"Assalamu'alaikum, bu... Ibuk... " ucap Zahra sembari mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan. suaranya terdengar parau. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya panas. Pandanganya mulai buram setelah sebelumnya ia merasa sakit kepala dan kram di perutnya.
"Assalamu'alaikum... " Kali ini Zahra berteriak lebih keras. Beruntung Bu Sukma segera mendengarnya dan bergegas membuka pintu setelah menidurkan Zahwa ke kamar biasa. Kriiiieeek, "Astagfirullahal'adzim, ya Allah nduk !" Zahra langsung luruh ke lantai begitu Bu Sukma membuka pintu. "Ya Allah Gusti. Daan... Dani! Dinda! Buruan kesini, mbak mu pingsan ini," teriak Bu Sukma. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua pintu rumah warga sudah terkunci rapat termasuk rumah Bu Sukma. Bu Sukma pikir Zahra tidak jadi menginap di rumahnya. jadi ia mengunci pintu rumahnya tanpa menunggu Zahra pulang. Dani dan Dinda yang baru saja memejamkan matanya itu langsung kaget saat mendengar teriakan Ibunya. Keduanya segera keluar kamar dan mencari sumber suara bu Sukma. "Loh, buk... Ya Allah, mbak Zahra kenapa bu?" Dinda mendadak panik. dia berlari ke ambang pintu melihat kakak iparnya tergeletak disana. "Kenapa mbak Zahra, bu ?" tanya Dani. "Nggak tahu. Wes ayo angkat dulu ke atas, kasihan mbak mu," ucap Bu Sukma. Dinda dan Dani bekerjasama membopong tubuh Zahra. Dani di bagian atas, dan Dinda di bagian bawah, "loh, buk kok rok nya mbak Zahra basah ?" ucap Dinda setelah mengangkat tubuh kakak iparnya. Setelah mereka merebahkan Zahra ke sofa, Dinda baru menyadari sesuatu hal, "astagfirullah,... Ibuk ! Kok ada darah ?" Dinda kaget. dia semakin panik begitu melihat darah yang berasal dari rok kakak Iparnya. "Ya Allah, iya nduk. Ayo, ayo kita bawa ke rumah sakit saja. Nduk, awakmu ndek rumah jaga arek arek yo," ucap Bu Sukma dengan nada cemas. Dinda pun mengangguk walau sebenarnya dia juga ingin ikut. "Nggih, buk." ucap Dinda. Dengan cekatan, Dani mengeluarkan mobil panther merah peninggalan almarhum Ayahnya. Lantas ia bergegas mengangkat tubuh kakak iparnya dan membawanya ke mobil. Sementara Bu Sukma mengekorinya dari belakang sembari menenteng tasnya. Mobil melaju dengan kecepatan cepat membelah kemacetan kota akibat perbaikan jalan. Beruntungnya, mobil tua nya itu masih bisa di ajak kerja sama, walau belakangan ini agak rewel. Wajar, namanya juga mobil tua, di era gempuran mobil-mobil mewah, mobilnya ini juga masih bisa bersaing tentunya lebih melegenda. "Le... Jangan ngebut-ngbut le, takut ibuk." "Iya buk, ini hati-hati kok. Takut nanti mbak Zahra semakin kehabisan darah," ucap Dani. Ia tetap melajukan mobilnya dengan cepat tapi tepat. Tepat jam dua belas kurang seperempat mobil Dani tiba di depan ruang UGD, kedua perawat pun datang dengan mendorong brankar lalu membawa Zahra masuk ke UGD. Satu perawat lagi menemui Bu Sukma untuk meminta keterangan. "Saya nggak tau mbak, dia baru pulang pas saya buka pintu dia langsung semaput. Kata anak Gadisku tadi, ada darah di roknya." "Pendarahan ? Apa mbak nya sedang hamil, bu ?" "Duh, nggak tahu saya e mbak. Zahra belum cerita apa-apa e. Biasanya kalau dia hamil pasti langsung cerita. Ndak tahu nek ternyata misal belum cerita." "O, ya sudah bu. Terimakasih, kami cek