"Haarggghhh ... !" Qinan acak-acak rambutnya frustasi. Penampilannya saat ini hampir tak layak. Wajah pucat, kantung mata menghitam, wajah penuh peluh dan rambut yang baru saja ia buat berantakan.
Dipikir sampai gila pun jawabannya akan tetap sama. Tak ketemu! Tak ada! Tak akan dapat! Bagaimana pula dalam waktu yang hanya tersisa tujuh jam ia akan menemukan malaikat yang akan memberinya uang sebesar tujuh ratus juta.Salahnya memang diberi waktu 3 hari dari pihak Rumah Sakit tapi tak ia gunakan dengan baik. Dengan percaya diri Qinan mengira akan mendapatkan uang itu dengan cara yang benar dan elegan. Bekerja atau meminjam di bank bank misalnya. Hasilnya? Sudah jelas sekarang bahwa semuanya adalah NIHIL! NOL BESAR yang ia dapat, tanpa angka tujuh sebagai pembuka."Apa aku terima saja tawaran dari Tante Esma?"Sebuah ide gila muncul dengan silaunya di otak Qinan yang sudah mulai keruh, sangat keruh. Ia tak menemukan cara lain yang lebih mustajab dibanding ide gila itu. Qinan yakin sekarang, itu adalah satu-satunya cara agar ia bisa mendapat nominal sebesar itu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.Qinan buang semua berkas lamaran dalam amplop coklat juga brosur-brosur pinjaman bank. Semua itu tak ada gunanya, sampah! Andai ia diterima kerja pun tak akan ada majikan yang mau memberinya gaji dimuka sebesar tujuh ratus juta itu. Begitupun pinjaman bank ataupun pinjol, mana percaya memberi pinjam sejumlah itu untuk kapasitas Qinan yang tak punya apapun, bahkan sebatas BPKB motor pun sudah tak ada. Musnah sudah semua dijual untuk biaya berobat ayahnya yang lalu-lalu."Tapi bagaimana masa depanku nanti kalau sampai aku terjerat dengan Tante Esma?" Langkah Qinan terhenti sejenak diterpa kegamangan yang menambah kemelut pikirannya."Ah, apa pantas aku memikirkan masa depanku sendiri? Sementara jika aku diam saja nyawa ayah yang jadi taruhannya?!"Putus sudah pemikirannya, dengan yakin Qinan kembali langkahkan kakinya yang entah mengapa justru terasa begitu berat, begitu lambat. Kenapa semuanya tak bersahabat begini? Padahal ia sedang berburu dengan waktu.CsssstBugh!"Akh ... Ssh." Qinan meringis sambil memegangi lututnya yang terasa ngilu. Ia lihat ke samping, rupanya mobil hitam mengkilap itu pelakunya, mencium lututnya secara brutal hingga Qinan terhempas ke jalanan."Ma-Maaf saya tadi tidak hati-hati karena terburu-buru. Apa kamu baik-baik saja?" Tanya seorang pria yang langsung keluar dari mobilnya dengan raut cemas. Dia adalah Satya Aditama, seorang CEO dari perusahaan yang tengah berkembang pesat akhir-akhir ini, MaC.Group.Qinan tak menjawabnya, justru mengulum bibirnya semakin ke dalam. Yang tentu saja membuat pria bertubuh tegap itu semakin merasa bersalah. Pikirannya sedang carut marut tadi, itu sebabnya ia tak fokus saat menyetir dan berakhir menabrak Qinan."Hiks ... Hiks ... Hiks ...."Perkataan Satya justru membuat Qinan terisak. Bukan karena sakit, melainkan teringat tujuan awalnya yang kemungkinan akan mengalami kegagalan lagi karena kakinya sekarang justru sangat susah Qinan gerakan."Jangan khawatir, saya pasti akan