Makan malam canggung akhirnya selesai, itu pikiran Agnia. Tapi siapa sangka ternyata keluarga Aditya masih mengajaknya minum teh setelah makan malam di taman restoran mewah itu.“Aditya dulu sangat menggemaskan, kapan-kapan aku akan menunjukkan fotonya saat dia masih kecil.” Ucap Rima pada Agnia.Agina tersenyum canggung, dia juga tak ingin melihat masa kecil bosnya itu. Tapi kenapa keluarganya memperlakukannya seolah dia adalah calon mantu mereka?Agnia merasa semakin bingung dengan perlakuan keluarga Aditya. Di satu sisi, dia hanya ingin mempertahankan hubungan profesional, tetapi di sisi lain, keluarga Aditya tampak memperlakukannya seperti lebih dari sekadar asisten."Terima kasih, Ibu, tapi sepertinya tuan Aditya tidak akan terlalu senang jika fotonya yang masih kecil dilihat orang lain," jawab Agnia dengan senyum sopan, mencoba meredakan suasana.Rima tertawa kecil, "Oh, tidak usah khawatir. Dia akan baik-baik saja. Lagipula, ini hanya bagian dari keluarga. Kami senang melihatmu
“Aku percayakan perusahan kita di Jerman untukmu, kembangkan perusahaan itu dan paman percayakan padamu sepenuhnya. Kau punya waktu satu minggu untuk memutuskan.” Ucap David pada Aditya.Aditya terkejut mendengar kabar itu, “Paman.. Tapi aku rasa aku belum mampu untuk mengelola bisnis kita di Jerman.” Ucap Aditya yang sedikit merasa keberatan.David menatap Aditya dengan penuh keyakinan. "Aku tahu kau mampu, Aditya. Kau sudah membuktikan dirimu berkali-kali di perusahaan ini. Aku tidak akan memberimu tanggung jawab ini jika aku tidak yakin. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri."Aditya terdiam sejenak, masih mencerna apa yang baru saja didengar. Tanggung jawab sebesar itu memang merupakan kesempatan besar, tetapi pikirannya langsung tertuju pada Agnia. Bagaimana jika dia tidak siap untuk pindah ke luar negeri bersamanya?"Terima kasih atas kepercayaanmu, Paman. Tapi… bagaimana jika aku tidak bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik? Jerman bukan tantangan kecil," ujar Aditya, m
“Sayang, kau tak makan sarapanmu?” Tanya Anya dengan khawatir.Misella, putrinya tampak murung saat ini dan seolah dia tak berselera makan karena itu.“Aku tak lapar, mama. Boleh aku langsung berangkat sekolah saja?” Tanya Misella pada Anya.Anya tersenyum, “Baiklah, bawa bekalmu. Nanti sarapan di sekolah ya.” Ucap Anya dengan lembut.“Iya, ma.”Anya merasa ada yang tidak beres dengan putrinya, namun ia memilih untuk tidak memaksanya berbicara saat itu juga. "Baiklah, tapi ingat, kalau ada apa-apa, kamu selalu bisa cerita ke Mama," katanya dengan lembut sambil menyerahkan bekal untuk Misella.Misella mengangguk perlahan, mengambil bekalnya tanpa banyak bicara. "Terima kasih, Ma," jawabnya pelan sebelum beranjak menuju pintu.David yang sedang mengamati dari belakang ikut mendekati Anya setelah Misella pergi. "Sepertinya ada yang mengganggunya, ya?"“Mas, coba tanyakan pada guru disana. Aku takut jika Misella dapat masalah dengan teman sekelasnya.”David mengangguk, “Akan aku hubungi me
