"Jadi, sudah berapa lama Mas ?" Zahra bertanya sembari memegangi ponselnya yang masih menampakkan foto dua manusia tanpa busana di atas ranjang sebuah hotel. Keduanya tersenyum merekah hingga senyuman mereka itu menciptakan sayatan luka yang amat dalam di hati Zahra.
"Dua tahun, Neng." jawab Dimas menunduk. "Astaghfirullah, Astagfirullahal'adzim... Laaillahaillallah," ucap Zahra lagi sembari memegangi dadanya yang kian terasa sesak. Lagi-lagi bulir bening itu lolos dari matanya. mengingat perselingkuhan lelaki yang selama ini ia percaya. "Neng, aku bisa jelasin Neng. Aku bisa jelasin semuanya. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan." "Cukup mas ! Cukup ! Sudahi omong kosong mu itu ! Hah, kamu memang pantas dengannya mas. Cukup! aku sudah jijik denganmu !" ucap Zahra. Ia segera menepis tangan sang suami saat hendak membujuknya. "Neng... " "Aggrrrhhhh..... " Zahra melempar semua apapun yang berada di atas meja riasnya hingga hancur berantakan. Ia menangis pilu, "Tega kamu mas ! Jahat kamu ! Kamu memang tidak bisa di percaya ! Kamu jahat, kamu sudah janji padaku mas, kamu ijin pergi dengan dalih kuliah disana, tapi disana kamu bersenang-senang dengan perempuan lain ? Tega kamu mas ! Tega ! Kurang apa aku mas ?! Kurang apa aku hingga kamu tega berselingkuh. Kurang apa aku ?! Aku tidak mandul, aku bisa memberimu keturunan yang cantik dan tampan, apa aku kurang cantik ? aku selalu mencoba tampil cantik untukmu, aku setia untukmu dan aku mengabdikan hidupku sepenuhnya untukmu, KURANG APA AKU MAS ?! KATAKAN !!!" Zahra terus berteriak histeris meluapkan segala lara yang ia dapat dari lelakinya itu. Tampaknya ia benar-benar sangat marah. Wanita yang biasa di kenal dengan kelembutan dan kesabarannya itu, kini menampakkan sisinya yang lain. "Dengerin penjelasanku dulu, Neng. Tolong... " "Stop ! Jangan sentuh aku mas, lepaskan ! aku mau pergi !" ucap Zahra. Lantas ia berjalan menuju almari jati miliknya dan mengambil koper besar di atasnya. "Neng, jangan begini, Neng. Kita bisa omongin ini baik-baik, tolong... Jangan begini, tolong pikirkan juga anak-anak, kasihan anak-anak." Dimas masih berusaha membujuk Zahra. "Hahahaha, hahahaha," Justru Zahra malah tertawa terbahak-bahak tapi masih dengan air matanya. Dari tawanya itu justru menggambarkan luka yang teramat dalam. Dia tertawa tapi hatinya menangis pilu. "Hahaha. Jangan ngelawak, Mas. Seharusnya aku yang bilang begitu. Kamu, Apa kamu memikirkan anak-anak saat mengambil keputusan itu, hah ? Aku tanya padamu, saat kamu melakukannya, kamu mikir nggak kalau kamu sudah punya anak, Sudah punya Istri Dan sekarang kamu mengajariku untuk berpikir ? Hahahaha, konyol !" Lagi-lagi Zahra tertawa sambil menangis bersamaan dan menuding wajah Dimas dengan telunjuknya. seumur-umur juga baru kali ini Zahra melakukannya. Itu pula karena dia yang sudah teramat sakit. "Sudah sudah. Jangan melawak lagi. Minggir !" Zahra mengusap air matanya dengan kasar. lalu membuka lemarinya dan memasukkan semua baju miliknya kedalam koper. "Neng... Beri aku kesempatan, Neng. Aku janji aku akan adil pada kalian." "Adil katamu ? Adil yang seperti apa, Mas ? Katakan padaku, adil yang seperti apa ? Adil yang gimana ? Kamu memberikan sebagian besar waktumu untuk dia, kamu berikan separuh lebih gajimu untuk dia, sementara ada anak anak yang sangat butuh kamu nafkahi baik itu materi atau non materi tapi kamu mengabaikannya. Adil yang seperti apa mas. Katakan padaku !!!" "Neng, maaf... Nisa sedang menjalani program hamil. Jadi