bertanggungjawab. Saya akan membawamu ke Rumah Sakit.""Rumah Sakit?" Qinan ulang perkataan Sakti dalam hati.Tangis Qinan kian menjadi mendengar Rumah Sakit. Ia rasa ia benar-benar akan menjadi anak yang payah untuk ayahnya. Sementara sang pria jadi bertanya-tanya sendiri, dengan Qinan yang tak meresponnya justru sibuk histeris sendiri."Saya mohon tenang. Saya akan tanggungjawab, kita periksakan kondisimu ke Rumah Sakit. Akan saya biayai, sampai sembuh dan tak ada luka yang tertinggal sedikitpun. Saya janji, jadi jangan begini dan membuat orang-orang curiga." ujar Satya lagi. Ia sendiri sedang ruwet pikirannya, bisa meledak otaknya jika harus bertemu keruwetan baru lagi."Tidak perlu bawa saya ke Rumah Sakit. Saya tidak butuh Rumah Sakit. Beri saja saya uang tujuh ratus juta," ucap Qinan dengan gamblang. Ia sudah hapus airmatanya, ia lihat baik-baik penampilan pria di depannya juga mobil mewah yang beruntung sekali menubruknya tadi. Dari penampilannya, Qinan yakin dia pria kaya. Setidaknya ia akan menguji keberuntungannya sendiri, siapa tau kali ini Tuhan sedang berbaik hati padanya dengan mengirimkan malaikat penolong lewat musibah kecil itu. Lewat lelaki itu."Astaga, ternyata kamu begal? Mau memeras saya? Ck ... nekad sekali kamu beraksi siang bolong di tengah keramaian seperti ini. Heh, hampir saja saya tertipu." Luntur sudah iba juga sesalnya pada gadis yang ia tabrak tadi. Akhirnya, dengan kecewa Satya kembali melangkah menuju mobil."Saya janji akan mengembalikannya ke Anda Tuan. Dengan apapun yang Tuan mau, uang berbunga? Waktu? Harga diri atau sisa hidup saya sekalipun. Saya butuh uang itu segera Tuan. Saya mohon," ucap Qinan lagi tanpa rasa malu sedikitpun. Besar harapannya pria tadi akan percaya padanya, walau balasannya nanti jelas tak mudah. Tapi sepertinya semuanya sia-sia, pria tadi menoleh pun tidak. Ia sudah masuk ke mobilnya lagi, dan duduk di kursi kemudi.Qinan tak menyerah, dengan sisa tenaganya ia berjalan tertatih ke arah pintu mobil. Ia ketuk ketuk sambil berteriak sebisanya."Tolong saya Tuan, saya tidak bohong. Saya butuh uang itu segera."Satya tak merespon apapun, tapi juga tak melajukan mobilnya. Ia hanya diam menunggu penjelasan selanjutnya dari gadis di depannya yang sepertinya gila."Kalau Tuan tidak berkenan, biarkan saya ikut sampai pertigaan depan. Ke wisma milik Tante Esma. Bagaimanapun juga Tuan harus bertanggungjawab karena menabrak saya dan membuat kaki saya luka-luka sampai kesusahan berjalan." Pungkas Qinan pada akhirnya, ia memang tak bakat mengiba penuh. Jiwanya pantang untuk itu. Tapi seperti itu saja sudah cukup, Satya buka kaca mobilnya. Melirik sekilas pada Qinan."Masuk!"