“DAMAR!!! Kamu sembunyikan Aina dimana?” seru Fakhri.
Pria tampan berambut gondrong itu langsung menerobos masuk ruangan Damar sambil berseru keras. Untung tamu Damar baru saja pulang sehingga hanya tinggal dia seorang di sana. Damar terkejut melihat kedatangan Fakhri.
“Apa maksudmu, Fakhri?” Damar malah balik bertanya.
“Udah, jangan pura-pura. Cepat katakan padaku!! Kamu sembunyikan Aina di mana?”
Damar terdiam menatap Fakhri dengan bingung. Ia menghela napas panjang kemudian menggelengkan kepala.
“Aku tidak tahu. Dia juga sudah resign mulai bulan ini.”
“APA!!!”
Mata Fakhri membola menatap Damar penuh curiga. Damar mendengkus sambil melipat tangannya di depan dada. Ia duduk bersandar di kursi sembari menatap Fakhri dengan datar.
“Terserah kamu mau percaya atau tidak, tapi aku memang tidak tahu dia di mana.”
“Udah jangan banyak alasan. Katakan
“Fakhri, kamu masih di sana, kan?” seru Robby.Fakhri tidak menjawab hanya menganggukkan kepala saja. Tentu saja reaksinya tidak akan terlihat oleh Robby. Entah apa rasa hati Fakhri kali ini, yang pasti dia benar-benar menyesal dan tak tahu harus berbuat apa.“Fakhri!!!” Kembali Robby berseru, pasalnya Fakhri tidak juga menjawab panggilannya.“Ya. Aku masih di sini.”“Syukurlah, aku meneleponmu hanya untuk memberitahu itu saja.” Robby hendak mengakhiri panggilannya, tapi Fakhri sudah mencegahnya.“Rob, ada satu lagi yang hendak aku minta tolong padamu.”Robby mengernyitkan alis dan menunggu dengan telinga terbuka. Ia yakin sahabatnya akan meminta melakukan sesuatu yang dadakan.“Tolong urus perceraianku dengan Aina.”“Aina!! Kamu akan menceraikan Aina?” sergah Robby.Fakhri menghela napas panjang dan menggeleng. Sayangnya semua gestur tubuhnya tidak dapat dilihat jelas oleh Robby.“Tidak. Dia yang menggugat cerai.
“Aku janji akan berubah. Aku akan bersikap adil dan kalau bisa secepatnya menyudahi pernikahan poligami ini. Hanya kita bertiga saja. Kamu, aku dan Zafran,” urai Fakhri.Matanya menatap sendu dengan wajah penuh cinta dan senyum yang terus terukir di raut tampannya. Aina hanya diam membisu sambil melhat pria di depannya. Suaranya sangat merdu, melantunkan kata rayuan yang menggugah hati.Tatapan dan gestur tubuhnya sungguh menyakinkan, sama seperti saat itu. Namun, pada akhirnya dia tidak bisa berkutik jika Wulan yang meminta. Bahkan Fakhri meninggalkannya saat Aina merenggang nyawa di meja operasi.Emosinya pun sangat labil. Naik turun sesuka hati. Kadang begitu mesra, kadang juga begitu kejam. Meski ini bukan Fakhri yang ia kenal dulu, tapi Aina akhirnya sadar kalau dia sudah berharap pada pria yang salah.Perlahan Aina menarik tangannya dari genggaman Fakhri. Fakhri tampak terkejut, matanya terluka menatap sedih ke arah Aina. Aina buru-buru
“Apa karena malam itu, Aina?” imbuh Damar.Aina terdiam, matanya melebar dan terlihat ekspresi terkejut di wajahnya. Ia menghela napas dan buru-buru memalingkan wajah, menjauh dari Damar. Tentu saja gestur tubuh Aina membuat Damar semakin penasaran.“Enggak. Kamu … kamu salah dengar. Mas Fakhri sedang emosi dan bicara sembarangan saat itu.”Damar tertegun mendengar jawaban Aina. Namun, semua gestur tubuh wanita cantik ini membuat Damar semakin penasaran. Damar yakin Aina menyembunyikan sesuatu darinya.“Zafran, ayo cepat makannya, Sayang!! Kita akan check in.”Alih-alih menjelaskan ke Damar, Aina malah berseru memanggil Zafran kali ini. Bahkan ia sudah membalikkan badan bersiap meninggalkan Damar. Namun, tangan Damar lebih dulu mencekal lengan Aina membuat wanita cantik itu urung berlalu.“AINA!!”Lagi-lagi tidak ada jawaban di bibir Aina, matanya terkunci menatap Damar berharap p
