"Jadi, sudah berapa lama Mas ?" Zahra bertanya sembari memegangi ponselnya yang masih menampakkan foto dua manusia tanpa busana di atas ranjang sebuah hotel. Keduanya tersenyum merekah hingga senyuman mereka itu menciptakan sayatan luka yang amat dalam di hati Zahra.
"Dua tahun, Neng." jawab Dimas menunduk. "Astaghfirullah, Astagfirullahal'adzim... Laaillahaillallah," ucap Zahra lagi sembari memegangi dadanya yang kian terasa sesak. Lagi-lagi bulir bening itu lolos dari matanya. mengingat perselingkuhan lelaki yang selama ini ia percaya. "Neng, aku bisa jelasin Neng. Aku bisa jelasin semuanya. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan." "Cukup mas ! Cukup ! Sudahi omong kosong mu itu ! Hah, kamu memang pantas dengannya mas. Cukup! aku sudah jijik denganmu !" ucap Zahra. Ia segera menepis tangan sang suami saat hendak membujuknya. "Neng... " "Aggrrrhhhh..... " Zahra melempar semua apapun yang berada di atas meja riasnya hingga hancur berantakan. Ia menangis pilu, "Tega kamu mas ! Jahat kamu ! Kamu memang tidak bisa di percaya ! Kamu jahat, kamu sudah janji padaku mas, kamu ijin pergi dengan dalih kuliah disana, tapi disana kamu bersenang-senang dengan perempuan lain ? Tega kamu mas ! Tega ! Kurang apa aku mas ?! Kurang apa aku hingga kamu tega berselingkuh. Kurang apa aku ?! Aku tidak mandul, aku bisa memberimu keturunan yang cantik dan tampan, apa aku kurang cantik ? aku selalu mencoba tampil cantik untukmu, aku setia untukmu dan aku mengabdikan hidupku sepenuhnya untukmu, KURANG APA AKU MAS ?! KATAKAN !!!" Zahra terus berteriak histeris meluapkan segala lara yang ia dapat dari lelakinya itu. Tampaknya ia benar-benar sangat marah. Wanita yang biasa di kenal dengan kelembutan dan kesabarannya itu, kini menampakkan sisinya yang lain. "Dengerin penjelasanku dulu, Neng. Tolong... " "Stop ! Jangan sentuh aku mas, lepaskan ! aku mau pergi !" ucap Zahra. Lantas ia berjalan menuju almari jati miliknya dan mengambil koper besar di atasnya. "Neng, jangan begini, Neng. Kita bisa omongin ini baik-baik, tolong... Jangan begini, tolong pikirkan juga anak-anak, kasihan anak-anak." Dimas masih berusaha membujuk Zahra. "Hahahaha, hahahaha," Justru Zahra malah tertawa terbahak-bahak tapi masih dengan air matanya. Dari tawanya itu justru menggambarkan luka yang teramat dalam. Dia tertawa tapi hatinya menangis pilu. "Hahaha. Jangan ngelawak, Mas. Seharusnya aku yang bilang begitu. Kamu, Apa kamu memikirkan anak-anak saat mengambil keputusan itu, hah ? Aku tanya padamu, saat kamu melakukannya, kamu mikir nggak kalau kamu sudah punya anak, Sudah punya Istri Dan sekarang kamu mengajariku untuk berpikir ? Hahahaha, konyol !" Lagi-lagi Zahra tertawa sambil menangis bersamaan dan menuding wajah Dimas dengan telunjuknya. seumur-umur juga baru kali ini Zahra melakukannya. Itu pula karena dia yang sudah teramat sakit. "Sudah sudah. Jangan melawak lagi. Minggir !" Zahra mengusap air matanya dengan kasar. lalu membuka lemarinya dan memasukkan semua baju miliknya kedalam koper. "Neng... Beri aku kesempatan, Neng. Aku janji aku akan adil pada kalian." "Adil katamu ? Adil yang seperti apa, Mas ? Katakan padaku, adil yang seperti apa ? Adil yang gimana ? Kamu memberikan sebagian besar waktumu untuk dia, kamu berikan separuh lebih gajimu untuk dia, sementara ada anak anak yang sangat butuh kamu nafkahi baik itu materi atau non materi tapi kamu mengabaikannya. Adil yang seperti apa mas. Katakan padaku !!!" "Neng, maaf... Nisa sedang menjalani program