butuh banyak biaya dan juga butuh aku untuk menemaninya. dia juga perlu perawatan pasca operasi kista ovarium. Dan... " "Ck, sudahlah mas. Sudah jangan di lanjut lagi ucapanmu. Memang seharusnya kau bersama dia saja. Biarkan aku yang pergi !" Zahra kembali lagi melanjutkan kegiatannya, memasukkan seluruh pakaiannya kedalam koper. "Nggak, Neng. Jangan. Kamu tidak boleh pergi. Kamu harus tetap disini tetap bersamaku. Kita sama-sama dengan anak-anak. Disini. Di rumah ini, di rumah kita." "Baik kalau begitu, tinggalkan dia !" Dimas terdiam. "Kenapa diam ? Kamu nggak mau kan tinggalkan dia ? Ya sudah, aku saja yang pergi !" "Neng, jangan Neng." "Untuk apalagi ? Kalau kamu mau aku tetap tinggal, ya lepaskan dia. Gimana ? Gimana, kamu tidak bisa memilih kan ?" "Aku... tidak bisa melepaskannya, Neng. Aku juga tak bisa melepaskan mu. Aku mencintai kalian. Bolehkah Mas meminta untuk kalian akur ? Menjalin keluarga bahagia bersama. Kita raih surga bersama. Bukankah itu juga salah satu sunah Nabi ?" "Surga ? Surga seperti apa yang kamu janjikan, Mas ? Surga yang bagaimana jika di awali dengan kebohongan, perselingkuhan dan nafsu belaka. Surga yang seperti apa ?" "Neng, kamu tahu kan... Jika laki-laki di perbolehkan untuk men... " "Sudah, cukup ! Aku tidak mau lagi mendengar dongengmu itu ! minggir !" "Neng... " "MINGGIR !!!" "Bunda... " Suara lembut dari sang malaikat kecil itu menghentikan pertengkaran mereka. Rayyan dan Zahwa. Mereka berdua berdiri di ambang pintu dengan sorot mata ketakutan. "Bunda... Wawa takut," ucapnya. Sementara sang kakak yang berusia tujuh tahun itu merangkulnya dari sisi kanan. "Sayang... " Zahra buru-buru menghapus air matanya dan segera mendekati kedua buah hatinya. buah cintanya dengan laki-laki yang sembilan tahun ini menjadi Nahkoda dalam bahtera rumah tangganya. Nadia tampak berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan anak-anak. Lalu ia merengkuh keduanya. "Maafkan Bunda sayang," ucap Zahra. "Zahwa takut Bunda, Bunda kenapa marah ? Apa Zaha nakal ya Bunda?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya. Dalam hati Zahra teriris pilu. Ia menyesal kedua buah hatinya harus menyaksikan keributan ini. Satu-satunya hal yang paling ia takutkan dan ia hindari dalam mengasuh anak yaitu pertengkarannya dengan Ayahnya anak anak "Ndak apa sayang. Bunda tidak marah. Kalian ngantuk ya ? Ayo tidur, Bunda temani." Zahwa mengangguk. "Kak Ray, ajak adik ke kamar dulu ya, nanti bunda susul." Si sulung pun mengangguk. Kemudian anak lelaki itu menjalankan perintah Bundanya. Setelah kedua anak itu kembali ke kamar, zahra segera mengambil handphonnya dan hendak menyusul kedua anaknya. "Neng... " "Jangan sekarang !" ucap Zahra Dimas menghela nafas. Ia masih tak menyangka jika semua akan se kacau ini. Sudah dua tahun memang, Ia menyembunyikan hubungannya dengan Nisa. wanita yang ia nikahi secara siri saat ia masih menempuh pendidikan di Negara tetangga. Rencana kepulangannya kali ini sebenarnya ia akan jujur kepada Zahra tentang hubungannya dengan Nisa. Sebelumnya Ia yakin jika Zahra akan luluh dan bisa menerima Nisa menjadi adik madunya. Apalagi sekarang Nisa juga sudah merengek minta di nikahi sah secara hukum dan tercatat negara. Tapi sayang, semua rencana berantakan. Zahra lebih dulu tahu tentang itu. bahkan lebih parahnya, pertama kali yang Zahra lihat adalah foto momen saat keduanya selesai melakukan ritual malam di sebuah Hotel di Madinah. Bodohnya, Dimas tidak menghapus foto itu. Wanita mana yang tidak sakit