Alea menghela napas panjang, mencoba mengusir pikiran tentang Reyhan yang terus berputar di kepalanya. Sudah dua hari berlalu sejak pertemuan aneh itu tapi, kata-kata pria itu seperti terpatri di pikirannya.
"Aku tau kau akan berubah pikiran, dan aku akan menunggumu." Kenapa dia terdengar begitu yakin, seakan-akan dia sudah tau bagaimana hidup Alea akan berjalan ke depan. "Omong kosong," gumam Alea sambil menatap bayangan di cermin. Hari ini, dia harus menghadiri pertemuan dengan klien besar di restoran bintang lima. Tidak ada waktu untuk memikirkan pria sombong yang merasa bisa membeli segalanya dengan uang. Dengan cepat, dia mengambil tasnya dan keluar dari apartemen. Namun, langkahnya terhenti begitu saja ketika melihat seseorang berdiri di dekat pintu lobi. Reyhan. Alea mengerjap, memastikan bahwa matanya tidak salah melihat. Tapi tidak, itu memang pria itu. Berdiri santai dengan tangan di saku, ekspresi wajahnya tetap setenang kemaren. Begitu matanya bertemu dengan Alea, pria itu menyunggingkan senyum tipis. Alea mendecak kesal, tanpa menghiraukannya ia melangkah cepat menuju pintu keluar. "Alea." Suara itu terdengar dalam dan tenang, tapi jelas. Alea pura-pura tidak dengar dan tetap berjalan. Tapi Reyhan dengan santainya mengikuti langkahnya, berjalan di sampingnya seolah itu adalah hal yang wajar. "Kenapa terburu-buru?" tanyanya santai. "Aku tidak mengigit kok." Alea melirik tajam. "Apa kau mengikutiku?" Reyhan tertawa kecil. “Mengikuti?, Tidak juga. Aku hanya ada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat.” “Wah, kebetulan sekali ya,” sindir Alea. “Dua hari lalu kau menawariku pernikahan absurd, sekarang tiba-tiba muncul di apartemenku?” “Apartemenmu kan tempat umum,” jawab Reyhan enteng. “Siapa pun bisa datang ke sini.” Alea menghela napas panjang, mencoba menenangkan emosinya. “Reyhan, dengar. Aku tidak tertarik dengan tawaranmu. Jadi tolong, berhenti mengikutiku.” Reyhan tersenyum. “Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin memastikan sesuatu.” Alea menyipitkan mata. “Memastikan apa?” “Bahwa kau benar-benar tidak tertarik.” Alea menatapnya tajam. “Kau gila ya?” Reyhan mengangkat bahu santai. “Mungkin.” Alea benar-benar ingin marah, tapi entah kenapa, ekspresi Reyhan yang datar itu malah membuatnya semakin penasaran. Ada sesuatu di balik sikapnya yang misterius. “Terserah kau saja,” kata Alea akhirnya. “Aku ada meeting penting. Jangan buang waktuku.” Dia melangkah ke arah mobilnya, tapi Reyhan dengan santai berjalan ke mobilnya sendiri yang terparkir tak jauh dari situ. “Oke. Aku antar,” katanya sambil membuka pintu mobilnya. Alea menoleh dengan tatapan bingung. “Kau bercanda?” “Aku serius,” kata Reyhan. “Mobilmu sudah diperiksa hari ini? Siapa tahu remnya blong.” Alea melotot. “Kau doakan mobilku rusak?” Reyhan tersenyum. “Aku cuma bilang, lebih aman kalau aku yang antar.” Alea hampir tertawa. Pria ini benar-benar punya kepercayaan diri berlebih. “Dengar ya, aku bisa menyetir sendiri. Dan aku tidak butuh pengawal.” Reyhan menatapnya sejenak sebelum akhirnya menghela napas kecil. “Baiklah, kalau kau yakin.” Tanpa membuang waktu, Alea masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin. Sebelum pergi, dia sempat melirik kaca spion. Reyhan masih berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. ___________________________________ Restoran tempat Alea bertemu dengan kliennya memiliki suasana mewah dengan alunan musik klasik yang lembut. Pelayan berseragam berdiri siap melayani di setiap sudut. Alea duduk di meja yang sudah dipesan lebih dulu, menunggu kedatangan kliennya. Tapi sebelum sempat menyesap lemon tea di depannya, pandangannya