dulu ya bu," "Oh, iya mbak. Tolong ya mbak," ucap Bu Sukma dengan cemas. Karena memang waktu sudah hampir tengah malam, jadi tidak ada dokter. Hanya ada beberapa perawat yang jaga IGD 24 jam di Klinik terdekat sini. Beruntungnya pendarahan Zahra segera berhenti setelah Ia mendapat penanganan pertama. "Gimana mbak, anak saya ?" "Alhamdulillah, mbak nya sudah sadar bu," Setelah perawat pergi Bu Sukma di izinkan masuk. Sementara Dani di suruh pulang ibunya menemani Dinda di rumah. Khawatir jika dua anak Nadia rewel dan Dinda kewalahan. "Nduk, gimana? Yang kamu rasakan gimana? Mana yang sakit?" tanya Bu Sukma pada menantunya. "Nggak apa, buk. Zahra cuma kecapekan aja. Ini juga sudah enakan. Pulang aja yuk," "Hus, istirahat sik. Besok ketemu dulu sama dokternya baru boleh pulang. Pake bobok dulu," "Tapi anak-anak gimana buk?" "Wes, Aman ndak usah mbok pikirin. Sama Dinda dan Dani." Zahra mengangguk. Matanya tampak sendu. "Nduk... Ono opo ? Cerita o sama ibuk. Ojo kok pendem dewe. Lihat o, awakmu nggak kuat iki. Ojok stres, cerita o," "Buk... Hiks," Seketika tangis Zahra pun pecah. Isaknya terdengar pilu, Bu Sukma tampak mengelus pundak menantunya dan menunggu ia sampai tenang. "Buk... Mas Dimas," "Yok onok opo ro Dimas, nduk ? Awakmu di apain ?" "Mas Dimas nikah lagi buk, sama perempuan lain di sana." "Hus, ojok ngawur ta ! Nggak lucu lho bercanda ne." "Buk, Zahra tidak sedang bercanda. Mas Dimas sendiri yang mengatakannya kemarin. Bahwa dia sudah menikahi wanita asal Bogor saat mereka sama sama kuliah disana. " "Astagfirullahal'adzim... Allahu Robbi.. Ya Allah nduk... Kok kebangeten... Astaghfirullah... Wong edyan ! Astagfirullah, ya Allah," ucap Bu Sukma sembari mengelus dadanya. Tak menyangka jika anaknya nekat melakukan itu. Dua tahun yang lalu, Dimas memang sempat meminta izin padanya untuk menikah lagi. Tapi Bu Sukma enggan memberi izin. Awalnya Bu Sukma pikir, setelah Dimas tidak mendapat restu darinya, Dia tidak akan melanjutkan niatnya. Nyatanya malah Dimas tidak mengindahkan ucapan ibunya. Bu Sukma tak pernah menaruh curiga selama ini, ternyata malah sudah terjadi sejak dua tahun lamanya. Air matanya kini ikut menangis. Terus terang perasaannya kini serba salah, "Nduk... Ya Allah nduk... Nduk, maafin Dimas yo nduk. Awakmu ojok nyerah pokok e. Wes, nanti Dimas tak Hajar e. Kebangeten memang tu anak ! Awakmu kuat ya nduk, kuat. Ibuk rak sudi, punya mantu selain kamu. Astagfirullah, astagfirullahal'adzim..." ucap Bu Sukma Murka sembari menagisi tindakan anaknya yang baginya itu sangat memalukan. Lain hal dengan Dimas yang kini kalang kabut di tinggal oleh Zahra. Sampai detik ini pun, dia belum bisa meluluhkan hatinya kembali walau Zahra tadi sudah mengatakan menerima pernikahannya dengan Nisa. Pikirannya runyam. Rangkaian cerita yang terjadi hari ini terus saja menghantuinya. Andai saja tadi dia tidak kalap terbawa emosi, mungkin malam ini Zahra masih di rumah. Tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian siang tadi yang... *** "Endaaaa... Nda..." Gadis kecil bermata coklat itu baru saja terbangun dari tidurnya. Ia berjalan keluar kamar sembari memegangi botol susu kosong dan mencari keberadaan Bundanya yang ternyata sudah pergi satu jam yang lalu. "Yah... Nda kemana ?" tanyanya. Dimas yang sedari tadi sibuk bersama ponselnya itu pun menoleh sekilas. "Bunda lagi keluar, dik. Kenapa ?" "Wawa mau susu... " "Iya, sebentar ya. Tunggu Bunda," ucap Dimas sembari meraih kembali ponselnya. Sejak tadi pikirannya sedang kacau sebab pertengkaran dengan Zahra, di tambah lagi juga pertengkaran dengan Nisa yang bersamaan. "Hiks... Hiks... Maunya sekarang... " rengek Zahwa. "Ssssss, ck. Iya iya iya, bentar Ayah buatin dulu. Tunggu, jangan nangis, berisik." Akhirnya Dimas berjalan ke dapur untuk membuatkan Zahwa susu. Tapi, saat pertengahan proses membuat susu, lagi-lagi Zahwa menangis karena kesusahan melepas celananya. "Ayah... Ayah, pipis... " "Iya sana pipis dulu a," "Nggak bisa yah. Nggak bisa. Hua... Udah basah. Bunda... Hua..." "Ck" Dimas pun meninggalkan kompornya yang masih menyala untuk mendekati Zahwa, "Astaga, dik... Kok ngompol sih ? Basah semua kan jadinya." "Huaaaa... " Zahwa menangis lagi lebih kencang karena merasa di marahi oleh Ayahnya. "Duh, malah nangis kamu itu. Duh... Ya ya bentar Ayah ambil susunya dulu, nanti Ayah ganti celananya." Dimas kembali lagi ke dapur, mematikan kompor dan membuat susu untuk Seina. "Nih, susu nya di minum dulu ayah ambil kan celana. Jangan pindah dari situ, nanti lantainya jadi najis semua." ucap Dimas. Zahwa menerima botol susunya. Tapi baru di minum satu seruputan, tiba-tiba botol susunya di lempar ke tembok hingga bolong dan tumpah semua susu. "Astaga, Zahwa ! Kenapa di buang susunya. Itu Ayah bikinnya susah payah tau. Kamu buang gitu aja. apa maksudmu ?" "Huaaaa... Asin... Hua..." Zahwa kembali menangis dan berbarengan dengan suara dering ponsel Dimas yang berbunyi terus menerus hingga membuat pikiran Dimas semakin kalut. "Haaaaiiish !" Dimas mengusap kepalanya dengan kasar, lalu mengangkat tubuh Zahwa ke kamar mandi mereka. Dan di kamar mandi, lagi-lagi dia di buat emosi dengan perbuatan Rayyan. "Astagfirullah kak Ray. Apa yang kamu lakukan ?!" Dimas menurunkan Zahwa dan mendekati Rayyan. Rayyan tampak sedang berusaha membenarkan kran kamar mandinya yang patah akibat kesenggol saat ia bermain di kamar mandi. Air keran itu tumpah kemana-mana hingga membuat Dimas makin emosi. "Maaf Ayah... " "Astaga Ray. Tingkahmu itu lo, selalu saja begitu. Berapa kali Ayah bilang, yang bukan mainan itu jangan di pakai mainan !" reflek Dimas memukul kepala Rayyan dengan gayung. Sontak anak tujuh tahun itu menangis kejer. Ini pertama kalinya Ayahnya main tangan dengannya. Bahkan, baru kali ini juga Rayyan melihat Dimas marah hingga ia sangat ketakutan. Biasanya, ayahnya bak malaikat yang selalu menolongnya saat di omelin Bunda. Ayahnya yang selalu memujanya dengan caranya. Selalu memberinya perhatian lebih, bahkan anak-anak seusianya saja iri padanya. Walau sering LDR, tapi ketika pulang kerumah, kasih sayangnya selalu full tanpa batas. Hanya Hari ini saja terasa berbeda, hingga Rayyan pun berpikir, memang Rayyan lah yang nakal hingga Ayahnya marah. Tangisan Rayyan dan Zahwa jadi beriringan hingga membuat Dimas semakin emosi, "DIAM !" gayung itu pun terangkat kembali dan hampir saja, "Astagfirullah, Mas !!! " "Aaagrrh.. Nggak, nggak. Ini nggak boleh berlarut larut. Ya, aku harus mencari mereka sekarang, harus." Setelah Hakim