"waktu itu Bunda kena serangan jantung waktu mendengar bahwa Nisa telah menjadi Istri kedua dari Dimas."
"Astagfirullah," ucap Zahra dan Bu Sukma berbarengan."Mbak, mohon maaf ya mbak. Semua jadi kacau begini," ucap Zahra merasa tak enak."Nggak nggak, harusnya kami yang minta maaf mbak. Terutama sama kamu, ya. Sebagai istri Sahnya Dimas," ucap Nina.Zahra mengangguk."Eum... Sepertinya kalian mending pulang dulu aja gimana? Situasinya masih gini. Timmingnya kurang tepat. Dan kamu Sa, kamu jangan keluar dari rumah ini kalau nggak mau suasana makin kacau."Nisa menghela nafas, "tapi... Ya udahlah" Akhirnya ia setuju dengan apa yang di katakan Nina. Sebab dia sendiri tahu jika Ayahnya marah seperti apa. Dimas juga setuju untuk saat ini.Malam itu juga Dimas kembali membawa keluarganya pulang ke Malang. Sepanjang perjalanan tak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara suara kecil dari bibir mungil Rayyan dan Zahwa yang saling bersahu"Bisa nggak Neng? Sini biar Mas aja." ucap Hakim saat melihat Nadia tampak kesusahan memasang lampunya. "Enggak usah. Ini udah bisa kok," ucapnya sembari terus memutar putar bohlam lampunya. "Nah, sudah selesai." ucapnya lalu turun. Zahra tampak berjalan menuju saklar lampu dan mencoba menyalakannya. "Alhamdulillah," Kemudian ia mengambil kembali tangganya mau di bawa turun di kembalikan ke tempatnya. "Sini aja aja yang kembaliin," Ucap Dimas tapi Zahra tak mengindahkan tawaran Dimas. "Bund...""Ah, iya sayang, sebentar."Setelah selesai membenarkan lampu, Zahra menemani anak anak bermain di kolam renang belakang. Dimas masih terus berusaha membersamai Zahra. tapi keberadaan Dimas seolah tak di anggap oleh Zahra. Ntahlah, Hati Zahra sudah terlanjur beku. Mau tahu Wanita yang bertahan hanya demi anak? Zahra lah orangnya. Zahra memang sudah kembali ke rumah tapi tidak dengan jiwanya. Sakit hatinya membuat dia enggan untuk bersuara lebih banyak. Kini ia memang lebih banyak diamnya
"Saya terima Nikahnya Anisa Rahma Dengan mas Kawin Tersebut di bayar tunai!!! ""Sah? " "Sah!!!"Suasana haru bercampur sedih itu terganbar dalam sebuah masjid tempat dimana Dimas dan Nisa melangsungkan akad Nikahnya yang kedua. Kali ini, pernikahan keduanya di hadiri oleh banyak orang yang kenal dengan mereka. Dari keluarga Pihak perempuan maupun pihak laki laki. Termasuk juga Zahra. Ia tampak tegar, menyaksikan sang suami menyebut wanita lain dalam ikrar janji suci itu. Bahkan posisinya sebagai saksi. Bahkan juga dia sendiri yang merangkai Mahar dan seserahan nya untuk istri muda suaminya. Di samping kiri Zahra ada Dinda dan Resti, Sahabat Zahra. di samping kanannya ada Bu Sukma yang tampak mengelus punggung Zahra berkali-kali Menenangkannya. Tak ada sedikitpun air mata yang lolos darinya, bahkan dengan senyuman ia menghantarkan sang suami menikah dengan wanita lain. "Neng... " ucap Dimas saat usai melangsungkan akad keduanya. Entah mengapa kali ini justru malah Dimas yang teras
Tok tok tokZahra segera meraih hijab dan memasang seadanya, lalu dia lari keluar untuk membukakan pintu. Di depan pintu itu sudah ada pria nya dan seorang wanita bercadar hitam. Siapa lagi kalau bukan madunya. "Neng... Eum... Malam ini dan untuk sementara, kami akan tinggal disini. Ayahnya Nisa tidak mengizinkan kami tinggal di rumahnya lagi,"Zahra masih terdiam. Tapi dia tidak bisa menolak. Yang dia pikirkan bukan mereka berdua ini, tapi janin yang ada di kandungan Nisa. Kasihan kalau ibunya lontang lantung di jalanan. Batin ZahraZahra menggeser tubuhnya. Tanpa bicara, Dimas paham kalau Zahra mengizinkan. Walau kelihatanya berat. "Terimakasih ya Neng. Kamu memang istri dan wanita yang baik. Sholihah. Ini, Nisa biar tidur di kamar tamu saja.""Nggak perlu. Kalian di kamar atas saja. Kamar tamu aku pakai." ucap Zahra sebelum akhirnya meninggalkan mereka. "Oh ya, jangan lupa spreinya di pasang. Ada di dalam lemari. AC nya baru aku benahi tadi siang jadi aman. Bisa pasang seprei ka