°°°"Tunggu!"Gerakan tangan Qinan yang hendak membuka pintu mobil terhenti kala Satya mencegahnya dengan mencekal lengannya. Qinan tatap sekilas wajah Satya dengan dahi berkerut."Kamu yakin ini tempatnya? Apa yang akan kamu lakukan di dalam?"Satya bukannya tak tau, tempat itu adalah tempat penampungan wanita malam dengan berkedok panti jompo. Qinan tersenyum kecil mendengarnya."Sudah kubilang kan Om. Saya butuh uang tujuh ratus juta segera. Malam ini juga! Om tidak bisa memberi saya kan? Jadi satu-satunya jalan adalah saya akan minta ke Tante Esma.""Apa kamu segila itu sampai mau menyerahkan diri ke rumah laknat itu. Apa masalahmu terlalu besar sampai nggak ada jalan keluar lain? Jangan bodoh! Jangan gadaikan masa depanmu, kamu ini masih terlalu muda."Lagi-lagi Qinan tersenyum mendengarnya. Tapi kali ini senyumnya terlihat kecut, lalu ia membuang nafas kasar."Om tidak perlu mengasihani saya. Lagipula bagaimana nanti masa depan saya itu sepenuhnya urusan saya, tanggungjawab saya. Jadi Om tidak perlu pikirkan itu.""Apa sebenarnya masalahmu?!"Satya tidak berniat sok baik, tapi Satya sangat tak suka pada wanita yang mudah sekali menjerumuskan diri dalam lembah hitam yang akan menghancurkan diri mereka sendiri."Kalau saya ceritakan semuanya apa Om percaya sama saya? Apa Om akan memberi saya uang sebanyak yang saya katakan tadi?!""Setidaknya saya bisa mendengarkan dulu.""Kalau begitu lupakan saja. Saya tidak sedang menjual cerita sedih. Sekarang biarkan saya keluar Om. Dan saya ucapkan terimakasih banyak atas tumpangannya. Ini sudah lebih dari cukup untuk bentuk pertanggungjawaban Om. Lagipula tadi tidak sepenuhnya salah Om, saya juga ceroboh karena tak fokus menatap jalan," Qinan ulas senyum di akhir kalimatnya. Lalu melepaskan cekalan Satya di lengannya.Satya turuti kemauan Qinan, dibiarkannya gadis itu turun dari mobil dengan tertatih. Lama ia tatap, Qinan tak juga menyentuh gerbang Wisma tersebut. Bahkan Qinan sempat terjatuh saat menaiki trotoar. Satya akhirnya keluar sebelum Qinan berhasil menyentuh gerbang."Tujuh ratus juta untukmu! Bekerja dengan saya, saya akan jelaskan jobnya di mobil.""Saya tidak berminat bercanda denganmu Om." balas Qinan dengan raut datar. Sebenarnya ia sedang menyadarkan dirinya sendiri yang mungkin saat ini sedang berkhayal terlalu tinggi. Bukannya apa ia hanya takut saking tingginya sampai melampaui batas yang seharusnya lalu akhirnya sakit karena jatuhnya terlalu dalam jika sadar."Saya serius! Ikut saya ke mobil."Qinan coba telisik wajah Satya, barangkali ia memang bercanda tingkat dewa dan Qinan sebagai pihak penonton yang tak paham. Tapi ternyata tak seperti itu. Satya memang serius."Tak selalu harus terjun ke jurang saat kamu menemui jalan buntu. Putar balik pun tidak apa. Kadang solusimu terlewat tanpa kamu sadari," ucap Satya lagi yang menyadari jika Qinan meragukannya. "Dan untuk kali ini, bukan terlewat. Tapi saya yang menghalangimu menemukan solusi. Masuklah ke mobil sebelum mereka melihatmu."Qinan angguki tawaran Satya. Ia melangkah menuju mobil dengan Satya memapahnya. Tak ingin salah paham dan gagal fokus. Tapi Qinan akui ia se
