Home / Rumah Tangga / Main Api / Bab 3. A Fragile Embrace

Share

Bab 3. A Fragile Embrace

Author: White lily_
last update Last Updated: 2025-01-03 18:51:38

Laura mengulurkan tangannya dengan ragu, menyentuh lengan Brian yang berdiri membelakanginya. Sentuhan itu singkat, hampir tidak terasa, tetapi reaksinya sungguh tak terduga.

Brian tersentak keras, seperti baru saja tersengat listrik. Ia segera melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dengan mata yang melebar. Wajahnya pucat, dan napasnya memburu, seolah sedang melawan sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri.

"Jangan sentuh,Laura!" serunya, suaranya bergetar dengan nada tegas yang hampir putus asa.

Laura terpaku, merasa bersalah sekaligus bingung dengan reaksinya. “Pak Brian, Aku tidak bermaksud—”

“Pergi, Laura,” potong Brian dengan nada dingin, tetapi sorot matanya penuh ketakutan. “Keluar dari ruangan ini.”

Ya. Laura dan Brian berada di ruangan kerja brian saat ini. Alih-alih memberi Dokumen untuk di tanda tangani, Laura mulai memberanikan diri untuk berinteraksi dengan brian setelah beberapa hari ini menahan rasa penasaran dan rasa ingin tahunya pada Sosok Brian yang dingin,namun sesekali tampak begitu rapuh.

Laura tidak bergerak. Tidak menghiraukan perintah Brian, ia malah maju selangkah, menatap bosnya dengan penuh perhatian. “Ada apa dengan Anda? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya, suaranya lembut tetapi mendesak.

Brian membuang muka, tangannya mencengkeram sisi meja dengan keras hingga buku-bukunya memutih. “Kau tidak perlu tahu. Ini bukan urusanmu.”

“Tapi Anda tidak baik-baik saja,” balas Laura tegas. “Aku tahu itu sejak lama, tapi Anda tidak pernah mau bicara. Anda tidak perlu terus menyembunyikannya.”

Brian tertawa kecil, tetapi tawa itu dipenuhi rasa getir. “Apa gunanya bicara? Kamu tidak akan mengerti. Dan .. siapa kau yang harus ku beri tahu?.”

Laura tetap diam, menunggu. Ia tahu ini adalah saat di mana Brian perlu seseorang yang bersedia mendengar, bukan menuntut. Perlahan, Brian mendongak, matanya yang biasanya tajam kini terlihat basah.

“Aku... tidak bisa disentuh,” gumamnya, hampir tak terdengar. “Setiap kali seseorang menyentuhku, rasanya...seperti semua ketakutan di dunia ini menelan diriku.”

Laura mengerutkan kening, mencoba memahami. “Kenapa? Apa yang membuatmu begitu takut?”

Brian mengalihkan pandangannya, rahangnya mengeras. “Itu cerita yang panjang. Hal-hal yang seharusnya aku lupakan tapi tidak pernah bisa. Luka lama... trauma...” Ia berhenti sejenak, suaranya pecah. “Dan sekarang, setiap kali seseorang mendekat, tubuhku mengingat semuanya. Itu tidak pernah hilang.”

Laura,wanita itu terdiam. Hatinya sesak mendengar pengakuan Bossnya yang rapuh. Tetapi ketika Brian mulai menangis perlahan, hampir tanpa suara,ia tahu ia tidak bisa hanya berdiri dan menyaksikannya begitu saja.Tanpa memikirkan konsekuensinya, Laura melangkah mendekat, meskipun Brian langsung menegang. “Laura, jangan. Aku tidak bisa—”

“Aku di sini bukan untuk menyakitimu,” potong Laura dengan nada lembut. Ia mengulurkan tangannya lagi, kali ini lebih hati-hati. “Kau tidak sendirian, Brian.” ucapanya Mematahkan hubungan antara atasan dan bawahan tersebut.Brian mencoba mundur, tetapi tidak ada tempat lagi untuk lari. Ketika tangan Laura menyentuh bahunya, tubuhnya kaku.

Laura tidak menyerah.