tersadar dari lamunannya, ia pun segera bergegas ke garasi untuk mengambil mobilnya. Ya, malam ini ia memutuskan untuk mencari Zahra dan anak-anak. Ia yakin tak jauh. Kemana lagi Zahra pergi kalau bukan ke rumah ibunya. Kemana lagi, Dia tak punya siapa siapa. Tok tok tok tok... "Buk... Dinda... " Tok tok tok... Beberapa kali Dimas mengetuk pintu, hingga ketukan ke empat, baru nampak wajah cantik adiknya yang tampak sendu. "Loh, mas ?" "Din, Mbak Zahra di sini ?" "Eum... Baru aja di bawa Mas Dani sama ibuk ke Rumah sakit." "Rumah sakit ?" Memangnya Zahra kenapa?" "Nggak tahu o mas, tadi ada banyak darah juga di rok mbak Zahra." "Ya Allah, Zahra. Ya sudah, aku nyusul ibuk dulu ya Din. Anak-anak sama kamu kan ?" "Iya mas," Dimas pun kembali mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beruntung jalanan sepi, karena memang sudah masuk tengah malam. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang kebetulan lewat. Hingga tiba di sebuah rumah sakit yang di infokan oleh Dinda. Dimas melangkah cepat menuju ruang dimana Zahra mendapat penanganan. Jantungnya berdegup kencang, kala ia memegang hendle pintu dan membukanya, "Wes merasa hebat awakmu iso nyanding bojo loro ?" (Sudah merasa hebat kamu menikah India wanita?) "I i ibuk ?"Plakk !!!!Bu Sukma menampar Dimas dengan keras. Dimas terhuyung, saat tiba-tiba ibunya menyerang tanpa dia tahu apa alasannya. Tampaknya, Bu Sukma benar-benar murka dengan tindakan anak lelakinya."Kamu pikir, kamu itu siapa tanpa seorang wanita ? Kalau nggak ada ibuk kamu nggak bakalan lahir! lha ibuk mu iki ya wanita, Le. kamu nyakitin istrimu wi ya sama aja nyakitin ibuk ! Wes puas ntuk mu ngelarani ?"ucap Bu Sukma meneriaki anaknya. sedangkan Dimas tampak memandang sang istri yang hanya diam tanpa membelanya."Buk... Ibuk, Dimas bisa jelasin semuanya buk,""Hallah, kadaluarsa ! Ibuk Rak butuh penjelasanmu. Kecewa ibuk, Dim ! Kurang opo bojo mu wi ? Kurang opo Zahra kui ? Ayu, gemati. Anak ya wes ono. Opo meneh to sing mbuk karepne ?""Buk... Ibuk, sik.. Dimas tak matur," Dimas berusaha merayu Ibunya. Ia berusaha meraih tangan Bu Sukma, tapi terus saja di tepis.Zahra sebenarnya tak tega telah membuat pertikaian antara ibu dan Anak itu. Tapi ya, bagaimanapun juga Ibunya berhak ta
'Dia ? Dia kah wanita yang berhasil membuat lelakiku berpaling ? Dia ? Dia kah mentari yang berhasil menyaingi sinar rembulan ? Ah, ternyata dugaanku keliru. Dia bukan seorang pelac*r atau kupu kupu malam. Dia bukan wanita yang gemar berpakaian layaknya telanjang. Tapi... '"Mbak, perkenalkan saya... Nisa," ucap wanita bercadar itu membuyarkan lamunan Zahra tentangnya."Mbak, maaf jika kedatanganku ini mengganggu mbak, tapi Mas Dimas yang memintaku datang kesini," Dimas pun langsung berdiri dan memberikan kursi tempat duduknya untuk Nisa. Ia sengaja memberikan ruang bagi kedua wanitanya untuk berdekatan. Setelah Nisa duduk, Zahra memalingkan wajahnya dan menghadap ke sisi tembok, membelakangi Nisa. Tampak tak sopan memang kelihatannya. Tapi Zahra kini tengah berusaha menyembunyikan luka dalam hatinya serta air mata yang terus berdesakan ingin keluar."Mbak... Maaf, beribu kali maaf aku ucapkan. Aku rasa mbak sudah tahu siapa Nisa ini. Nisa tahu mbak sakit, Nisa juga sakit kok mbak...