"I-Ini rumah Om?" tanya Qinan. Ia menatap takjub pada bangunan rumah lantai 3 beserta beberapa mobil berbaris rapi di garasi. Halamannya juga luas dan terdapat air mancur sebagai pusatnya."Tutup mulutmu atau nanti semua lalat akan masuk," Satya berucap tanpa ekspresi."Kekagumanmu akan bertambah-tambah nanti saat masuk. Jadi jangan perlihatkan semuanya di sini!" sambungnya lagi.'Ck, sombong juga kalau sudah masuk kandangnya,' batin Qinan.Benar kata Satya, begitu manapakan kaki dalam hunian itu, decak kagum tak bisa Qinan sembunyikan dari wajahnya. Mimpi apa Qinan semalam, sampai ia begitu beruntung hari ini, bertubi-tubi keberuntungannya. Sudah beres soal ayahnya saja Qinan lebih dari bersyukur. Lebih-lebih kini ia dalam waktu singkat sudah menjadi istri seorang rupawan dan hartawan macam Satya. Istri sah pula. Bukankah ini lebih dari ekspetasinya.Dan, jika ini mimpi Qinan berharap agar tidak bangun saja. Terlalu sayang untuk dilewatkan. Ataukah mungkin ini adalah penawar dari get
"Tidak! Aku sudah menunggumu sejak lama, mereka biar menjadi urusanku. Kamu tetaplah di situ, jangan kemana-mana! Aku akan menjemputmu sekarang!"Dengan tergesa-gesa Satya memakai jaketnya, semetara telponnya masih ia apit di telinganya. Terus meyakinkan lawan bicaranya kalau dia akan menemuinya. Qinan memperhatikan hal itu dibalik pintu kamar Sean. Ada wajah tak biasa yang tak pernah Qinan lihat saat bersamanya.Binar bahagia itu terpancar dari sorot matanya juga bibirnya yang sejak sambungan telpon itu terhubung terus saja melengkungkan senyum. "Lima belas menit. Ah tidak, tidak. Sepuluh menit lagi aku sampai, tunggu aku, mengerti!"Satya berlari kecil menuruni anak tangga dengan sesekali bersiul ria. Sementara Qinan, entah mengapa jadi tinggi rasa ingin taunya. Melihat Sean juga sedang tertidur membuatnya berinisiatif membuntuti Satya diam-diam."Pak Devan, saya pakai motornya. Jangan bilang siapa-siapa kalau saya pergi." Qinan gegas merebut kontak motor Pak Devan yang baru saja p
"Ck, belum apa-apa sudah sombong. Buktikan saja kalau memang bisa!" tantang Sean. Bocah itu memicingkan matanya, lalu melenggang menuju kursi tunggu. Lagaknya sudah seperti pria dewasa saja bocah itu."Yak?! Kamu menantangku bocah kecil?!" Qinan jadi ikut tersulut emosinya dikatai begitu oleh Sean. Tapi tak dalam arti sebenarnya, Qinan tau Sean hanya sedang menyalakan semangatnya saja. "Tidak. Aku tau kamu tidak akan bisa. Kamu itu payah dalam segala hal." Sean menaruh ranselnya di lalu duduk menyender sambil bersedekap. "Tapi ya, coba saja. Aku hanya ingin melihatnya.""Itu sama aja, dasar anaknya Satya," gerutu Qinan."Ya. Aku memang anaknya suamimu," balas Sean. Padahal jika Qinan lihat, mata anak itu memejam. Tapi masih sempat-sempatnya membalas ucapan Qinan tadi."Ck, bicara dan bertingkahlah seperti bocah 6 tahun, Sean. Kamu ini lebih mirip kakek-kakek kalau terus seperti itu,""Kamu akan melihat Sean yang sesungguhnya kalau bisa membuktikan ucapanmu y
"Tapi nggak di sini juga kan Om? Bisa kan Om bilangnya di rumah, nanti. Ini Rumah Sakit, Om."Jujur saja, Qinan memang sempat salah terka. Tapi sebisa mungkin ia tutupi dengan seolah-olah tak baper akan perhatian kecil Satya. Qinan itu kenapa juga lemah begini jika dihadapkan dengan Satya. Perhatian sekecil itu saja sudah membuat Qinan merasa spesial."Aku tau! Tak usah mengajariku!"Satya tarik nafasnya dalam-dalam, selaan dari Qinan membuatnya lupa akan banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Sean.Sekali lagi Satya ingin