hamil. Jadi butuh banyak biaya dan juga butuh aku untuk menemaninya. dia juga perlu perawatan pasca operasi kista ovarium. Dan... " "Ck, sudahlah mas. Sudah jangan di lanjut lagi ucapanmu. Memang seharusnya kau bersama dia saja. Biarkan aku yang pergi !" Zahra kembali lagi melanjutkan kegiatannya, memasukkan seluruh pakaiannya kedalam koper. "Nggak, Neng. Jangan. Kamu tidak boleh pergi. Kamu harus tetap disini tetap bersamaku. Kita sama-sama dengan anak-anak. Disini. Di rumah ini, di rumah kita." "Baik kalau begitu, tinggalkan dia !" Dimas terdiam. "Kenapa diam ? Kamu nggak mau kan tinggalkan dia ? Ya sudah, aku saja yang pergi !" "Neng, jangan Neng." "Untuk apalagi ? Kalau kamu mau aku tetap tinggal, ya lepaskan dia. Gimana ? Gimana, kamu tidak bisa memilih kan ?" "Aku... tidak bisa melepaskannya, Neng. Aku juga tak bisa melepaskan mu. Aku mencintai kalian. Bolehkah Mas meminta untuk kalian akur ? Menjalin keluarga bahagia bersama. Kita raih surga bersama. Bukankah itu juga salah satu sunah Nabi ?" "Surga ? Surga seperti apa yang kamu janjikan, Mas ? Surga yang bagaimana jika di awali dengan kebohongan, perselingkuhan dan nafsu belaka. Surga yang seperti apa ?" "Neng, kamu tahu kan... Jika laki-laki di perbolehkan untuk men... " "Sudah, cukup ! Aku tidak mau lagi mendengar dongengmu itu ! minggir !" "Neng... " "MINGGIR !!!" "Bunda... " Suara lembut dari sang malaikat kecil itu menghentikan pertengkaran mereka. Rayyan dan Zahwa. Mereka berdua berdiri di ambang pintu dengan sorot mata ketakutan. "Bunda... Wawa takut," ucapnya. Sementara sang kakak yang berusia tujuh tahun itu merangkulnya dari sisi kanan. "Sayang... " Zahra buru-buru menghapus air matanya dan segera mendekati kedua buah hatinya. buah cintanya dengan laki-laki yang sembilan tahun ini menjadi Nahkoda dalam bahtera rumah tangganya. Nadia tampak berlutut mensejajarkan tubuhnya dengan anak-anak. Lalu ia merengkuh keduanya. "Maafkan Bunda sayang," ucap Zahra. "Zahwa takut Bunda, Bunda kenapa marah ? Apa Zaha nakal ya Bunda?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya. Dalam hati Zahra teriris pilu. Ia menyesal kedua buah hatinya harus menyaksikan keributan ini. Satu-satunya hal yang paling ia takutkan dan ia hindari dalam mengasuh anak yaitu pertengkarannya dengan Ayahnya anak anak "Ndak apa sayang. Bunda tidak marah. Kalian ngantuk ya ? Ayo tidur, Bunda temani." Zahwa mengangguk. "Kak Ray, ajak adik ke kamar dulu ya, nanti bunda susul." Si sulung pun mengangguk. Kemudian anak lelaki itu menjalankan perintah Bundanya. Setelah kedua anak itu kembali ke kamar, zahra segera mengambil handphonnya dan hendak menyusul kedua anaknya. "Neng... " "Jangan sekarang !" ucap Zahra Dimas menghela nafas. Ia masih tak menyangka jika semua akan se kacau ini. Sudah dua tahun memang, Ia menyembunyikan hubungannya dengan Nisa. wanita yang ia nikahi secara siri saat ia masih menempuh pendidikan di Negara tetangga. Rencana kepulangannya kali ini sebenarnya ia akan jujur kepada Zahra tentang hubungannya dengan Nisa. Sebelumnya Ia yakin jika Zahra akan luluh dan bisa menerima Nisa menjadi adik madunya. Apalagi sekarang Nisa juga sudah merengek minta di nikahi sah secara hukum dan tercatat negara. Tapi sayang, semua rencana berantakan. Zahra lebih dulu tahu tentang itu. bahkan lebih parahnya, pertama kali yang Zahra lihat adalah foto momen saat keduanya selesai melakukan ritual malam di sebuah Hotel di Madinah. Bodohnya, Dimas tidak menghapus foto itu. Wanita mana yang tidak sakit mengetahui