“Hei anak pungut! Apa yang kau bawa itu?’ Alex mendekati meja Misella saat gadis itu sedang makan siang bersama Rose di meja.Rose yang melihat itu langsung geram pada Alex,”Apa kau tak lelah menganggu Misella? Dia salah apa? Dia bahkan tak menganggumu.” Ucap Rose dengan galak karena ingin melindungi sahabatnya dari pembulian.“Salahnya? Salahnya dia sekolah disini! Ini bukan tempat anak pungut!”Misella mencoba tetap tenang, meskipun hatinya terasa sakit mendengar kata-kata Alex. Dia sudah sering mendengar ejekan seperti itu, tetapi kali ini dia tidak ingin Rose terlibat lebih jauh. "Tolong, Alex. Aku hanya ingin makan siang dengan tenang," ucap Misella pelan, berusaha menghindari konfrontasi.Rose, yang sudah muak dengan sikap Alex, bangkit dari kursinya. "Cukup, Alex! Kau pikir siapa dirimu menghina orang lain seperti itu? Apa kau merasa lebih baik karena menyakiti orang lain?" bentak Rose dengan marah, tidak takut menghadapi Alex.Alex tertawa sinis, "Aku hanya mengatakan yang sebe
“Misella!” Anya langsung masuk ke ruangan dimana Misella di rawat.Wajah Misella pucat meskipun sudah sadar, keningnya diperban untuk menutupi lukanya.“Mama.” Ucap Misella dengan pelan, dia menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena membuat masalah di sekolah. “Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Tanya Anya dengan khawatir.Misella menggeleng pelan, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Maaf, Mama... Aku nggak bermaksud bikin masalah," ucapnya dengan suara yang hampir berbisik.Anya segera duduk di samping tempat tidur Misella, menggenggam tangan putrinya dengan lembut. "Kamu tidak perlu minta maaf, sayang. Yang penting sekarang kamu baik-baik saja," ucap Anya, suaranya lembut namun penuh rasa khawatir.Misella menangis, lalu memeluk ibunya. “Maaf ya, ma. Aku selalu bikin repot mama. Maaf, karena aku mama harus meninggalkan adik-adik, maaf juga mama harus kerepotan mengurus Misella yang nakal ini, Misella merasa bersalah dan ga pantes jadi anak mama.”Anya merasakan da
“Sayang…” David yang baru tiba langsung menghampiri Anya dan Misella yang masih di rawat karena menunggu infus Misella habis baru diperbolehkan kembali ke rumah.“Mas, rapatmu sudah selesai?” Tanya Anya dengan lembut pada suaminya.David mengangguk, “Sudah, maka dari itu aku baru tiba. Bagaimana dengan keadaan Misella?” Tanya David dengan khawatir.Anya tersenyum lembut kepada suaminya dan meraih tangannya. "Misella sudah lebih baik, sayang. Hanya perlu menunggu infusnya selesai, lalu kita bisa pulang," jawabnya sambil melirik putri mereka yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit.David duduk di tepi ranjang, mengusap lembut kepala Misella. "Hei, putri kecilku, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lembut, meski kekhawatiran masih jelas di matanya.Misella membuka mata perlahan dan tersenyum tipis. "Papa... aku baik-baik saja. Maaf ya, aku bikin papa sama mama khawatir," ucapnya pelan, suaranya sedikit serak.David menatap Anya sejenak sebelum menoleh kembali pada M
“Sampai kapan kau akan menghindari aku terus, Agnia? Dua hari kau tak ada kabar dan izin sakit. Apa sebegitu tak sukanya dirimu padaku sehingga kau menjauh seperti ini?” Tanya Aditya melalui sambungan telepon.Di kamar kosnya, Agnia terdiam. Dia memang mengangkat telepon dari Aditya setelah dua hari tak ada kabar, tapi dia tak tahu harus mengatakan apa.“T-tuan, sepertinya saya akan resign. Bulan depan saya akan pergi dan selama itu saya akan–”“Jadi– Kau membenciku, Agnia?” Terdengar suara getir di seberang telepon.Agnia terdiam mendengar nada getir di suara Aditya. Hatinya bergejolak, antara ingin menjelaskan alasannya dengan jujur atau tetap menjaga jarak seperti yang sudah ia coba lakukan. Setelah dua hari tanpa kontak, ia tahu keputusan ini akan sulit, namun rasanya terus bekerja di bawah bayang-bayang perasaannya sendiri menjadi terlalu berat.“Bukan begitu, Tuan,” ucap Agnia pelan, suaranya sedikit bergetar. “Saya tidak membenci Anda, saya hanya... merasa ini yang terbaik. Say