mengetahui suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain ? *** Krieeek, Jam 9 pagi, Zahra keluar dari kamar anak-anak. Ia sudah berdandan rapi lengkap dengan setelan hijabnya. Walaupun begitu, matanya masih tampak bengkak sisa menangis semalam. "Neng, kamu mau kemana pagi-pagi begini ?" tanya Dimas. "Pergi." "Kemana ?" "Cari angin." "Neng... Kita perlu... " "Sudahlah mas, aku tak ingin membahasnya sekarang." "Tapi Neng... Terus, anak-anak gimana kalau kamu pergi ?" "Kan ada kamu !" "Neng... " Zahra tetap pergi walau Dimas terus memanggilnya untuk kembali. Biarlah, biar suaminya itu juga merasa bagaimana merawat anak-anak di rumah juga mengurus rumah serta semuanya. Dia pikir pekerjaan seorang wanita itu mudah ?. Bahkan segala apapun yang seorang lelaki berikan pada wanitanya itu tidak akan bisa sebanding dengan pengorbanan wanita bertaruh nyawa melahirkan sang anak. Seharusnya laki-laki tidak akan tega menyakitinya jika dia ingat bahwa dia juga lahir dari rahim wanita dan dengan bertaruh nyawa pula seorang ibu melahirkannya. Di bawah terik panasnya kabupaten Malang, Zahra berjalan menyusuri jalanan setapak. Terus terang saja dia berjalan tanpa tujuan. Mau pulang ke rumah juga bingung. orang tua yang mana ? Curhat di atas tanah merah yang sudah mulai mengering itu ? Atau... Haruskah Zahra mengadu ke orang tua Dimas? Ah, sepertinya juga tidak mungkin. Itu bukan ide yang bagus. Hingga di persimpangan jalan, ia bertemu dengan kawan lamanya, "Loh... Zahra ? Kok jalan kaki mau kemana ?" Zahra yang kaget itu segera menghapus air matanya. "Resti ?" "Duh, ayo sini masuk ! Kamu sendirian ? anak-anak sama siapa ?" "Sama Ayahnya, Res." jawab Zahra. "Za, Kamu ada apa ? Kenapa kamu jalan sendirian kayak tadi? Ada masalah ? Cerita sama sini aku. Jangan di pendam sendiri." Mendapat pertanyaan itu, Zahra langsung menumpahkan air matanya. ia menangis hingga sesenggukan. Resti langsung mengusap punggungnya dan membawa mobilnya menepi. Ia memilih berhenti di dekat alun-alun dan membawa Zahra keluar dari mobil. Resti membiarkan Nadia tenang. Setelah itu, ia baru memberikan sebotol air mineral pada Nadia. "Res... " Sambil terisak Zahara menceritakan semuanya yang terjadi. Tentang segala hal yang Dimas perbuat. "Astagfirullahal'adzim, Za. Ya Allah aku nggak nyangka banget. Padahal selama ini kalian baik-baik saja kan ?" "Baik-baik saja, Res. Bahkan sehari sebelumnya kami masih seromantis biasanya. hingga pada akhirnya aku menemukan foto itu." "Ya Allah, sumpah. Aku nggak nyangka, Za. Tega banget. Ya Allah kamu yang spek bidadari gini aja masih di duain. Za... Ku beri saran deh, Seumur hidup itu terlalu lama. Kalau kamu butuh pengacara, aku siap dampingi. Pengadilan agama juga buka setiap hari senin sampai kamis, kalau kamu mau!" "Res... Terimakasih. Aku memang sempat berpikir kesana. Tapi... Aku berpikir ulang," ucap Zahra, lantas ia menghela nafas. "Jika aku mundur sekarang artinya aku kalah Res." Resti tampak mengangguk paham. Tidak mudah memang di posisi Zahra. Dia sudah menemani sepak terjang seorang lelaki bernama Dimas dari nol sampai di titik atas, lalu terjatuh lagi dan berjuang lagi. Dia sudah melewati berbagai badai, ujian, Pahit, asin, asem manisnya kehidupan sudah ia kecap. Tak mudah memang melepaskannya begitu saja. Apalagi menyerahkannya pada wanita baru dalam posisi yang sudah tinggal menikmati hasilnya. "Lalu, apa rencanamu selanjutnya, Za ? Apa kamu mau kayak gini terus?" "Tentu tidak, Res! Tunggu saja tanggal mainnya!"Berbagai pilihan