'Dia ? Dia kah wanita yang berhasil membuat lelakiku berpaling ? Dia ? Dia kah mentari yang berhasil menyaingi sinar rembulan ? Ah, ternyata dugaanku keliru. Dia bukan seorang pelac*r atau kupu kupu malam. Dia bukan wanita yang gemar berpakaian layaknya telanjang. Tapi... '
"Mbak, perkenalkan saya... Nisa," ucap wanita bercadar itu membuyarkan lamunan Zahra tentangnya. "Mbak, maaf jika kedatanganku ini mengganggu mbak, tapi Mas Dimas yang memintaku datang kesini," Dimas pun langsung berdiri dan memberikan kursi tempat duduknya untuk Nisa. Ia sengaja memberikan ruang bagi kedua wanitanya untuk berdekatan. Setelah Nisa duduk, Zahra memalingkan wajahnya dan menghadap ke sisi tembok, membelakangi Nisa. Tampak tak sopan memang kelihatannya. Tapi Zahra kini tengah berusaha menyembunyikan luka dalam hatinya serta air mata yang terus berdesakan ingin keluar. "Mbak... Maaf, beribu kali maaf aku ucapkan. Aku rasa mbak sudah tahu siapa Nisa ini. Nisa tahu mbak sakit, Nisa juga sakit kok mbak... Kita sama sama sakit. Tapi, bagaimanapun, ini semua sudah terjadi mbak. Aku harap, mbak bisa ikhlas menerima Nisa sebagai adik madu mbak Zahra. Maaf aku... " "Apa kamu mencintainya ?" sela Zahra. Keduanya pun saling terdiam. Hanya terdengar hembusan nafas keduanya yang masih beraturan. Nisa terdengar menarik nafas lebih dalam lagi, lantas ia mendongakkan kepalanya dan menjawab pertanyaan Zahra dengan mantap. "Ya, aku mencintainya, mbak. Maaf aku sudah mencintai suami mbak Zahra sedalam ini. Aku sudah mencintai seperti Aisyah yang mencintai Baginda Nabi, dan aku yakin, kaulah Khadijahnya mbak. Kamu adalah wanitanya yang tak pernah terganti walau ada aku disisinya." Zahra tampak tersenyum miris. Lagi-lagi seperti ada sayatan pisau yang mengaga di hatinya. "Tidak. Aku bukan Khadijah. Bukankah kau tahu, sepanjang hidupnya Khadijah tak pernah di madu." Zahra akhirnya menghadap ke arah Nisa kembali. ia hendak bangkit untuk ambil minum di nakas sebelah ranjangnya. Dimas pun berniat membantu Zahra yang tampak kesusahan. Tapi Zahra menepisnya, "Tidak perlu, aku bisa sendiri." ucapnya, lantas meraih gelas itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. "Sini mbak, biar Nisa yang taruh." ucap Nisa. Kali ini Zahra menerima bantuan Nisa. Lantas ia kembali membaringkan tubuh di ranjang rumah sakit itu. "Mbak... a... " "Bagaimana jika aku memintamu untuk pergi ?" Lagi-lagi keduanya terdiam setelah pertanyaan Zahra terlontar. Dimas justru malah memandang keduanya dengan kagum. Awalnya ia berpikir pertemuan keduanya akan berujung keributan seperti halnya yang sering ia lihat di media sosial. Vidio vidio tentang pertengkaran dua wanita yang memperebutkan seorang lelaki. Tidak. Keduanya justru membahasnya dengan cara mereka sendiri. Lagi-lagi Nisa mengatur nafasnya. "Mbak... Jika aku bisa, aku sudah mundur dari dulu. Aku sudah berusaha untuk mencoba melepaskan. Sayangnya, entah mengapa aku selalu kalah. Aku selalu saja terhipnotis dengan apapun yang ada dalam suami kita. Hingga akhirnya aku menyerah. Aku pasrah, dan mungkin memang inilah takdirku, takdir menjadi yang kedua." "Dia... Suamiku. Bukan suami kita." "Mbak, a... " Krieeek, Kemudian pintu itu kembali terbuka. Bu Sukma datang bersama seorang perawat yang membawa beberapa berkas laporan perkembangan kesehatan Zahra. Bu Sukma pun tampak bingung melihat seorang yang asing berada di kamar anak menantunya. Walaupun begitu, dengan membaca situasi, Bu Sukma mulai menyimpulkan siapa sosok itu. "Assalamu'alaikum, buk." ucap Nisa sembari mengulurkan tangan pada ibu dari suaminya itu. Sayangnya, Bu Sukma mengabaikan dan langsung menuju ke Zahra. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Nisa menatap Hakim dengan tatapan yang entahlah. Dan dia juga mulai terlihat tak nyaman. Hingga kemudian suara Bu Sukma memecah keheningan. "Sayang, nduk. Kamu baik baik saja kan ?" Zahra mengangguk. Kemudian seorang perawat itu memeriksa kondisi Zahra. Ia menyampaikan bahwa kondisi Zahra kini sudah jauh lebih baik. Hanya butuh banyak istirahat aja untuk memulihkan kembali tubuhnya setelah pendarahan semalam. "Jadi, kapan saya bisa pulang mbak ? Saya sudah rindu dengan anak-anak." "Ini sebentar lagi sudah boleh pulang, mbak. Sebentar ya, sabar...nunggu dokternya visit." Jawab perawat cantik itu dengan ramah. "Oh, ya. Baik mbak. Terimakasih ya" "Bisa pindah dulu ya mbak, ke ruang perawatan sebelah." ucap perawat tersebut.Zahra memang harus pindah dari ruang UGD, mengingat kini kondisinya sudah baik baik saja. Setelah perawat itu pergi, Zahra hendak turun dari bed nya. Dimas berusaha membantu, tapi masih di tepisnya. "Aku bisa sendiri," ucapnya. Bu Sukma pun melirik Hakim dengan tajam, lalu mengambil alih tangan Zahra dan menuntunnya ke kamar sebelah yang sudah di persiapkan oleh petugas klinik. Nisa berjalan keluar ruangan juga. Tapi tidak untuk mengikuti Zahra dan Bu Sukma. Ia tampak berjalan cepat menyusuri koridor klinik tersebut dengan perasaan yang tak terbentuk lagi. "Sa... Sa... Nisa, tunggu Sa !" Dimas mengejar Nisa yang berjalan semakin cepat. "Sa !" "Apa sih mas ? Sudahlah, jangan kejar aku. Sana kamu sama mbak Zahra aja. Sudah, cukup mas, sudah aku lelah, aku menyerah ! Biarkan aku mundur saja," "Sa.. Tolong...!!!" "Aku nggak sanggup, mas. Sakit hatiku. Sakit hatiku melihat mbak Zahra yang begitu mencintaimu, sakit hatiku melihat betapa sayangnya ibumu dengannya. Sedangkan denganku ? . Aku tidak meminta lebih darimu kok mas. Soal cinta, biarlah menjadi urusanku. Sakit itu juga sudah resiko. Tapi aku hanya ingin, ingin di akui sah secara agama dan Negara agar anakku nantinya punya akta yang jelas. Punya orang tua yang lengkap di catatan aktanya. Tapi... Ah, sudahlah. Sepertinya sulit untuk ku gapai. Biarlah. Biarlah sakit ini ku rasakan sendiri. Pergilah mas. Temui mbak Zahra. Aku tahu gimana rasa sakitnya." ucap Nisa. "Sa... Tolonglah, kali ini.... Saja. Kita berjuang lagi ya, sekali lagi. Aku yakin, Zahra nanti pasti akan menerimamu kok. Aku yakin. Ia hanya butuh waktu. Ya... Sedikit lagi... Ku mohon, jangan pergi." "Ibumu ?" "Ibu... Biarlah jadi urusanku." Nisa terdiam sesaat dan lagi-lagi ia selalu terhipnotis dengan ucapan Dimas hingga akhirnya ia luluh lagi. Dimas pun menggandeng tangan Nisa berjalan menuju ruang dimana Zahra di pindahkan. Di dalam sana, Zahra tengah berbincang dengan bu Sukma. Dan seketika keduanya terdiam saat Dimas dan Nisa masuk ke ruangan itu dengan bergandengan tangan. Tak ada percakapan saat mereka berempat dalam satu ruangan tersebut. Baik Dimas, Nisa, Zahra dan Bu Sukma. semuanya sama sama diam dan enggan membuka percakapan. Tak berapa lama, seorang dokter cantik datang, lalu memeriksa kondisi Zahra yang sudah tampak membaik. "Semuanya bagus, iya... Istirahat yang cukup ya mbak, jangan lupa vitaminnya di minum biar