suaminya berbagi ranjang dengan wanita lain ? *** Krieeek, Jam 9 pagi, Zahra keluar dari kamar anak-anak. Ia sudah berdandan rapi lengkap dengan setelan hijabnya. Walaupun begitu, matanya masih tampak bengkak sisa menangis semalam. "Neng, kamu mau kemana pagi-pagi begini ?" tanya Dimas. "Pergi." "Kemana ?" "Cari angin." "Neng... Kita perlu... " "Sudahlah mas, aku tak ingin membahasnya sekarang." "Tapi Neng... Terus, anak-anak gimana kalau kamu pergi ?" "Kan ada kamu !" "Neng... " Zahra tetap pergi walau Dimas terus memanggilnya untuk kembali. Biarlah, biar suaminya itu juga merasa bagaimana merawat anak-anak di rumah juga mengurus rumah serta semuanya. Dia pikir pekerjaan seorang wanita itu mudah ?. Bahkan segala apapun yang seorang lelaki berikan pada wanitanya itu tidak akan bisa sebanding dengan pengorbanan wanita bertaruh nyawa melahirkan sang anak. Seharusnya laki-laki tidak akan tega menyakitinya jika dia ingat bahwa dia juga lahir dari rahim wanita dan dengan bertaruh nyawa pula seorang ibu melahirkannya. Di bawah terik panasnya kabupaten Malang, Zahra berjalan menyusuri jalanan setapak. Terus terang saja dia berjalan tanpa tujuan. Mau pulang ke rumah juga bingung. orang tua yang mana ? Curhat di atas tanah merah yang sudah mulai mengering itu ? Atau... Haruskah Zahra mengadu ke orang tua Dimas? Ah, sepertinya juga tidak mungkin. Itu bukan ide yang bagus. Hingga di persimpangan jalan, ia bertemu dengan kawan lamanya, "Loh... Zahra ? Kok jalan kaki mau kemana ?" Zahra yang kaget itu segera menghapus air matanya. "Resti ?" "Duh, ayo sini masuk ! Kamu sendirian ? anak-anak sama siapa ?" "Sama Ayahnya, Res." jawab Zahra. "Za, Kamu ada apa ? Kenapa kamu jalan sendirian kayak tadi? Ada masalah ? Cerita sama sini aku. Jangan di pendam sendiri." Mendapat pertanyaan itu, Zahra langsung menumpahkan air matanya. ia menangis hingga sesenggukan. Resti langsung mengusap punggungnya dan membawa mobilnya menepi. Ia memilih berhenti di dekat alun-alun dan membawa Zahra keluar dari mobil. Resti membiarkan Nadia tenang. Setelah itu, ia baru memberikan sebotol air mineral pada Nadia. "Res... " Sambil terisak Zahara menceritakan semuanya yang terjadi. Tentang segala hal yang Dimas perbuat. "Astagfirullahal'adzim, Za. Ya Allah aku nggak nyangka banget. Padahal selama ini kalian baik-baik saja kan ?" "Baik-baik saja, Res. Bahkan sehari sebelumnya kami masih seromantis biasanya. hingga pada akhirnya aku menemukan foto itu." "Ya Allah, sumpah. Aku nggak nyangka, Za. Tega banget. Ya Allah kamu yang spek bidadari gini aja masih di duain. Za... Ku beri saran deh, Seumur hidup itu terlalu lama. Kalau kamu butuh pengacara, aku siap dampingi. Pengadilan agama juga buka setiap hari senin sampai kamis, kalau kamu mau!" "Res... Terimakasih. Aku memang sempat berpikir kesana. Tapi... Aku berpikir ulang," ucap Zahra, lantas ia menghela nafas. "Jika aku mundur sekarang artinya aku kalah Res." Resti tampak mengangguk paham. Tidak mudah memang di posisi Zahra. Dia sudah menemani sepak terjang seorang lelaki bernama Dimas dari nol sampai di titik atas, lalu terjatuh lagi dan berjuang lagi. Dia sudah melewati berbagai badai, ujian, Pahit, asin, asem manisnya kehidupan sudah ia kecap. Tak mudah memang melepaskannya begitu saja. Apalagi menyerahkannya pada wanita baru dalam posisi yang sudah tinggal menikmati hasilnya. "Lalu, apa rencanamu selanjutnya, Za ? Apa kamu mau kayak gini terus?" "Tentu tidak, Res! Tunggu saja tanggal mainnya!"Berbagai pilihan itu terus