“Mas Fakhri!!!” seru Aina.
Sosok itu membeku, berdiri di tempatnya sambil menatap Aina tanpa kedip. Memang sosok yang baru masuk ruangan rawat inap Bu Hani adalah Fakhri. Fakhri tampak masih mengenakan baju kerja. Dasinya masih terpasang, jasnya juga melekat pas, penampilannya sama seperti yang dulu. Yang berbeda hanya satu, ia sudah memotong habis rambut gondrongnya dan tentu saja penampilannya kali ini membuat Aina terkejut.
Jakun Fakhri naik turun menelan saliva kemudian menganggukkan kepala dengan kikuk dan tersenyum.
“Aina … kamu di sini?” Gugup Fakhri bersuara.
Aina mengangguk, bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Fakhri. Langkah Aina terlihat penuh percaya diri apalagi tatapan matanya sangat tajam tidak seperti dulu.
“Iya. Mas, ada keperluan apa ke sini?” Aina malah balik bertanya.
Fakhri terdiam sesaat. Mulutnya terbuka dan tertutup tampak kebingungan bersuara, kemudian matanya mel
“Mas, akhir pekan ini Mama dan Papa ngajak kita liburan ke puncak. Aku sudah menyetujuinya dan kamu pasti ikut, kan?” ujar Wulan pagi itu.Fakhri hanya diam, tidak menanggapi dan tampak sibuk menikmati makan paginya. Wulan tersenyum sambil terus menatap Fakhri berharap mendapat jawaban darinya.“Devi dan suaminya juga ikut, jadi liburan kita kali ini akan ramai.” Wulan menambahkan kalimatnya. Kali ini dia bahkan menyebut nama adiknya.“Oh ya, aku hampir lupa kemarin Devi telepon. Dia bilang, suaminya mau pinjam kamu uang untuk modal usaha. Dikit kok, Mas. Cuman lima ratus juta. Aku jawab iya saja. Kamu pasti punya, kan?”Seketika Fakhri mengangkat kepala dan menoleh ke arah Wulan. Wulan langsung tersenyum membalas tatapan Fakhri.“Lima ratus juta? Bukannya tempo hari sudah pinjam lima ratus juta juga belum kembali. Kenapa kini pinjam lagi? Memangnya dia bikin usaha apa?”Wulan terlihat kesal me
“Gak usah, Mas!!” seru Aina.Dia sangat terkejut dengan kehadiran Fakhri yang tiba-tiba ditambah dengan ucapannya tadi. Aina menggeleng sambil menatap Fakhri yang berdiri di depannya.“Kenapa? Apa salahnya aku membantu?” ucap Fakhri.Aina menarik napas sambil melihat tangan Fakhri yang terulur sambil memegang black card-nya.“Simpan saja uangmu. Bukankah Wulan yang lebih membutuhkan. Lagi pula aku sudah punya pekerjaan dan sanggup membayarnya.”Aina menyingkirkan tangan Fakhri menjauh kemudian menyodorkan black card miliknya ke karyawan rumah sakit tersebut.“Ini, Mbak,” ucap Aina.Fakhri tidak bersuara, tapi matanya melirik kartu yang disodorkan Aina barusan. Sempat terlintas tanya di benak Fakhri. Dari mana Aina mendapat uang? Kalaupun dia bekerja apa mungkin bisa mendapat penghasilan setara dengannya. Bukankah pemilik black card hanya orang tertentu saja. Apa mungkin Aina bekerja deng
“Bunda, ada Ayah!!!” seru Zafran.Fakhri membalikkan badan dan melihat Zafran sedang tersenyum menatapnya. Tidak hanya Zafran yang sedang melihat ke arahnya kali ini. Ada Damar juga yang sedang berdiri di dekat pintu menatap Fakhri.“Kamu di sini, Fakhri,” sapa Damar.Fakhri tersenyum canggung sambil menganggukkan kepala. Di belakang Damar, ia melihat Aina. Sayangnya Aina hanya menunduk dan sama sekali tidak melihat ke arahnya.“Aku … aku hanya mau terima kasih ke Aina karena sudah menjenguk Ibu.” Akhirnya setelah terdiam beberapa saat, Fakhri bersuara.“Akh … iya, tadi Aina cerita. Sayang, aku belum sempat menjenguk, Fakhri.”Alih-alih Aina yang menjawab ungkapan terima kasih Fakhri, malah Damar yang mengambil alih kali ini. Fakhri terdiam, ia menjawab ucapan Damar dengan anggukkan kepalanya.“Ayo, Om. Buruan!! Nanti keburu tutup bioskopnya.” Tiba-tiba Zafran b