dedeknya sehat." "Loh, apa dok ? Dokter bilang apa tadi ? Saya hamil dok ?" Zahra pun kaget mendengar ucapan sang dokter. Begitu juga Dimas yang langsung mendongak ketika dokter itu berkata. "Loh, memangnya ibuk belum bilang mbak ?" tanya dokter itu. Lantas Zahra memandang ibu mertuanya yang kini mengangguk sembari tersenyum haru. Ya, Bu Sukma sudah tahu sejak semalam setelah di lakukan pemeriksaan. "Maasyaallah," ucap Zahra penuh haru. Di saat seperti ini, justru Tuhan menitipkan malaikat kecil lagi dalam rahimnya. "Iya, mbak Zahra sudah hamil 4 minggu. Masih sangat rentan. Walau terhitung kuat juga, karena setelah pendarahan semalam dia masih bertahan. Sehat sehat ya mba,". "Makasih dokter" ucap Zahra. Tepat jam 11 siang, Zahra keluar dari rumah sakit. Bu Sukma menuntunnya sampai lobi depan. Mereka tengah menunggu kedatangan Dani yang sudah di beri kabar oleh Bu Sukma bahwa hari Ini Zahra akan pulang. "Bu, bareng Dimas saja, Dimas bawa mobil kok." "Nggak usah, nggak perlu !" "Buk... Kasihan Zahra lho. Dia kan harus banyak istirahat dan... " "nggak usah, nggak butuh.. terno ae wedok sund*l iku .. aku emoh ndelok wong e ndek kene! (Nggak usah, nggak perlu ! Mending kamu antar aja itu pelac*r itu ! Nggak sudi aku melihatnya disini !)" "Buk, Nisa ini istriku juga, bukan pelacur !" bentak Dimas. Bu Sukma enggan menjawab lagi. Hanya meliriknya sekilas dan beruntungnya, Mobil Daninsudah tiba di lokasi hingga pertengkaran itu tidak terjadi lagi. Dimas terdengar menarik nafas setelah ibu dan Istrinya memasuki mobil Dani dan pergi meninggalkannya bersama Nisa di tempat itu. "Sa... Maafin ibu aku ya, ibu aku aslinya orangnya baik kok. Dia penyayang. Aku yakin lama kelamaan ibu juga akan nerima kamu. Tolong sabar sebentar ya." Nisa pun mengangguk. Kemudian Dimas mengajak Nisa bersama dengan mobilnya menuju rumah ibunya. Sepanjang perjalanan, Dimas terus berusaha meyakinkan Istri keduanya bahwa semua akan baik-baik saja. Tiba di rumah ibunya, Dimas memarkirkan mobil di halaman. Di teras terlihat Rayyan dan Zahwa asik bermain bersama Lintang. Seketika mereka pun menghentikan permainannya saat melihat mobil Ayahnya berhenti. Rayyan masih agak trauma walau sudah bisa tersenyum, sedangkan Zahwa sudah kegirangan melihat kedatangan sang Ayah, seolah sudah melupakan semua kejadian yang terjadi kemarin. "Ayaaaaah," Zahwa berlari dan langsung memeluk sang ayah. Dimas pun membalas pelukan anak gadisnya itu. Lumayan lama, hingga kemudian, Zahwa tersadar akan sesuatu. "Ayah... Kenapa Ayah bawa Ninja pulang ke rumah Yang ti ?""Jadi, sudah berapa lama Mas ?" Zahra bertanya sembari memegangi ponselnya yang masih menampakkan foto dua manusia tanpa busana di atas ranjang sebuah hotel. Keduanya tersenyum merekah hingga senyuman mereka itu menciptakan sayatan luka yang amat dalam di hati Zahra. "Dua tahun, Neng." jawab Dimas menunduk. "Astaghfirullah, Astagfirullahal'adzim... Laaillahaillallah," ucap Zahra lagi sembari memegangi dadanya yang kian terasa sesak. Lagi-lagi bulir bening itu lolos dari matanya. mengingat perselingkuhan lelaki yang selama ini ia percaya. "Neng, aku bisa jelasin Neng. Aku bisa jelasin semuanya. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan." "Cukup mas ! Cukup ! Sudahi omong kosong mu itu ! Hah, kamu memang pantas dengannya mas. Cukup! aku sudah jijik denganmu !" ucap Zahra. Ia segera menepis tangan sang suami saat hendak membujuknya. "Neng... " "Aggrrrhhhh..... " Zahra melempar semua apapun yang berada di atas meja riasnya hingga hancur berantakan. Ia menangis pilu, "Tega kamu mas ! Jah
