Restoran mewah dengan pencahayaan redup menyambut kedatangan mereka. Aroma makanan khas Eropa memenuhi udara, membuat suasana terasa semakin elegan. Alea berjalan dengan anggun di belakang Reyhan, masih berusaha memahami bagaimana dia bisa terjebak dalam situasi ini.
Kenapa dia menyetujui makan malam ini? Dia yang selama ini selalu menjaga jarak dengan pria seperti Reyhan—pria kaya raya, percaya diri, dan merasa bisa mendapatkan apa pun—kenapa kali ini dia malah membiarkan dirinya masuk dalam permainan ini? Mereka duduk di meja yang sudah dipesan Reyhan. Pria itu memilih tempat di dekat jendela besar, di mana mereka bisa melihat pemandangan kota yang berkilauan di malam hari. Alea memegang gelas airnya dengan erat, berusaha tidak terlihat gugup. “Apa kau selalu setegang ini saat makan malam?” Reyhan bertanya santai, membuka menu. Alea melirik tajam. “Aku tidak tegang.” Reyhan tersenyum kecil, lalu menutup menu dan menatapnya. “Baiklah. Lalu kenapa kau terus menggenggam gelas itu seperti seseorang yang bersiap lari?” Alea melirik tangannya dan sadar bahwa dia memang memegang gelasnya terlalu erat. Dengan cepat, dia meletakkannya di atas meja dan menyilangkan tangan di dada. “Ini hanya makan malam biasa,” katanya. Reyhan mengangguk, tetapi sorot matanya mengatakan sesuatu yang lain. Seolah dia tahu bahwa ini bukan sekadar makan malam. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Setelah memesan makanan, suasana di antara mereka terasa sedikit lebih rileks. Alea mulai bisa menikmati hidangan yang disajikan, meskipun pikirannya masih dipenuhi tanda tanya tentang Reyhan. “Aku penasaran,” kata Reyhan tiba-tiba, membuat Alea mengangkat wajah. “Penasaran tentang apa?” “Kenapa kau menolak tawaranku?” Alea meletakkan garpunya dan menatapnya tajam. “Karena aku bukan barang yang bisa dibeli, Reyhan.” Pria itu tersenyum tipis. “Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu.” “Benarkah?” Alea menyandarkan punggung ke kursi. “Seorang pria yang tiba-tiba datang dengan tawaran menikah seharga sepuluh miliar? Kedengarannya tidak jauh berbeda dengan transaksi jual beli.” Reyhan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Bagaimana kalau aku bilang, ada alasan lain di balik tawaranku?” Alea mengerutkan kening. “Alasan lain?” Reyhan mengangguk pelan. “Aku tidak hanya mencari istri. Aku mencari seseorang yang bisa membantuku dalam hal lain.” Alea semakin bingung. “Apa maksudmu?” Reyhan menatapnya dalam. “Aku butuh seseorang yang bisa membantuku menyelesaikan masalah keluarga.” Alea mengernyit. Ini pertama kalinya dia melihat ekspresi serius di wajah Reyhan. “Masalah apa?” tanyanya hati-hati. Reyhan menghela napas sebelum akhirnya berkata, “Keluargaku menginginkan aku menikah demi alasan bisnis. Mereka ingin aku menikah dengan wanita pilihan mereka agar bisa memperkuat hubungan perusahaan.” Alea menatapnya tanpa berkedip. “Jadi... kau ingin menikah denganku agar bisa menolak pernikahan yang mereka atur?” Reyhan mengangguk. “Kurang lebih begitu.” Alea terdiam. Jadi ini alasan sebenarnya? “Kenapa aku?” tanyanya setelah beberapa saat. Reyhan tersenyum kecil. “Karena aku tahu kau tidak akan mudah terbawa perasaan. Kau cukup mandiri dan tidak akan bergantung