"Jadi, sudah berapa lama Mas ?" Zahra bertanya sembari memegangi ponselnya yang masih menampakkan foto dua manusia tanpa busana di atas ranjang sebuah hotel. Keduanya tersenyum merekah hingga senyuman mereka itu menciptakan sayatan luka yang amat dalam di hati Zahra. "Dua tahun, Neng." jawab Dimas menunduk. "Astaghfirullah, Astagfirullahal'adzim... Laaillahaillallah," ucap Zahra lagi sembari memegangi dadanya yang kian terasa sesak. Lagi-lagi bulir bening itu lolos dari matanya. mengingat perselingkuhan lelaki yang selama ini ia percaya. "Neng, aku bisa jelasin Neng. Aku bisa jelasin semuanya. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan." "Cukup mas ! Cukup ! Sudahi omong kosong mu itu ! Hah, kamu memang pantas dengannya mas. Cukup! aku sudah jijik denganmu !" ucap Zahra. Ia segera menepis tangan sang suami saat hendak membujuknya. "Neng... " "Aggrrrhhhh..... " Zahra melempar semua apapun yang berada di atas meja riasnya hingga hancur berantakan. Ia menangis pilu, "Tega kamu mas ! Jah
Berbagai pilihan itu terus berputar-putar di kepala. Salah satu di antaranya telah ia pertimbangkan matang-matang dan tentunya itu tidak mudah. Memang perlu ada yang di korbankan untuk mengurai semuanya."Em, aku... Pamit dulu ya, Res. Nanti aku kabari lagi. Perasaanku nggak enak," ucap Zahra. Lantas ia segera memberesi barang-barangnya. Setelah 3 jam keluar dari rumah dan menumpahkan segala pikirannya dengan sang sahabat sudah cukup membuat perasaannya lebih tenang dari sebelumnya."Oh ya, tapi kamu tidak apa-apa kan, Za ? Aku antar pulang, ya ?""Nggak perlu, Resti. Terimakasih ya, Aku bisa sendiri kok. lagian aku sudah pesan grab tadi," ucap Zahra. lantas ia segera beranjak karena mobil pesanannya sudah datang. Oa sengaja pulang dengan memesan taxi online agar segera sampai rumah. Entah mengapa, perasaannya mulai tak tenang. Ini juga pertama kali, ia pergi tanpa anak-anak selain kegiatan sekolah. Mendung tanpa hujan kini menghiasi langit kota Malang. Ya, sejak tiga hari lalu, lang
"Minggir mas, tolong jangan halangi jalanku." Zahra berucap sembari terus berjalan tanpa memperdulikan suaminya."Neng, tolong neng... Jangan gini, jangan pergi, neng mau kemana ? Ini sudah hampir sore,""Minggir, Mas. awas dulu !" Zahra berucap lagi. Ia pun berhenti sejenak, tapi hanya membenarkan gendongan Zahwa yang hampir melorot. Dimas masih berusaha merayu Zahra, sesekali juga dia mencoba mengajak bicara Rayyan dengan membujuknya. Sayang sekali, akibat perbuatannya siang tadi masih membuat Rayyan trauma."Kita selesaikan dulu masalahnya, Neng. Aku...""Nggak sekarang, mas." ucap Zahra sembari melihat ke arah kedua anaknya. Zahra berusaha memberi kode pada Dimas agar tak membahasnya di depan anak-anak. Sayang sekali Dimas tak paham akan hal itu."Tapi kenapa ?" Tanya Dimas. Zahra menggeleng."Mas, minggir, tolong jangan halangi jalanku. Ini sudah sore kan?.""Iya mangkanya itu, ini sudah hampir sore. Kamu mau kemana ? Mau kamu bawa kemana anak-anak, neng ? Tolong, jangan pergi ya