Ia menempatkan kedua tangannya di kedua sisi wajah Brian, memaksa pria itu untuk melihatnya.

“Aku tidak tahu apa yang sudah kau alami, tapi Aku tahu, kau tidak harus menghadapi ini sendirian,” ucap Laura yakin. “Izinkan aku membantumu”

Brian menggeleng, air matanya masih mengalir. “Kau tidak akan bisa. Tidak ada yang bisa!”

Laura tersenyum kecil, dan masih berusaha untuk menyentuh wajah Brian.

“Coba Percaya Sekali Saja”

Laura duduk berlutut di lantai, tepat di depan pria itu. Brian membuang muka, menatap kosong ke arah lantai dengan rahang mengeras.

“Lihat Aku,” ulang Laura, kali ini lebih tegas. Tangannya perlahan meraih jemari Brian yang terkepal erat di atas lututnya.Brian tersentak, menarik tangannya dengan cepat seperti biasa, tetapi kali ini Laura tidak menyerah. Ia mencengkeram jemari Brian, kuat tetapi tidak menyakitkan.

“Laura, jangan! Aku bilang, jangan!” suaranya bergetar, setengah panik.

“Cukup! Jangan terus-terusan lari seperti ini!” seru Laura tegas. “Berhenti membohongi diri sendiri, Brian. Berhenti berpikir kalau kah harus menghadapi semuanya sendirian!”

Brian menutup wajahnya dengan kedua tangan,Ia tampak begitu rapuh, seperti seseorang anak yang membutuhkan ibunya.

“Brian..” lanjut Laura, nadanya melembut, “Aku tidak meminta kau sembuh hari ini, atau bahkan besok. Tapi setidaknya... coba percayai padaku. Sedikit saja.”

Brian terdiam, hanya suara napasnya yang terdengar di ruangan.

Laura melanjutkan dengan suara yang hampir berbisik, “Kau tak perlu menghadapi ini sendiri. Aku di sini... ”

Brian menatap Laura dengan mata yang penuh keraguan. “Bagaimana kalau aku gagal?"

“Kau tidak gagal hanya karena kau mencoba. Kau hanya gagal ketika kau berhenti berusaha.”

“Baik,” gumamnya akhirnya, hampir tak terdengar. “Aku akan mencoba. Tapi jangan berharap terlalu banyak dariku.”

Laura tersenyum lebar, dan mengangguk meski matanya masih berair.

"Kautidak sendirian," ujar Laura pelan, hampir seperti berbisik di telinga Brian. "Kau tidak perlu melawan semuanya sendirian lagi. Aku di sini."

Sejenak, Brian tetap diam. Tapi kemudian, suara isakan kecil keluar dari bibirnya. Tangannya, yang semula menggantung di sisi tubuh, perlahan terangkat, seolah ingin menolak. Namun pada akhirnya, ia justru membiarkan lengannya menggantung di udara, seolah bingung bagaimana harus bereaksi.

Air mata mulai mengalir di pipinya. Isakannya semakin jelas, penuh frustrasi dan rasa sakit yang selama ini ia pendam sendirian. Brian akhirnya menyerah pada emosi yang telah lama ia tekan. Ia menunduk, membiarkan dahinya menyentuh pundak Laura, seolah mencari tempat untuk bersandar.

Laura mengusap punggungnya dengan lembut, tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tahu Brian membutuhkan waktu untuk melepas semua beban yang ia pikul. Tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki rasa sakit seperti itu, hanya kehadiran yang nyata dan tulus.

"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Brian di tengah isakannya. Suaranya pecah, hampir tidak terdengar. "Kenapa kau mau repot-repot peduli?"

Laura menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya sendiri. "Karena aku peduli padamu"

Karena aku.. menyukaimu ....

"Aku tidak sempurna"

"Tidak ada yang sempurna," jawab Laura lembut. "Kamu hanya perlu membiarkan seseorang masuk." Lanjut Laura. Ia sadar ia telah masuk kedalam jebakannya sendiri.

Biar bagaimanapun ia tahu ini salah. Pernikahannya dengan Juan yang membuatnya hambar,membuatnya jatuh pada perasaan yang tidak masuk akal terhadap sosok bossnya yang misterius. Yang makin kesini makin membuat lauraningin menemaninya.