ucapnya pada diri sendiri saat menghadapi ke cermin. Lalu ia segera menyudahi ritual mandinya bersamaan dengan air mata yang ia halus dengan kasar. Usai melaksanakan kewajibannya, dia mulai keluar kamar. Mulai hari ini dia harus bisa berdamai dengan kenyataan. "Mbak... ""Astagfirullah,""Eh, maaf mbak. Kaget ya... Maaf maaf. Soalnya kamar mandi atas nggak bisa di pakai," ucap Nisa saat baru keluar dari kamar mandi dapur, ketika Zahra tengah membuat roti bakar. Zahra menoleh ke arah Nisa, melihatnya dari ujung rambut dan ujung kaki, baru pertama kali ini dia melihat Nisa dengan pakaian kimono dan rambut terurai basah. Ah, pantas saja Dimas sulit untuk meninggalkannya. Bodynya saja aduhai dan kulitnya sangat putih, berbeda dengannya yang agak sawo matang. Batin Zahra sembari menggelengkan kepala. "Kenapa mbak?""Oh eng enggak... Nggak apa... ""Kenapa Sa?" ucap Dimas saat keluar kamar mandi. Ternyata Nisa tak sendiri di kamar mandi,
Belum sempat Dimas melanjutkan ucapannya, Zahra sudah pergi ke kamarnya. Nisa di dapur kebingungan mencari bahan bahan masaknya. Ia juga agak sedikit kesal. Tubuhnya lelah sebenarnya setelah lolos tiga ronde sejak semalam. Tapi juga ia lapar. Beli di luar juga sepertinya tidak mungkin, dia harus berhemat karena suaminya juga sudah berjanji pada istri sahnya untuk menanggalkan hartanya saat menikahinya. Jadi keduanya kini mulai dari nol. Hanya beruntungnya Zahra mau menampung mereka disini, jadi tak perlu pusing lagi membayar uang kontrakan. "Astaga... Dimana sih dia naruh bumbu bumbunya." Ia membuka semua rak dapur tapi tak ada. "Apa aku tanya aja ya," "Ya udah deh tanya aja," Nisa memberanikan diri untuk menemui Zahra di kamarnya. Beberapa kali Nisa mengetuk pintu kamar Zahra, baru Zahra keluar. Sejenak Nisa terkagum melihat penampilan Zahra tanpa Hijab. Rambutnya panjang lurus dan tebal. Kulitnya kuning langsat, tapi mulus tanpa cacat. Wajahnya j
"Oh, ini adik saya, pak.""Loh... Adiknya, tak pikir mbak Zahra ini anak tunggal. Ternyata masih ada adiknya tah,""Hehe, iya saya memang anak tunggal, pak.""Oh, berarti ini adik sepupu tah, atau adik adik an ini, adik ketemu gede, kayak anak saya dulu... Punya temen, dekat banget sudah seperti keluarga, jadi sudah di anggap adik." ucap bapak sopir itu. "Hehe bukan adik sepupuku dan adik adik an juga sih pak, tapi adik madu.""Hah? Gimana maksudnya adik madu?""Iya ini istri kedua suami saya, pak.""Maasyaallah, bisa ya akur begitu mbak. Bagi tips dong. Hahaha,""Bapak kan ndak tahu, bisa aja kan kita lempar lemparan piring kalau di rumah. Atau jambak jambakan kalau di rumah, kan bapak ndak tahu." ucap Zahra sembari tertawa. "Ah, mbak Zahraa itu lo, bisa aja kalau bercanda.""Ya iya to pak, masak iya kita berantemnya di depan umum. Malu maluin. Itu cukup jadi rahasia dapur pak,""Hehe iya iya deh, mbak Zahra."Sepanjang perjalanan isinya bercanda terus dari rumah hingga hampir sam