Berbagai pilihan itu terus berputar-putar di kepala. Salah satu di antaranya telah ia pertimbangkan matang-matang dan tentunya itu tidak mudah. Memang perlu ada yang di korbankan untuk mengurai semuanya."Em, aku... Pamit dulu ya, Res. Nanti aku kabari lagi. Perasaanku nggak enak," ucap Zahra. Lantas ia segera memberesi barang-barangnya. Setelah 3 jam keluar dari rumah dan menumpahkan segala pikirannya dengan sang sahabat sudah cukup membuat perasaannya lebih tenang dari sebelumnya."Oh ya, tapi kamu tidak apa-apa kan, Za ? Aku antar pulang, ya ?""Nggak perlu, Resti. Terimakasih ya, Aku bisa sendiri kok. lagian aku sudah pesan grab tadi," ucap Zahra. lantas ia segera beranjak karena mobil pesanannya sudah datang. Oa sengaja pulang dengan memesan taxi online agar segera sampai rumah. Entah mengapa, perasaannya mulai tak tenang. Ini juga pertama kali, ia pergi tanpa anak-anak selain kegiatan sekolah. Mendung tanpa hujan kini menghiasi langit kota Malang. Ya, sejak tiga hari lalu, lang
"Minggir mas, tolong jangan halangi jalanku." Zahra berucap sembari terus berjalan tanpa memperdulikan suaminya."Neng, tolong neng... Jangan gini, jangan pergi, neng mau kemana ? Ini sudah hampir sore,""Minggir, Mas. awas dulu !" Zahra berucap lagi. Ia pun berhenti sejenak, tapi hanya membenarkan gendongan Zahwa yang hampir melorot. Dimas masih berusaha merayu Zahra, sesekali juga dia mencoba mengajak bicara Rayyan dengan membujuknya. Sayang sekali, akibat perbuatannya siang tadi masih membuat Rayyan trauma."Kita selesaikan dulu masalahnya, Neng. Aku...""Nggak sekarang, mas." ucap Zahra sembari melihat ke arah kedua anaknya. Zahra berusaha memberi kode pada Dimas agar tak membahasnya di depan anak-anak. Sayang sekali Dimas tak paham akan hal itu."Tapi kenapa ?" Tanya Dimas. Zahra menggeleng."Mas, minggir, tolong jangan halangi jalanku. Ini sudah sore kan?.""Iya mangkanya itu, ini sudah hampir sore. Kamu mau kemana ? Mau kamu bawa kemana anak-anak, neng ? Tolong, jangan pergi ya
"Assalamu'alaikum, bu... Ibuk... " ucap Zahra sembari mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan. suaranya terdengar parau. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya panas. Pandanganya mulai buram setelah sebelumnya ia merasa sakit kepala dan kram di perutnya."Assalamu'alaikum... " Kali ini Zahra berteriak lebih keras. Beruntung Bu Sukma segera mendengarnya dan bergegas membuka pintu setelah menidurkan Zahwa ke kamar biasa. Kriiiieeek,"Astagfirullahal'adzim, ya Allah nduk !" Zahra langsung luruh ke lantai begitu Bu Sukma membuka pintu."Ya Allah Gusti. Daan... Dani! Dinda! Buruan kesini, mbak mu pingsan ini," teriak Bu Sukma. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua pintu rumah warga sudah terkunci rapat termasuk rumah Bu Sukma. Bu Sukma pikir Zahra tidak jadi menginap di rumahnya. jadi ia mengunci pintu rumahnya tanpa menunggu Zahra pulang.Dani dan Dinda yang baru saja memejamkan matanya itu langsung kaget saat mendengar teriakan Ibunya. Keduanya segera keluar kamar dan mencari sumber s