tegaskan, ini bukan karena ia merasa khawatir atau menaruh perhatian lebih pada Qinan. Ini semua murni karena Satya ingin mendidik Sean menjadi lelaki yang sesungguhnya, bertanggung jawab dan gentle. Tidak seperti Sean yang di hadapannya saat ini. Bocah pembuat ulah, tempramen dan semaunya. Padahal jika Satya ingat-ingat, Sean dulunya tak begitu.Satya turunkan badannya menjadi setengah berdiri, hingga tingginya selaras dengan Sean kini. Satya tatap dalam diam kedu
"Sean! Apa lagi yang kamu lakukan?!"Satya yang sedang telpon segera mengakhiri sambungan telponnya. Buru-buru ia masuk dan mendapati Qinan berada di lantai sedang memegangi lututnya sambil meringis kesakitan. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Sean yang sedang berdiri di samping Qinan."Bukan Om. Ini bukan salah Sean, aku cuma mau ke kamar mandi tapi ternyata kakiku sakit banget. Sshh," segera Qinan mencari alasan. Padahal ia sendiri kesal bukan main karena tendangan Sean benar-benar membuat lututnya terasa bengkok. "Jangan bohong. Aku denger sendiri kamu teriakan nama Sean tadi," ucap Satya. Ia melihat ke arah Qinan dan Sean secara bergantian."Oh, itu. Ehm, aku jatuh dan yang ada Sean. Jadi aku reflek panggil nama Sean. Mau minta tolong, tapi ya Sean mana kuat menopang tubuhku yang besar ini, Sean kan hanya bocah 6 tahun," kilah Qinan sambil berdiri dibantu oleh Satya."Benar begitu, Sean?""Apa perlu Sean jawab, padahal Tante itu sudah menjelaskannya sendiri?" Sean memutar bo
"Sean sudah mau pulang Om?" tanya Qinan kini sambil memakan jatah makan malamnya. Tentu makan sendiri, Satya mana mau menyuapi. Mau menemani Qinan di Rumah Sakit saja sudah untung. Walau sebenarnya Qinan bertanya-tanya, kok mau orang itu menyelakan waktunya untuk menunggui Qinan?"Sudah," jawab Satya acuh. Dia kemudian duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan punggungnya. Persis seperti yang dilakukan Sean siang tadi, mata Satya juga memejam setelahnya."Jangan lupa makan Om. Om beli aja keluar, aku nggak apa-apa kok ditinggal.""Iya. Buruan dimakan obatnya, habis itu tidur. Jangan berisik, kupingku capek dengerin kamu ngomong dari tadi," jawab Satya jujur. Pasalnya memang betul, Qinan hari ini banyak sekali bicara."Oh, jadi Om dengerin aku ngomong dari tadi? Kirain enggak, abisnya Om diem aja,"Satya hanya melirik Qinan sekilas, lalu kembali memejamkan matanya. Sementara itu Qinan menuruti titah Satya dengan segera meminum obatnya, tapi karena letaknya agak jauh Qinan jadi susah me
Qinan menghela nafasnya panjang. Ia hanya bisa menatap kepergian Satya tanpa menahannya dengan sepatah katapun. Sepertinya bicarapun untuk apa, Qinan siapa bagi Satya saat ini?Ya, walaupun sebenarnya ingin ia berteriak meminta Satya agar tak perlu mengejar Sofiana. Lalu membeberkan kelakuan wanita pujaan Satya yang sesungguhnya. Tapi mana bisa?Lagi-lagi Qinan itu siapa bagi Satya? Punya posisi apa ia di hati Satya? Dan yang jelas, punya bukti apa?Baiklah, untuk saat ini biar Qinan tahan dan perpanjang stok kesabarannya dulu. "Perjalananmu baru akan dimulai, Qinandra Larasati. Bermainlah dengan cantik kalau perlu lebih cantik dari permainan Sofiana itu," lirih Qinan. Ia tersenyum smirk kemudian. "Cih, airmata buaya." Rasanya Qinan ingin tertawa saat melihat akting Sofiana tadi, menangis? Wow.Ya, mungkin Qinan juga nantinya harus belajar demikian.°°°Sementara Qinan melewati malamnya sendirian di Rumah Sakit. Satya dan Sofiana kini tengah berdua di apartemen milik Satya, yang saat i