padaku.” Alea terdiam, mencoba memahami semuanya. Jika itu alasannya, kenapa dia tidak mengatakan sejak awal? Tapi, di sisi lain, dia merasa sedikit... terluka. Kenapa dia merasa seperti Reyhan hanya memilihnya karena dia aman? Karena dia tidak akan mencintai Reyhan?. Tunggu. Kenapa dia harus peduli? Dia tidak menyukai Reyhan. Sama sekali tidak. Jadi, seharusnya ini bukan masalah besar, kan? Alea menghela napas panjang, lalu berkata, “Maaf, Reyhan. Tapi meskipun aku mengerti alasanmu, jawabanku tetap tidak.” Reyhan menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Aku sudah menduganya.” “Lalu kenapa kau masih berharap aku akan berubah pikiran?” Reyhan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Karena aku percaya bahwa dalam hidup ini, tidak ada yang benar-benar pasti.” Alea mendecak pelan. Pria ini benar-benar keras kepala. Namun sebelum dia bisa mengatakan sesuatu lagi, tiba-tiba seseorang menghampiri meja mereka. Sosok wanita bergaun merah dengan rambut panjang bergelombang berdiri di samping Reyhan. Wajahnya cantik, dengan riasan sempurna yang semakin menonjolkan kecantikannya. Alea mengangkat alis. Siapa wanita ini? Reyhan juga tampak sedikit terkejut, tetapi dengan cepat dia mengembalikan ekspresinya menjadi datar. “Reyhan,” suara wanita itu terdengar lembut tetapi penuh tekanan. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.” Reyhan menatapnya tanpa ekspresi. “Nadine.” Alea melirik ke arah Reyhan. Cara pria itu mengucapkan nama wanita itu terdengar dingin, berbeda dari caranya berbicara dengan Alea. Nadine tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya ke Alea. “Kau siapa?” tanyanya dengan nada tajam. Alea tersenyum sopan. “Alea.” Tatapan Nadine berubah sedikit tajam. “Kau teman Reyhan?” Alea membuka mulut untuk menjawab, tetapi Reyhan lebih dulu berbicara. “Dia tunanganku.” Alea terkejut. Apa? Nadine tampak lebih terkejut dari Alea. “Apa?” Reyhan tetap tenang. “Kami akan menikah dalam waktu dekat.” Alea ingin berteriak, tetapi dia menahan dirinya. Apa yang Reyhan lakukan? Nadine menatap Reyhan lama, lalu tertawa kecil. “Menarik.” Dia lalu menoleh ke Alea dengan tatapan penuh penilaian. “Selamat, kalau begitu.” Tanpa berkata-kata lagi, Nadine berbalik dan pergi. Begitu wanita itu menghilang dari pandangan, Alea menatap Reyhan dengan tatapan tajam. “Apa maksudnya itu?” tanyanya dengan suara rendah. Reyhan mengangkat bahu santai. “Aku hanya ingin melihat reaksinya.” Alea mendengus. “Dan kau pikir itu ide yang bagus?” Reyhan tersenyum tipis. “Kau tidak tahu siapa Nadine.” Alea melipat tangan di dada. “Siapa dia?” Reyhan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, “Dia tunangan lamaku.” Alea membelalak. “Apa?” Reyhan mengangguk. “Kami bertunangan bertahun-tahun lalu. Tapi aku membatalkannya.” Alea menelan ludah. “Kenapa?” Reyhan tersenyum miring. “Karena dia tidak mencintaiku. Dia hanya mencintai kekayaanku.” Alea terdiam. Jadi, Nadine adalah bagian dari masa lalu Reyhan? Dan sekarang, wanita itu tiba-tiba muncul kembali? Alea tidak tahu kenapa, tetapi ada sesuatu dalam hatinya yang tidak nyaman. Dia tidak suka melihat cara Nadine menatap Reyhan. Dan dia terutama tidak suka bagaimana Reyhan tadi berkata bahwa Alea