"Uhuk uhuk.. Ekhem... Gimana gimana Za? Dia tanya gimana caranya biar di sayang sama mertua kamu? Hahahaha, dasar bener bener udah putus itu urat malunya kali ya, bisa bisanya itu lo tanya sama Istri sah nya dong. Halo... Dia itu apa nggak nyadar ya, kehadirannya aja itu sudah tidak di harapkan ya, sama Bu Sukma. Dia aja masuknya dengan cara yang salah, kok minta di sayang. Di rumahmu ada kaca yang gede nggak sih, Za. Coba deh suruh ngaca dia itu. Aku kok gedek ya lama lama." ucap Resti sembari meletakan kembali gelasnya. Kedua wanita itu kini tengah menikmati secangkir Vietnam Coffe di sebuah restoran kecil di pinggir jalan menuju rumahnya. Tadi Zahra memang sengaja meminta turun di sini saat perjalanan pulang dari rumah bu Sukma. sementara anak anak ikut pulang bersama Dara karena posisinya juga sedang tidur."Entah lah, Res. Aku sampai nggak bisa berkata kata.""Terus kamu jawab gimana tadi?""Ya aku katakan aja sebenarnya gimana. Dia pikir aku sama ibuk bisa langsung kayak gini,
Sementara Nisa tampak merinti kesakitan. Tangan kanannya sedang di perban dan tangan kirinya sedang mimilin ujung jilbabnya."Di gigit sama Rayyan!" jawab Dimas dengan nada ketus."Lhoh, kok bisa di gigit Rayyan?Emangnya ada apa? Karena apa?""Tau lah... Emang dasarnya Nakal aja tuh bocah sekarang, Neng. Lha orang kok gigit orang sembarangan memangnya dia drakula! Kebiasaan kamu bela terus sih itu jadinya ngelunjak! Sekarang bisa aja cuma gigit, entah apa lagi besok!? " gerutu Dimas."Astagfirullah!? " Zahra langsung menaruh tasnya dan bergegegas ke kamar atas. di kamar atas ada Zahwa yang masih tidur di ranjangnya dan Rayyan entah kemana."Sayang, Rayyan... Anak Sholih... Kamu dimana nak... Ray... " Zahra terus berjalan memeriksa setiap sudut kamarnya. Tiba tiba ia terdengar suara isak tangis dari dalam lemari. Zahra semakin mendekat lalu duduk di depan pintunya."Ya udah.. Kalau belum mau keluar, Bunda tungguin disini deh,"
Di dalam mobil itu, Zahra duduk tenang sembari memandangi jalanan. Beberapa hari terakhir ini dia tak mau pusing dengan hubungan asmaranya yang sudah kandas sejak melihat foto mesra suami dengan Wanita lain."Sesuai lokasi ya mbak," ucap Sopir tersebut membuyarkan lamunan Zahra. "Oh, iya iya pak. Terimakasih ya," ucap Zahra, Zahra segera turun dari mobil itu. Tapi sebelum itu dia juga berpesan pada sopirnya agar tidak pergi dulu dan menunggunya sebentar. Zahra hanya akan menjemput Rayyan di sekolahnya karena hari ini. Sekolahnya pulang pagi. Zahwa malah sudah di rumah, di jemput Resti satu jam yang lalu. Ternyata Rayyan juga sudah duduk di depan sekolahan lumayan lama, beruntung ibu gurunya setia menunggui sampai semua anak di jemput oleh orang tuanya."Maaf ya sayang, Bunda lama ya,""Bu, terimakasih ya, maaf saya telat ""Iya, ndak apa mbak Zahra. Saya santai saja kok selama anak tidak rewel. Kakak Rayyan pintar kok mbak, ndak pernah rewel.""Waaah, iya kah? Anak bunda hebat." uc
Mereka kini tiba di sebuah warung makan yang letaknya di sebelah kanan persis rumah sakit tersebut. Biasanya, Zahra beli di warung depannya tapi kini tutup. Zahra membungkus dua nasi padang untuk mertua dan Nisa. Dinda dan Nisa sudah makan di tempat sebelum akhirnya mereka meninggalkan warung tersebut."Loh, mereka pada kemana?""Kayaknya di dalam mbak,""Emang udah boleh masuk? Bukannya Mas Dimas masih perawatan intensif?""Entah, nggak tahu sih," Dinda mendekati pintunya dan mengintip sedikit yang di dalam."Iya mbak, mereka sedang di dalam. Mungkin di bolehin sama susternya mbak. Kayaknya Mas Dimas juga sudah sadar.""Alhamdulillah... ""Mbak, mbak Zahra apa masih mau lanjutin pernikahan mbak Zahra sama Mas Dimas? " tanya Dinda tiba-tiba. Zahra tampak terdiam sejenak, matanya kosong menerawang jauh ke arah taman rumah sakit. "Mbak... ""Ah, hem... Lihat nanti aja Din. untuk saat ini mbak belum ingin membahas itu.""Ck. Dinda sebenarnya ingin Mbak Zahra tetap jadi kakak iparku sih,