menangkap seseorang yang baru saja masuk ke dalam restoran. Dan tentu saja, itu Reyhan. Alea hampir tersedak. “Serius?” gumamnya. Pria itu berjalan santai ke arah meja lain, berbicara sebentar dengan seseorang yang tampaknya sudah menunggunya. Alea tidak tahu siapa yang ditemuinya, tapi satu hal yang pasti—ini bukan kebetulan. Dia benar-benar mengikutiku, pikir Alea dengan geram. Dia mengambil ponselnya dan mengetik cepat. Alea: Apa kau benar-benar mengikutiku? Ponselnya bergetar hanya beberapa detik kemudian. Reyhan: Aku sedang meeting. Sepertinya kita punya selera tempat yang sama. Alea mendesis pelan, ini sudah keterlaluan. Dengan cepat, dia berdiri dan berjalan ke arah meja Reyhan. Pria itu mengangkat wajahnya begitu melihatnya, tersenyum kecil seolah sudah menunggunya datang. “Reyhan,” Alea menyilangkan tangan di dada. “Ini tidak lucu.” Reyhan tetap tenang. “Apa yang tidak lucu?” “Jangan berpura-pura. Kau sengaja mengikutiku, kan?” Reyhan menatapnya dengan tatapan polos. “Alea, restoran ini tempat umum. Kau tidak bisa melarangku makan di sini.” Alea hampir kehilangan kesabaran. “Dengar ya, kalau kau pikir aku akan berubah pikiran karena ini, kau salah besar.” Reyhan menatapnya sejenak sebelum tersenyum kecil. “Kalau begitu, kenapa kau begitu terganggu dengan kehadiranku?” Alea terdiam. Reyhan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku hanya ingin makan siang. Kau yang datang ke mejaku. Jadi, siapa yang sebenarnya lebih terganggu di sini?” Alea mengepalkan tangannya. Pria ini benar-benar tahu cara memutar balikkan keadaan. “Oke,” katanya akhirnya. “Aku tidak akan membuang waktuku lagi.” Dia berbalik dan kembali ke mejanya, berusaha mengabaikan keberadaan Reyhan yang hanya beberapa meter darinya. Tapi sepanjang pertemuan, pikirannya terus terganggu. Kenapa pria itu terus muncul di sekitarnya? Apa yang sebenarnya dia inginkan? Dan yang lebih penting... Kenapa bagian kecil di hatinya mulai merasa penasaran dengan pria itu? ____________________________________ Setelah pertemuan selesai, Alea berjalan keluar dari restoran dengan langkah cepat. Dia hanya ingin pulang, mandi air hangat, dan melupakan hari yang menyebalkan ini. Tapi begitu sampai di parkiran, seseorang berdiri bersandar di mobilnya. Alea menghembuskan napas berat. “Reyhan...” Pria itu meliriknya dengan senyum tipis. “Kau lama sekali.” Alea melipat tangan di dada. “Kenapa kau masih di sini?” “Aku ingin menawarkan sesuatu,” kata Reyhan santai. “Apa lagi?” Reyhan menatapnya dalam. “Makan malam. Bersamaku.” Alea hampir tertawa. “Setelah semua ini, kau pikir aku akan mau?” Reyhan mengangkat bahu. “Kenapa tidak?” Alea menatapnya dengan tatapan tajam. “Aku tidak akan terjebak dalam permainanmu.” Reyhan tersenyum kecil. “Siapa bilang ini permainan?” Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Alea merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan pria itu. Sesuatu yang lebih dari sekadar kesombongan atau kepercayaan diri berlebihan. Ada ketulusan di sana. Dan itu yang membuat Alea ragu. Sejenak, hanya keheningan yang mengisi udara di antara mereka. Lalu akhirnya, Alea menghela napas panjang. “Baiklah.” Reyhan mengangkat alisnya. “Baiklah?” Alea menatapnya. “Satu kali saja. Setelah itu, kau tidak boleh menggangguku lagi.” Reyhan tersenyum. “Kesepakatan yang menarik.” Tanpa berkata-kata lagi, pria itu membuka pintu mobil untuknya, seperti seorang pria sejati. Alea masuk, masih tidak percaya dengan keputusannya. Tapi ada sesuatu dalam diri Reyhan yang membuatnya ingin tahu lebih dalam. Dan itu yang membuatnya merasa bahwa ini... mungkin bukan akhir dari segalanya. Ini baru