“Tidak ada yang perlu dijelaskan, karena tidak ada apa-apa di antara kami,” jawab Damar.
Aina hanya diam tapi kepalanya sudah mengangguk mengiyakan jawaban Damar. Namun, sepertinya Fakhri tidak percaya dengan ucapan Damar. Ia berjalan mendekat kemudian berdiri tak berjarak di depan Damar.
“Sudah kuduga kalau dari dulu kamu paling pintar buat alasan, Damar!!!”
Damar terdiam, tapi jakunnya naik turun menelan saliva dengan mata yang menatap tajam.
“Kalian pikir aku bodoh dan percaya begitu saja? Apa kalian lupa kalau aku memasang CCTV di rumah ini dan kejadian di foto itu aku sinkronkan dengan rekaman CCTV.”
Seketika wajah Aina terlihat tegang. Inilah yang paling ia takutkan sedari kemarin. Ia benci Damar dan terlebih benci pada dirinya. Harusnya dia menghindar sejauh mungkin dari pria itu tidak sebaliknya. Berlindung padanya bahkan mencari sesuap nasi di perusahaannya.
Andai saja Fakhri tidak memberinya huku
“Bi Isa!! Mang Samin!!!” seru Aina. Ia sudah berlarian ke belakang rumah untuk mencari asisten rumah tangganya, tapi sepertinya baik Bi Isa maupun Mang Samin tidak menampakkan batang hidungnya. Tanpa sepengetahuan Aina, Fakhri memang sudah menyuruh dua asisten rumah tangganya itu pulang kampung. Fakhri sengaja menunggu Aina untuk mendapatkan penjelasan. Tidak disangka dia malah melihat istrinya sedang digendong Damar. “Fakhri, kamu gila!! CUKUP!!!” ujar Damar. Ia tampak terengah dengan tampang berantakan dan beberapa luka di wajah serta tubuhnya. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri. Pria tampan itu sama kacaunya dengan keadaan Damar. Bahkan matanya sedang menunjukkan luka. “Jadi kamu sudah menyerah?” Damar tersenyum menyeringai sambil menyeka keringat di dahinya. “Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan Aina. Silakan, ceraikan dia malam ini supaya aku bisa menikah dengannya besok.” Tentu saja Fakhri semakin geram mendengar ucapan Damar. Tangannya kembali mengepal lalu dengan
“Keluarga Bu Aina!” seru seorang perawat.Damar celinggukan mencari Fakhri, tapi pria itu sudah menghilang. Padahal sesaat tadi, Damar melihatnya sedang asyik menerima telepon. Damar yakin Fakhri terpaksa pulang karena panggilan Wulan. Lagi-lagi Fakhri mengecewakan Aina.Damar menghela napas kemudian bangkit dari duduknya menghampiri perawat tersebut.“Saya, Sus!!” jawab Damar.“Baik, mari ikut saya, Pak!!”Damar mengangguk kemudian sudah mengekor langkah perawat tersebut. Ia sudah masuk ke ruangan dokter. Ada wanita paruh baya sedang duduk menunggunya.“Bapak suaminya?” tanya dokter tersebut.Damar tampak ragu menjawab, tapi kalau dia tidak mengaku. Damar takut terjadi sesuatu pada Aina.“Eng … saya kakaknya, Dok. Suaminya sedang keluar.”Akhirnya Damar memilih aman saja. Biasanya hubungan kerabat sama pentingnya dengan hubungan pernikahan dalam memutusk
Lima hari Aina dirawat di rumah sakit dan hari ini adalah hari kepulangannya. Sama seperti sebelumnya hanya Damar yang menemaninya. Zafran memang belum pulang dari liburannya sementara Bi Isa dan Mang Samin masih berada di desa belum kembali.“Kamu gak papa sendirian di rumah?” tanya Damar.Mereka sudah tiba di rumah. Damar baru saja membimbing Aina masuk hingga ke ruang tamu. Aina hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Gak papa. Aku sudah lebih baik, kok.”Damar menghela napas sambil menatap Aina dengan lembut. Entah apa rasa hatinya, tapi dia sangat sayang pada wanita cantik di depannya. Rasanya tak rela jika melihat wajahnya terus muram.“Apa Fakhri sudah bisa kamu hubungi?” Kembali Damar bertanya.Aina tersenyum kemudian menggeleng.“Tidak, Damar. Aku tidak mau menghubunginya.”Damar tampak terkejut, alisnya mengernyit menatap Aina penuh tanya.“Kenapa? Dia
