“Sayang…” David yang baru tiba langsung menghampiri Anya dan Misella yang masih di rawat karena menunggu infus Misella habis baru diperbolehkan kembali ke rumah.“Mas, rapatmu sudah selesai?” Tanya Anya dengan lembut pada suaminya.David mengangguk, “Sudah, maka dari itu aku baru tiba. Bagaimana dengan keadaan Misella?” Tanya David dengan khawatir.Anya tersenyum lembut kepada suaminya dan meraih tangannya. "Misella sudah lebih baik, sayang. Hanya perlu menunggu infusnya selesai, lalu kita bisa pulang," jawabnya sambil melirik putri mereka yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit.David duduk di tepi ranjang, mengusap lembut kepala Misella. "Hei, putri kecilku, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lembut, meski kekhawatiran masih jelas di matanya.Misella membuka mata perlahan dan tersenyum tipis. "Papa... aku baik-baik saja. Maaf ya, aku bikin papa sama mama khawatir," ucapnya pelan, suaranya sedikit serak.David menatap Anya sejenak sebelum menoleh kembali pada M
“Sampai kapan kau akan menghindari aku terus, Agnia? Dua hari kau tak ada kabar dan izin sakit. Apa sebegitu tak sukanya dirimu padaku sehingga kau menjauh seperti ini?” Tanya Aditya melalui sambungan telepon.Di kamar kosnya, Agnia terdiam. Dia memang mengangkat telepon dari Aditya setelah dua hari tak ada kabar, tapi dia tak tahu harus mengatakan apa.“T-tuan, sepertinya saya akan resign. Bulan depan saya akan pergi dan selama itu saya akan–”“Jadi– Kau membenciku, Agnia?” Terdengar suara getir di seberang telepon.Agnia terdiam mendengar nada getir di suara Aditya. Hatinya bergejolak, antara ingin menjelaskan alasannya dengan jujur atau tetap menjaga jarak seperti yang sudah ia coba lakukan. Setelah dua hari tanpa kontak, ia tahu keputusan ini akan sulit, namun rasanya terus bekerja di bawah bayang-bayang perasaannya sendiri menjadi terlalu berat.“Bukan begitu, Tuan,” ucap Agnia pelan, suaranya sedikit bergetar. “Saya tidak membenci Anda, saya hanya... merasa ini yang terbaik. Say
“Kau sudah banyak minum alkohol, Aditya.” Ucap David pada keponakannya itu.Saat mendengar kabar dari adiknya jika Aditya dalam suasana kacau dan pergi ke klub, David langsung menghampiri pria itu dan merebut gelas miliknya.“Dia menolakku dan membuangku, paman.” Ucap Aditya dengan wajah memerah karena mabuk, namun ekspresinya tampak sangat hancur.David menatap Aditya dengan prihatin, melihat bagaimana keponakannya benar-benar terpuruk. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. "Aditya, ini bukan caranya menyelesaikan masalah," ucapnya tegas namun lembut. "Minum tidak akan mengubah apa yang terjadi, dan pasti tidak akan membawamu ke tempat yang lebih baik."Aditya menundukkan kepalanya, suaranya berat dan penuh emosi. "Tapi dia... Agnia... dia benar-benar meninggalkanku, paman. Aku sudah melakukan segalanya untuk menunjukkan perasaanku, tapi dia malah pergi."David merasa simpati terhadap Aditya, tetapi dia tahu bahwa mengasihani diri sendiri tidak
Anya duduk di kursi ruang tamu yang nyaman, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Enam bulan pernikahan yang seharusnya menjadi momen-momen bahagia, kini terasa seperti beban tersendiri yang membuat dadanya sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba melepaskan beban yang menghantuinya.Di sudut ruangan, , Dimas suaminya, tampak sibuk dengan ponselnya. Dulu, Dimas selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol dan bercanda dengannya setiap malam. Tapi sekarang, perhatian Dimas lebih sering tertuju pada layar ponselnya daripada padanya. Anya merasakan ada sesuatu yang berubah, namun ia berusaha mengabaikan perasaannya itu.“Mas Dimas.” Anya akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar sedikit. “Kamu ada waktu sebentar? Aku ingin bicara.”Dimas mengangkat pandangannya dari ponsel, sedikit terganggu. “Apa, Anya? Aku sedang sibuk, banyak kerjaan yang harus diselesaikan.”“Aku tahu, tapi ini penting. Kita perlu bicara tentang... tentang kita.”Dimas menghela napas ber