"Mohon maaf dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa ibu Nisa, positif tertular Virus dari pak Dimas."Berasa di sambar petir, Nisa langsung luruh seketika saat mendengar kabar buruk tentangnya. Ia menangis sesenggukan. Sumpah, ini sesuatu yang tak pernah terbayangkan dan terpikirkan sebelumnya."Mbaaak... Astagfirullah, astagfirullah... Mbak Zahra, ampuni aku mbak... Maafkan aku. Tolong jangan kutuk aku seperti ini, mbak," ucap Nisa sembari bersimpuh dihadapan Zahra. Zahra jadi merasa iba dan langsung memeluk erat adik madunya itu. Dia memang marah, dia kecewa tapi sedikitpun Zahra tak menginginkan Nisa kena musibah seperti ini, apalagi posisinya sedang mengandung. Mereka sama-sama perempuan, pikir Zahra. "Sumpah, demi Allah Sa. Aku memang marah dan kecewa sama kamu. Tapi sedikitpun, aku tak ada hati buat nyumpahin kamu atau mendoakan apapun yang buruk untuk kamu.""Mbak, aku sudah berdosa kepadamu mbak, dan ini ganjaran yang harus aku terima.""Sa, sudah. Yang berlalu biarlah
"Karena Mas Dimas sakit mbak,""Ya kan yang sakit dia, Sa. Kenapa aku yang tes coba? Gimana sih, kalau ngomong yang jelas dong Sa. Kenapa? Ada apa?""Mbak... Mas Dimas di diagnosa dokter kena penyakit kelam*n""Astagfirullahal'adzim... " ucap Zahra sembari mengusap kepalanya."Iyah mbak. Jadi mbak Zahra juga harus ikut tes, mengingat kalian juga sempat kontak badan kan, beberapa bulan terakhir. Khawatirnya mbak Zahra kena juga, walaupun harapannya jangan."" Astagfirullah, ya Allah. Kok bisa Sa?""Mbak Zahra pasti akan menuduhku juga kan, seperti ibuk tadi. Tapi sumpah mbak, aku bukan wanita liar yang berhubungan dengan banyak lelaki lalu membawa penyakit untuk Mas Dimas""Enggak, enggak gitu maksudnya. Iya aku percaya, aku percaya kamu nggak gitu. Tapi. Ck, kok bisa sih!""Mbak Zahra ingat kan, waktu aku cerita kalau Mas Dimas sempat dekat dengan wanita lain selain aku?"Zahra tampak diam sejenak sembari mengingat-ingat apa yang sudah terlewat."Ini, kalau mbak Zahra nggak percaya ak
Bu Sukma seketika kepikiran dengan nasib Zahra, yang kemungkinan kena imbasnya. walau bu Sukma berharap Zahra tidak kena. "Ya untuk antisipasi ya harusnya mbak Zahra juga di tes buk. Tinggal mereka berhubungan atau tidak, belakangan ini. Kalau iya ya kemungkinan juga kena.""Ya Allah gusti... Ya Allah... Kok ya ujiannya berat banget ya Allah," keluh bu Sukma."Ibuk... Maafin Nisa ya... Sekarang biar Nisa cari mbak Zahra Untuk menebus kesalahan Nisa." ucap Nisa. Kemudian ia berdiri dan melangkah menjauh dari mertua dan iparnya dengan tujuan mencari Zahra."Sa!" ucap Bu SukmaSeketika Nisa berhenti dan terdiam di tempat. Hatinya mendadak menghangat, bisa di panggil oleh ibunya Dimas. "Iya buk?" Nisa menoleh."Kamu mau cari Zahra kemana? Kamu tahu dimana Zahra?""Tidak bu. Mungkin aku akan mulai mencarinya dari sekitar rumah sampai... Yah, kemanapun lah."Bu Sukma tampak mengambil ponselnya dari saku, lalu meminta secarik kertas dari tempat admin dan menuliskan sebuah alamat."Ini alam