Krumpyaaangg!Suara sumbang dari kamar sebelah membuat Qinan berjingkat mundur dan segera melepaskan diri dari Satya. Ia canggung dan kikuk sendiri, untuk menatap Satya ia tak berani. Ia sendiri tak tau sejak kapan ia jadi seberani ini. Memulai lebih dulu? Ah, Qinan mendekati gila rupanya.Satya sendiri tercekat. Ia merasa telah melakukan hal yang salah. Tak seharusnya ia melakukan hal itu dengan Qinan. Dia dan seluruh hatinya adalah milik Sofiana. Melakukan hal itu membuatnya merasa telah mengkhianati belahan jiwanya itu."Urus Sean!" titah Satya segera karena yakin suara itu berasal dari kamar Sean. Setelahnya ia berlalu keluar kamar tanpa sepatah katapun lagi. Barang hanya menengok wajah Qinan yang sudah seperti orang cengo pun tidak.'Kamu benar-benar sudah memulai langkahmu Qinan? Nggak papa, itu nggak salah Qinan. Satya itu suamimu!'Qinan katakan itu pada dirinya sendiri sebab tak karuan sekali menahan gejolak di dalam sana. Berdebar, gemetar, dan ... juju
"Apa rencana kamu sebenarnya?" tanya Satya usai menutup pintu kamarnya."Nggak ada, aku cuma ngelakuin perintah kamu aja," jawab Qinan sambil berjalan menuju lemari. Menyiapkan baju kerja untuk suaminya. Jalannya sudah tak tertatih, Qinan itu strong. Kemarin juga tak terlalu sakit sebenarnya. Hanya saja ia mengabulkan permintaan Sean. Mengulur waktu agar bocah itu menyiapkan mentalnya untuk bertemu Sofiana."Apa kamu sadar, dengan kamu mengajak Mama tinggal di sini, itu sama aja ngundang masalah baru." Satya mengekori langkah Qinan dan berhenti di dekatnya. Qinan hentikan gerakannya sebentar, lalu meraup udara banyak-banyak."Kamu itu ngomong apa si Mas? Dia itu Mama kamu loh, berarti selama ini kamu anggap Mama sebagai sumber masalah?" tanya Qinan pada Satya."Bisa-bisanya kamu bicara sesantai itu setelah melihat sendiri kelakuan Mama tadi pagi," ucap Satya. Ia mendecih, menatap remeh pada Qinan."Aku juga akan melakukan hal yang sama kalau aku punya anak kaya k
"Satya juga sudah memberikannya Ma. Sean itu cucu Mama!" Satya langsung terpancing emosi saat Iriana membahas cucu. Ya, dari dulu Iriana memang tak pernah menganggap Sean sebagai cucunya."Mama nggak yakin dia itu anakmu." Iriana mengucapkan itu dengan renyah, lalu dengan santainya duduk menyilangkan kaki."Ma!" Suara Satya meninggi. Wajah Satya memerah karena dikuasai marah. Sepatah kalimat yang diucapkan mamanya dengan santai itu begitu menyayat hati Satya. Gemuruh di dadanya meletup setiap kali membahas Sean dengan mamanya. "Sampai kapanpun Mama nggak akan anggap dia cucu Mama Sat!" Iriana tekankan lagi kalimatnya. Yang artinya sama saja mengobar bara api yang sudah menyala di dada Satya, Satya bergerak maju karena tak terima akan ucapan mamanya."Apa aku juga bukan anak Papa?!" Kata yang sejak lama ingin Satya lontarkan akhirnya terucap juga. Dengan sungguh-sungguh Satya tanyakan itu. "Jaga ucapanmu Sat! Jelas kamu ini anak Mama dan Papa!" Iriana yang tak t