“Kau sudah banyak minum alkohol, Aditya.” Ucap David pada keponakannya itu.Saat mendengar kabar dari adiknya jika Aditya dalam suasana kacau dan pergi ke klub, David langsung menghampiri pria itu dan merebut gelas miliknya.“Dia menolakku dan membuangku, paman.” Ucap Aditya dengan wajah memerah karena mabuk, namun ekspresinya tampak sangat hancur.David menatap Aditya dengan prihatin, melihat bagaimana keponakannya benar-benar terpuruk. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Aditya, ini bukan caranya menyelesaikan masalah," ucapnya tegas namun lembut. "Minum tidak akan mengubah apa yang terjadi, dan pasti tidak akan membawamu ke tempat yang lebih baik."Aditya menundukkan kepalanya, suaranya berat dan penuh emosi. "Tapi dia... Agnia... dia benar-benar meninggalkanku, paman. Aku sudah melakukan segalanya untuk menunjukkan perasaanku, tapi dia malah pergi."David merasa simpati terhadap Aditya, tetapi dia tahu bahwa mengasihani diri sendiri tidak
Aditya menunggu dengan tidak sabar pemeriksaan Agnia yang masih berada di dalam bersama dokter.“Sayang, duduklah dengan tenang aku yakin Agnia baik-baik saja.” Ucap Rima pada putranya tersebut.Kevin juga mengangguk menenangkan putranya, “Benar kata ibumu.”Aditya menghela napas dalam, berusaha mengendalikan kegelisahannya. Meski ia tahu orang tuanya berusaha menenangkan, perasaan cemas tetap menguasai dirinya. “Aku tahu, tapi tetap saja… ini sangat tiba-tiba,” jawabnya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.Tak lama kemudian, pintu ruang pemeriksaan terbuka, dan dokter keluar dengan raut wajah yang tenang. Aditya langsung berdiri dan menghampiri, "Dokter, bagaimana keadaan istri saya?"Dokter tersenyum kecil, “Tenang, Pak Aditya. Istri Anda hanya kelelahan dan mengalami gejala yang cukup umum di trimester awal kehamilan. Selamat, Pak, Ibu Agnia sedang mengandung.” Aditya terdiam, antara terkejut dan bahagia, sebelum senyum lebar terpancar di wajahnya. Rima dan Kevin yang men
Hari-hari berlalu, hingga pernikahan Agnia dan Aditya datang di pagi yang cerah ini.“Kau sangat tampan sayang.” Ucap Rima pada putranya yang tengah bersiap untuk prosesi pernikahannya.Aditya tersenyum pada ibunya, Rima, yang tampak berkaca-kaca melihat putranya dalam balutan pakaian pengantin. "Terima kasih, Ibu. Tanpa Ibu, aku mungkin tak akan sampai di hari ini," ucapnya sambil merapikan setelan jasnya.Rima mengangguk, menyentuh pipinya dengan lembut. "Ibu bangga padamu, Aditya. Kau telah memilih pasangan yang baik dan penuh kasih. Semoga kalian berdua selalu berbahagia."Aditya mengangguk penuh keyakinan. "Aku tahu, Bu. Agnia adalah seseorang yang benar-benar bisa kuandalkan, dan aku siap menjalani hidup bersamanya."Sementara itu, di ruangan lain, Agnia juga tengah bersiap dengan gaun pengantinnya yang anggun. Anya, Angel, dan Mila, membantu memastikan segalanya sempurna. Anya merapikan sedikit veil Agnia dan berkata dengan senyum hangat, "Kau benar-benar cantik, Agnia. Aditya
