“Fakhri, kamu masih di sana, kan?” seru Robby.
Fakhri tidak menjawab hanya menganggukkan kepala saja. Tentu saja reaksinya tidak akan terlihat oleh Robby. Entah apa rasa hati Fakhri kali ini, yang pasti dia benar-benar menyesal dan tak tahu harus berbuat apa.
“Fakhri!!!” Kembali Robby berseru, pasalnya Fakhri tidak juga menjawab panggilannya.
“Ya. Aku masih di sini.”
“Syukurlah, aku meneleponmu hanya untuk memberitahu itu saja.” Robby hendak mengakhiri panggilannya, tapi Fakhri sudah mencegahnya.
“Rob, ada satu lagi yang hendak aku minta tolong padamu.”
Robby mengernyitkan alis dan menunggu dengan telinga terbuka. Ia yakin sahabatnya akan meminta melakukan sesuatu yang dadakan.
“Tolong urus perceraianku dengan Aina.”
“Aina!! Kamu akan menceraikan Aina?” sergah Robby.
Fakhri menghela napas panjang dan menggeleng. Sayangnya semua gestur tubuhnya tidak dapat dilihat jelas oleh Robby.
“Tidak. Dia yang menggugat cerai.
“Aku janji akan berubah. Aku akan bersikap adil dan kalau bisa secepatnya menyudahi pernikahan poligami ini. Hanya kita bertiga saja. Kamu, aku dan Zafran,” urai Fakhri.Matanya menatap sendu dengan wajah penuh cinta dan senyum yang terus terukir di raut tampannya. Aina hanya diam membisu sambil melhat pria di depannya. Suaranya sangat merdu, melantunkan kata rayuan yang menggugah hati.Tatapan dan gestur tubuhnya sungguh menyakinkan, sama seperti saat itu. Namun, pada akhirnya dia tidak bisa berkutik jika Wulan yang meminta. Bahkan Fakhri meninggalkannya saat Aina merenggang nyawa di meja operasi.Emosinya pun sangat labil. Naik turun sesuka hati. Kadang begitu mesra, kadang juga begitu kejam. Meski ini bukan Fakhri yang ia kenal dulu, tapi Aina akhirnya sadar kalau dia sudah berharap pada pria yang salah.Perlahan Aina menarik tangannya dari genggaman Fakhri. Fakhri tampak terkejut, matanya terluka menatap sedih ke arah Aina. Aina buru-buru
“Apa karena malam itu, Aina?” imbuh Damar.Aina terdiam, matanya melebar dan terlihat ekspresi terkejut di wajahnya. Ia menghela napas dan buru-buru memalingkan wajah, menjauh dari Damar. Tentu saja gestur tubuh Aina membuat Damar semakin penasaran.“Enggak. Kamu … kamu salah dengar. Mas Fakhri sedang emosi dan bicara sembarangan saat itu.”Damar tertegun mendengar jawaban Aina. Namun, semua gestur tubuh wanita cantik ini membuat Damar semakin penasaran. Damar yakin Aina menyembunyikan sesuatu darinya.“Zafran, ayo cepat makannya, Sayang!! Kita akan check in.”Alih-alih menjelaskan ke Damar, Aina malah berseru memanggil Zafran kali ini. Bahkan ia sudah membalikkan badan bersiap meninggalkan Damar. Namun, tangan Damar lebih dulu mencekal lengan Aina membuat wanita cantik itu urung berlalu.“AINA!!”Lagi-lagi tidak ada jawaban di bibir Aina, matanya terkunci menatap Damar berharap p
“B? Golongan darahnya B?” ulang Damar.Bu Rahma tampak terkejut melihat reaksi Damar, tapi wanita paruh baya itu hanya mengangguk. Sementara Damar terdiam dan terlihat linglung. Entah apa yang sedang ada di benaknya kali ini. Tanpa sengaja dia juga memiliki golongan darah yang sama dengan Zafran. Apa itu artinya …“Memangnya golongan darahmu juga B, Damar?” Tiba-tiba Bu Rahma bertanya membuyarkan lamunan Damar.Damar mendongak menatap dengan bingung. Bibirnya terkatup rapat, tapi kepalanya dengan refleks mengangguk. Tentu saja reaksi Damar membuat Bu Rahma terkejut. Jantung Damar kembali berpacu lebih cepat. Ia takut Bu Rahma akan berpikir yang bukan-bukan tentangnya.“Huh, tahu gitu Tante langsung menghubungimu. Saat itu kami kesulitan mencari donor darah untuk Zafran. Dia sempat … .”Damar merasa lega saat tahu Bu Rahma malah sibuk menceritakan tentang kesulitannya mencari darah untuk Zafran ketik