'Dia ? Dia kah wanita yang berhasil membuat lelakiku berpaling ? Dia ? Dia kah mentari yang berhasil menyaingi sinar rembulan ? Ah, ternyata dugaanku keliru. Dia bukan seorang pelac*r atau kupu kupu malam. Dia bukan wanita yang gemar berpakaian layaknya telanjang. Tapi... '"Mbak, perkenalkan saya... Nisa," ucap wanita bercadar itu membuyarkan lamunan Zahra tentangnya."Mbak, maaf jika kedatanganku ini mengganggu mbak, tapi Mas Dimas yang memintaku datang kesini," Dimas pun langsung berdiri dan memberikan kursi tempat duduknya untuk Nisa. Ia sengaja memberikan ruang bagi kedua wanitanya untuk berdekatan. Setelah Nisa duduk, Zahra memalingkan wajahnya dan menghadap ke sisi tembok, membelakangi Nisa. Tampak tak sopan memang kelihatannya. Tapi Zahra kini tengah berusaha menyembunyikan luka dalam hatinya serta air mata yang terus berdesakan ingin keluar."Mbak... Maaf, beribu kali maaf aku ucapkan. Aku rasa mbak sudah tahu siapa Nisa ini. Nisa tahu mbak sakit, Nisa juga sakit kok mbak...
Plakk !!!!Bu Sukma menampar Dimas dengan keras. Dimas terhuyung, saat tiba-tiba ibunya menyerang tanpa dia tahu apa alasannya. Tampaknya, Bu Sukma benar-benar murka dengan tindakan anak lelakinya."Kamu pikir, kamu itu siapa tanpa seorang wanita ? Kalau nggak ada ibuk kamu nggak bakalan lahir! lha ibuk mu iki ya wanita, Le. kamu nyakitin istrimu wi ya sama aja nyakitin ibuk ! Wes puas ntuk mu ngelarani ?"ucap Bu Sukma meneriaki anaknya. sedangkan Dimas tampak memandang sang istri yang hanya diam tanpa membelanya."Buk... Ibuk, Dimas bisa jelasin semuanya buk,""Hallah, kadaluarsa ! Ibuk Rak butuh penjelasanmu. Kecewa ibuk, Dim ! Kurang opo bojo mu wi ? Kurang opo Zahra kui ? Ayu, gemati. Anak ya wes ono. Opo meneh to sing mbuk karepne ?""Buk... Ibuk, sik.. Dimas tak matur," Dimas berusaha merayu Ibunya. Ia berusaha meraih tangan Bu Sukma, tapi terus saja di tepis.Zahra sebenarnya tak tega telah membuat pertikaian antara ibu dan Anak itu. Tapi ya, bagaimanapun juga Ibunya berhak ta
"Assalamu'alaikum, bu... Ibuk... " ucap Zahra sembari mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan. suaranya terdengar parau. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya panas. Pandanganya mulai buram setelah sebelumnya ia merasa sakit kepala dan kram di perutnya."Assalamu'alaikum... " Kali ini Zahra berteriak lebih keras. Beruntung Bu Sukma segera mendengarnya dan bergegas membuka pintu setelah menidurkan Zahwa ke kamar biasa. Kriiiieeek,"Astagfirullahal'adzim, ya Allah nduk !" Zahra langsung luruh ke lantai begitu Bu Sukma membuka pintu."Ya Allah Gusti. Daan... Dani! Dinda! Buruan kesini, mbak mu pingsan ini," teriak Bu Sukma. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua pintu rumah warga sudah terkunci rapat termasuk rumah Bu Sukma. Bu Sukma pikir Zahra tidak jadi menginap di rumahnya. jadi ia mengunci pintu rumahnya tanpa menunggu Zahra pulang.Dani dan Dinda yang baru saja memejamkan matanya itu langsung kaget saat mendengar teriakan Ibunya. Keduanya segera keluar kamar dan mencari sumber s
