di tangannya, sisa gelas wine yang hancur sangat mencerminkan tatapan matanya yang gelap dan penuh kemarahan."Ini semua tidak masuk akal!" teriaknya, nadanya penuh tekanan.Di sudut ruangan, Livia,bunya menatapnya dengan raut wajah cemas, sementara wanita muda yang duduk di sofa hanya bisa menunduk, merasa tak diinginkan. Wanita itu, Sarah, adalah sosok yang dipilih orang tuanya sebagai calon istri Brian. Wanita yang di kenal dari pertemuan perusahaan Ayah Brian dan Livia,istrinya. Namun, Brian tidak peduli siapa dia.Hanya dengan keberadaan wanita itu saja sudah cukup membuatnya ingin meledak. Ia benci dengan situasi seperti ini."Brian," Livia mencoba berbicara, suaranya tenang tapi tegas. "Kamu tidak bisa terus begini. Lihatlah dirimu. Usia tiga puluh lima dan kau masih sendiri. Ayahmu dan aku
Laura menatap meja makan di hadapannya. Hidangan yang ia siapkan sejak sore tadi tetap utuh, sama sekali tidak tersentuh. Sambil menghela napas panjang, ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul sebelas malam, dan Juan masih belum pulang. Lagi."Dia sibuk," gumam Laura kepada dirinya sendiri, mencoba mencari alasan untuk perasaan hampa yang menyelimutinya. Juan adalah seorang aktor dan model terkenal; jam kerja yang tidak menentu adalah bagian dari kehidupannya. Tapi tetap saja, kesibukan Juan sering kali meninggalkannya sendirian, menghadapi kehampaan yang kian menjadi-jadi. Walauoun sudah terbiasa,tapi tetap saja Laura sedikit merasa kesepian.Beberapa bulan terakhir, mereka semakin jarang berbicara, bahkan lebih jarang lagi tertawa bersama. Laura tidak ingat kapan terakhir kali mereka menghabiskan waktu sebagai pasangan, berbicara tentang hal-hal kecil, atau sekadar menikmati kebersamaan tanpa terganggu oleh pekerjaan. Kehidupan mereka, yang dulunya penuh cinta dan gairah, kini hanya m
Laura mengulurkan tangannya dengan ragu, menyentuh lengan Brian yang berdiri membelakanginya. Sentuhan itu singkat, hampir tidak terasa, tetapi reaksinya sungguh tak terduga.Brian tersentak keras, seperti baru saja tersengat listrik. Ia segera melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dengan mata yang melebar. Wajahnya pucat, dan napasnya memburu, seolah sedang melawan sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri."Jangan sentuh,Laura!" serunya, suaranya bergetar dengan nada tegas yang hampir putus asa.Laura terpaku, merasa bersalah sekaligus bingung dengan reaksinya. “Pak Brian, Aku tidak bermaksud—”“Pergi, Laura,” potong Brian dengan nada dingin, tetapi sorot matanya penuh ketakutan. “Keluar dari ruangan ini.”Ya. Laura dan Brian berada di ruangan kerja brian saat ini. Alih-alih memberi Dokumen untuk di tanda tangani, Laura mulai memberanikan diri untuk berinteraksi dengan brian setelah beberapa hari ini menahan rasa penasaran dan rasa ingin tahunya pada Sosok Brian yang d
Malam itu, hujan mengguyur deras di Jakarta.Brian mendorong pintu apartemennya dengan bahu, menyalakan lampu utama yang memantulkan sinarnya ke dinding kaca besar di satu sisi ruangan. Pemandangan gemerlap kota yang basah tampak dari balik kaca, memberi kesan tenang yang kontras dengan gemuruh di luar. Ia melepas sepatu kulitnya dan melangkah masuk ke ruang tamu yang luas dan dingin. Udara terasa sunyi,hanya desiran AC yang menemani.Dengan langkah malas, Brian menuju closet room. Deretan jas kerja mahal, jam tangan eksklusif, dan sepatu yang tertata sempurna di rak kayu mahal menunggu untuk disentuh. Ia melepaskan jasnya, menggantungnya dengan rapi, lalu mengendurkan dasi yang masih menggantung di leher.Ponselnya bergetar.Di layar muncul nama yang membuat bibirnya melengkung samar.Laura.Brian mengangkat telepon sambil membuka kancing kemejanya, tubuh tegapnya kini hanya terbalut kaus dalam. "Ya, Lau..." suaranya berat, namun ada kehangatan di sana.Hembusan napas dari ujung tele
Breaking News: Supermodel Alexander Juan baru saja tiba dibandara usaiAktivitasnya sebagai model utama di Jepang Fashion Week.Laura membuka pintu mobil, bergegas duduk dikursi pengemudi,menghela nafasnya yang terasa sesak, jatung wanita itu berdetak cukup cepat saat ia membuka ponsel dan benar saja artikel suaminya yang akan kembali dari jepang sudah muncul dalam pencarian pertama.Laura menatap layar ponselnya lagi, memandangi deretan foto juan dan membaca sekilas komentar-komentar yang sesungguhnya sedikit mengusiknya, terutama jika ia menemukan komentar bernada mengoda daripengguna internet.Tanpa sadar ia tersenyum tipis, menyadari betapa egoisnya ia dalam hubungan pernikahan mereka selama ini.Usai menyalakan mesin mobil, laura bergegas menuju apartement tempatnya dan juan tinggal selama dua tahun sejak pernikahan mereka secara diam-diam, tentu saja dengan restu kedua orangtua mereka dan kehadiran beberapa orang kerabat terdekat mereka.Dirinya mengenal juan nyaris selama hidup