“DAMAR!!! Kamu sembunyikan Aina dimana?” seru Fakhri.Pria tampan berambut gondrong itu langsung menerobos masuk ruangan Damar sambil berseru keras. Untung tamu Damar baru saja pulang sehingga hanya tinggal dia seorang di sana. Damar terkejut melihat kedatangan Fakhri.“Apa maksudmu, Fakhri?” Damar malah balik bertanya.“Udah, jangan pura-pura. Cepat katakan padaku!! Kamu sembunyikan Aina di mana?”Damar terdiam menatap Fakhri dengan bingung. Ia menghela napas panjang kemudian menggelengkan kepala.“Aku tidak tahu. Dia juga sudah resign mulai bulan ini.”“APA!!!”Mata Fakhri membola menatap Damar penuh curiga. Damar mendengkus sambil melipat tangannya di depan dada. Ia duduk bersandar di kursi sembari menatap Fakhri dengan datar.“Terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi aku memang tidak tahu dia di mana.”“Udah jangan banyak alasan. Katakan
“Fakhri, kamu masih di sana, kan?” seru Robby.Fakhri tidak menjawab hanya menganggukkan kepala saja. Tentu saja reaksinya tidak akan terlihat oleh Robby. Entah apa rasa hati Fakhri kali ini, yang pasti dia benar-benar menyesal dan tak tahu harus berbuat apa.“Fakhri!!!” Kembali Robby berseru, pasalnya Fakhri tidak juga menjawab panggilannya.“Ya. Aku masih di sini.”“Syukurlah, aku meneleponmu hanya untuk memberitahu itu saja.” Robby hendak mengakhiri panggilannya, tapi Fakhri sudah mencegahnya.“Rob, ada satu lagi yang hendak aku minta tolong padamu.”Robby mengernyitkan alis dan menunggu dengan telinga terbuka. Ia yakin sahabatnya akan meminta melakukan sesuatu yang dadakan.“Tolong urus perceraianku dengan Aina.”“Aina!! Kamu akan menceraikan Aina?” sergah Robby.Fakhri menghela napas panjang dan menggeleng. Sayangnya semua gestur tubuhnya tidak dapat dilihat jelas oleh Robby.“Tidak. Dia yang menggugat cerai.
“Aku janji akan berubah. Aku akan bersikap adil dan kalau bisa secepatnya menyudahi pernikahan poligami ini. Hanya kita bertiga saja. Kamu, aku dan Zafran,” urai Fakhri.Matanya menatap sendu dengan wajah penuh cinta dan senyum yang terus terukir di raut tampannya. Aina hanya diam membisu sambil melhat pria di depannya. Suaranya sangat merdu, melantunkan kata rayuan yang menggugah hati.Tatapan dan gestur tubuhnya sungguh menyakinkan, sama seperti saat itu. Namun, pada akhirnya dia tidak bisa berkutik jika Wulan yang meminta. Bahkan Fakhri meninggalkannya saat Aina merenggang nyawa di meja operasi.Emosinya pun sangat labil. Naik turun sesuka hati. Kadang begitu mesra, kadang juga begitu kejam. Meski ini bukan Fakhri yang ia kenal dulu, tapi Aina akhirnya sadar kalau dia sudah berharap pada pria yang salah.Perlahan Aina menarik tangannya dari genggaman Fakhri. Fakhri tampak terkejut, matanya terluka menatap sedih ke arah Aina. Aina buru-buru
“Apa karena malam itu, Aina?” imbuh Damar.Aina terdiam, matanya melebar dan terlihat ekspresi terkejut di wajahnya. Ia menghela napas dan buru-buru memalingkan wajah, menjauh dari Damar. Tentu saja gestur tubuh Aina membuat Damar semakin penasaran.“Enggak. Kamu … kamu salah dengar. Mas Fakhri sedang emosi dan bicara sembarangan saat itu.”Damar tertegun mendengar jawaban Aina. Namun, semua gestur tubuh wanita cantik ini membuat Damar semakin penasaran. Damar yakin Aina menyembunyikan sesuatu darinya.“Zafran, ayo cepat makannya, Sayang!! Kita akan check in.”Alih-alih menjelaskan ke Damar, Aina malah berseru memanggil Zafran kali ini. Bahkan ia sudah membalikkan badan bersiap meninggalkan Damar. Namun, tangan Damar lebih dulu mencekal lengan Aina membuat wanita cantik itu urung berlalu.“AINA!!”Lagi-lagi tidak ada jawaban di bibir Aina, matanya terkunci menatap Damar berharap p