adalah tunangannya. Ini bukan bagian dari kesepakatan. Tapi kenapa, di dalam hatinya, ada sesuatu yang perlahan berubah? Sesuatu yang tidak ingin dia akui? Alea menatap Reyhan yang tampak tenang seperti biasa. Pria ini memang berbahaya. Bukan hanya karena uangnya. Tapi karena dia mulai membuat Alea merasakan sesuatu yang selama ini berusaha dia hindari.Malam itu, Alea tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan kejadian di restoran tadi. Reyhan.Nadine.Dan... kebohongan besar yang Reyhan katakan begitu saja di depan Nadine.Kenapa dia bilang mereka bertunagan? apa tujuannya?Alea menggulung tubuhnya dibalik selimut, mencobanya melupakan, semakin bayangan Reyhan, muncul di kepalanya.Sial, kenapa dia terus memikirkan pria itu?____________________________________Keesokan paginya, Alea bangun dengan perasaan masih campur aduk. Tapi ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia punya pekerjaan, punya hidup sendiri, dan Reyhan bukan bagian dari itu.Atau..... setidaknya seharusnya begitu.Namun, semua itu tidak berubah ketika dia keluar dari apartemennya dan mendapati sebuah mobil sport hitam terpakir di depan.Dan seseorang bersandar santai di pintunya.ReyhanAlea mendesah panjang, "Apa yang kau lakukan di sini?"Reyhan menatapnya dengan senyum kecil, "Menjemput tunanganku."Alea menutup mata, mencoba mengendalikan emosi, "Aku
Alea berusaha menyangkal perasannya. Setelah hari yang dia habiskan brsama Reyhan di taman hiburan, dia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa itu tidak berarti apa-apa. Itu hanya hari yang menyenangkan, hanya momen yang kebetulan saja.Tapi kenyataanya....Dia mulai memikirkan Reyhan lebih dari yang seharusnya dan itu membuatnya frustasi.Keesokan harinya, Alea mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Dia menyibukkan diri di kantor, menumpuk tugas sebanyak mungkin agar tidak punya waktu untuk memikirkan Reyhan. Tapi rencananya gagal total ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.Reyhan: Makan malam bersamaku malam ini, aku jemput jam 7.Alea menatap pesan itu lama, dia bisa saja menolak. Tapi entah kenapa, jari-jarinya malah mengetik balasan. Alea: Baiklah.Begitu pesan terkirim, dia langsung menyesal. Kenapa dia tidak bisa mengatakan 'tidak' pada pria itu?Malamnya, seperti yang telah dijanjikan, Reyhan datang tepat jam tujuh malam. Ketika Alea keluar apartemenya, dia menemukan
Sejak malam itu, segalanya berubah. Alea tidak bisa lagi menyangka perasaannya, tidak bisa lagi menghindari kenyataan bahwa Reyhan semakin masuk ke dalam hidupnya yakni ke dalam pikirannya. Tapi di saat yang sama, ketakutan mulai merayapi hatinya. Dia bukan tipe wanita yang mudah percaya. Dia tahu, dalam dunia ini segala sesuatu ada harganya dan dia masih belum bisa memastikan, apa harga yang harus dia bayar jika membiarkan Reyhan lebih jauh masuk ke dalam hidupnya. Hari itu, Alea menerima undangan makan siang dari Reyhan. Kal ki ini, bukan hanya mereka berdua. " Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang," kata Reyhan ditelepon. Alea sempat berfikir untuk menolak, tapi akhirnya setuju. Ketika tiba di restoran tempat mereka janjian, Alea sedikit terkejut melihat seorang wanita paruh baya yang duduk dengan elegan di meja. Reyhan berdiri dan menyambut Alea dengan senyum. "Alea, ini ibuku." Alea terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum, "Senang bertemu dengan anda, Bu." Ibu Reyhan m
