“Aku percayakan perusahan kita di Jerman untukmu, kembangkan perusahaan itu dan paman percayakan padamu sepenuhnya. Kau punya waktu satu minggu untuk memutuskan.” Ucap David pada Aditya.Aditya terkejut mendengar kabar itu, “Paman.. Tapi aku rasa aku belum mampu untuk mengelola bisnis kita di Jerman.” Ucap Aditya yang sedikit merasa keberatan.David menatap Aditya dengan penuh keyakinan. "Aku tahu kau mampu, Aditya. Kau sudah membuktikan dirimu berkali-kali di perusahaan ini. Aku tidak akan memberimu tanggung jawab ini jika aku tidak yakin. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri."Aditya terdiam sejenak, masih mencerna apa yang baru saja didengar. Tanggung jawab sebesar itu memang merupakan kesempatan besar, tetapi pikirannya langsung tertuju pada Agnia. Bagaimana jika dia tidak siap untuk pindah ke luar negeri bersamanya?"Terima kasih atas kepercayaanmu, Paman. Tapi… bagaimana jika aku tidak bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik? Jerman bukan tantangan kecil," ujar Aditya, m
“Sayang, kau tak makan sarapanmu?” Tanya Anya dengan khawatir.Misella, putrinya tampak murung saat ini dan seolah dia tak berselera makan karena itu.“Aku tak lapar, mama. Boleh aku langsung berangkat sekolah saja?” Tanya Misella pada Anya.Anya tersenyum, “Baiklah, bawa bekalmu. Nanti sarapan di sekolah ya.” Ucap Anya dengan lembut.“Iya, ma.”Anya merasa ada yang tidak beres dengan putrinya, namun ia memilih untuk tidak memaksanya berbicara saat itu juga. "Baiklah, tapi ingat, kalau ada apa-apa, kamu selalu bisa cerita ke Mama," katanya dengan lembut sambil menyerahkan bekal untuk Misella.Misella mengangguk perlahan, mengambil bekalnya tanpa banyak bicara. "Terima kasih, Ma," jawabnya pelan sebelum beranjak menuju pintu.David yang sedang mengamati dari belakang ikut mendekati Anya setelah Misella pergi. "Sepertinya ada yang mengganggunya, ya?"“Mas, coba tanyakan pada guru disana. Aku takut jika Misella dapat masalah dengan teman sekelasnya.”David mengangguk, “Akan aku hubungi me
“Hei anak pungut! Apa yang kau bawa itu?’ Alex mendekati meja Misella saat gadis itu sedang makan siang bersama Rose di meja.Rose yang melihat itu langsung geram pada Alex,”Apa kau tak lelah menganggu Misella? Dia salah apa? Dia bahkan tak menganggumu.” Ucap Rose dengan galak karena ingin melindungi sahabatnya dari pembulian.“Salahnya? Salahnya dia sekolah disini! Ini bukan tempat anak pungut!”Misella mencoba tetap tenang, meskipun hatinya terasa sakit mendengar kata-kata Alex. Dia sudah sering mendengar ejekan seperti itu, tetapi kali ini dia tidak ingin Rose terlibat lebih jauh. "Tolong, Alex. Aku hanya ingin makan siang dengan tenang," ucap Misella pelan, berusaha menghindari konfrontasi.Rose, yang sudah muak dengan sikap Alex, bangkit dari kursinya. "Cukup, Alex! Kau pikir siapa dirimu menghina orang lain seperti itu? Apa kau merasa lebih baik karena menyakiti orang lain?" bentak Rose dengan marah, tidak takut menghadapi Alex.Alex tertawa sinis, "Aku hanya mengatakan yang sebe
“Misella!” Anya langsung masuk ke ruangan dimana Misella di rawat.Wajah Misella pucat meskipun sudah sadar, keningnya diperban untuk menutupi lukanya.“Mama.” Ucap Misella dengan pelan, dia menundukkan kepalanya, merasa bersalah karena membuat masalah di sekolah. “Sayang, apa kamu tidak apa-apa?” Tanya Anya dengan khawatir.Misella menggeleng pelan, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Maaf, Mama... Aku nggak bermaksud bikin masalah," ucapnya dengan suara yang hampir berbisik.Anya segera duduk di samping tempat tidur Misella, menggenggam tangan putrinya dengan lembut. "Kamu tidak perlu minta maaf, sayang. Yang penting sekarang kamu baik-baik saja," ucap Anya, suaranya lembut namun penuh rasa khawatir.Misella menangis, lalu memeluk ibunya. “Maaf ya, ma. Aku selalu bikin repot mama. Maaf, karena aku mama harus meninggalkan adik-adik, maaf juga mama harus kerepotan mengurus Misella yang nakal ini, Misella merasa bersalah dan ga pantes jadi anak mama.”Anya merasakan da