Plakk !!!!Bu Sukma menampar Dimas dengan keras. Dimas terhuyung, saat tiba-tiba ibunya menyerang tanpa dia tahu apa alasannya. Tampaknya, Bu Sukma benar-benar murka dengan tindakan anak lelakinya."Kamu pikir, kamu itu siapa tanpa seorang wanita ? Kalau nggak ada ibuk kamu nggak bakalan lahir! lha ibuk mu iki ya wanita, Le. kamu nyakitin istrimu wi ya sama aja nyakitin ibuk ! Wes puas ntuk mu ngelarani ?"ucap Bu Sukma meneriaki anaknya. sedangkan Dimas tampak memandang sang istri yang hanya diam tanpa membelanya."Buk... Ibuk, Dimas bisa jelasin semuanya buk,""Hallah, kadaluarsa ! Ibuk Rak butuh penjelasanmu. Kecewa ibuk, Dim ! Kurang opo bojo mu wi ? Kurang opo Zahra kui ? Ayu, gemati. Anak ya wes ono. Opo meneh to sing mbuk karepne ?""Buk... Ibuk, sik.. Dimas tak matur," Dimas berusaha merayu Ibunya. Ia berusaha meraih tangan Bu Sukma, tapi terus saja di tepis.Zahra sebenarnya tak tega telah membuat pertikaian antara ibu dan Anak itu. Tapi ya, bagaimanapun juga Ibunya berhak ta
'Dia ? Dia kah wanita yang berhasil membuat lelakiku berpaling ? Dia ? Dia kah mentari yang berhasil menyaingi sinar rembulan ? Ah, ternyata dugaanku keliru. Dia bukan seorang pelac*r atau kupu kupu malam. Dia bukan wanita yang gemar berpakaian layaknya telanjang. Tapi... '"Mbak, perkenalkan saya... Nisa," ucap wanita bercadar itu membuyarkan lamunan Zahra tentangnya."Mbak, maaf jika kedatanganku ini mengganggu mbak, tapi Mas Dimas yang memintaku datang kesini," Dimas pun langsung berdiri dan memberikan kursi tempat duduknya untuk Nisa. Ia sengaja memberikan ruang bagi kedua wanitanya untuk berdekatan. Setelah Nisa duduk, Zahra memalingkan wajahnya dan menghadap ke sisi tembok, membelakangi Nisa. Tampak tak sopan memang kelihatannya. Tapi Zahra kini tengah berusaha menyembunyikan luka dalam hatinya serta air mata yang terus berdesakan ingin keluar."Mbak... Maaf, beribu kali maaf aku ucapkan. Aku rasa mbak sudah tahu siapa Nisa ini. Nisa tahu mbak sakit, Nisa juga sakit kok mbak...
Plakk !!!!Bu Sukma menampar Dimas dengan keras. Dimas terhuyung, saat tiba-tiba ibunya menyerang tanpa dia tahu apa alasannya. Tampaknya, Bu Sukma benar-benar murka dengan tindakan anak lelakinya."Kamu pikir, kamu itu siapa tanpa seorang wanita ? Kalau nggak ada ibuk kamu nggak bakalan lahir! lha ibuk mu iki ya wanita, Le. kamu nyakitin istrimu wi ya sama aja nyakitin ibuk ! Wes puas ntuk mu ngelarani ?"ucap Bu Sukma meneriaki anaknya. sedangkan Dimas tampak memandang sang istri yang hanya diam tanpa membelanya."Buk... Ibuk, Dimas bisa jelasin semuanya buk,""Hallah, kadaluarsa ! Ibuk Rak butuh penjelasanmu. Kecewa ibuk, Dim ! Kurang opo bojo mu wi ? Kurang opo Zahra kui ? Ayu, gemati. Anak ya wes ono. Opo meneh to sing mbuk karepne ?""Buk... Ibuk, sik.. Dimas tak matur," Dimas berusaha merayu Ibunya. Ia berusaha meraih tangan Bu Sukma, tapi terus saja di tepis.Zahra sebenarnya tak tega telah membuat pertikaian antara ibu dan Anak itu. Tapi ya, bagaimanapun juga Ibunya berhak ta
"Assalamu'alaikum, bu... Ibuk... " ucap Zahra sembari mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan. suaranya terdengar parau. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya panas. Pandanganya mulai buram setelah sebelumnya ia merasa sakit kepala dan kram di perutnya."Assalamu'alaikum... " Kali ini Zahra berteriak lebih keras. Beruntung Bu Sukma segera mendengarnya dan bergegas membuka pintu setelah menidurkan Zahwa ke kamar biasa. Kriiiieeek,"Astagfirullahal'adzim, ya Allah nduk !" Zahra langsung luruh ke lantai begitu Bu Sukma membuka pintu."Ya Allah Gusti. Daan... Dani! Dinda! Buruan kesini, mbak mu pingsan ini," teriak Bu Sukma. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua pintu rumah warga sudah terkunci rapat termasuk rumah Bu Sukma. Bu Sukma pikir Zahra tidak jadi menginap di rumahnya. jadi ia mengunci pintu rumahnya tanpa menunggu Zahra pulang.Dani dan Dinda yang baru saja memejamkan matanya itu langsung kaget saat mendengar teriakan Ibunya. Keduanya segera keluar kamar dan mencari sumber s