“Atau perlu kubuktikan dengan test DNA kalau Zafran anakku?” imbuh Damar.Aina tercengang. Matanya melebar menatap tanpa lepas pria di depannya. Ia tidak menduga pada akhirnya situasi seperti ini akan dia hadapi. Belum ada jawaban dari bibir Aina. Ia terlihat bingung dan tak tahu harus menjelaskan dari mana.“A—ku … aku juga tidak tahu kalau dia anakmu.” Akhirnya Aina bersuara dan terdengar bergetar saat ini. Bisa jadi banyak rasa yang sedang ditahannya sejak tadi.“Yang pasti … usai kejadian malam itu, aku memang langsung hamil,” imbuh Aina.Kini dia menunduk dan berusaha menghindar dari tatapan Damar. Kejadian malam itu mati-matian dilupakan Aina. Disimpan rapat dalam memorinya sebagai kenangan terburuk dalam hidupnya. Tidak diduga kejadian itu membuat dia berpisah dengan Fakhri dan malah mempertemukannya dengan Damar kembali.“Aku benar-benar tidak tahu dia anak siapa. Semuanya baru a
“Bunda … Bunda … semalam tidur Zafran nyenyak banget. Terus Zafran juga mimpi dipeluk Ayah,” ucap Zafran pagi itu.Bocah laki-laki itu tampak ceria dengan senyum manis yang terukir di wajah tampannya. Ia sedang berdiri di samping Aina. Ada Damar yang duduk di depannya memperhatikan.Aina yang sedang menyiapkan sarapan hanya terdiam. Sesekali matanya melirik Damar yang duduk di depannya. Zafran memang tidak tahu jika semalam Damar tidur dengannya bahkan pria manis itu memeluknya sepanjang malam.“WAH!!! Asyik Bunda bikin nasi goreng ama omelet!!!” Lagi-lagi suara Zafran mendominasi suasana ruang makan tersebut.“Emang Zafran suka omelet?” Kini Damar yang sedari tadi diam mengajukan pertanyaan.Zafran mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Om. Apalagi omelet buatan Bunda enak banget.”Damar sontak terdiam, menatap Zafran dengan bibir terkatup rapat. Entah mengapa ada sakit yang dirasa s
“Maaf, Damar. Sepertinya aku harus segera pulang. Ibu kolaps,” ujar Aina.Ia baru saja mengakhiri panggilannya dengan Rini dan langsung berkata seperti itu ke Damar. Damar mengangguk mengiyakan permintaan Aina.“Kalau begitu biar aku pesankan tiket pesawatnya. Kebetulan aku juga akan pulang hari ini.”Aina mengangguk, mengiyakan tawaran Damar. Dari dulu, ia selalu mengkhawatirkan keadaan ibunya. Bahkan Aina sempat mengurungkan niatnya pindah keluar pulau sebelumnya.Selang beberapa saat mereka sudah tiba di kota asal. Aina tampak berjalan tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Ada Zafran digandeng Aina dengan Damar juga di sana. Langkah Aina terhenti begitu melihat Rini di depan ruang tunggu.“Rin, Ibu gimana?” seru Aina.Rini menoleh dan langsung berhambur memeluk Aina.“Gak tahu, Mbak. Dokter masih menanganinya. Semoga saja Ibu bisa melaluinya kali ini.”Rini menjawab dengan sese
“Mas Fakhri!!!” seru Aina.Sosok itu membeku, berdiri di tempatnya sambil menatap Aina tanpa kedip. Memang sosok yang baru masuk ruangan rawat inap Bu Hani adalah Fakhri. Fakhri tampak masih mengenakan baju kerja. Dasinya masih terpasang, jasnya juga melekat pas, penampilannya sama seperti yang dulu. Yang berbeda hanya satu, ia sudah memotong habis rambut gondrongnya dan tentu saja penampilannya kali ini membuat Aina terkejut.Jakun Fakhri naik turun menelan saliva kemudian menganggukkan kepala dengan kikuk dan tersenyum.“Aina … kamu di sini?” Gugup Fakhri bersuara.Aina mengangguk, bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Fakhri. Langkah Aina terlihat penuh percaya diri apalagi tatapan matanya sangat tajam tidak seperti dulu.“Iya. Mas, ada keperluan apa ke sini?” Aina malah balik bertanya.Fakhri terdiam sesaat. Mulutnya terbuka dan tertutup tampak kebingungan bersuara, kemudian matanya mel