“B? Golongan darahnya B?” ulang Damar.Bu Rahma tampak terkejut melihat reaksi Damar, tapi wanita paruh baya itu hanya mengangguk. Sementara Damar terdiam dan terlihat linglung. Entah apa yang sedang ada di benaknya kali ini. Tanpa sengaja dia juga memiliki golongan darah yang sama dengan Zafran. Apa itu artinya …“Memangnya golongan darahmu juga B, Damar?” Tiba-tiba Bu Rahma bertanya membuyarkan lamunan Damar.Damar mendongak menatap dengan bingung. Bibirnya terkatup rapat, tapi kepalanya dengan refleks mengangguk. Tentu saja reaksi Damar membuat Bu Rahma terkejut. Jantung Damar kembali berpacu lebih cepat. Ia takut Bu Rahma akan berpikir yang bukan-bukan tentangnya.“Huh, tahu gitu Tante langsung menghubungimu. Saat itu kami kesulitan mencari donor darah untuk Zafran. Dia sempat … .”Damar merasa lega saat tahu Bu Rahma malah sibuk menceritakan tentang kesulitannya mencari darah untuk Zafran ketik
“Kok Zafran ngomong gitu? Siapa yang ngajarin?” sahut Aina.Aina dan Fakhri sangat terkejut saat Zafran berkata seperti itu. Selama ini tidak ada yang memberitahu mengenai status Zafran sebenarnya. Bahkan mereka sengaja menyembunyikannya. Mengapa juga Zafran tiba-tiba tahu? Apa ia mendengar pembicaraan Aina dan Fakhri?Zafran tidak menjawab malah semakin menundukkan kepala. Fakhri menyentuh bahu Zafran dan mengelusnya perlahan. Kemudian duduk jongkok di depannya.“Zafran, siapa bilang Zafran bukan anak Ayah dan Bunda. Kamu itu selalu menjadi anak Ayah dan Bunda. Selamanya dan tidak pernah berubah.”Zafran termenung sambil menatap Fakhri yang sedang memandang ke arahnya. Fakhri tersenyum membalas tatapannya.“Bukannya semalam Ayah sudah bilang kalau kita akan kembali bersama seperti dulu lagi. Kenapa Zafran malah pergi pagi ini?”Zafran menganggukkan kepala. “Maafkan Zafran, Ayah, Bunda.”
“Apa katamu? Pergi?” tanya Fakhri.Fakhri langsung berdiri menghampiri Aina dan menghentikan makan paginya. Aina mengangguk, matanya tampak berair sambil menyodorkan secarik kertas ke Fakhri. Fakhri terdiam, membaca surat kecil dari Zafran dan terdiam cukup lama.“Jangan-jangan dia dengar pembicaraan kita semalam,” gumam Fakhri.Aina tidak menjawab hanya menggelengkan kepala sambil sesekali menyeka air matanya. Rini yang baru saja keluar dari kamar tampak terkejut melihat kehebohan pagi ini.“Bukannya tadi dia masih di kamar, Mbak,” sahut Rini.“Iya, Rin. Aku pikir juga gitu, tapi nyatanya dia gak ada. Dia ke mana sekarang?”Aina tampak sedih, matanya kembali berair. Entah mengapa mulai semalam, air matanya terus terkuras.“Aku yakin dia tidak mendengar pembicaraan kalian. Aku yang menemaninya saat kalian berdebat semalam dan dia baik-baik saja.”Rini kembali menambahk
CKIT!! BRAK!!Suara mobil Fakhri menabrak pohon di tepi jalan. Sontak Fakhri membuka mata dan terkejut saat dirinya sudah keluar dari jalan. Helaan napas panjang lolos keluar dari bibir Fakhri. Untung saja dia mengenakan seat belt sehingga tidak menyebabkan cidera apa pun pada tubuhnya. Hanya saja kali ini mobil bagian depan ringsek.“Ya Tuhan … untung saja aku selamat,” gumam Fakhri sambil mengurut dada.Ia membuka seat belt, lalu keluar dari mobil sambil melihat kerusakan mobilnya. Beruntung jalanan sedang sepi sehingga saat Fakhri mengemudi dengan mata terpejam tadi, tidak membahayakan pengguna jalan lainnya. Ditambah kecepatan mobil yang pelan membuat Fakhri terhindar dari kecelakaan.Kini Fakhri tampak sedang melakukan sebuah panggilan. Ia sedang menelepon salah satu asisten rumah tangganya agar menjemput di tkp. Fakhri juga menelepon bengkel langganan untuk menarik mobilnya.Selang beberapa saat dia sudah tiba di rumah. Ket