“Kita akan main banana boat!!” Ucap Rose dengan semangat saat mereka bermain di tepi pantai dan akan menaiki permainan itu.Rose, Misella, dan Alex tampak sangat bersemangat saat mengenakan jaket pelampung mereka. Suasana pantai yang cerah dan angin laut yang segar semakin menambah antusiasme mereka. "Ini pasti seru banget!" seru Misella dengan tawa yang lepas, tak sabar untuk segera bermain.Banana boat yang berwarna cerah itu berayun di atas air laut yang jernih, siap membawa mereka meluncur cepat di atas ombak. Alex, yang awalnya terlihat sedikit canggung, akhirnya tersenyum kecil karena semangat yang menular dari kedua temannya.Ketika banana boat mulai bergerak, Rose berteriak penuh kegembiraan, diikuti oleh Misella yang tak henti tertawa. Ombak mengayunkan mereka dengan cukup kencang, membuat perasaan adrenalin dan kegembiraan memenuhi suasana. Alex, yang awalnya tampak tenang, akhirnya ikut berteriak seru, menikmati momen tersebut bersama mereka."Pegangan yang kuat!" seru Mise
Johanna, istri Henry yang sedang bersantai di mansionnya tampak melihat sosial medianya. Sebagai nyonya Anderson, dia sama sekali tak melakukan apapun selain menikmati hidup dan uang suaminya.Hingga tak sengaja dia melihat akun Anya, istri dan nyonya dari keluarga Baskara tersebut. Rasa penasarannya mulai timbul terlebih melihat pengikut wanita itu mencapai jutaan followers.“Dia seorang artis?” Gumam Johanna dengan penasaran namun tatapannya merendahkan, karena menurutnya pekerjaan seperti itu tak menunjukkan martabat keluarga terpandang karena terlalu mengekspose kegiatan privasinya.Dengan tenang dia mulai melihat story Anya yang begitu banyak, mulai dari pemandangan di bali hingga perayaan ulang tahunnya disana.“Apa bagusnya merayakan di Bali?” Gumam Johanna dengan sinis, hingga dia melihat video Anya yang diperlakukan suaminya bak ratu, terlebih melihat pandangan David yang begitu terlihat mencintai istrinya bahkan menciumnya setelah mengucapkan selamat ulang tahun.Johanna men
“Happy birthday to you!!” Semua orang gembira merayakan ulang tahun Anya.Anya tertawa bahagia di tengah-tengah mereka, “Happy birthday, honey.” Ucap David sambil mengecup bibir Anya sekilas.Anya memeluk suaminya dengan lembut, “Terima kasih sayang.” Ucapnya dengan penuh cinta.Suasana pesta ulang tahun Anya di Bali terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Semua orang bersorak-sorai, dan tawa Anya memenuhi ruangan. Dia memeluk David dengan erat, merasa sangat bersyukur memiliki suami yang selalu ada di sisinya."Ini ulang tahun terbaik," ucap Anya dengan mata berbinar, masih memeluk David. "Aku tidak bisa meminta lebih dari ini."David tersenyum, menatapnya dengan penuh cinta. "Kau pantas mendapatkan semua kebahagiaan ini, sayang."Sahabat-sahabat Anya, seperti Angel, Mila, dan Nersa, ikut memberikan ucapan selamat sambil memberikan hadiah-hadiah kecil yang dipilih dengan penuh perhatian.“Apakah kami telat?” Tiba-tiba suara Aditya datang membuat mereka semua menoleh.“Kalian sudah datan
“Diana sudah kau siapkan barang endors-nya? Kita akan terbang pukul sepuluh pagi nanti.” Ucap Anya saat mereka akan berangkat ke Bali.Diana mengangguk, “Sudah, ini semua aman. Huft padahal kita suda menaikkan rate card-nya tapi masih banyak yang mengendors, membuatku harus mengedit lebih banyak saja.” Gumam Diana dengan mengeluh.Anya yang mendengarnya tertawa, “Bukankan gajimu sudah dua digit, setidaknya sebanding bukan?” Ucap Anya dengan kekeha ringan.Memang selama lima tahun ini karir Anya sebagai influencer sangat stabil bahkan cenderung semakin naik, meskipun Anya sekarang sudah membatasi endorsan yang masuk, namun tetap saja Diana sebagai editor dan juga manajernya cukup kalang kabut.“Tentu saja, setiap gajian aku bisa membeli satu motor baru. Tapi tetap saja lelah.” Ucap Diana dengan santai.Anya tersenyum, “Ya sudah, masukkan itu dalam mobil dan minta supir untuk mengambil sisanya. Kita berangkat sekarang, aku akan memanggil anak-anak dan juga suamiku.” Ucap Anya dengan lem