“Sayang…” David yang baru tiba langsung menghampiri Anya dan Misella yang masih di rawat karena menunggu infus Misella habis baru diperbolehkan kembali ke rumah.“Mas, rapatmu sudah selesai?” Tanya Anya dengan lembut pada suaminya.David mengangguk, “Sudah, maka dari itu aku baru tiba. Bagaimana dengan keadaan Misella?” Tanya David dengan khawatir.Anya tersenyum lembut kepada suaminya dan meraih tangannya. "Misella sudah lebih baik, sayang. Hanya perlu menunggu infusnya selesai, lalu kita bisa pulang," jawabnya sambil melirik putri mereka yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit.David duduk di tepi ranjang, mengusap lembut kepala Misella. "Hei, putri kecilku, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lembut, meski kekhawatiran masih jelas di matanya.Misella membuka mata perlahan dan tersenyum tipis. "Papa... aku baik-baik saja. Maaf ya, aku bikin papa sama mama khawatir," ucapnya pelan, suaranya sedikit serak.David menatap Anya sejenak sebelum menoleh kembali pada M
“Sampai kapan kau akan menghindari aku terus, Agnia? Dua hari kau tak ada kabar dan izin sakit. Apa sebegitu tak sukanya dirimu padaku sehingga kau menjauh seperti ini?” Tanya Aditya melalui sambungan telepon.Di kamar kosnya, Agnia terdiam. Dia memang mengangkat telepon dari Aditya setelah dua hari tak ada kabar, tapi dia tak tahu harus mengatakan apa.“T-tuan, sepertinya saya akan resign. Bulan depan saya akan pergi dan selama itu saya akan–”“Jadi– Kau membenciku, Agnia?” Terdengar suara getir di seberang telepon.Agnia terdiam mendengar nada getir di suara Aditya. Hatinya bergejolak, antara ingin menjelaskan alasannya dengan jujur atau tetap menjaga jarak seperti yang sudah ia coba lakukan. Setelah dua hari tanpa kontak, ia tahu keputusan ini akan sulit, namun rasanya terus bekerja di bawah bayang-bayang perasaannya sendiri menjadi terlalu berat.“Bukan begitu, Tuan,” ucap Agnia pelan, suaranya sedikit bergetar. “Saya tidak membenci Anda, saya hanya... merasa ini yang terbaik. Say
“Kau sudah banyak minum alkohol, Aditya.” Ucap David pada keponakannya itu.Saat mendengar kabar dari adiknya jika Aditya dalam suasana kacau dan pergi ke klub, David langsung menghampiri pria itu dan merebut gelas miliknya.“Dia menolakku dan membuangku, paman.” Ucap Aditya dengan wajah memerah karena mabuk, namun ekspresinya tampak sangat hancur.David menatap Aditya dengan prihatin, melihat bagaimana keponakannya benar-benar terpuruk. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Aditya, ini bukan caranya menyelesaikan masalah," ucapnya tegas namun lembut. "Minum tidak akan mengubah apa yang terjadi, dan pasti tidak akan membawamu ke tempat yang lebih baik."Aditya menundukkan kepalanya, suaranya berat dan penuh emosi. "Tapi dia... Agnia... dia benar-benar meninggalkanku, paman. Aku sudah melakukan segalanya untuk menunjukkan perasaanku, tapi dia malah pergi."David merasa simpati terhadap Aditya, tetapi dia tahu bahwa mengasihani diri sendiri tidak
Anya duduk di kursi ruang tamu yang nyaman, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Enam bulan pernikahan yang seharusnya menjadi momen-momen bahagia, kini terasa seperti beban tersendiri yang membuat dadanya sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba melepaskan beban yang menghantuinya.Di sudut ruangan, , Dimas suaminya, tampak sibuk dengan ponselnya. Dulu, Dimas selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol dan bercanda dengannya setiap malam. Tapi sekarang, perhatian Dimas lebih sering tertuju pada layar ponselnya daripada padanya. Anya merasakan ada sesuatu yang berubah, namun ia berusaha mengabaikan perasaannya itu.“Mas Dimas.” Anya akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar sedikit. “Kamu ada waktu sebentar? Aku ingin bicara.”Dimas mengangkat pandangannya dari ponsel, sedikit terganggu. “Apa, Anya? Aku sedang sibuk, banyak kerjaan yang harus diselesaikan.”“Aku tahu, tapi ini penting. Kita perlu bicara tentang... tentang kita.”Dimas menghela napas ber