permulaan. _________________________________________________________________________________________________________________ Reyhan masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Alea menatap ke luar jendela, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini hanya makan malam biasa. Tapi, entah kenapa, hatinya berdebar. Sial. Dia tidak suka perasaan ini. “Restoran mana yang kau suka?” tanya Reyhan sambil mengemudi dengan tenang. Alea meliriknya sekilas. “Kau yang mengajakku, jadi kau yang pilih.” Reyhan tersenyum kecil. “Baiklah. Aku tahu tempat yang sempurna.” Alea tidak menjawab. Dia hanya menyilangkan tangan di dada dan menatap ke depan, berusaha mengabaikan fakta bahwa dia sekarang sedang duduk di mobil pria yang baru dua hari lalu menawarkan sesuatu yang gila. Sialnya lagi, dia menerima tawaran makan malam ini. “Kenapa aku merasa kau merencanakan sesuatu?” gumam Alea curiga. Reyhan tertawa kecil. “Kau terlalu banyak berpikir.” Alea mendesis pelan. “Aku hanya ingin memastikan kau tidak punya rencana aneh.” Reyhan menatapnya sekilas, lalu tersenyum penuh arti. “Bagaimana kalau aku memang punya rencana?” Alea mendelik. “Kalau begitu, aku turun sekarang juga.” Reyhan tertawa kecil, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Sial. Kenapa pria ini begitu menyebalkan? Tapi, di sisi lain... kenapa ada bagian kecil dalam dirinya yang mulai penasaran? Dan kenapa, semakin lama dia bersama Reyhan, semakin sulit baginya untuk mengabaikan tatapan tajam pria itu? Tanpa sadar, Alea menelan ludah. Mungkin... keputusan ini akan membawa lebih banyak masalah daripada yang ia kira. _________________________________________________________________________________________________________________ Mobil melaju dengan tenang di tengah kota yang mulai diselimuti cahaya lampu jalan. Alea mencoba fokus pada pemandangan di luar jendela, tetapi pikirannya terus berputar. Reyhan. Pria itu terlalu percaya diri, terlalu tenang, dan yang paling menyebalkan, terlalu sulit ditebak. “Apa kau selalu seperti ini?” tanya Alea tiba-tiba. Reyhan meliriknya sekilas. “Seperti apa?” Alea menghela napas. “Selalu mendapatkan apa yang kau mau.” Reyhan tersenyum kecil. “Biasanya, ya.” Alea mendengus. “Sombong sekali.” “Tapi kali ini berbeda.” Alea menoleh. “Apa maksudmu?” Reyhan tetap fokus pada jalan. “Aku tidak bisa mendapatkanmu dengan mudah.” Alea terdiam. Hatinya berdebar aneh mendengar ucapan itu, tapi ia buru-buru menepisnya. “Kau tidak akan mendapatkanku sama sekali,” kata Alea cepat. Reyhan terkekeh pelan. “Kita lihat saja.” Alea ingin membalas, tapi dia tahu itu tidak ada gunanya. Reyhan punya caranya sendiri untuk membuat segala sesuatu berjalan sesuai keinginannya. Dan Alea benci mengakui bahwa bagian kecil dalam dirinya mulai penasaran dengan pria itu. Sial. Dia benar-benar masuk ke dalam permainan Reyhan—entah dia suka atau tidak. Alea menggigit bibirnya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Dia tidak boleh terpengaruh. Tidak oleh senyum percaya diri Reyhan, tidak oleh tatapan tajamnya, dan terutama tidak oleh kata-kata menggoda yang terus keluar dari mulut pria itu. Namun, semakin dia menyangkal, semakin dia sadar bahwa ada sesuatu dalam diri Reyhan yang menariknya. Bukan karena kekayaannya, bukan karena pesonanya, tetapi karena misteri yang mengelilinginya. Siapa sebenarnya Reyhan? Apa yang dia inginkan darinya? Alea menghela napas, mengalihkan pandangannya ke luar jendela lagi. “Kenapa kau diam?” tanya Reyhan tiba-tiba. Alea mengangkat bahu. “Tidak ada yang perlu dibicarakan.” Reyhan tersenyum miring. “Atau mungkin kau mulai terbiasa denganku?” Alea meliriknya tajam. “Jangan terlalu percaya diri.” Reyhan hanya