berputar-putar di kepala. Salah satu di antaranya telah ia pertimbangkan matang-matang dan tentunya itu tidak mudah. Memang perlu ada yang di korbankan untuk mengurai semuanya."Em, aku... Pamit dulu ya, Res. Nanti aku kabari lagi. Perasaanku nggak enak," ucap Zahra. Lantas ia segera memberesi barang-barangnya. Setelah 3 jam keluar dari rumah dan menumpahkan segala pikirannya dengan sang sahabat sudah cukup membuat perasaannya lebih tenang dari sebelumnya."Oh ya, tapi kamu tidak apa-apa kan, Za ? Aku antar pulang, ya ?""Nggak perlu, Resti. Terimakasih ya, Aku bisa sendiri kok. lagian aku sudah pesan grab tadi," ucap Zahra. lantas ia segera beranjak karena mobil pesanannya sudah datang. Oa sengaja pulang dengan memesan taxi online agar segera sampai rumah. Entah mengapa, perasaannya mulai tak tenang. Ini juga pertama kali, ia pergi tanpa anak-anak selain kegiatan sekolah. Mendung tanpa hujan kini menghiasi langit kota Malang. Ya, sejak tiga hari lalu, lang
"Minggir mas, tolong jangan halangi jalanku." Zahra berucap sembari terus berjalan tanpa memperdulikan suaminya."Neng, tolong neng... Jangan gini, jangan pergi, neng mau kemana ? Ini sudah hampir sore,""Minggir, Mas. awas dulu !" Zahra berucap lagi. Ia pun berhenti sejenak, tapi hanya membenarkan gendongan Zahwa yang hampir melorot. Dimas masih berusaha merayu Zahra, sesekali juga dia mencoba mengajak bicara Rayyan dengan membujuknya. Sayang sekali, akibat perbuatannya siang tadi masih membuat Rayyan trauma."Kita selesaikan dulu masalahnya, Neng. Aku...""Nggak sekarang, mas." ucap Zahra sembari melihat ke arah kedua anaknya. Zahra berusaha memberi kode pada Dimas agar tak membahasnya di depan anak-anak. Sayang sekali Dimas tak paham akan hal itu."Tapi kenapa ?" Tanya Dimas. Zahra menggeleng."Mas, minggir, tolong jangan halangi jalanku. Ini sudah sore kan?.""Iya mangkanya itu, ini sudah hampir sore. Kamu mau kemana ? Mau kamu bawa kemana anak-anak, neng ? Tolong, jangan pergi ya
"Assalamu'alaikum, bu... Ibuk... " ucap Zahra sembari mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan. suaranya terdengar parau. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya panas. Pandanganya mulai buram setelah sebelumnya ia merasa sakit kepala dan kram di perutnya."Assalamu'alaikum... " Kali ini Zahra berteriak lebih keras. Beruntung Bu Sukma segera mendengarnya dan bergegas membuka pintu setelah menidurkan Zahwa ke kamar biasa. Kriiiieeek,"Astagfirullahal'adzim, ya Allah nduk !" Zahra langsung luruh ke lantai begitu Bu Sukma membuka pintu."Ya Allah Gusti. Daan... Dani! Dinda! Buruan kesini, mbak mu pingsan ini," teriak Bu Sukma. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua pintu rumah warga sudah terkunci rapat termasuk rumah Bu Sukma. Bu Sukma pikir Zahra tidak jadi menginap di rumahnya. jadi ia mengunci pintu rumahnya tanpa menunggu Zahra pulang.Dani dan Dinda yang baru saja memejamkan matanya itu langsung kaget saat mendengar teriakan Ibunya. Keduanya segera keluar kamar dan mencari sumber s