"Minggir mas, tolong jangan halangi jalanku." Zahra berucap sembari terus berjalan tanpa memperdulikan suaminya."Neng, tolong neng... Jangan gini, jangan pergi, neng mau kemana ? Ini sudah hampir sore,""Minggir, Mas. awas dulu !" Zahra berucap lagi. Ia pun berhenti sejenak, tapi hanya membenarkan gendongan Zahwa yang hampir melorot. Dimas masih berusaha merayu Zahra, sesekali juga dia mencoba mengajak bicara Rayyan dengan membujuknya. Sayang sekali, akibat perbuatannya siang tadi masih membuat Rayyan trauma."Kita selesaikan dulu masalahnya, Neng. Aku...""Nggak sekarang, mas." ucap Zahra sembari melihat ke arah kedua anaknya. Zahra berusaha memberi kode pada Dimas agar tak membahasnya di depan anak-anak. Sayang sekali Dimas tak paham akan hal itu."Tapi kenapa ?" Tanya Dimas. Zahra menggeleng."Mas, minggir, tolong jangan halangi jalanku. Ini sudah sore kan?.""Iya mangkanya itu, ini sudah hampir sore. Kamu mau kemana ? Mau kamu bawa kemana anak-anak, neng ? Tolong, jangan pergi ya
Berbagai pilihan itu terus berputar-putar di kepala. Salah satu di antaranya telah ia pertimbangkan matang-matang dan tentunya itu tidak mudah. Memang perlu ada yang di korbankan untuk mengurai semuanya."Em, aku... Pamit dulu ya, Res. Nanti aku kabari lagi. Perasaanku nggak enak," ucap Zahra. Lantas ia segera memberesi barang-barangnya. Setelah 3 jam keluar dari rumah dan menumpahkan segala pikirannya dengan sang sahabat sudah cukup membuat perasaannya lebih tenang dari sebelumnya."Oh ya, tapi kamu tidak apa-apa kan, Za ? Aku antar pulang, ya ?""Nggak perlu, Resti. Terimakasih ya, Aku bisa sendiri kok. lagian aku sudah pesan grab tadi," ucap Zahra. lantas ia segera beranjak karena mobil pesanannya sudah datang. Oa sengaja pulang dengan memesan taxi online agar segera sampai rumah. Entah mengapa, perasaannya mulai tak tenang. Ini juga pertama kali, ia pergi tanpa anak-anak selain kegiatan sekolah. Mendung tanpa hujan kini menghiasi langit kota Malang. Ya, sejak tiga hari lalu, lang
"Jadi, sudah berapa lama Mas ?" Zahra bertanya sembari memegangi ponselnya yang masih menampakkan foto dua manusia tanpa busana di atas ranjang sebuah hotel. Keduanya tersenyum merekah hingga senyuman mereka itu menciptakan sayatan luka yang amat dalam di hati Zahra. "Dua tahun, Neng." jawab Dimas menunduk. "Astaghfirullah, Astagfirullahal'adzim... Laaillahaillallah," ucap Zahra lagi sembari memegangi dadanya yang kian terasa sesak. Lagi-lagi bulir bening itu lolos dari matanya. mengingat perselingkuhan lelaki yang selama ini ia percaya. "Neng, aku bisa jelasin Neng. Aku bisa jelasin semuanya. Ini nggak seperti yang kamu pikirkan." "Cukup mas ! Cukup ! Sudahi omong kosong mu itu ! Hah, kamu memang pantas dengannya mas. Cukup! aku sudah jijik denganmu !" ucap Zahra. Ia segera menepis tangan sang suami saat hendak membujuknya. "Neng... " "Aggrrrhhhh..... " Zahra melempar semua apapun yang berada di atas meja riasnya hingga hancur berantakan. Ia menangis pilu, "Tega kamu mas ! Jah