Alea tidak bisa berhenti memikirkan pertemuanya dengan Ibu Reyhan. Tatapan tajam yang menilainya, pertanyaan-pertanyaan yang terasa seperti ujian, dan cara Reyhan hanya tersenyum santai seolah semua itu bukan masalah besar.Malam itu, saat dia duduk di bangku apartemenya, secangkir teh hangat di tangannya, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Dia bukan wanita yang mudah goyah, tapi ada sesuatu tentang Reyhan yang perlahan mengikis pertahanannya.Ponselnya bergetar diatas meja, nama Reyhan tertera di layar. Alea sempat rau sebelum mengangkatnya."Halo?'"Apa yang sedang kau pikirkan?" suara reyhan terdengar lembut.Alea tersenyum kecil. "Kenapa kau berpikir aku sedang memikirkan sesuatu?""Karena aku mengenalmu, dan pertemuan tadi pasti membuatmu berpikir."Alea menghela napas. "Ibumu tidak terlalu menyukaiku, bukan?"Reyhan tertawa kecil. "Dia hanya memastikan bahwa aku tidak salah memilih.""Kau terdengar terlalu santai. Aku tidak tau apakah itu menyebalkan atau mengagumkan.""Ka
Alea duduk di sofa apartemennya,menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan misterius itu."Berhati-hatilah dengan Reyhan."Kata-kata itu terasa semakin berat setelah pertemuan terakhir mereka. Reyhan menyuruhnya untuk tidak mempercayai siapapun selain dirinya. Tapi bagaimana bisa Alea mempercayai Reyhan sepenuhnya, jika pria itu sendiri masih menyimpan banyak rahasia?Di menghela napas panjang dan meneggelamkan wajahnya di kedua tangan. Sejak mengenal Reyhan, hidupnya berubah. Ada bagian dalam dirinya yang selama ini tertutup rapat, tapi entah bagaimana, Reyhan bisa masuk.Tapi.....apa itu hal yang baik?Pikirannya dipenuhi kebingungan. Dia percaya pada Reyhan, tetapi firasat buruk terus menghantuinya.###Keesokan harinya, Alea memutuskan untuk tidak menghubungi Reyhan terlebih dahulu. Dia butuh ruang, butuh waktu untuk berpikir jernih.Namun, takdir sepertinya mempunyai rencana lain. Saat sedang bekerja di kantornya, sebuah paket dikirimkan kepadanya. Tidak ada nama pengirim,
Alea menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendaljkan detak jantungnya yang berpacu. Kata-kata pria itu masih bergema di benaknya, tentang perjanjian keluarga, tentang Reyhan dan tentang orang-orang yang menginginkan pernikahan mereka terjadi. Tidak, dia tidak akan membiarkan hidupnya dikendalikan oleh perjanjian yang bahkan tidak pernah dia ketahui. Dia menatap Reyhan, mencari jawaban di mata pria itu. Ada sesuatu yang selama ini tidak dikatakan Reyhan, sesuatu yang lebih dari kewajiban terhadap keluarganya. "Aku harus pergi," Alea akhirnya berkata. Reyhan langsung menegang. "Pergi kemana?""Aku butuh waktu memikirkan semua ini," jawabnya tegas. "Aku tidak bisa begitu saja menerima kenyataan bahwa hidupku sudah ditentukan oleh orang lain."Pria itu menatap lama sebelum akhirnya mengangguk. "Aku ngerti perasaanmu, nak. Tapi kau juga harus sadar, mereka tidak akan tinggal diam."Alea mengertakan giginya. "Kalau mereka berani mengusik hidupku, maka aku juga tidak akan tinggal diam."