Plakk !!!!Bu Sukma menampar Dimas dengan keras. Dimas terhuyung, saat tiba-tiba ibunya menyerang tanpa dia tahu apa alasannya. Tampaknya, Bu Sukma benar-benar murka dengan tindakan anak lelakinya."Kamu pikir, kamu itu siapa tanpa seorang wanita ? Kalau nggak ada ibuk kamu nggak bakalan lahir! lha ibuk mu iki ya wanita, Le. kamu nyakitin istrimu wi ya sama aja nyakitin ibuk ! Wes puas ntuk mu ngelarani ?"ucap Bu Sukma meneriaki anaknya. sedangkan Dimas tampak memandang sang istri yang hanya diam tanpa membelanya."Buk... Ibuk, Dimas bisa jelasin semuanya buk,""Hallah, kadaluarsa ! Ibuk Rak butuh penjelasanmu. Kecewa ibuk, Dim ! Kurang opo bojo mu wi ? Kurang opo Zahra kui ? Ayu, gemati. Anak ya wes ono. Opo meneh to sing mbuk karepne ?""Buk... Ibuk, sik.. Dimas tak matur," Dimas berusaha merayu Ibunya. Ia berusaha meraih tangan Bu Sukma, tapi terus saja di tepis.Zahra sebenarnya tak tega telah membuat pertikaian antara ibu dan Anak itu. Tapi ya, bagaimanapun juga Ibunya berhak ta
'Dia ? Dia kah wanita yang berhasil membuat lelakiku berpaling ? Dia ? Dia kah mentari yang berhasil menyaingi sinar rembulan ? Ah, ternyata dugaanku keliru. Dia bukan seorang pelac*r atau kupu kupu malam. Dia bukan wanita yang gemar berpakaian layaknya telanjang. Tapi... '"Mbak, perkenalkan saya... Nisa," ucap wanita bercadar itu membuyarkan lamunan Zahra tentangnya."Mbak, maaf jika kedatanganku ini mengganggu mbak, tapi Mas Dimas yang memintaku datang kesini," Dimas pun langsung berdiri dan memberikan kursi tempat duduknya untuk Nisa. Ia sengaja memberikan ruang bagi kedua wanitanya untuk berdekatan. Setelah Nisa duduk, Zahra memalingkan wajahnya dan menghadap ke sisi tembok, membelakangi Nisa. Tampak tak sopan memang kelihatannya. Tapi Zahra kini tengah berusaha menyembunyikan luka dalam hatinya serta air mata yang terus berdesakan ingin keluar."Mbak... Maaf, beribu kali maaf aku ucapkan. Aku rasa mbak sudah tahu siapa Nisa ini. Nisa tahu mbak sakit, Nisa juga sakit kok mbak...
"Zahwa sayang... Tante ini bukan Ninja, sini... Ini namanya Umi Nisa. Umi baru Zahwa," ucap Dimas sembari duduk berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan putri kecilnya itu. "Umi?" tanya Zahwa. "Iya, Umi. Umi itu seperti Bunda. Bunda nya Zahwa.""Kok baru? Memangnya Bunda sudah rusak ya yah? Kok beli bunda baru?"Dimas seperti menahan tawa, lalu menghela nafas, "bukan begitu sayang. Bunda ada kok, tapi Umi ini biar nemenin bunda Zahra. Jadi bundanya Zahwa nanti ada dua.""Enggak! Bunda nya kita cuma satu, Bunda Zahra! Tante ini pasti jahat kan, Yah ? Sini dek," ucap Rayyan sembari menarik tangan adiknya mundur beberapa langkah menjauhi Dimas dan Nisa. "Rayyan, Zahwa! Jaga bicaramu! Ayah tidak pernah mengajari kamu kasar, ya!""Ayah lupa? Baru kemarin lho ayah ngajarinnya." ucap Rayyan, membuat Dimas geram. "Rayyan, Zahwa. Di panggil nenek tuh, nenek punya sesuatu buat kalian," ucap Dinda yang baru saja keluar dari rumah dan menghampiri mereka. Mendengar berita baik itu, Rayyan dan
"Ibuuuk, Astagfirullah, i itu gosong penggorengan nya!""Ya Allah, nduk!" Bu Sukma berbalik badan dan langsung berlari mematikan kompornya. Ia lupa kalau tadi sambil menggoreng daging Ayam saat di tinggal ngobrol."Waduh... Gosong beneran nduk," Bu Sukma segera mengangkat daging daging itu dari penggorengan."Duh... Iya buk, gimana dong kalau gosong gini. Ada stok daging lagi nggak di kulkas? Biar Zahra goreng lagi.""Sudah habis nduk. Ini yang terakhir tadi." ucap Bu Sukma sembari menaruh daging ayam yang sudah gosong itu ke tong sampah. Karena memang sudah tak terselamatkan. "Ndak popo wes, beli lagi aja.""Ndak papa buk? Di ambil jam berapa ini pesanannya?""O ini buat yang nanti malam kok. Aman, nanti ibuk tak ke pasar lagi, beli dagingnya sekaligus belanja.""Oh gitu, apa Zahra aja yang beli buk, sekalian Zahra mau pulang bentar kok ambil Kartu Keluarga sama Akta nya Rayyan. Zahra lupa kemarin sudah di tanyakan memang.""Gitu? Nggak opo opo nduk, kalau kamu mampir pasar dulu?""
"Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah. Bisakah kau tidak melakukannya di kamarku mas," Gumamnya. Ia masih menghalau perasaannya sebelum benar benar masuk ke kamar itu. Setelah sedikit tenang, barulah Zahra melanjutkan tujuannya. Tangannya sedikit bergetar saat hendak meraih hendle pintu kamarnya. Ia mulai menata hati, menguatkan hati, dia tak boleh goyah, dia tak boleh terlihat lemah dan dia tak mau mendengar ini terlalu lama. Ceklek! Pintu itu berhasil di buka. Dua manusia yang saling bergemul itu pun kaget dan menghentikan aktifitasnya. "Za Zahra..." ucap Dimas gugup. Sementara Nisa sudah menarik selimut untuk menutupi dirinya yang tanpa busana. "N neng... A aku bisa jelasin," "Ngapain berhenti. Lanjut aja kali, lanjutin. Aku cuma mau ambil sesuatu di kamarku.""A a aku... " Dimas turun dari ranjangnya dan langsung mendekati Zahra. Dimas hanya mengenakan kolor seadanya dan telanj*ng dada. "Stop! Jangan mendekat! Tetap di situ!""Ah iya.... Oke oke.. Ta tapi, please... J
Di dalam mobil itu, Zahra duduk tenang sembari memandangi jalanan. Beberapa hari terakhir ini dia tak mau pusing dengan hubungan asmaranya yang sudah kandas sejak melihat foto mesra suami dengan Wanita lain."Sesuai lokasi ya mbak," ucap Sopir tersebut membuyarkan lamunan Zahra. "Oh, iya iya pak. Terimakasih ya," ucap Zahra, Zahra segera turun dari mobil itu. Tapi sebelum itu dia juga berpesan pada sopirnya agar tidak pergi dulu dan menunggunya sebentar. Zahra hanya akan menjemput Rayyan di sekolahnya karena hari ini. Sekolahnya pulang pagi. Zahwa malah sudah di rumah, di jemput Resti satu jam yang lalu. Ternyata Rayyan juga sudah duduk di depan sekolahan lumayan lama, beruntung ibu gurunya setia menunggui sampai semua anak di jemput oleh orang tuanya."Maaf ya sayang, Bunda lama ya,""Bu, terimakasih ya, maaf saya telat ""Iya, ndak apa mbak Zahra. Saya santai saja kok selama anak tidak rewel. Kakak Rayyan pintar kok mbak, ndak pernah rewel.""Waaah, iya kah? Anak bunda hebat." uc
Mereka kini tiba di sebuah warung makan yang letaknya di sebelah kanan persis rumah sakit tersebut. Biasanya, Zahra beli di warung depannya tapi kini tutup. Zahra membungkus dua nasi padang untuk mertua dan Nisa. Dinda dan Nisa sudah makan di tempat sebelum akhirnya mereka meninggalkan warung tersebut."Loh, mereka pada kemana?""Kayaknya di dalam mbak,""Emang udah boleh masuk? Bukannya Mas Dimas masih perawatan intensif?""Entah, nggak tahu sih," Dinda mendekati pintunya dan mengintip sedikit yang di dalam."Iya mbak, mereka sedang di dalam. Mungkin di bolehin sama susternya mbak. Kayaknya Mas Dimas juga sudah sadar.""Alhamdulillah... ""Mbak, mbak Zahra apa masih mau lanjutin pernikahan mbak Zahra sama Mas Dimas? " tanya Dinda tiba-tiba. Zahra tampak terdiam sejenak, matanya kosong menerawang jauh ke arah taman rumah sakit. "Mbak... ""Ah, hem... Lihat nanti aja Din. untuk saat ini mbak belum ingin membahas itu.""Ck. Dinda sebenarnya ingin Mbak Zahra tetap jadi kakak iparku sih,