terkekeh. “Baiklah, aku akan menunggu sampai kau sendiri yang mengakuinya.” Alea mendesis pelan, tapi tidak membalas. Karena entah kenapa, di dalam hatinya, dia mulai takut—bukan pada Reyhan, tetapi pada perasaannya sendiri yang perlahan mulai goyah.Restoran mewah dengan pencahayaan redup menyambut kedatangan mereka. Aroma makanan khas Eropa memenuhi udara, membuat suasana terasa semakin elegan. Alea berjalan dengan anggun di belakang Reyhan, masih berusaha memahami bagaimana dia bisa terjebak dalam situasi ini.Kenapa dia menyetujui makan malam ini?Dia yang selama ini selalu menjaga jarak dengan pria seperti Reyhan—pria kaya raya, percaya diri, dan merasa bisa mendapatkan apa pun—kenapa kali ini dia malah membiarkan dirinya masuk dalam permainan ini?Mereka duduk di meja yang sudah dipesan Reyhan. Pria itu memilih tempat di dekat jendela besar, di mana mereka bisa melihat pemandangan kota yang berkilauan di malam hari. Alea memegang gelas airnya dengan erat, berusaha tidak terlihat gugup.“Apa kau selalu setegang ini saat makan malam?” Reyhan bertanya santai, membuka menu.Alea melirik tajam. “Aku tidak tegang.”Reyhan tersenyum kecil, lalu menutup menu dan menatapnya. “Baiklah. Lalu kenapa kau terus menggenggam gelas itu seper
Malam itu, Alea tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan kejadian di restoran tadi. Reyhan.Nadine.Dan... kebohongan besar yang Reyhan katakan begitu saja di depan Nadine.Kenapa dia bilang mereka bertunagan? apa tujuannya?Alea menggulung tubuhnya dibalik selimut, mencobanya melupakan, semakin bayangan Reyhan, muncul di kepalanya.Sial, kenapa dia terus memikirkan pria itu?____________________________________Keesokan paginya, Alea bangun dengan perasaan masih campur aduk. Tapi ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia punya pekerjaan, punya hidup sendiri, dan Reyhan bukan bagian dari itu.Atau..... setidaknya seharusnya begitu.Namun, semua itu tidak berubah ketika dia keluar dari apartemennya dan mendapati sebuah mobil sport hitam terpakir di depan.Dan seseorang bersandar santai di pintunya.ReyhanAlea mendesah panjang, "Apa yang kau lakukan di sini?"Reyhan menatapnya dengan senyum kecil, "Menjemput tunanganku."Alea menutup mata, mencoba mengendalikan emosi, "Aku
Alea berusaha menyangkal perasannya. Setelah hari yang dia habiskan brsama Reyhan di taman hiburan, dia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa itu tidak berarti apa-apa. Itu hanya hari yang menyenangkan, hanya momen yang kebetulan saja.Tapi kenyataanya....Dia mulai memikirkan Reyhan lebih dari yang seharusnya dan itu membuatnya frustasi.Keesokan harinya, Alea mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Dia menyibukkan diri di kantor, menumpuk tugas sebanyak mungkin agar tidak punya waktu untuk memikirkan Reyhan. Tapi rencananya gagal total ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.Reyhan: Makan malam bersamaku malam ini, aku jemput jam 7.Alea menatap pesan itu lama, dia bisa saja menolak. Tapi entah kenapa, jari-jarinya malah mengetik balasan. Alea: Baiklah.Begitu pesan terkirim, dia langsung menyesal. Kenapa dia tidak bisa mengatakan 'tidak' pada pria itu?Malamnya, seperti yang telah dijanjikan, Reyhan datang tepat jam tujuh malam. Ketika Alea keluar apartemenya, dia menemukan