Di dalam mobil, Anya masih memikirkan ucapan Felisha atas kemungkinan jika Dimas mandul. Hingga saat sampai di depan rumah dan memakirkan mobilnya, Anya disambut dengan omelan ibu mertuanya."Dasar menantu tak tau diuntung! Bukannya ngurusin suami di rumah, ini malah kelayapan aja!"Anya terkejut karena suaminya tak mengatakan apapun tentang kedatangan wanita itu di rumahnya."Ibu, kamu disini?" Sapa Anya selembut mungkin dan ingin menyaimi tangan wanita itu. Namun tangannya segera di tepis.Lalu masuk sambil mengoceh atas ketidakhadiran Anya saat ibu mertuanya datang.“Bu, ada apa?” Tanya Dimas yang baru keluar dari kamarnya.“Lihat istrimu, bukannya mengurus rumah dan suami malah keluyuran saja. Pantas kalian tak segera mendapatkan momongan” Ucap Regina, ibu mertua Anya dengan tajam.Dimas hanya melirik ke arah Anya tanpa ingin membela istrinya, “Dia memang seperti itu, selalu seenaknya, bu. Ya sudah, ibu duduk dulu biar Anya membuatkan minum untuk ibu.” Ucap Dimas yang membimbing i
“Anya, kamu dipanggil pak Farhan.”Lamunan Anya tentang pesan semalam buyar saat teman sekantornya, Dina, mengejutkan dengan informasi itu. “Pak Farhan?” Beo Anya, tak biasanya bos mereka memanggilnya ke ruangan secara pribadi.Dina mengangguk dan pergi meninggalkan Anya yang masih dalam kebingungan.“Bapak memanggil saya?” Ucap Anya begitu dia sampai di ruangan pak Farhan, ketua cabang perusahaan tempat Anya bekerja.“Iya, Anya. Duduklah.” Pak Farhan tampak begitu ramah pada Anya saat ini, hal itu membuat jantung Anya semakin berdetak dengan cepat.“Ada apa ya, pak?”“Begini, perusahaan pusat mempromosikanmu menjadi manajer pemasaran karena kinerjamu cukup bagus.” Ucap pak Farhan yang membuat senyum Anya langsung merekah.“Tapi kamu pindah tugas di jakarta.” Lanjut pak Farhan, dan seketika senyum Anya langsung menghilang.Jakarta sangat jauh dari kalimantan, dan tak mungkin dia meninggalkan suaminya untuk bekerja.“Pak, tapi saya sudah menikah.” Pak Farhan mengangguk mengerti, “Aku
Anya terdiam di kamar, sambil melihat jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setelah tadi dia memergoki Dimas tengah berteleponan dengan seseorang, pria itu pergi entah kemana. Sudah sampai selarut ini Dimas pergi tanpa ada kabar, hingga Anya tertidur dan berharap ketika dia bangun, Dimas sudah berada di sampingnya. Tapi, siapa sangka jika sampai pagi menjelang Dimas bahkan tak kembali. Tak ada jejak juga pria itu tertidur di sampingnya. “Kemana, Mas Dimas?” Gumam Anya. Gedoran pintu diluar kamar mengejutkannya, disana dia juga mendengar teriakan ibu mertuanya yang cukup keras. “Sudah siang begini masih tidur, pantas saja anakku malas bersamamu.” Pagi-pagi dia sudah mendengar omelan ibu mertuanya begitu ia membuka pintu kamar. Anya hanya diam, dan kemudian menguncir rambutnya yang panjang lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Jam masih menunjukkan lima pagi, tapi ibu mertuanya selalu saja mencari kesalahannya disini. Dengan cekatan Anya memotong sayur untuk
“Pertemuan ini ditunda, bawahannya bilang jika kolega kita mendadak ada urusan.” Ucap pak Farhan begitu Anya masuk ke ruangan yang sudah di pesan.Anya yang memang dalam pikiran kalut sedikit bersyukur dengan penundaan ini.“Apakah saya boleh cuti siang ini pak?” Tanya Anya dengan serius.Pak Farhan mengangguk mengerti, terlebih melihat apa yang terjadi tadi. “Baiklah, tenangkan pikiranmu dulu. Kamu boleh cuti setengah hari.” Ucap pak Farhan.Anya mengangguk lalu memesan taxi untuk kembali ke rumah, dia harus segera mendapatkan penjelasan dari Dimas sekarang.Begitu sampai di rumah, betapa terkejutnya dia jika Dimas masih membawa wanita itu dan lebih menyakitkannya lagi adalah ketika ibu mertuanya yang tampak menyambut selingkuhan suaminya dengan sangat baik.“Untunglah kamu pulang, buatkan minum untuk mereka.” Titah Regina tanpa ada empati dan malam mengelus perut wanita itu dengan penuh kasih.Anya mengepalkan tangannya dengan kuat, kesabarannya sudah berada di puncak.“Mas, jelaska