itu terus berputar-putar di kepala. Salah satu di antaranya telah ia pertimbangkan matang-matang dan tentunya itu tidak mudah. Memang perlu ada yang di korbankan untuk mengurai semuanya."Em, aku... Pamit dulu ya, Res. Nanti aku kabari lagi. Perasaanku nggak enak," ucap Zahra. Lantas ia segera memberesi barang-barangnya. Setelah 3 jam keluar dari rumah dan menumpahkan segala pikirannya dengan sang sahabat sudah cukup membuat perasaannya lebih tenang dari sebelumnya."Oh ya, tapi kamu tidak apa-apa kan, Za ? Aku antar pulang, ya ?""Nggak perlu, Resti. Terimakasih ya, Aku bisa sendiri kok. lagian aku sudah pesan grab tadi," ucap Zahra. lantas ia segera beranjak karena mobil pesanannya sudah datang. Oa sengaja pulang dengan memesan taxi online agar segera sampai rumah. Entah mengapa, perasaannya mulai tak tenang. Ini juga pertama kali, ia pergi tanpa anak-anak selain kegiatan sekolah. Mendung tanpa hujan kini menghiasi langit kota Malang. Ya, sejak tiga hari lalu, lang
"Minggir mas, tolong jangan halangi jalanku." Zahra berucap sembari terus berjalan tanpa memperdulikan suaminya."Neng, tolong neng... Jangan gini, jangan pergi, neng mau kemana ? Ini sudah hampir sore,""Minggir, Mas. awas dulu !" Zahra berucap lagi. Ia pun berhenti sejenak, tapi hanya membenarkan gendongan Zahwa yang hampir melorot. Dimas masih berusaha merayu Zahra, sesekali juga dia mencoba mengajak bicara Rayyan dengan membujuknya. Sayang sekali, akibat perbuatannya siang tadi masih membuat Rayyan trauma."Kita selesaikan dulu masalahnya, Neng. Aku...""Nggak sekarang, mas." ucap Zahra sembari melihat ke arah kedua anaknya. Zahra berusaha memberi kode pada Dimas agar tak membahasnya di depan anak-anak. Sayang sekali Dimas tak paham akan hal itu."Tapi kenapa ?" Tanya Dimas. Zahra menggeleng."Mas, minggir, tolong jangan halangi jalanku. Ini sudah sore kan?.""Iya mangkanya itu, ini sudah hampir sore. Kamu mau kemana ? Mau kamu bawa kemana anak-anak, neng ? Tolong, jangan pergi ya
"Assalamu'alaikum, bu... Ibuk... " ucap Zahra sembari mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan. suaranya terdengar parau. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya panas. Pandanganya mulai buram setelah sebelumnya ia merasa sakit kepala dan kram di perutnya."Assalamu'alaikum... " Kali ini Zahra berteriak lebih keras. Beruntung Bu Sukma segera mendengarnya dan bergegas membuka pintu setelah menidurkan Zahwa ke kamar biasa. Kriiiieeek,"Astagfirullahal'adzim, ya Allah nduk !" Zahra langsung luruh ke lantai begitu Bu Sukma membuka pintu."Ya Allah Gusti. Daan... Dani! Dinda! Buruan kesini, mbak mu pingsan ini," teriak Bu Sukma. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua pintu rumah warga sudah terkunci rapat termasuk rumah Bu Sukma. Bu Sukma pikir Zahra tidak jadi menginap di rumahnya. jadi ia mengunci pintu rumahnya tanpa menunggu Zahra pulang.Dani dan Dinda yang baru saja memejamkan matanya itu langsung kaget saat mendengar teriakan Ibunya. Keduanya segera keluar kamar dan mencari sumber s