Alea berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Ruangan ini begitu dingin, dan tangan Tata kaki yang terikat membuat tubuhnya semakin kaku. Jantungnya berdebar kencang saat sosok pria itu melangkah mendekat. "Sudah lama aku msnunggumu, Alea," kata pria itu dengan suara tenang namun berbahaya. Alea menatapnya tajam. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?"Pria itu tersenyum miring, matanya mengamati Alea dengan penuh ketertarikan. "Pertanyaan yang menarik, tapi pertanyaan yang lebih penting adalah... apakah kau siap untuk kebenaran?"Alea mengigit bibirnya. "Aku tidak punya banya waktu untuk permaina ini, jika kau ingin uang Reyhan akan membayarmu. Jika ini tentang dendam, maka kau salah orang. Aku tidak memiliki musuh."Pria itu menghela napas panjang, lalu menarik kursi dan duduk dihadapan Alea. "oh, kau punya banyak musuh, Alea. Kau hanya belum menyadarinya."Alea menelan ludah, suasana di ruangan ini begitu menekan seakan udara menjadi lebih berat. "Apa maksudmu?""Sebelum aku
Alea berdiri di antara dua pria itu, hatinya berdebar kencang. Di satu sisi, ada Reyhan pria yang selama ini dia cintai, yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi sekarang, kepercayaanya mulai terkikis. Di sisi lain, pri asing ini membawa subuah kenyataan baru yang menghancurian segalanya. "Bagaimana aku bisa tau siapa yang haru kupercayai?" suara Alea hampir seperti bisikan. Reyhan mengulurkan tangannya. "Percayalah padaku, Alea. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."Pria asing itu mendengus. "Itulah yang selalu dia katakan, bukan? Tapi lihat dimana kau sekarang, terikat diculik. Jika dia benar-benar ingin melindungimu, mengapa kau ada di tempat ini?"Alea mengigit bibirnya, ada kebenaean dalam kata-kata pria itu. Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Salah satu pria berbaju hitam berdiri di luar roboh dengan darah mengucur dari dadanya. "Kita tidak punya waktu," kata pria asing itu tegas. "Alea, pilih sekarang."Alea memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang.
Mobil yang dikendarai Adrian melaju di jalan raya yang mulai lenggang. Suasana malam terasa mencekam, seakan-akan bayangan ketakutan terus membuntuti Alea. Dia menyadari bahwa keputusan yang baru saja diambil bukan hanya mengubah hidupnya, tetapi mungkin juga membahayakan dirinya sendiri. Alea mengeratkan genggamannya dipangkuan. "Kemana kita pergi sekarang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Adrian meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. " Ada tempat yang aman di luar kota, sebuah rumah persembunyian yang hanya diketahui oleh segelintir orang. Kita bisa berlindung di sana untuk sementara waktu sambil mencari tahu langkah berikutnya." Alea mengangguk, meski dalam hatinya dia masih ragu. Apakah benar dia telah memilih jalan yang tepat? Mobil mereka maju tanpa suara, hanya ditemani cahaya lampu jalan yang sesekali melintas. Alea bersandar pada jendela mobil, pikirannya masih terikat pada satu sosok yaitu Reyhan. Apakah Reyhan benar-benar memanfatkannya? Selama in
Alea berdiri di antara dua pria itu, hatinya berdebar kencang. Di satu sisi, ada Reyhan pria yang selama ini dia cintai, yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi sekarang, kepercayaanya mulai terkikis. Di sisi lain, pri asing ini membawa subuah kenyataan baru yang menghancurian segalanya. "Bagaimana aku bisa tau siapa yang haru kupercayai?" suara Alea hampir seperti bisikan. Reyhan mengulurkan tangannya. "Percayalah padaku, Alea. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu."Pria asing itu mendengus. "Itulah yang selalu dia katakan, bukan? Tapi lihat dimana kau sekarang, terikat diculik. Jika dia benar-benar ingin melindungimu, mengapa kau ada di tempat ini?"Alea mengigit bibirnya, ada kebenaean dalam kata-kata pria itu. Tiba-tiba, suara tembakan terdengar. Salah satu pria berbaju hitam berdiri di luar roboh dengan darah mengucur dari dadanya. "Kita tidak punya waktu," kata pria asing itu tegas. "Alea, pilih sekarang."Alea memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang.