"Kamu nggak perlu khawatir Sayang, aku hanya perlu dukunganmu. Aku akan tetap meluangkan waktu untukmu, juga Sean. Datang ke sini setiap kamu merindukanku, aku akan selalu siap menemanimu." Sofiana kalungkan lengannya di leher Satya, sementara tangan satunya menari di rahang tegas Satya. Jambang tipis milik lelaki matang itu masih menjadi favoritnya. Berhenti dibenda kenyal kemerahan milik Satya, Sofiana usap lembut kemudian mendaratkan bibirnya di sana, singkat."Asal itu bukan di jam kerja. Datanglah kapanpun kamu mau," sambungnya lagi. Tangan Sofiana mulai bergerak turun dan berhenti pada dada bidang Satya."Keputusanmu membuatku kecewa Sof,""Iya aku tau. Aku siap mendapat hukuman darimu."Sofiana bergerak mundur dengan tangannya tetap berada di posisi semula. Sofiana menjatuhkan diri ke ranjang yang artinya juga Satya ikut terbawa bersamanya. Tatapan mereka saling mengunci. Hingga setelahnya mereka tak bisa lagi terkendali. Di saat rindu itu sendiri belum terbayar tuntas, emosi,
Qinan menghela nafasnya panjang. Ia hanya bisa menatap kepergian Satya tanpa menahannya dengan sepatah katapun. Sepertinya bicarapun untuk apa, Qinan siapa bagi Satya saat ini?Ya, walaupun sebenarnya ingin ia berteriak meminta Satya agar tak perlu mengejar Sofiana. Lalu membeberkan kelakuan wanita pujaan Satya yang sesungguhnya. Tapi mana bisa?Lagi-lagi Qinan itu siapa bagi Satya? Punya posisi apa ia di hati Satya? Dan yang jelas, punya bukti apa?Baiklah, untuk saat ini biar Qinan tahan dan perpanjang stok kesabarannya dulu. "Perjalananmu baru akan dimulai, Qinandra Larasati. Bermainlah dengan cantik kalau perlu lebih cantik dari permainan Sofiana itu," lirih Qinan. Ia tersenyum smirk kemudian. "Cih, airmata buaya." Rasanya Qinan ingin tertawa saat melihat akting Sofiana tadi, menangis? Wow.Ya, mungkin Qinan juga nantinya harus belajar demikian.°°°Sementara Qinan melewati malamnya sendirian di Rumah Sakit. Satya dan Sofiana kini tengah berdua di apartemen milik Satya, yang saat i
"Sean sudah mau pulang Om?" tanya Qinan kini sambil memakan jatah makan malamnya. Tentu makan sendiri, Satya mana mau menyuapi. Mau menemani Qinan di Rumah Sakit saja sudah untung. Walau sebenarnya Qinan bertanya-tanya, kok mau orang itu menyelakan waktunya untuk menunggui Qinan?"Sudah," jawab Satya acuh. Dia kemudian duduk di kursi tunggu sambil menyandarkan punggungnya. Persis seperti yang dilakukan Sean siang tadi, mata Satya juga memejam setelahnya."Jangan lupa makan Om. Om beli aja keluar, aku nggak apa-apa kok ditinggal.""Iya. Buruan dimakan obatnya, habis itu tidur. Jangan berisik, kupingku capek dengerin kamu ngomong dari tadi," jawab Satya jujur. Pasalnya memang betul, Qinan hari ini banyak sekali bicara."Oh, jadi Om dengerin aku ngomong dari tadi? Kirain enggak, abisnya Om diem aja,"Satya hanya melirik Qinan sekilas, lalu kembali memejamkan matanya. Sementara itu Qinan menuruti titah Satya dengan segera meminum obatnya, tapi karena letaknya agak jauh Qinan jadi susah me