Sejak malam itu, segalanya berubah. Alea tidak bisa lagi menyangka perasaannya, tidak bisa lagi menghindari kenyataan bahwa Reyhan semakin masuk ke dalam hidupnya yakni ke dalam pikirannya. Tapi di saat yang sama, ketakutan mulai merayapi hatinya. Dia bukan tipe wanita yang mudah percaya. Dia tahu, dalam dunia ini segala sesuatu ada harganya dan dia masih belum bisa memastikan, apa harga yang harus dia bayar jika membiarkan Reyhan lebih jauh masuk ke dalam hidupnya. Hari itu, Alea menerima undangan makan siang dari Reyhan. Kal ki ini, bukan hanya mereka berdua. " Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang," kata Reyhan ditelepon. Alea sempat berfikir untuk menolak, tapi akhirnya setuju. Ketika tiba di restoran tempat mereka janjian, Alea sedikit terkejut melihat seorang wanita paruh baya yang duduk dengan elegan di meja. Reyhan berdiri dan menyambut Alea dengan senyum. "Alea, ini ibuku." Alea terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum, "Senang bertemu dengan anda, Bu." Ibu Reyhan m
Alea tidak bisa berhenti memikirkan pertemuanya dengan Ibu Reyhan. Tatapan tajam yang menilainya, pertanyaan-pertanyaan yang terasa seperti ujian, dan cara Reyhan hanya tersenyum santai seolah semua itu bukan masalah besar.Malam itu, saat dia duduk di bangku apartemenya, secangkir teh hangat di tangannya, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Dia bukan wanita yang mudah goyah, tapi ada sesuatu tentang Reyhan yang perlahan mengikis pertahanannya.Ponselnya bergetar diatas meja, nama Reyhan tertera di layar. Alea sempat rau sebelum mengangkatnya."Halo?'"Apa yang sedang kau pikirkan?" suara reyhan terdengar lembut.Alea tersenyum kecil. "Kenapa kau berpikir aku sedang memikirkan sesuatu?""Karena aku mengenalmu, dan pertemuan tadi pasti membuatmu berpikir."Alea menghela napas. "Ibumu tidak terlalu menyukaiku, bukan?"Reyhan tertawa kecil. "Dia hanya memastikan bahwa aku tidak salah memilih.""Kau terdengar terlalu santai. Aku tidak tau apakah itu menyebalkan atau mengagumkan.""Ka
Alea duduk di sofa apartemennya,menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan misterius itu."Berhati-hatilah dengan Reyhan."Kata-kata itu terasa semakin berat setelah pertemuan terakhir mereka. Reyhan menyuruhnya untuk tidak mempercayai siapapun selain dirinya. Tapi bagaimana bisa Alea mempercayai Reyhan sepenuhnya, jika pria itu sendiri masih menyimpan banyak rahasia?Di menghela napas panjang dan meneggelamkan wajahnya di kedua tangan. Sejak mengenal Reyhan, hidupnya berubah. Ada bagian dalam dirinya yang selama ini tertutup rapat, tapi entah bagaimana, Reyhan bisa masuk.Tapi.....apa itu hal yang baik?Pikirannya dipenuhi kebingungan. Dia percaya pada Reyhan, tetapi firasat buruk terus menghantuinya.###Keesokan harinya, Alea memutuskan untuk tidak menghubungi Reyhan terlebih dahulu. Dia butuh ruang, butuh waktu untuk berpikir jernih.Namun, takdir sepertinya mempunyai rencana lain. Saat sedang bekerja di kantornya, sebuah paket dikirimkan kepadanya. Tidak ada nama pengirim,
Alea menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendaljkan detak jantungnya yang berpacu. Kata-kata pria itu masih bergema di benaknya, tentang perjanjian keluarga, tentang Reyhan dan tentang orang-orang yang menginginkan pernikahan mereka terjadi. Tidak, dia tidak akan membiarkan hidupnya dikendalikan oleh perjanjian yang bahkan tidak pernah dia ketahui. Dia menatap Reyhan, mencari jawaban di mata pria itu. Ada sesuatu yang selama ini tidak dikatakan Reyhan, sesuatu yang lebih dari kewajiban terhadap keluarganya. "Aku harus pergi," Alea akhirnya berkata. Reyhan langsung menegang. "Pergi kemana?""Aku butuh waktu memikirkan semua ini," jawabnya tegas. "Aku tidak bisa begitu saja menerima kenyataan bahwa hidupku sudah ditentukan oleh orang lain."Pria itu menatap lama sebelum akhirnya mengangguk. "Aku ngerti perasaanmu, nak. Tapi kau juga harus sadar, mereka tidak akan tinggal diam."Alea mengertakan giginya. "Kalau mereka berani mengusik hidupku, maka aku juga tidak akan tinggal diam."