“B? Golongan darahnya B?” ulang Damar.Bu Rahma tampak terkejut melihat reaksi Damar, tapi wanita paruh baya itu hanya mengangguk. Sementara Damar terdiam dan terlihat linglung. Entah apa yang sedang ada di benaknya kali ini. Tanpa sengaja dia juga memiliki golongan darah yang sama dengan Zafran. Apa itu artinya …“Memangnya golongan darahmu juga B, Damar?” Tiba-tiba Bu Rahma bertanya membuyarkan lamunan Damar.Damar mendongak menatap dengan bingung. Bibirnya terkatup rapat, tapi kepalanya dengan refleks mengangguk. Tentu saja reaksi Damar membuat Bu Rahma terkejut. Jantung Damar kembali berpacu lebih cepat. Ia takut Bu Rahma akan berpikir yang bukan-bukan tentangnya.“Huh, tahu gitu Tante langsung menghubungimu. Saat itu kami kesulitan mencari donor darah untuk Zafran. Dia sempat … .”Damar merasa lega saat tahu Bu Rahma malah sibuk menceritakan tentang kesulitannya mencari darah untuk Zafran ketik
“Atau perlu kubuktikan dengan test DNA kalau Zafran anakku?” imbuh Damar.Aina tercengang. Matanya melebar menatap tanpa lepas pria di depannya. Ia tidak menduga pada akhirnya situasi seperti ini akan dia hadapi. Belum ada jawaban dari bibir Aina. Ia terlihat bingung dan tak tahu harus menjelaskan dari mana.“A—ku … aku juga tidak tahu kalau dia anakmu.” Akhirnya Aina bersuara dan terdengar bergetar saat ini. Bisa jadi banyak rasa yang sedang ditahannya sejak tadi.“Yang pasti … usai kejadian malam itu, aku memang langsung hamil,” imbuh Aina.Kini dia menunduk dan berusaha menghindar dari tatapan Damar. Kejadian malam itu mati-matian dilupakan Aina. Disimpan rapat dalam memorinya sebagai kenangan terburuk dalam hidupnya. Tidak diduga kejadian itu membuat dia berpisah dengan Fakhri dan malah mempertemukannya dengan Damar kembali.“Aku benar-benar tidak tahu dia anak siapa. Semuanya baru a
“Bunda … Bunda … semalam tidur Zafran nyenyak banget. Terus Zafran juga mimpi dipeluk Ayah,” ucap Zafran pagi itu.Bocah laki-laki itu tampak ceria dengan senyum manis yang terukir di wajah tampannya. Ia sedang berdiri di samping Aina. Ada Damar yang duduk di depannya memperhatikan.Aina yang sedang menyiapkan sarapan hanya terdiam. Sesekali matanya melirik Damar yang duduk di depannya. Zafran memang tidak tahu jika semalam Damar tidur dengannya bahkan pria manis itu memeluknya sepanjang malam.“WAH!!! Asyik Bunda bikin nasi goreng ama omelet!!!” Lagi-lagi suara Zafran mendominasi suasana ruang makan tersebut.“Emang Zafran suka omelet?” Kini Damar yang sedari tadi diam mengajukan pertanyaan.Zafran mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Om. Apalagi omelet buatan Bunda enak banget.”Damar sontak terdiam, menatap Zafran dengan bibir terkatup rapat. Entah mengapa ada sakit yang dirasa s
“Maaf, Damar. Sepertinya aku harus segera pulang. Ibu kolaps,” ujar Aina.Ia baru saja mengakhiri panggilannya dengan Rini dan langsung berkata seperti itu ke Damar. Damar mengangguk mengiyakan permintaan Aina.“Kalau begitu biar aku pesankan tiket pesawatnya. Kebetulan aku juga akan pulang hari ini.”Aina mengangguk, mengiyakan tawaran Damar. Dari dulu, ia selalu mengkhawatirkan keadaan ibunya. Bahkan Aina sempat mengurungkan niatnya pindah keluar pulau sebelumnya.Selang beberapa saat mereka sudah tiba di kota asal. Aina tampak berjalan tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Ada Zafran digandeng Aina dengan Damar juga di sana. Langkah Aina terhenti begitu melihat Rini di depan ruang tunggu.“Rin, Ibu gimana?” seru Aina.Rini menoleh dan langsung berhambur memeluk Aina.“Gak tahu, Mbak. Dokter masih menanganinya. Semoga saja Ibu bisa melaluinya kali ini.”Rini menjawab dengan sese