“Aina!!” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat Aina tiba-tiba keluar dan langsung menyambar ponselnya. Tidak hanya itu malah Aina kini sudah mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.“MAS!!! Bener apa yang dikatakan Robby? Bener kalau anak kita sudah meninggal? Bener, Mas?” tanya Aina.Wanita cantik itu kini bertanya dengan mata berair ke Fakhri. Fakhri hanya diam, ia tidak menjawab malah menyambar ponselnya dari tangan Aina.“Rob, nanti saja kita bicara lagi.” Fakhri mengakhiri panggilannya.Di seberang sana Robby tampak linglung. Ia serba salah dan bingung harus bagaimana, padahal dia hanya ingin memberi informasi ke Fakhri. Namun, malah runyam seperti ini.“Mas … kenapa diam saja? Kenapa gak dijawab pertanyaanku?” Aina kembali bertanya bahkan kini sudah menarik lengan Fakhri.Fakhri menghela napas panjang. Ia belum bisa menjawab apalagi ada Zafran yang sudah mengintip perdebatan mereka dari jendela. Rini bergegas keluar, m
“Kamu yakin dengan penemuanmu ini, Kres?” tanya Robby.Dia ingin sekali lagi menyakinkan informasi yang baru diterima ini. Robby tidak mau informasi yang ia berikan ke Fakhri mentah dan tidak akurat.Terdengar decakan suara Kresna di seberang sana, mungkin jika mereka bertemu muka pasti akan terlihat jelas kekesalan Kresna saat ini.“Kamu pikir aku ngarang cerita, gitu?”Robby langsung tersenyum mendengarnya. Ia tahu kredibilitas Kresna dan kinerjanya selama ini. Dia akan benar-benar mencari informasi yang diminta dengan akurat.“Ya sudah kalau memang informasinya sudah akurat. Memangnya kamu dapat dari mana informasi itu?”Kresna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Aku berhasil bertemu dengan petugas pemberkasan di rumah sakit itu. Meski sedikit alot, akhirnya dia bersedia menunjukkan rekam medis pasien tersebut.”Robby terdiam sesaat sambil menganggukkan kepala berulan
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
“Semua baik-baik saja kan, Mas?” tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.“Iya, baik-baik saja, kok.”Aina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.“Siapa sebenarnya wanita itu?” gumam pria itu yang tak lain Reza, “apa dia mantan istrinya Fakhri?”Reza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkantor
“Reza Nugraha? Kamu Reza Nugraha yang itu?” gumam Fakhri.Reza tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Ia langsung duduk di kursi depan meja Fakhri, sementara Susi sudah berlalu pergi dari ruangan Fakhri.“Jadi pada akhirnya kamu bisa sukses juga. Aku pikir selamanya kamu jadi pecundang,” imbuh Fakhri.Reza tertawa, menautkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Fakhri.“Aku memang pecundang saat SMA, tapi aku sudah sukses sekarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan sama denganmu saat ini.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia ingat Reza Nugraha adalah temannya SMA. Dia dan Reza adalah rival. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk ketika memperebutkan Wulan saat itu. Sayangnya, Wulan lebih memilih Fakhri ketimbang Reza.“Jadi maksud tujuanmu ke sini untuk apa? Pamer atau bagaimana?” Fakhri kembali bertanya dan langsung dijawab tawa sengau Reza.“Aku