Plakk !!!!Bu Sukma menampar Dimas dengan keras. Dimas terhuyung, saat tiba-tiba ibunya menyerang tanpa dia tahu apa alasannya. Tampaknya, Bu Sukma benar-benar murka dengan tindakan anak lelakinya."Kamu pikir, kamu itu siapa tanpa seorang wanita ? Kalau nggak ada ibuk kamu nggak bakalan lahir! lha ibuk mu iki ya wanita, Le. kamu nyakitin istrimu wi ya sama aja nyakitin ibuk ! Wes puas ntuk mu ngelarani ?"ucap Bu Sukma meneriaki anaknya. sedangkan Dimas tampak memandang sang istri yang hanya diam tanpa membelanya."Buk... Ibuk, Dimas bisa jelasin semuanya buk,""Hallah, kadaluarsa ! Ibuk Rak butuh penjelasanmu. Kecewa ibuk, Dim ! Kurang opo bojo mu wi ? Kurang opo Zahra kui ? Ayu, gemati. Anak ya wes ono. Opo meneh to sing mbuk karepne ?""Buk... Ibuk, sik.. Dimas tak matur," Dimas berusaha merayu Ibunya. Ia berusaha meraih tangan Bu Sukma, tapi terus saja di tepis.Zahra sebenarnya tak tega telah membuat pertikaian antara ibu dan Anak itu. Tapi ya, bagaimanapun juga Ibunya berhak ta
'Dia ? Dia kah wanita yang berhasil membuat lelakiku berpaling ? Dia ? Dia kah mentari yang berhasil menyaingi sinar rembulan ? Ah, ternyata dugaanku keliru. Dia bukan seorang pelac*r atau kupu kupu malam. Dia bukan wanita yang gemar berpakaian layaknya telanjang. Tapi... '"Mbak, perkenalkan saya... Nisa," ucap wanita bercadar itu membuyarkan lamunan Zahra tentangnya."Mbak, maaf jika kedatanganku ini mengganggu mbak, tapi Mas Dimas yang memintaku datang kesini," Dimas pun langsung berdiri dan memberikan kursi tempat duduknya untuk Nisa. Ia sengaja memberikan ruang bagi kedua wanitanya untuk berdekatan. Setelah Nisa duduk, Zahra memalingkan wajahnya dan menghadap ke sisi tembok, membelakangi Nisa. Tampak tak sopan memang kelihatannya. Tapi Zahra kini tengah berusaha menyembunyikan luka dalam hatinya serta air mata yang terus berdesakan ingin keluar."Mbak... Maaf, beribu kali maaf aku ucapkan. Aku rasa mbak sudah tahu siapa Nisa ini. Nisa tahu mbak sakit, Nisa juga sakit kok mbak...
"Zahwa sayang... Tante ini bukan Ninja, sini... Ini namanya Umi Nisa. Umi baru Zahwa," ucap Dimas sembari duduk berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan putri kecilnya itu. "Umi?" tanya Zahwa. "Iya, Umi. Umi itu seperti Bunda. Bunda nya Zahwa.""Kok baru? Memangnya Bunda sudah rusak ya yah? Kok beli bunda baru?"Dimas seperti menahan tawa, lalu menghela nafas, "bukan begitu sayang. Bunda ada kok, tapi Umi ini biar nemenin bunda Zahra. Jadi bundanya Zahwa nanti ada dua.""Enggak! Bunda nya kita cuma satu, Bunda Zahra! Tante ini pasti jahat kan, Yah ? Sini dek," ucap Rayyan sembari menarik tangan adiknya mundur beberapa langkah menjauhi Dimas dan Nisa. "Rayyan, Zahwa! Jaga bicaramu! Ayah tidak pernah mengajari kamu kasar, ya!""Ayah lupa? Baru kemarin lho ayah ngajarinnya." ucap Rayyan, membuat Dimas geram. "Rayyan, Zahwa. Di panggil nenek tuh, nenek punya sesuatu buat kalian," ucap Dinda yang baru saja keluar dari rumah dan menghampiri mereka. Mendengar berita baik itu, Rayyan dan
"Ibuuuk, Astagfirullah, i itu gosong penggorengan nya!""Ya Allah, nduk!" Bu Sukma berbalik badan dan langsung berlari mematikan kompornya. Ia lupa kalau tadi sambil menggoreng daging Ayam saat di tinggal ngobrol."Waduh... Gosong beneran nduk," Bu Sukma segera mengangkat daging daging itu dari penggorengan."Duh... Iya buk, gimana dong kalau gosong gini. Ada stok daging lagi nggak di kulkas? Biar Zahra goreng lagi.""Sudah habis nduk. Ini yang terakhir tadi." ucap Bu Sukma sembari menaruh daging ayam yang sudah gosong itu ke tong sampah. Karena memang sudah tak terselamatkan. "Ndak popo wes, beli lagi aja.""Ndak papa buk? Di ambil jam berapa ini pesanannya?""O ini buat yang nanti malam kok. Aman, nanti ibuk tak ke pasar lagi, beli dagingnya sekaligus belanja.""Oh gitu, apa Zahra aja yang beli buk, sekalian Zahra mau pulang bentar kok ambil Kartu Keluarga sama Akta nya Rayyan. Zahra lupa kemarin sudah di tanyakan memang.""Gitu? Nggak opo opo nduk, kalau kamu mampir pasar dulu?""
"Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah. Bisakah kau tidak melakukannya di kamarku mas," Gumamnya. Ia masih menghalau perasaannya sebelum benar benar masuk ke kamar itu. Setelah sedikit tenang, barulah Zahra melanjutkan tujuannya. Tangannya sedikit bergetar saat hendak meraih hendle pintu kamarnya. Ia mulai menata hati, menguatkan hati, dia tak boleh goyah, dia tak boleh terlihat lemah dan dia tak mau mendengar ini terlalu lama. Ceklek! Pintu itu berhasil di buka. Dua manusia yang saling bergemul itu pun kaget dan menghentikan aktifitasnya. "Za Zahra..." ucap Dimas gugup. Sementara Nisa sudah menarik selimut untuk menutupi dirinya yang tanpa busana. "N neng... A aku bisa jelasin," "Ngapain berhenti. Lanjut aja kali, lanjutin. Aku cuma mau ambil sesuatu di kamarku.""A a aku... " Dimas turun dari ranjangnya dan langsung mendekati Zahra. Dimas hanya mengenakan kolor seadanya dan telanj*ng dada. "Stop! Jangan mendekat! Tetap di situ!""Ah iya.... Oke oke.. Ta tapi, please... J
Selain menjadi ibu, kini tugas Zahra rangkap menjadi seorang Ayah juga. Tugasnya merawat anak-anak, sekaligus mencari nafkah. Zahra memang menutup semua akses untuk Dimas. Yang terakhir tadi pagi ia sempat membaca inbok masuk dari akun seorang yang baru dia tahu itu akun Nisa. Dia juga langsung blok akun tersebut. Kemudian memprivate kembali akunnya."Mbak, ada soto?" tanya seorang pelanggan yang baru datang."Eh, Maaf belum ada ibu, besok deh Zahra bikin sotonya. Soalnya warungnya baru buka hari ini bu, belum berani masak banyak-banyak. Besok ya, Zahra Redy kan.""Oh ya udah. Kalau gitu, ada menu apa aja ini mbak?""Ini ada pecel, ada rawon, rujak cingur, sama Sego Tumpang.""Ya wis mbak. Sego tumpang we ya. 2 porsi.""Minumnya?""Es teh aja deh, seger.""Baik bu, sebentar ya, zahra siapkan dulu."Tak berapa lama Zahra sudah datang dengan membawa dua porsi sego tumpang."Heeem, baunya uenak ini kayaknya," ucap pelanggan Zahra. "Alhamdulillah, semoga cocok sama Masakan Zahra ya buk.
Tok tok tok."Mas, di suruh ibuk sarapan." ucap Dinda dari balik pintu.. "Ya, bentar lagi,""Ya udah ayo sarapan aja dulu. Kasihan dia kalau Uminya nggak makan." ucap Dimas sembari memegang perut Nisa yang masih rata. "Nggak lah. Kamu aja, kan kamu yang di panggil mas. Aku siapa?""Astaga... Sa. Udah deh jangan kayak anak kecil. Ibuk itu udah baik mau nampung kita, masih mau masakin kita juga. Kalau sikap ibuk masih seperti itu ya wajar, ibuk masih kecewa pastinya." ucap Dimas. "Bela aja terus ibumu.""Ck." Dimas mengusap kasar kepalanya."Ya udah terserah. Nanti kalau lapar makanan udah habis jangan nyalahin orang. Kamu sendiri yang nggak mau makan.""Hm"Setelah Dimas keluar, Nisa hanya duduk diam di depan meja rias sembari memandang dirinya dari pantulan cermin."Apakah ini aku?? " gumamnya."Apa aku sejahat itu?""Arrrtgh!!! " umpatnya frustasi. Kemudian ia meraih benda pipih yang sempat ia lemparkan di atas ranjang. Ia pun merebahkan tubuhnya sembari membuka aplikasi biru berga