Malam itu, hujan mengguyur deras di Jakarta.Brian mendorong pintu apartemennya dengan bahu, menyalakan lampu utama yang memantulkan sinarnya ke dinding kaca besar di satu sisi ruangan. Pemandangan gemerlap kota yang basah tampak dari balik kaca, memberi kesan tenang yang kontras dengan gemuruh di luar. Ia melepas sepatu kulitnya dan melangkah masuk ke ruang tamu yang luas dan dingin. Udara terasa sunyi,hanya desiran AC yang menemani.Dengan langkah malas, Brian menuju closet room. Deretan jas kerja mahal, jam tangan eksklusif, dan sepatu yang tertata sempurna di rak kayu mahal menunggu untuk disentuh. Ia melepaskan jasnya, menggantungnya dengan rapi, lalu mengendurkan dasi yang masih menggantung di leher.Ponselnya bergetar.Di layar muncul nama yang membuat bibirnya melengkung samar.Laura.Brian mengangkat telepon sambil membuka kancing kemejanya, tubuh tegapnya kini hanya terbalut kaus dalam. "Ya, Lau..." suaranya berat, namun ada kehangatan di sana.Hembusan napas dari ujung tele
Laura mengulurkan tangannya dengan ragu, menyentuh lengan Brian yang berdiri membelakanginya. Sentuhan itu singkat, hampir tidak terasa, tetapi reaksinya sungguh tak terduga.Brian tersentak keras, seperti baru saja tersengat listrik. Ia segera melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dengan mata yang melebar. Wajahnya pucat, dan napasnya memburu, seolah sedang melawan sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri."Jangan sentuh,Laura!" serunya, suaranya bergetar dengan nada tegas yang hampir putus asa.Laura terpaku, merasa bersalah sekaligus bingung dengan reaksinya. “Pak Brian, Aku tidak bermaksud—”“Pergi, Laura,” potong Brian dengan nada dingin, tetapi sorot matanya penuh ketakutan. “Keluar dari ruangan ini.”Ya. Laura dan Brian berada di ruangan kerja brian saat ini. Alih-alih memberi Dokumen untuk di tanda tangani, Laura mulai memberanikan diri untuk berinteraksi dengan brian setelah beberapa hari ini menahan rasa penasaran dan rasa ingin tahunya pada Sosok Brian yang d
Laura menatap meja makan di hadapannya. Hidangan yang ia siapkan sejak sore tadi tetap utuh, sama sekali tidak tersentuh. Sambil menghela napas panjang, ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul sebelas malam, dan Juan masih belum pulang. Lagi."Dia sibuk," gumam Laura kepada dirinya sendiri, mencoba mencari alasan untuk perasaan hampa yang menyelimutinya. Juan adalah seorang aktor dan model terkenal; jam kerja yang tidak menentu adalah bagian dari kehidupannya. Tapi tetap saja, kesibukan Juan sering kali meninggalkannya sendirian, menghadapi kehampaan yang kian menjadi-jadi. Walauoun sudah terbiasa,tapi tetap saja Laura sedikit merasa kesepian.Beberapa bulan terakhir, mereka semakin jarang berbicara, bahkan lebih jarang lagi tertawa bersama. Laura tidak ingat kapan terakhir kali mereka menghabiskan waktu sebagai pasangan, berbicara tentang hal-hal kecil, atau sekadar menikmati kebersamaan tanpa terganggu oleh pekerjaan. Kehidupan mereka, yang dulunya penuh cinta dan gairah, kini hanya m
Suara dentingan kaca pecah memenuhi ruangan besar itu, dan menggema di setiap sudutnya. Brian berdiri di tengah kekacauan, dadanya naik turun, wajahnya memerah oleh amarah yang tak tertahan. Di tangannya, sisa gelas wine yang hancur sangat mencerminkan tatapan matanya yang gelap dan penuh kemarahan."Ini semua tidak masuk akal!" teriaknya, nadanya penuh tekanan.Di sudut ruangan, Livia,bunya menatapnya dengan raut wajah cemas, sementara wanita muda yang duduk di sofa hanya bisa menunduk, merasa tak diinginkan. Wanita itu, Sarah, adalah sosok yang dipilih orang tuanya sebagai calon istri Brian. Wanita yang di kenal dari pertemuan perusahaan Ayah Brian dan Livia,istrinya. Namun, Brian tidak peduli siapa dia.Hanya dengan keberadaan wanita itu saja sudah cukup membuatnya ingin meledak. Ia benci dengan situasi seperti ini."Brian," Livia mencoba berbicara, suaranya tenang tapi tegas. "Kamu tidak bisa terus begini. Lihatlah dirimu. Usia tiga puluh lima dan kau masih sendiri. Ayahmu dan aku