"Minggir mas, tolong jangan halangi jalanku." Zahra berucap sembari terus berjalan tanpa memperdulikan suaminya."Neng, tolong neng... Jangan gini, jangan pergi, neng mau kemana ? Ini sudah hampir sore,""Minggir, Mas. awas dulu !" Zahra berucap lagi. Ia pun berhenti sejenak, tapi hanya membenarkan gendongan Zahwa yang hampir melorot. Dimas masih berusaha merayu Zahra, sesekali juga dia mencoba mengajak bicara Rayyan dengan membujuknya. Sayang sekali, akibat perbuatannya siang tadi masih membuat Rayyan trauma."Kita selesaikan dulu masalahnya, Neng. Aku...""Nggak sekarang, mas." ucap Zahra sembari melihat ke arah kedua anaknya. Zahra berusaha memberi kode pada Dimas agar tak membahasnya di depan anak-anak. Sayang sekali Dimas tak paham akan hal itu."Tapi kenapa ?" Tanya Dimas. Zahra menggeleng."Mas, minggir, tolong jangan halangi jalanku. Ini sudah sore kan?.""Iya mangkanya itu, ini sudah hampir sore. Kamu mau kemana ? Mau kamu bawa kemana anak-anak, neng ? Tolong, jangan pergi ya
Berbagai pilihan itu terus berputar-putar di kepala. Salah satu di antaranya telah ia pertimbangkan matang-matang dan tentunya itu tidak mudah. Memang perlu ada yang di korbankan untuk mengurai semuanya."Em, aku... Pamit dulu ya, Res. Nanti aku kabari lagi. Perasaanku nggak enak," ucap Zahra. Lantas ia segera memberesi barang-barangnya. Setelah 3 jam keluar dari rumah dan menumpahkan segala pikirannya dengan sang sahabat sudah cukup membuat perasaannya lebih tenang dari sebelumnya."Oh ya, tapi kamu tidak apa-apa kan, Za ? Aku antar pulang, ya ?""Nggak perlu, Resti. Terimakasih ya, Aku bisa sendiri kok. lagian aku sudah pesan grab tadi," ucap Zahra. lantas ia segera beranjak karena mobil pesanannya sudah datang. Oa sengaja pulang dengan memesan taxi online agar segera sampai rumah. Entah mengapa, perasaannya mulai tak tenang. Ini juga pertama kali, ia pergi tanpa anak-anak selain kegiatan sekolah. Mendung tanpa hujan kini menghiasi langit kota Malang. Ya, sejak tiga hari lalu, lang
"Jadi, sudah berapa lama Mas ?" Zahra bertanya sembari memegangi ponselnya yang masih menampakkan foto dua manusia tanpa busana di atas ranjang sebuah hotel. Keduanya tersenyum merekah hingga senyuman mereka itu menciptakan sayatan luka yang amat dalam di hati Zahra. "Dua tahun, Neng." jawab Dimas menunduk. "Astaghfirullah, Astagfirullahal'adzim... Laaillahaillallah," ucap Zahra lagi sembari memegangi dadanya yang kian terasa sesak. Lagi-lagi bulir bening itu lolos dari matanya. mengingat perselingkuhan lelaki yang selama ini ia percaya. "Neng, aku bisa jelasin Neng. Aku bisa jelasin semuanya. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan." "Cukup mas ! Cukup ! Sudahi omong kosong mu itu ! Hah, kamu memang pantas dengannya mas. Cukup! aku sudah jijik denganmu !" ucap Zahra. Ia segera menepis tangan sang suami saat hendak membujuknya. "Neng... " "Aggrrrhhhh..... " Zahra melempar semua apapun yang berada di atas meja riasnya hingga hancur berantakan. Ia menangis pilu, "Tega kamu mas ! Jah