"Lho ya iya mbak. Ngapain juga laki model kayak gitu di piara. Rugi. Malah bikin penyakit aja tiap hari makan ati. Udah bener itu mendingan kasihin aja sama pelakornya. Laki laki yang baik dan tulus masih buanyaak. Ngapain nyiksa diri.""Bener banget, mbak. Aku lo udah ngalamin juga mbak. Sekali ketahuan selingkuh. Buang langsung aja, biar di pungut pelakor. Dah lah... Wanita mandiri kayak mbak Zahra itu nggak butuh laki-laki. Apalagi kok yang begitu.""Iya mbak Zahra. Sudalah biarin. Mbak Zahra pasti bisa sukses tanpa dia. Jauh lebih baik tanpa Dia.""Amiin. Hehe, iya bu. Oh ya, maaf Zahra tinggal dulu antar anak-anak sekolah ya. Nanti kalau mau nambah lagi ambil sendiri dulu nggak apa ya bu ibu.""Loh loh loh... Ini di tinggal mbak Zahra? Kalau ada apa-apa yang hilang gimana, hayo??? Kami ndak mau di salahin lho ya, tutup aja deh mending mbak... Lebih aman.""Iya mbak Zahra, tutup aja biar kita-kita juga pulang.""Lho... Mau tutup? Saya kan baru mau makan?" ucap salah seorang bapak-
"Mas, kata ibuk boleh tidur disini. Tapi tidak boleh tidur di kamar mbak Zahra. Ada kamar kosong di belakang boleh ditempati. Kamar... Pembantu sih," ucap Dinda pelan.Dimas dan Nisa saling pandang, kemudian keduanya mengangguk.Iya, bu Sukma memang orangnya tidak tegaan. Walaupun dia galak, tapi atas dasar kemanusiaan, dia masih bisa menolong orang, walaupun kadang dia harus berperang dengan hatinya sendiri."Kamar ini mas, nggak boleh ke kamar atas. Kata ibuk itu hanya boleh di tempati mbak Zahra""Ya udah, nggak apa-apa Din. Makasih ya. Mas bersihkan dulu kamarnya."Akhirnya bu Sukma mengizinkan mereka tinggal sementara. Walaupun di kamar yang lebih sempit dari semua kamar di rumah ini. Tapi paling tidak, mereka kini punya tempat untuk berteduh."Maaf ya Sa, jika sikap ibu masih belum baik di hati kamu.""Nggak apa mas. Aku ngerti kok. Posisiku ini memang banyak di benci orang. Udah resiko." ucap Nisa sembari menepuk-nepuk bantal yang lumayan berdebu itu. Kamar ini dulunya kamar pe
Akhirnya dengan berat hati, mereka berdua keluar dari kontrakan itu. Keduanya kini kembali luntang-lantung ber jam-jam di jalan tanpa tujuan. Berbeda dengan sebelumnya, kini Nisa lebih banyak diam. Tanpa tanya mau kemana. "Kita pulang kerumah ibuku dulu aja ya Sa,""Terserah," jawab Nisa singkat. Dimas kini mencari angkutan umum yang akan membawanya ke rumah bu Sukma. Dimas tahu, pasti ibunya akan marah besar dan ada kemungkinan mereka tidak diterima. tapi Dimas akan mencobanya dulu. Sebab tak ada lagi temapt yang bisa ia harapkan sekarang untuk tinggal. "Ke Jalan XX ya pak." ucap Dimas pada sopir itu. Di dalam mobil taxi juga Nisa masih terdiam. Ia hanya memandang keluar jendela mobil itu. Menatap gemerlapnya lampu jalanan menuju rumah yang selama ini ia hindari. Terus terang hatinya juga sakit dengan perkataan perkataan yang selalu Bu Sukma utarakan walaupun banyak benarnya. "Sa. Tumben kamu diam aja? Kamu kenapa? Ada yang sakit? Kamu capek ya?" tanya Dimas. Tampaknya Dimas s
'anakku kena imbas atas tindakan bo dohmu!' tulis pesan itu. Lalu foto profil kembali tak terlihat karena Zahra langsung memblokir kembali nomor Dimas. "Aaaarrrghhh. Zahra, mana bisa begitu!" umpatnya kesal."Sa... Kamu mau kemana? Kok bawa tas?""Keluar lah, cari kerja. Mas... Duit kita sudah habis. Keperluan semakin banyak. Belum lagi buat periksa ini itu. Sementara kamu aja hanya diem dirumah setiap hari cuma mandangin foto mbak Zahra. Emangnya foto mbak Zahra doang bisa di makan? Dah lah... Terserahmu mas, capek aku lihat hidupmu!" ucap Nisa. "Sa? Emangnya kamu mau kerja dimana? Kamu lupa, ijazahmu masih di tahan di kampus!" Seketika Nisa menghentikan langkahnya mengingat hal itu. Lalu ia berbalik badan dan membanting tasnya di lantai. "Aaaargh, kenapa sih hidupku gini banget!?" Umpatnya kesal. Kemudian ia kembali ke kamarnya. Dan di ikuti oleh Dimas. "Sa... Sabar ya, kamu tenang dulu. Mulai besok aku akan cari kerja lagi.""Ya gimana aku harus tenang mas, aku dari siang mint