Alea berusaha mengatur nafasnya yang memburu. Ruangan ini begitu dingin, dan tangan Tata kaki yang terikat membuat tubuhnya semakin kaku. Jantungnya berdebar kencang saat sosok pria itu melangkah mendekat. "Sudah lama aku msnunggumu, Alea," kata pria itu dengan suara tenang namun berbahaya. Alea menatapnya tajam. "Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?"Pria itu tersenyum miring, matanya mengamati Alea dengan penuh ketertarikan. "Pertanyaan yang menarik, tapi pertanyaan yang lebih penting adalah... apakah kau siap untuk kebenaran?"Alea mengigit bibirnya. "Aku tidak punya banya waktu untuk permaina ini, jika kau ingin uang Reyhan akan membayarmu. Jika ini tentang dendam, maka kau salah orang. Aku tidak memiliki musuh."Pria itu menghela napas panjang, lalu menarik kursi dan duduk dihadapan Alea. "oh, kau punya banyak musuh, Alea. Kau hanya belum menyadarinya."Alea menelan ludah, suasana di ruangan ini begitu menekan seakan udara menjadi lebih berat. "Apa maksudmu?""Sebelum aku
Alea menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendaljkan detak jantungnya yang berpacu. Kata-kata pria itu masih bergema di benaknya, tentang perjanjian keluarga, tentang Reyhan dan tentang orang-orang yang menginginkan pernikahan mereka terjadi. Tidak, dia tidak akan membiarkan hidupnya dikendalikan oleh perjanjian yang bahkan tidak pernah dia ketahui. Dia menatap Reyhan, mencari jawaban di mata pria itu. Ada sesuatu yang selama ini tidak dikatakan Reyhan, sesuatu yang lebih dari kewajiban terhadap keluarganya. "Aku harus pergi," Alea akhirnya berkata. Reyhan langsung menegang. "Pergi kemana?""Aku butuh waktu memikirkan semua ini," jawabnya tegas. "Aku tidak bisa begitu saja menerima kenyataan bahwa hidupku sudah ditentukan oleh orang lain."Pria itu menatap lama sebelum akhirnya mengangguk. "Aku ngerti perasaanmu, nak. Tapi kau juga harus sadar, mereka tidak akan tinggal diam."Alea mengertakan giginya. "Kalau mereka berani mengusik hidupku, maka aku juga tidak akan tinggal diam."
Alea duduk di sofa apartemennya,menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan misterius itu."Berhati-hatilah dengan Reyhan."Kata-kata itu terasa semakin berat setelah pertemuan terakhir mereka. Reyhan menyuruhnya untuk tidak mempercayai siapapun selain dirinya. Tapi bagaimana bisa Alea mempercayai Reyhan sepenuhnya, jika pria itu sendiri masih menyimpan banyak rahasia?Di menghela napas panjang dan meneggelamkan wajahnya di kedua tangan. Sejak mengenal Reyhan, hidupnya berubah. Ada bagian dalam dirinya yang selama ini tertutup rapat, tapi entah bagaimana, Reyhan bisa masuk.Tapi.....apa itu hal yang baik?Pikirannya dipenuhi kebingungan. Dia percaya pada Reyhan, tetapi firasat buruk terus menghantuinya.###Keesokan harinya, Alea memutuskan untuk tidak menghubungi Reyhan terlebih dahulu. Dia butuh ruang, butuh waktu untuk berpikir jernih.Namun, takdir sepertinya mempunyai rencana lain. Saat sedang bekerja di kantornya, sebuah paket dikirimkan kepadanya. Tidak ada nama pengirim,
Alea tidak bisa berhenti memikirkan pertemuanya dengan Ibu Reyhan. Tatapan tajam yang menilainya, pertanyaan-pertanyaan yang terasa seperti ujian, dan cara Reyhan hanya tersenyum santai seolah semua itu bukan masalah besar.Malam itu, saat dia duduk di bangku apartemenya, secangkir teh hangat di tangannya, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Dia bukan wanita yang mudah goyah, tapi ada sesuatu tentang Reyhan yang perlahan mengikis pertahanannya.Ponselnya bergetar diatas meja, nama Reyhan tertera di layar. Alea sempat rau sebelum mengangkatnya."Halo?'"Apa yang sedang kau pikirkan?" suara reyhan terdengar lembut.Alea tersenyum kecil. "Kenapa kau berpikir aku sedang memikirkan sesuatu?""Karena aku mengenalmu, dan pertemuan tadi pasti membuatmu berpikir."Alea menghela napas. "Ibumu tidak terlalu menyukaiku, bukan?"Reyhan tertawa kecil. "Dia hanya memastikan bahwa aku tidak salah memilih.""Kau terdengar terlalu santai. Aku tidak tau apakah itu menyebalkan atau mengagumkan.""Ka