Laura menyukai brian.

Mereka tetap dalam posisi itu selama beberapa menit, Dan Laura? Ia hanya memeluk pria itu lebih erat, membiarkan hatinya berbicara melalui sentuhan.

Ia ingin menjadi orang yang selalu ada untuknya. Orang yang akan mencintainya, meskipun dunia mengatakan itu salah.

Brian tidak mengatakan apa-apa lagi. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan seseorang.pelukan Laura.

Sejak saat itu,hari-hari mereka terasa panas dan berbeda.

Sejak saat itu,Brian tidak takut akan sentuhan lagi,

Dan sejak saat itu , Brian memutuskan untuk memiliki Laura apapun yang terjadi.

Related chapters

  • Main Api   Bab 4. When The Rain Meets Fire

    Malam itu, hujan mengguyur deras di Jakarta.Brian mendorong pintu apartemennya dengan bahu, menyalakan lampu utama yang memantulkan sinarnya ke dinding kaca besar di satu sisi ruangan. Pemandangan gemerlap kota yang basah tampak dari balik kaca, memberi kesan tenang yang kontras dengan gemuruh di luar. Ia melepas sepatu kulitnya dan melangkah masuk ke ruang tamu yang luas dan dingin. Udara terasa sunyi,hanya desiran AC yang menemani.Dengan langkah malas, Brian menuju closet room. Deretan jas kerja mahal, jam tangan eksklusif, dan sepatu yang tertata sempurna di rak kayu mahal menunggu untuk disentuh. Ia melepaskan jasnya, menggantungnya dengan rapi, lalu mengendurkan dasi yang masih menggantung di leher.Ponselnya bergetar.Di layar muncul nama yang membuat bibirnya melengkung samar.Laura.Brian mengangkat telepon sambil membuka kancing kemejanya, tubuh tegapnya kini hanya terbalut kaus dalam. "Ya, Lau..." suaranya berat, namun ada kehangatan di sana.Hembusan napas dari ujung tele

    Last Updated : 2025-01-03
  • Main Api   Bab 5. Shatteres Vows.

    Breaking News: Supermodel Alexander Juan baru saja tiba dibandara usaiAktivitasnya sebagai model utama di Jepang Fashion Week.Laura membuka pintu mobil, bergegas duduk dikursi pengemudi,menghela nafasnya yang terasa sesak, jatung wanita itu berdetak cukup cepat saat ia membuka ponsel dan benar saja artikel suaminya yang akan kembali dari jepang sudah muncul dalam pencarian pertama.Laura menatap layar ponselnya lagi, memandangi deretan foto juan dan membaca sekilas komentar-komentar yang sesungguhnya sedikit mengusiknya, terutama jika ia menemukan komentar bernada mengoda daripengguna internet.Tanpa sadar ia tersenyum tipis, menyadari betapa egoisnya ia dalam hubungan pernikahan mereka selama ini.Usai menyalakan mesin mobil, laura bergegas menuju apartement tempatnya dan juan tinggal selama dua tahun sejak pernikahan mereka secara diam-diam, tentu saja dengan restu kedua orangtua mereka dan kehadiran beberapa orang kerabat terdekat mereka.Dirinya mengenal juan nyaris selama hidup

    Last Updated : 2025-02-27
  • Main Api   Bab 1. Luka yang Terbuka Kembali

    Suara dentingan kaca pecah memenuhi ruangan besar itu, dan menggema di setiap sudutnya. Brian berdiri di tengah kekacauan, dadanya naik turun, wajahnya memerah oleh amarah yang tak tertahan. Di tangannya, sisa gelas wine yang hancur sangat mencerminkan tatapan matanya yang gelap dan penuh kemarahan."Ini semua tidak masuk akal!" teriaknya, nadanya penuh tekanan.Di sudut ruangan, Livia,bunya menatapnya dengan raut wajah cemas, sementara wanita muda yang duduk di sofa hanya bisa menunduk, merasa tak diinginkan. Wanita itu, Sarah, adalah sosok yang dipilih orang tuanya sebagai calon istri Brian. Wanita yang di kenal dari pertemuan perusahaan Ayah Brian dan Livia,istrinya. Namun, Brian tidak peduli siapa dia.Hanya dengan keberadaan wanita itu saja sudah cukup membuatnya ingin meledak. Ia benci dengan situasi seperti ini."Brian," Livia mencoba berbicara, suaranya tenang tapi tegas. "Kamu tidak bisa terus begini. Lihatlah dirimu. Usia tiga puluh lima dan kau masih sendiri. Ayahmu dan aku