"Ya, ini hanya dugaan sementara, Bu. Pasien harus menjalani beberapa tes untuk benar-benar bisa mengetahui apa yang terjadi pada pasien.""Jadi, kira-kira anak saya kenapa dok?" tanya Bu Sukma tampak cemas."Kemarin dia memang mengeluh sariawan dokter. Tapii masak sariawan sampai pingsan begitu""Eh, sama itu... Herpes dok kayaknya ya. Di beberapa bagian kulitnya itu."Dokter itu bergantian menatap bu Sukma dan Nisa. Seperti tidak tega untuk menyapaikannya. Tapi keluarganya wajib tahu kan, apalagi ini menyangkut keselamatan orang."Ini baru diagnosa saya. Pasien terkena Penyakit K*lamin bu,""Astagfirullahal'adzim. Dokter pasti salah periksa kan, ndak mungkin. Ini ndak mungki, Bagaimana mungkin anak saya bisa punya penyakit seperti itu.""Maaf ibu, ini dugaan saja. Semoga saja tidak. Dan kalaupun iya juga harus segera di tindak.""Astagfirullah... Astagfirullah... Dokter... Ya Allah dok... Saya sedang mimpi kan dok. Bagaimana mungkin... ""Bisa saja terjadi karena pergaulan bebas bu,
Assalamu'alaikum," Nisa baru datang dan Bu Sukma langsung beranjak pergi menuju kamar mandi untuk bersih diri. Lebih tepatnya sih, menghindari Nisaa. Bu Sukma tidak sepenuhnya benci, hanya saja dia belum menerima sepenuhnya dengan kehadiran Nisa."Mas," ucap Nisa sembari meraih tangan Dimas dan disalaminya."Gimana? Udah dapat kerja?""Udah,""dimana ?""Disana""Ck. Ya tahu disana. Tapi disananya dimana?""Penting? ""Astaga Sa, aku tanya serius lho.""Ya emangnya kamu perduli mas?" ucap Nisa, kemudian dia langsung berjalan menuju kamarnya. Dimas tak diam begitu saja. Dia juga segera berjalan mengekori Nisa ke kamarnya."Sa, kenapa sih, Pulang pulang jutek begitu? Ada apa?""Tau ah! Pikir aja sendiri. Aku capek." ungkap Nisa. Lantas ia segera masuk ke kamar, menutup dan mengunci kamarnya agar Dimas tak bisa masuk. Hatinya kini sedang dongkol mengingat ucapan ucapan Dimas yang baru saja ia dengar saat bercakap dengan ibunya."Sa... Hei... Bukain dong, kok di kunci sih, kenapa? Ada apa
Di rumahnya, Dimas malah enak-enakan bermain ponsel. Hingga bu Sukma pulang dan membawa sebuah kantong plastik berisi makanan."Ibuk... Seharian dari mana saja? Kok Dimas ndak lihat ibuk?" tanyanya"Dari luar. Nih, makan. Ibuk ndak masak tadi. Adekmu kemana? ""Dinda? Tadi katanya ada pelajaran tambahan jadi pulang sore.""Dani belum pulang?""Dani tadi pulang sebentar tapi pergi lagi nggak tahu kemana Bu.""Ya sudah, sana makan lah. Walau gimana pun juga ibuk ndak mau ada mayat yang mati kelaparan di dalam rumah." ucap Bu Sukma sembari meletakkan Tas nya di rak tas."Ibuk, kok gitu i lo ngomongnya.""Wes, ndang makan. Cah kui di ajak makan juga moh ibuk nek di salahkan orang tuanya, di sini kok ndak di kasih makan, di biarkan kelaparan.""Tapi Nisa sedang tidak di rumah Bu.""Lho. Kemana emangnya? Pulang ke rumah orang tuanya?""Ya ndak mungkin pulang ke bogor lah, Bu. Tadi bilang sama Dimas katanya mau cari kerja.""He? Edan kamu! Pie to? Terus kamu biarin cari kerja?""Ya iya lah B
"Mas, kalau aku nggak kerja, kita mau makan apa?""Ya kan makan tinggal makan, Sa. Nggak perlu repot! .""Ck. Mas... Mau sampai kapan kita numpang sama ibumu terus, mas? Kamu apa nggak malu? Aku lo malu, enggak enak kalau harus numpang terus. Dan hidup itu nggak cuma butuh makan, Mas. Apalagi juga makin hari kandungan ku akan semakin besar. Tentu juga butuh biaya, untuk berobat, untuk cek kandungan, untuk persiapan lahiran, perlengkapan perlengkapannnya, untuk biaya persalinannya. Itu semua nggak di tanggung BPJS, Mas!? " ucap Nisa, lantas ia melangkah menjauh dari Dimas. Dengan atau izin darinya."Sa... Sa, tunggu... Memangnya kamu mau kerja dimana sekarang? Kamu aja belum ngerti daerah malang. Terus gimana? Kamu mau kerja apa?""Ya apa aja lah yang penting menghasilkan duit. Mentok ya jual diri juga boleh""Sa!!! Sadar nggak apa yang kamu katakan,""Sadar lah, sadar sepenuhnya.""Kamu tahu nggak, apa yang kamu lakukan itu perbuatan yang kotor. Masih banyak pekerjaan halal yang bisa