Sejak malam itu, segalanya berubah. Alea tidak bisa lagi menyangka perasaannya, tidak bisa lagi menghindari kenyataan bahwa Reyhan semakin masuk ke dalam hidupnya yakni ke dalam pikirannya. Tapi di saat yang sama, ketakutan mulai merayapi hatinya. Dia bukan tipe wanita yang mudah percaya. Dia tahu, dalam dunia ini segala sesuatu ada harganya dan dia masih belum bisa memastikan, apa harga yang harus dia bayar jika membiarkan Reyhan lebih jauh masuk ke dalam hidupnya. Hari itu, Alea menerima undangan makan siang dari Reyhan. Kal ki ini, bukan hanya mereka berdua. " Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang," kata Reyhan ditelepon. Alea sempat berfikir untuk menolak, tapi akhirnya setuju. Ketika tiba di restoran tempat mereka janjian, Alea sedikit terkejut melihat seorang wanita paruh baya yang duduk dengan elegan di meja. Reyhan berdiri dan menyambut Alea dengan senyum. "Alea, ini ibuku." Alea terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum, "Senang bertemu dengan anda, Bu." Ibu Reyhan m
Alea berusaha menyangkal perasannya. Setelah hari yang dia habiskan brsama Reyhan di taman hiburan, dia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa itu tidak berarti apa-apa. Itu hanya hari yang menyenangkan, hanya momen yang kebetulan saja.Tapi kenyataanya....Dia mulai memikirkan Reyhan lebih dari yang seharusnya dan itu membuatnya frustasi.Keesokan harinya, Alea mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Dia menyibukkan diri di kantor, menumpuk tugas sebanyak mungkin agar tidak punya waktu untuk memikirkan Reyhan. Tapi rencananya gagal total ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.Reyhan: Makan malam bersamaku malam ini, aku jemput jam 7.Alea menatap pesan itu lama, dia bisa saja menolak. Tapi entah kenapa, jari-jarinya malah mengetik balasan. Alea: Baiklah.Begitu pesan terkirim, dia langsung menyesal. Kenapa dia tidak bisa mengatakan 'tidak' pada pria itu?Malamnya, seperti yang telah dijanjikan, Reyhan datang tepat jam tujuh malam. Ketika Alea keluar apartemenya, dia menemukan
Malam itu, Alea tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan kejadian di restoran tadi. Reyhan.Nadine.Dan... kebohongan besar yang Reyhan katakan begitu saja di depan Nadine.Kenapa dia bilang mereka bertunagan? apa tujuannya?Alea menggulung tubuhnya dibalik selimut, mencobanya melupakan, semakin bayangan Reyhan, muncul di kepalanya.Sial, kenapa dia terus memikirkan pria itu?____________________________________Keesokan paginya, Alea bangun dengan perasaan masih campur aduk. Tapi ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Dia punya pekerjaan, punya hidup sendiri, dan Reyhan bukan bagian dari itu.Atau..... setidaknya seharusnya begitu.Namun, semua itu tidak berubah ketika dia keluar dari apartemennya dan mendapati sebuah mobil sport hitam terpakir di depan.Dan seseorang bersandar santai di pintunya.ReyhanAlea mendesah panjang, "Apa yang kau lakukan di sini?"Reyhan menatapnya dengan senyum kecil, "Menjemput tunanganku."Alea menutup mata, mencoba mengendalikan emosi, "Aku