    Last Updated : 2025-01-03
  • Main Api   Bab 2 . Hambar Yang Mengusik

    Laura menatap meja makan di hadapannya. Hidangan yang ia siapkan sejak sore tadi tetap utuh, sama sekali tidak tersentuh. Sambil menghela napas panjang, ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul sebelas malam, dan Juan masih belum pulang. Lagi."Dia sibuk," gumam Laura kepada dirinya sendiri, mencoba mencari alasan untuk perasaan hampa yang menyelimutinya. Juan adalah seorang aktor dan model terkenal; jam kerja yang tidak menentu adalah bagian dari kehidupannya. Tapi tetap saja, kesibukan Juan sering kali meninggalkannya sendirian, menghadapi kehampaan yang kian menjadi-jadi. Walauoun sudah terbiasa,tapi tetap saja Laura sedikit merasa kesepian.Beberapa bulan terakhir, mereka semakin jarang berbicara, bahkan lebih jarang lagi tertawa bersama. Laura tidak ingat kapan terakhir kali mereka menghabiskan waktu sebagai pasangan, berbicara tentang hal-hal kecil, atau sekadar menikmati kebersamaan tanpa terganggu oleh pekerjaan. Kehidupan mereka, yang dulunya penuh cinta dan gairah, kini hanya m

    Last Updated : 2025-01-03

Latest chapter

  • Main Api   Bab 5. Shatteres Vows.

    Breaking News: Supermodel Alexander Juan baru saja tiba dibandara usaiAktivitasnya sebagai model utama di Jepang Fashion Week.Laura membuka pintu mobil, bergegas duduk dikursi pengemudi,menghela nafasnya yang terasa sesak, jatung wanita itu berdetak cukup cepat saat ia membuka ponsel dan benar saja artikel suaminya yang akan kembali dari jepang sudah muncul dalam pencarian pertama.Laura menatap layar ponselnya lagi, memandangi deretan foto juan dan membaca sekilas komentar-komentar yang sesungguhnya sedikit mengusiknya, terutama jika ia menemukan komentar bernada mengoda daripengguna internet.Tanpa sadar ia tersenyum tipis, menyadari betapa egoisnya ia dalam hubungan pernikahan mereka selama ini.Usai menyalakan mesin mobil, laura bergegas menuju apartement tempatnya dan juan tinggal selama dua tahun sejak pernikahan mereka secara diam-diam, tentu saja dengan restu kedua orangtua mereka dan kehadiran beberapa orang kerabat terdekat mereka.Dirinya mengenal juan nyaris selama hidup

  • Main Api   Bab 4. When The Rain Meets Fire

    Malam itu, hujan mengguyur deras di Jakarta.Brian mendorong pintu apartemennya dengan bahu, menyalakan lampu utama yang memantulkan sinarnya ke dinding kaca besar di satu sisi ruangan. Pemandangan gemerlap kota yang basah tampak dari balik kaca, memberi kesan tenang yang kontras dengan gemuruh di luar. Ia melepas sepatu kulitnya dan melangkah masuk ke ruang tamu yang luas dan dingin. Udara terasa sunyi,hanya desiran AC yang menemani.Dengan langkah malas, Brian menuju closet room. Deretan jas kerja mahal, jam tangan eksklusif, dan sepatu yang tertata sempurna di rak kayu mahal menunggu untuk disentuh. Ia melepaskan jasnya, menggantungnya dengan rapi, lalu mengendurkan dasi yang masih menggantung di leher.Ponselnya bergetar.Di layar muncul nama yang membuat bibirnya melengkung samar.Laura.Brian mengangkat telepon sambil membuka kancing kemejanya, tubuh tegapnya kini hanya terbalut kaus dalam. "Ya, Lau..." suaranya berat, namun ada kehangatan di sana.Hembusan napas dari ujung tele