"Mohon maaf dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa ibu Nisa, positif tertular Virus dari pak Dimas."Berasa di sambar petir, Nisa langsung luruh seketika saat mendengar kabar buruk tentangnya. Ia menangis sesenggukan. Sumpah, ini sesuatu yang tak pernah terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya."Mbaaak... Astagfirullah, astagfirullah... Mbak Zahra, ampuni aku mbak... Maafkan aku. Tolong jangan kutuk aku seperti ini, mbak," ucap Nisa sembari bersimpuh dihadapan Zahra. Zahra jadi merasa iba dan langsung memeluk erat adik madunya itu. Dia memang marah, dia kecewa tapi sedikitpun Zahra tak menginginkan Nisa kena musibah seperti ini, apalagi posisinya sedang mengandung. Mereka sama-sama perempuan, pikir Zahra. "Sumpah, demi Allah Sa. Aku memang marah dan kecewa sama kamu. Tapi sedikitpun, aku tak ada hati buat nyumpahin kamu atau mendoakan apapun yang buruk untuk kamu.""Mbak, aku sudah berdosa kepadamu mbak, dan ini ganjaran yang harus aku terima.""Sa, sudah. Yang berlalu biarlah
"Karena Mas Dimas sakit mbak,""Ya kan yang sakit dia, Sa. Kenapa aku yang tes coba? Gimana sih, kalau ngomong yang jelas dong Sa. Kenapa? Ada apa?""Mbak... Mas Dimas di diagnosa dokter kena penyakit kelam*n""Astagfirullahal'adzim... " ucap Zahra sembari mengusap kepalanya."Iyah mbak. Jadi mbak Zahra juga harus ikut tes, mengingat kalian juga sempat kontak badan kan, beberapa bulan terakhir. Khawatirnya mbak Zahra kena juga, walaupun harapannya jangan."" Astagfirullah, ya Allah. Kok bisa Sa?""Mbak Zahra pasti akan menuduhku juga kan, seperti ibuk tadi. Tapi sumpah mbak, aku bukan wanita liar yang berhubungan dengan banyak lelaki lalu membawa penyakit untuk Mas Dimas""Enggak, enggak gitu maksudnya. Iya aku percaya, aku percaya kamu nggak gitu. Tapi. Ck, kok bisa sih!""Mbak Zahra ingat kan, waktu aku cerita kalau Mas Dimas sempat dekat dengan wanita lain selain aku?"Zahra tampak diam sejenak sembari mengingat-ingat apa yang sudah terlewat."Ini, kalau mbak Zahra nggak percaya ak
Bu Sukma seketika kepikiran dengan nasib Zahra, yang kemungkinan kena imbasnya. walau bu Sukma berharap Zahra tidak kena. "Ya untuk antisipasi ya harusnya mbak Zahra juga di tes buk. Tinggal mereka berhubungan atau tidak, belakangan ini. Kalau iya ya kemungkinan juga kena.""Ya Allah gusti... Ya Allah... Kok ya ujiannya berat banget ya Allah," keluh bu Sukma."Ibuk... Maafin Nisa ya... Sekarang biar Nisa cari mbak Zahra Untuk menebus kesalahan Nisa." ucap Nisa. Kemudian ia berdiri dan melangkah menjauh dari mertua dan iparnya dengan tujuan mencari Zahra."Sa!" ucap Bu SukmaSeketika Nisa berhenti dan terdiam di tempat. Hatinya mendadak menghangat, bisa di panggil oleh ibunya Dimas. "Iya buk?" Nisa menoleh."Kamu mau cari Zahra kemana? Kamu tahu dimana Zahra?""Tidak bu. Mungkin aku akan mulai mencarinya dari sekitar rumah sampai... Yah, kemanapun lah."Bu Sukma tampak mengambil ponselnya dari saku, lalu meminta secarik kertas dari tempat admin dan menuliskan sebuah alamat."Ini alam
"Ya, ini hanya dugaan sementara, Bu. Pasien harus menjalani beberapa tes untuk benar-benar bisa mengetahui apa yang terjadi pada pasien.""Jadi, kira-kira anak saya kenapa dok?" tanya Bu Sukma tampak cemas."Kemarin dia memang mengeluh sariawan dokter. Tapii masak sariawan sampai pingsan begitu""Eh, sama itu... Herpes dok kayaknya ya. Di beberapa bagian kulitnya itu."Dokter itu bergantian menatap bu Sukma dan Nisa. Seperti tidak tega untuk menyapaikannya. Tapi keluarganya wajib tahu kan, apalagi ini menyangkut keselamatan orang."Ini baru diagnosa saya. Pasien terkena Penyakit K*lamin bu,""Astagfirullahal'adzim. Dokter pasti salah periksa kan, ndak mungkin. Ini ndak mungki, Bagaimana mungkin anak saya bisa punya penyakit seperti itu.""Maaf ibu, ini dugaan saja. Semoga saja tidak. Dan kalaupun iya juga harus segera di tindak.""Astagfirullah... Astagfirullah... Dokter... Ya Allah dok... Saya sedang mimpi kan dok. Bagaimana mungkin... ""Bisa saja terjadi karena pergaulan bebas bu,