"Bundaaaaaa, ini Zahwa nangi pula pula," ucap Zahwa dengan lucunya. "Oooh gitu... Iya terus kenapa pula pula menangis segala? Hem?""Ini puti istananya lagi nangis.”" Kenapa nangis?? ""Kalena pangelannya bawa tante ninja yang jahat. Jahatin putrinya sampai putrinya nangis.""Oooh, gitu... Hihihi," ucap Zahra sembari mengusap kepala keduanya. Rasanya ngilu mendengar penuturan anaknya yang menurutnya dia terinspirasi dari apa yang terjadi belakangan ini. "Tenang saja putri, pahlawan akan segera datang dengan menyelamatkanmu." ucao Rayyan sembari memperagakan nya. Keduanya kembali melanjutkan permainannya. Kali ini di temani oleh sang bunda. "Sayaaang. Tapi ini sudah sore loh, pulang yuk besok main lagi, kan dekat.""Yaaah Bunda. Ini belum sore bund. Masih agak sore. Belum sore beneran. Dikit lagi ya. Dikiiit tok ya?" ucap Rayyan. "Oke, lima belas menit." ucap Zahra, dan keduanya kegirangan. Tak pernah Zahra lihat sebelumnya, anak anak segirang dan sebahagia ini. "Bunda... Kenapa
Di tepi pantai itu Rayyan dan Zahwa tengah asik bermain mobil pasir yang baru Zahra belikan di penjual mainan yang berjejeran di pinggir jalan sebelum mereka tiba di sini. debut ombak itu menjadi pemandangan indah dan memanjakan mata Zahra saat ini, dan membuat hati serta pikirannya jauh lebih baik. Ia memandang lurus kedepan, menikmati suasana yang lama tak ia rasakan. "Kamu yakin mau tinggal di Lumajang, Za? Lumayan jauh loh kalau dari rumah Neneknya anak anak.""Ya biar jauh, Res.""Loh, jadi mereka belum tahu kalau kamu sekarang tinggal di sini?""Belum. Eum. Tapi mungkin sudah tahu kalau aku sudah pergi dari rumah. Kemarin ibuk sempat telfon-telfon tapi aku abaikan.""Lah... Kenapa? Bukannya dengan mereka kamu tidak ada masalah? Baik baik saja kan hubunganmu dengan mertua?""Ya... Baik baik saja. Cuma aku belum siap saja jika di tanya ini itu. Aku sedang ingin sendiri. Aku ingin menikmati dulu hidup tenang tanpa ribut-ribut atau apapun itu lah. Kau lihat mereka?" ucap Zahra semb
Pov AuthorKini Dimas tampak kebingungan. Harapannya kembali sirna. Kemana lagi dia harus mencari Zahra sekarang. Jika benar di rumah Orang tuanya, apa yang harus ia katakan untuk membujuknya kembali. Semuanya semakin rumit sekarang. Dimas pikir akan berjalan dengan mudah, lurus tanpa hambatan. "Aggrrrhhh !!! " umpatnya kesal. Pintu rumah berbahan kayu jati itu kini juga sudah di tutup kembali oleh pemilik barunya. "Shiiiit!!!" Lantas ia berjalan menjauh dari rumah yang kini bukan miliknya lagi. "Apa aku cari ke rumah ibu dulu sekarang. Aku yakin Zahra di sana. Iya lah, mau kemana lagi dia kalau tidak kesana. Dia tak punya keluarga." gumam Dimas. Kemudian dia berjalan ke tepi jalanan, Mencari ojek yang sekiranya bisa mengantarnya ke rumah Bu Sukma. Sebab kalau Naik taksi lagi ia khawatir uangnya akan segera habis. Sementara ini dia belum bekerja lagi. terakhir dia di pecat karena ketahuan memiliki dua istri. Di kantornya memang ada peraturan tidak bisa berpoligami, tapi dia tidak