  • Main Api   Bab 3. A Fragile Embrace

    Laura mengulurkan tangannya dengan ragu, menyentuh lengan Brian yang berdiri membelakanginya. Sentuhan itu singkat, hampir tidak terasa, tetapi reaksinya sungguh tak terduga.Brian tersentak keras, seperti baru saja tersengat listrik. Ia segera melangkah mundur, membalikkan tubuhnya dengan mata yang melebar. Wajahnya pucat, dan napasnya memburu, seolah sedang melawan sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri."Jangan sentuh,Laura!" serunya, suaranya bergetar dengan nada tegas yang hampir putus asa.Laura terpaku, merasa bersalah sekaligus bingung dengan reaksinya. “Pak Brian, Aku tidak bermaksud—”“Pergi, Laura,” potong Brian dengan nada dingin, tetapi sorot matanya penuh ketakutan. “Keluar dari ruangan ini.”Ya. Laura dan Brian berada di ruangan kerja brian saat ini. Alih-alih memberi Dokumen untuk di tanda tangani, Laura mulai memberanikan diri untuk berinteraksi dengan brian setelah beberapa hari ini menahan rasa penasaran dan rasa ingin tahunya pada Sosok Brian yang d

  • Main Api   Bab 2 . Hambar Yang Mengusik

    Laura menatap meja makan di hadapannya. Hidangan yang ia siapkan sejak sore tadi tetap utuh, sama sekali tidak tersentuh. Sambil menghela napas panjang, ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul sebelas malam, dan Juan masih belum pulang. Lagi."Dia sibuk," gumam Laura kepada dirinya sendiri, mencoba mencari alasan untuk perasaan hampa yang menyelimutinya. Juan adalah seorang aktor dan model terkenal; jam kerja yang tidak menentu adalah bagian dari kehidupannya. Tapi tetap saja, kesibukan Juan sering kali meninggalkannya sendirian, menghadapi kehampaan yang kian menjadi-jadi. Walauoun sudah terbiasa,tapi tetap saja Laura sedikit merasa kesepian.Beberapa bulan terakhir, mereka semakin jarang berbicara, bahkan lebih jarang lagi tertawa bersama. Laura tidak ingat kapan terakhir kali mereka menghabiskan waktu sebagai pasangan, berbicara tentang hal-hal kecil, atau sekadar menikmati kebersamaan tanpa terganggu oleh pekerjaan. Kehidupan mereka, yang dulunya penuh cinta dan gairah, kini hanya m

  • Main Api   Bab 1. Luka yang Terbuka Kembali

    Suara dentingan kaca pecah memenuhi ruangan besar itu, dan menggema di setiap sudutnya. Brian berdiri di tengah kekacauan, dadanya naik turun, wajahnya memerah oleh amarah yang tak tertahan. Di tangannya, sisa gelas wine yang hancur sangat mencerminkan tatapan matanya yang gelap dan penuh kemarahan."Ini semua tidak masuk akal!" teriaknya, nadanya penuh tekanan.Di sudut ruangan, Livia,bunya menatapnya dengan raut wajah cemas, sementara wanita muda yang duduk di sofa hanya bisa menunduk, merasa tak diinginkan. Wanita itu, Sarah, adalah sosok yang dipilih orang tuanya sebagai calon istri Brian. Wanita yang di kenal dari pertemuan perusahaan Ayah Brian dan Livia,istrinya. Namun, Brian tidak peduli siapa dia.Hanya dengan keberadaan wanita itu saja sudah cukup membuatnya ingin meledak. Ia benci dengan situasi seperti ini."Brian," Livia mencoba berbicara, suaranya tenang tapi tegas. "Kamu tidak bisa terus begini. Lihatlah dirimu. Usia tiga puluh lima dan kau masih sendiri. Ayahmu dan aku

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status