Alea berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Ruangan ini begitu dingin, dan tangan Tata kaki yang terikat membuat tubuhnya semakin kaku. Jantungnya berdebar kencang saat sosok pria itu melangkah mendekat. "Sudah lama aku msnunggumu, Alea," kata pria itu dengan suara tenang namun berbahaya. Alea menatapnya tajam. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?"Pria itu tersenyum miring, matanya mengamati Alea dengan penuh ketertarikan. "Pertanyaan yang menarik, tapi pertanyaan yang lebih penting adalah... apakah kau siap untuk kebenaran?"Alea mengigit bibirnya. "Aku tidak punya banya waktu untuk permaina ini, jika kau ingin uang Reyhan akan membayarmu. Jika ini tentang dendam, maka kau salah orang. Aku tidak memiliki musuh."Pria itu menghela napas panjang, lalu menarik kursi dan duduk dihadapan Alea. "oh, kau punya banyak musuh, Alea. Kau hanya belum menyadarinya."Alea menelan ludah, suasana di ruangan ini begitu menekan seakan udara menjadi lebih berat. "Apa maksudmu?""Sebelum aku
Mobil yang dikendarai Adrian melaju di jalan raya yang mulai lenggang. Suasana malam terasa mencekam, seakan-akan bayangan ketakutan terus membuntuti Alea. Dia menyadari bahwa keputusan yang baru saja diambil bukan hanya mengubah hidupnya, tetapi mungkin juga membahayakan dirinya sendiri. Alea mengeratkan genggamannya dipangkuan. "Kemana kita pergi sekarang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Adrian meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. " Ada tempat yang aman di luar kota, sebuah rumah persembunyian yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Kita bisa berlindung di sana untuk sementara waktu sambil mencari tahu langkah berikutnya." Alea mengangguk, meski dalam hatinya dia masih ragu. Apakah benar dia telah memilih jalan yang tepat? Mobil mereka maju tanpa suara, hanya ditemani cahaya lampu jalan yang sesekali melintas. Alea bersandar pada jendela mobil, pikirannya masih terikat pada satu sosok yaitu Reyhan. Apakah Reyhan benar-benar memanfatkannya? Selama in
Alea berdiri di antara dua pria itu, hatinya berdebar kencang. Di satu sisi, ada Reyhan pria yang selama ini dia cintai, yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi sekarang, kepercayaanya mulai terkikis. Di sisi lain, pri asing ini membawa subuah kenyataan baru yang menghancurian segalanya. "Bagaimana aku bisa tau siapa yang haru kupercayai?" suara Alea hampir seperti bisikan. Reyhan mengulurkan tangannya. "Percayalah padaku, Alea. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."Pria asing itu mendengus. "Itulah yang selalu dia katakan, bukan? Tapi lihat dimana kau sekarang, terikat diculik. Jika dia benar-benar ingin melindungimu, mengapa kau ada di tempat ini?"Alea mengigit bibirnya, ada kebenaean dalam kata-kata pria itu. Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Salah satu pria berbaju hitam berdiri di luar roboh dengan darah mengucur dari dadanya. "Kita tidak punya waktu," kata pria asing itu tegas. "Alea, pilih sekarang."Alea memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang.