“Mas Fakhri!!!” seru Aina.Sosok itu membeku, berdiri di tempatnya sambil menatap Aina tanpa kedip. Memang sosok yang baru masuk ruangan rawat inap Bu Hani adalah Fakhri. Fakhri tampak masih mengenakan baju kerja. Dasinya masih terpasang, jasnya juga melekat pas, penampilannya sama seperti yang dulu. Yang berbeda hanya satu, ia sudah memotong habis rambut gondrongnya dan tentu saja penampilannya kali ini membuat Aina terkejut.Jakun Fakhri naik turun menelan saliva kemudian menganggukkan kepala dengan kikuk dan tersenyum.“Aina … kamu di sini?” Gugup Fakhri bersuara.Aina mengangguk, bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Fakhri. Langkah Aina terlihat penuh percaya diri apalagi tatapan matanya sangat tajam tidak seperti dulu.“Iya. Mas, ada keperluan apa ke sini?” Aina malah balik bertanya.Fakhri terdiam sesaat. Mulutnya terbuka dan tertutup tampak kebingungan bersuara, kemudian matanya mel
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd
“Aina sudah pulang, Mas?” tanya Wulan.Wanita berkulit putih bak porselen itu langsung menyambut Fakhri dengan pertanyaan begitu ia masuk ke dalam rumah. Fakhri tidak menjawab hanya melengos sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah seakan sedang mencari Bu Rahma.“Ibu istirahat di kamar.” Seakan tahu pertanyaan Fakhri, Wulan langsung berkata seperti itu.Fakhri mengangguk kemudian bersiap pergi meninggalkan Wulan. Tentu saja Wulan kesal dengan sikapnya. Padahal dia baru datang, tapi tidak ada orang yang mau menemaninya.“Kamu mau ke mana?” sergah Wulan.Fakhri menghentikan langkahnya dan menoleh ke Wulan. “Istirahat. Aku ngantuk.”Wulan tercengang mendengar jawaban Fakhri.“Kamu dan Ibu sama saja. Aku datang, tidak ada yang menyambut. Menemani makan pun tidak. Malah ditinggal tidur,” protes Wulan.Fakhri tersenyum menyeringai sambil menatap Wulan dengan tajam.
“FAKHRI!!!”Bukan hanya nama Aina yang dipanggil, nama Fakhri juga disebut keras oleh Bu Rahma. Fakhri terjingkat kaget, buru-buru mengangkat kepala dan perlahan mengurai pelukannya. Hal yang sama juga dilakukan Aina.Wanita cantik itu tampak gugup, berulang Aina menyibak rambut sambil menundukkan kepala. Ia sendiri tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Apa jadinya jika Bu Rahma tidak datang? Apa Fakhri akan menciumnya dan ia mengizinkannya?“Ibu, ngagetin aja.” Fakhri bersuara dan terdengar biasa. Sepertinya dia dengan mudah menetralisir keadaan.Sementara Bu Rahma hanya diam sambil menatap Fakhri dengan tajam. Fakhri menghela napas panjang sambil memalingkan wajah. Ibunya pasti akan menceramahinya setelah ini. Fakhri sangat mengenal ibunya.Langkah Bu Rahma sudah berhenti di depan Aina. Aina tampak serba salah. Ia juga menyesal dengan kejadian barusan. Harusnya ia menolak saat Fakhri memeluknya. Pasti Bu Rahma akan berpik
“Kok, kamu datang sendiri, Fakhri. Wulan mana?” tanya Bu Rahma.Sabtu pekan ini adalah hari ulang tahun Bu Rahma. Seperti biasa, Fakhri selalu datang ke rumah ibunya untuk merayakan hari istimewa itu. Mungkin dulu dia akan datang bersama Aina dan Zafran, tapi tidak untuk hari ini.“Wulan nanti nyusul, Bu. Dia sedang nyiapin kejutan untuk Ibu,” jawab Fakhri.Ia sengaja bohong, karena dia tidak tahu Wulan sudah datang atau belum hari ini. Dia juga tidak mau mencari tahu keberadaan Wulan.“Kok gitu, sih. Kalian itu suami istri, kalian tidak berantem, kan? Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik. Jangan seperti sebelumnya, Fakhri.”Fakhri hanya tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Hingga saat ini, Bu Rahma tidak tahu jika dia dan Wulan hidup terpisah. Bu Rahma juga tidak tahu mengenai rencana Fakhri untuk menceraikan Wulan.Meski tinggal satu kota, tapi Bu Rahma lebih sering berpergian keluar kota. Bu