Assalamu'alaikum," Nisa baru datang dan Bu Sukma langsung beranjak pergi menuju kamar mandi untuk bersih diri. Lebih tepatnya sih, menghindari Nisaa. Bu Sukma tidak sepenuhnya benci, hanya saja dia belum menerima sepenuhnya dengan kehadiran Nisa."Mas," ucap Nisa sembari meraih tangan Dimas dan disalaminya."Gimana? Udah dapat kerja?""Udah,""dimana ?""Disana""Ck. Ya tahu disana. Tapi disananya dimana?""Penting? ""Astaga Sa, aku tanya serius lho.""Ya emangnya kamu perduli mas?" ucap Nisa, kemudian dia langsung berjalan menuju kamarnya. Dimas tak diam begitu saja. Dia juga segera berjalan mengekori Nisa ke kamarnya."Sa, kenapa sih, Pulang pulang jutek begitu? Ada apa?""Tau ah! Pikir aja sendiri. Aku capek." ungkap Nisa. Lantas ia segera masuk ke kamar, menutup dan mengunci kamarnya agar Dimas tak bisa masuk. Hatinya kini sedang dongkol mengingat ucapan ucapan Dimas yang baru saja ia dengar saat bercakap dengan ibunya."Sa... Hei... Bukain dong, kok di kunci sih, kenapa? Ada apa
Di rumahnya, Dimas malah enak-enakan bermain ponsel. Hingga bu Sukma pulang dan membawa sebuah kantong plastik berisi makanan."Ibuk... Seharian dari mana saja? Kok Dimas ndak lihat ibuk?" tanyanya"Dari luar. Nih, makan. Ibuk ndak masak tadi. Adekmu kemana? ""Dinda? Tadi katanya ada pelajaran tambahan jadi pulang sore.""Dani belum pulang?""Dani tadi pulang sebentar tapi pergi lagi nggak tahu kemana Bu.""Ya sudah, sana makan lah. Walau gimana pun juga ibuk ndak mau ada mayat yang mati kelaparan di dalam rumah." ucap Bu Sukma sembari meletakkan Tas nya di rak tas."Ibuk, kok gitu i lo ngomongnya.""Wes, ndang makan. Cah kui di ajak makan juga moh ibuk nek di salahkan orang tuanya, di sini kok ndak di kasih makan, di biarkan kelaparan.""Tapi Nisa sedang tidak di rumah Bu.""Lho. Kemana emangnya? Pulang ke rumah orang tuanya?""Ya ndak mungkin pulang ke bogor lah, Bu. Tadi bilang sama Dimas katanya mau cari kerja.""He? Edan kamu! Pie to? Terus kamu biarin cari kerja?""Ya iya lah B
"Mas, kalau aku nggak kerja, kita mau makan apa?""Ya kan makan tinggal makan, Sa. Nggak perlu repot! .""Ck. Mas... Mau sampai kapan kita numpang sama ibumu terus, mas? Kamu apa nggak malu? Aku lo malu, enggak enak kalau harus numpang terus. Dan hidup itu nggak cuma butuh makan, Mas. Apalagi juga makin hari kandungan ku akan semakin besar. Tentu juga butuh biaya, untuk berobat, untuk cek kandungan, untuk persiapan lahiran, perlengkapan perlengkapannnya, untuk biaya persalinannya. Itu semua nggak di tanggung BPJS, Mas!? " ucap Nisa, lantas ia melangkah menjauh dari Dimas. Dengan atau izin darinya."Sa... Sa, tunggu... Memangnya kamu mau kerja dimana sekarang? Kamu aja belum ngerti daerah malang. Terus gimana? Kamu mau kerja apa?""Ya apa aja lah yang penting menghasilkan duit. Mentok ya jual diri juga boleh""Sa!!! Sadar nggak apa yang kamu katakan,""Sadar lah, sadar sepenuhnya.""Kamu tahu nggak, apa yang kamu lakukan itu perbuatan yang kotor. Masih banyak pekerjaan halal yang bisa