Alea berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Ruangan ini begitu dingin, dan tangan Tata kaki yang terikat membuat tubuhnya semakin kaku. Jantungnya berdebar kencang saat sosok pria itu melangkah mendekat. "Sudah lama aku msnunggumu, Alea," kata pria itu dengan suara tenang namun berbahaya. Alea menatapnya tajam. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?"Pria itu tersenyum miring, matanya mengamati Alea dengan penuh ketertarikan. "Pertanyaan yang menarik, tapi pertanyaan yang lebih penting adalah... apakah kau siap untuk kebenaran?"Alea mengigit bibirnya. "Aku tidak punya banya waktu untuk permaina ini, jika kau ingin uang Reyhan akan membayarmu. Jika ini tentang dendam, maka kau salah orang. Aku tidak memiliki musuh."Pria itu menghela napas panjang, lalu menarik kursi dan duduk dihadapan Alea. "oh, kau punya banyak musuh, Alea. Kau hanya belum menyadarinya."Alea menelan ludah, suasana di ruangan ini begitu menekan seakan udara menjadi lebih berat. "Apa maksudmu?""Sebelum aku
Alea menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendaljkan detak jantungnya yang berpacu. Kata-kata pria itu masih bergema di benaknya, tentang perjanjian keluarga, tentang Reyhan dan tentang orang-orang yang menginginkan pernikahan mereka terjadi. Tidak, dia tidak akan membiarkan hidupnya dikendalikan oleh perjanjian yang bahkan tidak pernah dia ketahui. Dia menatap Reyhan, mencari jawaban di mata pria itu. Ada sesuatu yang selama ini tidak dikatakan Reyhan, sesuatu yang lebih dari kewajiban terhadap keluarganya. "Aku harus pergi," Alea akhirnya berkata. Reyhan langsung menegang. "Pergi kemana?""Aku butuh waktu memikirkan semua ini," jawabnya tegas. "Aku tidak bisa begitu saja menerima kenyataan bahwa hidupku sudah ditentukan oleh orang lain."Pria itu menatap lama sebelum akhirnya mengangguk. "Aku ngerti perasaanmu, nak. Tapi kau juga harus sadar, mereka tidak akan tinggal diam."Alea mengertakan giginya. "Kalau mereka berani mengusik hidupku, maka aku juga tidak akan tinggal diam."
Alea duduk di sofa apartemennya,menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan misterius itu."Berhati-hatilah dengan Reyhan."Kata-kata itu terasa semakin berat setelah pertemuan terakhir mereka. Reyhan menyuruhnya untuk tidak mempercayai siapapun selain dirinya. Tapi bagaimana bisa Alea mempercayai Reyhan sepenuhnya, jika pria itu sendiri masih menyimpan banyak rahasia?Di menghela napas panjang dan meneggelamkan wajahnya di kedua tangan. Sejak mengenal Reyhan, hidupnya berubah. Ada bagian dalam dirinya yang selama ini tertutup rapat, tapi entah bagaimana, Reyhan bisa masuk.Tapi.....apa itu hal yang baik?Pikirannya dipenuhi kebingungan. Dia percaya pada Reyhan, tetapi firasat buruk terus menghantuinya.###Keesokan harinya, Alea memutuskan untuk tidak menghubungi Reyhan terlebih dahulu. Dia butuh ruang, butuh waktu untuk berpikir jernih.Namun, takdir sepertinya mempunyai rencana lain. Saat sedang bekerja di kantornya, sebuah paket dikirimkan kepadanya. Tidak ada nama pengirim,
Alea tidak bisa berhenti memikirkan pertemuanya dengan Ibu Reyhan. Tatapan tajam yang menilainya, pertanyaan-pertanyaan yang terasa seperti ujian, dan cara Reyhan hanya tersenyum santai seolah semua itu bukan masalah besar.Malam itu, saat dia duduk di bangku apartemenya, secangkir teh hangat di tangannya, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Dia bukan wanita yang mudah goyah, tapi ada sesuatu tentang Reyhan yang perlahan mengikis pertahanannya.Ponselnya bergetar diatas meja, nama Reyhan tertera di layar. Alea sempat rau sebelum mengangkatnya."Halo?'"Apa yang sedang kau pikirkan?" suara reyhan terdengar lembut.Alea tersenyum kecil. "Kenapa kau berpikir aku sedang memikirkan sesuatu?""Karena aku mengenalmu, dan pertemuan tadi pasti membuatmu berpikir."Alea menghela napas. "Ibumu tidak terlalu menyukaiku, bukan?"Reyhan tertawa kecil. "Dia hanya memastikan bahwa aku tidak salah memilih.""Kau terdengar terlalu santai. Aku tidak tau apakah itu menyebalkan atau mengagumkan.""Ka