“Mas, akhir pekan ini Mama dan Papa ngajak kita liburan ke puncak. Aku sudah menyetujuinya dan kamu pasti ikut, kan?” ujar Wulan pagi itu.Fakhri hanya diam, tidak menanggapi dan tampak sibuk menikmati makan paginya. Wulan tersenyum sambil terus menatap Fakhri berharap mendapat jawaban darinya.“Devi dan suaminya juga ikut, jadi liburan kita kali ini akan ramai.” Wulan menambahkan kalimatnya. Kali ini dia bahkan menyebut nama adiknya.“Oh ya, aku hampir lupa kemarin Devi telepon. Dia bilang, suaminya mau pinjam kamu uang untuk modal usaha. Dikit kok, Mas. Cuman lima ratus juta. Aku jawab iya saja. Kamu pasti punya, kan?”Seketika Fakhri mengangkat kepala dan menoleh ke arah Wulan. Wulan langsung tersenyum membalas tatapan Fakhri.“Lima ratus juta? Bukannya tempo hari sudah pinjam lima ratus juta juga belum kembali. Kenapa kini pinjam lagi? Memangnya dia bikin usaha apa?”Wulan terlihat kesal me
“Aina!!” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat Aina tiba-tiba keluar dan langsung menyambar ponselnya. Tidak hanya itu malah Aina kini sudah mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.“MAS!!! Bener apa yang dikatakan Robby? Bener kalau anak kita sudah meninggal? Bener, Mas?” tanya Aina.Wanita cantik itu kini bertanya dengan mata berair ke Fakhri. Fakhri hanya diam, ia tidak menjawab malah menyambar ponselnya dari tangan Aina.“Rob, nanti saja kita bicara lagi.” Fakhri mengakhiri panggilannya.Di seberang sana Robby tampak linglung. Ia serba salah dan bingung harus bagaimana, padahal dia hanya ingin memberi informasi ke Fakhri. Namun, malah runyam seperti ini.“Mas … kenapa diam saja? Kenapa gak dijawab pertanyaanku?” Aina kembali bertanya bahkan kini sudah menarik lengan Fakhri.Fakhri menghela napas panjang. Ia belum bisa menjawab apalagi ada Zafran yang sudah mengintip perdebatan mereka dari jendela. Rini bergegas keluar, m
“Kamu yakin dengan penemuanmu ini, Kres?” tanya Robby.Dia ingin sekali lagi menyakinkan informasi yang baru diterima ini. Robby tidak mau informasi yang ia berikan ke Fakhri mentah dan tidak akurat.Terdengar decakan suara Kresna di seberang sana, mungkin jika mereka bertemu muka pasti akan terlihat jelas kekesalan Kresna saat ini.“Kamu pikir aku ngarang cerita, gitu?”Robby langsung tersenyum mendengarnya. Ia tahu kredibilitas Kresna dan kinerjanya selama ini. Dia akan benar-benar mencari informasi yang diminta dengan akurat.“Ya sudah kalau memang informasinya sudah akurat. Memangnya kamu dapat dari mana informasi itu?”Kresna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Aku berhasil bertemu dengan petugas pemberkasan di rumah sakit itu. Meski sedikit alot, akhirnya dia bersedia menunjukkan rekam medis pasien tersebut.”Robby terdiam sesaat sambil menganggukkan kepala berulan
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
“Semua baik-baik saja kan, Mas?” tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.“Iya, baik-baik saja, kok.”Aina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.“Siapa sebenarnya wanita itu?” gumam pria itu yang tak lain Reza, “apa dia mantan istrinya Fakhri?”Reza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkanto
“Reza Nugraha? Kamu Reza Nugraha yang itu?” gumam Fakhri.Reza tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Ia langsung duduk di kursi depan meja Fakhri, sementara Susi sudah berlalu pergi dari ruangan Fakhri.“Jadi pada akhirnya kamu bisa sukses juga. Aku pikir selamanya kamu jadi pecundang,” imbuh Fakhri.Reza tertawa, menautkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Fakhri.“Aku memang pecundang saat SMA, tapi aku sudah sukses sekarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan sama denganmu saat ini.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia ingat Reza Nugraha adalah temannya SMA. Dia dan Reza adalah rival. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk ketika memperebutkan Wulan saat itu. Sayangnya, Wulan lebih memilih Fakhri ketimbang Reza.“Jadi maksud tujuanmu ke sini untuk apa? Pamer atau bagaimana?” Fakhri kembali bertanya dan langsung dijawab tawa sengau Reza.“Aku
“Siapa kamu?” tanya Bu Vita.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat seorang pria tiba-tiba datang dan mengajukan diri akan menanggung semua biaya perawatan Wulan. Pria misterius berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi salam ke Bu Vita.“Anggap saja, saya teman lama Wulan. Dia sudah banyak membantu saya dan kini giliran saya membantunya,” ujar pria itu lagi.Bu Vita, Devi dan Amar menatap penuh curiga ke arah pria tersebut. Pria tersebut tersenyum, mengulurkan tangan memulai perkenalan.“Saya Reza. Apa Tante sudah lupa?”Bu Vita terdiam sejenak. Teman Wulan sangat banyak dan dia tidak hapal satu persatunya. Apalagi Wulan acap kali berganti pasangan usai putus dengan Fakhri saat itu. Mungkin saja Reza salah satu dari mereka.“I—iya, Tante lupa.”Bu Vita tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun, mengapa saat melihat Reza
“Rumah sakit? Wulan?” gumam Fakhri.Ia sudah mengantuk, konsentrasinya sudah berkurang dan sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan ini. Fakhri menguap lebar sambil meraup wajahnya dengan kasar.“Ma, kenapa Mama gak hubungi pengacaranya saja? Kenapa harus dengan saya? Saya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Wulan!!”Fakhri meninggikan intonasi suaranya dan terdengar sedikit kesal. Bisa jadi semua yang dilakukan Wulan kali ini hanyalah sandiwara, akal-akalannya saja supaya mendapat simpatik Fakhri. Dia sudah berulang kali terbujuk oleh hal seperti itu dan Fakhri tidak mau mengulangnya lagi.“Tapi, Fakhri … Wulan butuh kamu. Bagaimanapun kamu pernah menjadi suaminya. Mama mohon kamu datang.”Fakhri tidak bersuara. Ia menghela napas panjang kemudian gegas mengakhiri panggilannya tanpa berpamitan ke Bu Vita. Fakhri meletakkan ponselnya di nakas dan mencoba kembali terlelap.Namun, sepertinya ia kesulitan untuk melakukannya. Meski dia kesal, jengkel dan marah dengan semua ula
“Heh??” gumam Fakhri.Pria tampan itu terkejut saat mendengar ucapan Aina. Ia tidak menduga jika Aina akan berkata seperti ini. Apa mungkin penantiannya untuk bisa kembali rujuk akan terwujud?Aina tersenyum sambil mempererat genggamannya dan menatap Fakhri dengan lembut.“Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin memberimu kesempatan.”Fakhri tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan mata coklatnya yang berbinar indah. Tanpa banyak bicara, Fakhri mendekat, menarik dagu Aina dan langsung mencium bibirnya.Aina gelagapan mendapat serangan dari mantan suaminya. Namun, ia tidak menolak. Dengan rileks, Aina melingkarkan tangannya di leher Fakhri dan meneruskan pagutan mereka.Entah berapa lama mereka saling berbagi saliva, yang pasti keduanya kini tampak terdiam dengan bibir yang memerah. Sesekali terdengar desah napas memburu dari keduanya. Meski pagutan mereka sudah terurai, tapi keduanya masih bergeming dengan kening yang mene