"Sean! Apa lagi yang kamu lakukan?!"Satya yang sedang telpon segera mengakhiri sambungan telponnya. Buru-buru ia masuk dan mendapati Qinan berada di lantai sedang memegangi lututnya sambil meringis kesakitan. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Sean yang sedang berdiri di samping Qinan."Bukan Om. Ini bukan salah Sean, aku cuma mau ke kamar mandi tapi ternyata kakiku sakit banget. Sshh," segera Qinan mencari alasan. Padahal ia sendiri kesal bukan main karena tendangan Sean benar-benar membuat lututnya terasa bengkok. "Jangan bohong. Aku denger sendiri kamu teriakan nama Sean tadi," ucap Satya. Ia melihat ke arah Qinan dan Sean secara bergantian."Oh, itu. Ehm, aku jatuh dan yang ada Sean. Jadi aku reflek panggil nama Sean. Mau minta tolong, tapi ya Sean mana kuat menopang tubuhku yang besar ini, Sean kan hanya bocah 6 tahun," kilah Qinan sambil berdiri dibantu oleh Satya."Benar begitu, Sean?""Apa perlu Sean jawab, padahal Tante itu sudah menjelaskannya sendiri?" Sean memutar bo
"Tapi nggak di sini juga kan Om? Bisa kan Om bilangnya di rumah, nanti. Ini Rumah Sakit, Om."Jujur saja, Qinan memang sempat salah terka. Tapi sebisa mungkin ia tutupi dengan seolah-olah tak baper akan perhatian kecil Satya. Qinan itu kenapa juga lemah begini jika dihadapkan dengan Satya. Perhatian sekecil itu saja sudah membuat Qinan merasa spesial."Aku tau! Tak usah mengajariku!"Satya tarik nafasnya dalam-dalam, selaan dari Qinan membuatnya lupa akan banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Sean.Sekali lagi Satya ingin tegaskan, ini bukan karena ia merasa khawatir atau menaruh perhatian lebih pada Qinan. Ini semua murni karena Satya ingin mendidik Sean menjadi lelaki yang sesungguhnya, bertanggung jawab dan gentle. Tidak seperti Sean yang di hadapannya saat ini. Bocah pembuat ulah, tempramen dan semaunya. Padahal jika Satya ingat-ingat, Sean dulunya tak begitu.Satya turunkan badannya menjadi setengah berdiri, hingga tingginya selaras dengan Sean kini. Satya tatap dalam diam kedu
"Ck, belum apa-apa sudah sombong. Buktikan saja kalau memang bisa!" tantang Sean. Bocah itu memicingkan matanya, lalu melenggang menuju kursi tunggu. Lagaknya sudah seperti pria dewasa saja bocah itu."Yak?! Kamu menantangku bocah kecil?!" Qinan jadi ikut tersulut emosinya dikatai begitu oleh Sean. Tapi tak dalam arti sebenarnya, Qinan tau Sean hanya sedang menyalakan semangatnya saja. "Tidak. Aku tau kamu tidak akan bisa. Kamu itu payah dalam segala hal." Sean menaruh ranselnya di lalu duduk menyender sambil bersedekap. "Tapi ya, coba saja. Aku hanya ingin melihatnya.""Itu sama aja, dasar anaknya Satya," gerutu Qinan."Ya. Aku memang anaknya suamimu," balas Sean. Padahal jika Qinan lihat, mata anak itu memejam. Tapi masih sempat-sempatnya membalas ucapan Qinan tadi."Ck, bicara dan bertingkahlah seperti bocah 6 tahun, Sean. Kamu ini lebih mirip kakek-kakek kalau terus seperti itu,""Kamu akan melihat Sean yang sesungguhnya kalau bisa membuktikan ucapanmu y