Sejak malam itu, segalanya berubah. Alea tidak bisa lagi menyangka perasaannya, tidak bisa lagi menghindari kenyataan bahwa Reyhan semakin masuk ke dalam hidupnya yakni ke dalam pikirannya. Tapi di saat yang sama, ketakutan mulai merayapi hatinya. Dia bukan tipe wanita yang mudah percaya. Dia tahu, dalam dunia ini segala sesuatu ada harganya dan dia masih belum bisa memastikan, apa harga yang harus dia bayar jika membiarkan Reyhan lebih jauh masuk ke dalam hidupnya. Hari itu, Alea menerima undangan makan siang dari Reyhan. Kal ki ini, bukan hanya mereka berdua. " Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang," kata Reyhan ditelepon. Alea sempat berfikir untuk menolak, tapi akhirnya setuju. Ketika tiba di restoran tempat mereka janjian, Alea sedikit terkejut melihat seorang wanita paruh baya yang duduk dengan elegan di meja. Reyhan berdiri dan menyambut Alea dengan senyum. "Alea, ini ibuku." Alea terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum, "Senang bertemu dengan anda, Bu." Ibu Reyhan m
Alea berusaha menyangkal perasannya. Setelah hari yang dia habiskan brsama Reyhan di taman hiburan, dia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa itu tidak berarti apa-apa. Itu hanya hari yang menyenangkan, hanya momen yang kebetulan saja.Tapi kenyataanya....Dia mulai memikirkan Reyhan lebih dari yang seharusnya dan itu membuatnya frustasi.Keesokan harinya, Alea mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Dia menyibukkan diri di kantor, menumpuk tugas sebanyak mungkin agar tidak punya waktu untuk memikirkan Reyhan. Tapi rencananya gagal total ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.Reyhan: Makan malam bersamaku malam ini, aku jemput jam 7.Alea menatap pesan itu lama, dia bisa saja menolak. Tapi entah kenapa, jari-jarinya malah mengetik balasan. Alea: Baiklah.Begitu pesan terkirim, dia langsung menyesal. Kenapa dia tidak bisa mengatakan 'tidak' pada pria itu?Malamnya, seperti yang telah dijanjikan, Reyhan datang tepat jam tujuh malam. Ketika Alea keluar apartemenya, dia menemukan
Malam itu, Alea tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan kejadian di restoran tadi. Reyhan.Nadine.Dan... kebohongan besar yang Reyhan katakan begitu saja di depan Nadine.Kenapa dia bilang mereka bertunagan? apa tujuannya?Alea menggulung tubuhnya dibalik selimut, mencobanya melupakan, semakin bayangan Reyhan, muncul di kepalanya.Sial, kenapa dia terus memikirkan pria itu?____________________________________Keesokan paginya, Alea bangun dengan perasaan masih campur aduk. Tapi ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia punya pekerjaan, punya hidup sendiri, dan Reyhan bukan bagian dari itu.Atau..... setidaknya seharusnya begitu.Namun, semua itu tidak berubah ketika dia keluar dari apartemennya dan mendapati sebuah mobil sport hitam terpakir di depan.Dan seseorang bersandar santai di pintunya.ReyhanAlea mendesah panjang, "Apa yang kau lakukan di sini?"Reyhan menatapnya dengan senyum kecil, "Menjemput tunanganku."Alea menutup mata, mencoba mengendalikan emosi, "Aku