“Mama, apa aku boleh ajak Rose dan Alex ke bali nanti?” Tanya Misella saat mereka sedang makan malam.Anya yang mendengar nama Alex disebut juga langsung terkejut, “Alex?”Misella mengangguk, “Tadi dia bergabung denganku dan Rose, dia sudah cukup baik dari sebelumnya. Dan sepertinya teman-temannya dulu ikut menjauhinya dan sekarang dia jadi temanku. Saat aku cerita akan ke Bali dia terlihat murung, sepertinya dia tak pernah liburan bersama keluarga.” Ucap Misella.Anya dan David saling bertukar pandang, memikirkan permintaan putri mereka. Anya merasakan keraguan, terutama karena pengalaman sebelumnya dengan Alex, namun dia juga tak bisa mengabaikan sifat baik hati Misella.“Kamu sudah yakin dengan perubahan Alex, Misella? Aku tahu dia telah meminta maaf, tapi mengajaknya liburan bersama keluarga kita adalah hal yang besar,” kata Anya pelan, mencoba memahami situasinya.Misella mengangguk mantap. “Iya, Ma. Dia memang terlihat menyesal. Teman-teman lamanya juga menjauhinya, dan aku tak
“Aihh… Calon mantuku datang. Bagaimana persiapannya? Apakah sudah memilih gaun?” Tanya Rima dengan lembut saat Agnia datang berkunjung ke mansion.Agnia tersenyum lalu menaruh kue yang dia bawa di meja.“Kau bawa apa, Agnia? Kue buatanmu lagi ya? Wahh, ayah Aditya sangat senang kemarin dan hari ini kau bawakan lagi, pasti dia sangat bahagia.” Ucap Rima dengan semangat.Agnia tertawa pelan, dia bahagia dia disambut dengan sangat hangat di mansion ini. Seolah mereka tak mempermasalahkan status Agnia bahkan hanya kue sederhana saja mereka sudah sangat bahagia sehingga dia merasa dihargai.“Hanya kue biasa, bu. Kalau ibu ingin kue yang lain nanti Agnia buatkan, kebetulan Agnia sangat suka buat kue.” Ucap Agnia dengan lembut.Rima tersenyum hangat, wajahnya penuh kebahagiaan. "Kau ini memang sangat perhatian. Kami beruntung sekali mendapatkan calon menantu sepertimu, Agnia." Dia mengambil kue dari meja, lalu mencicipinya dengan penuh antusias. "Hmm, enak sekali! Ayah Aditya pasti sangat me
“Bagaimana dengan desain gaun ini, nona? Apakah anda suka?” Tanya desainer gaun pengantin yang ditunjuk oleh Aditya untuk Agnia.Agnia tampak bingung memilih, terlebih keluarga Aditya juga mendesak untuk acara pernikahan mereka digelar satu bulan lagi, tentu persiapan yang cukup singkat apalagi keluarga Baskara ingin acara pernikahan ini mewah.“Saya masih bingung, bisakah saya membawa gambar dari beberapa desain ini? Saya ingin menunjukkan dan meminta saran dari calon ibu mertua saya.” Ucap Agnia dengan lembut.Desainer gaun itu tersenyum sopan dan mengangguk. "Tentu saja, Nona Agnia. Saya akan menyiapkan beberapa gambar desain yang bisa Anda bawa. Kami ingin memastikan Anda merasa nyaman dan puas dengan pilihan Anda, apalagi ini hari yang sangat istimewa."Agnia tersenyum tipis, meskipun perasaan di dalam hatinya masih campur aduk. Proses persiapan yang begitu cepat dan tuntutan dari keluarga Baskara untuk membuat pernikahan mereka mewah cukup membuatnya tertekan. Dia tidak pernah m