“Kamu sudah minum obatnya, Wulan?” tanya Fakhri malam itu.Hampir tiga bulan usai pembicaraan mereka mengenai program hamil dan sepertinya Wulan terpaksa menuruti permintaan Fakhri. Sudah seminggu ini, Wulan minum obat rutin dari dokter kandungan kenalan Fakhri. Sepertinya Fakhri memang tidak sabar ingin mempunyai anak lagi.Wulan hanya mengangguk sambil tersenyum. Fakhri membalas senyumannya. Ia sudah naik ke atas kasur kemudian langsung memeluk Wulan dan mendekatkan wajahnya bersiap mencumbu Wulan.Namun, Wulan buru-buru mendorong tubuh Fakhri. Tentu saja Fakhri terkejut dengan penolakan Wulan kali ini. Kedua alis pria tampan itu terangkat dengan mata bertanya ke Wulan.“Aku lagi halangan, Mas,” cicit Wulan lirih.Fakhri hanya diam. Jakunnya naik turun menelan saliva, kemudian menganggukkan kepala. Seingat Fakhri, Wulan baru saja halangan, tapi mengapa sudah halangan lagi. Bahkan dia sudah hapal siklus istrinya.&ld
“Selamat ulang tahun kami ucapkan. Selamat panjang umur kami kan doakan … .”Sayup-sayup Fakhri mendengar lagu khas ulang tahun diperdengarkan di lantai dua. Kali ini dia memang urung ke toilet melainkan malah membelokkan kakinya ke lantai dua.Tepat dugaannya di sana ada nama Zafran tertulis dengan jelas dan besar sebagai background podium ulang tahun. Lalu ada Zafran, Aina dan Damar berdiri di depan. Mereka tampak tersenyum lebar penuh kebahagiaan.Ada juga Bu Hani dan Rini berada di sana. Fakhri menghela napas panjang sambil meraup wajahnya dengan kasar. Sepertinya hanya dia yang melupakan ulang tahun Zafran. Mungkin itu juga sebabnya Aina sangat membencinya. Dia bukan ayah yang baik untuk Zafran.Padahal kejadian seperti ini pernah Fakhri alami beberapa tahun yang lalu. Zafran pernah mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke-2. Ia masih sangat kecil saat itu. Namun, meski demikian Fakhri dan Aina antusias menyiapkan semuanya. Hanya ke
“IBU!!!” seru Aina.Ia tidak menduga Bu Rahma akan berkata seperti itu. Bu Rahma hanya tersenyum melihat reaksi Aina. Aina terdiam sesaat, menghela napas kemudian menghembuskannya perlahan. Untung saja baik Damar maupun anggota keluarga Aina tidak ada yang mendengar pembicaraan ini.“Saya belum berpikir ke arah sana, Bu. Mungkin untuk sementara waktu sendiri lebih baik,” imbuh Aina.Bu Rahma tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Ibu tahu, Aina. Pasti masih banyak luka di hatimu yang membuat trauma, tapi kamu masih muda. Masih cantik dan energik. Ibu yakin kamu berhak bahagia dengan pria lain di luar sana dan siapa tahu pria itu Damar.”Aina tidak menjawab hanya menundukkan kepala sambil memainkan jemari yang masih dalam genggaman Bu Rahma. Bu Rahma tersenyum memperhatikan.“Sebenarnya Ibu sangat tidak menginginkan perpisahanmu dengan Fakhri. Namun, Ibu juga tidak tega melihat kamu tersakiti terus.
“Tidak. Memangnya mau apa kamu ke sini?” ketus Aina.Fakhri yang tak lain sosok itu terdiam. Hanya helaan napas panjang yang terdengar keluar masuk dari mulutnya. Aina memperhatikan dengan sudut matanya. Ia sengaja tak mau melihat Fakhri dengan jelas.“Aku mau bertemu Zafran. Ini hari ulang tahunnya dan aku ingin memberi ini.” Fakhri berkata sambil menunjukkan sebuah paper bag berisi bungkusan besar kertas kado.Sepertinya usai bertemu dengan kliennya, Fakhri kembali ke kantor lalu saat jam pulang ia tidak pulang ke rumah. Melainkan ke mall untuk membelikan kado Zafran hingga akhirnya tiba di sini.“Dia sudah tidur.” Suara Aina masih terdengar ketus dan dingin.Fakhri berdecak sambil menatap Aina dengan datar. Posisi mereka masih di depan pintu dan sepertinya Aina tidak berniat menyuruh Fakhri masuk. Fakhri memaklumi sikap Aina, tapi sejujurnya dia sangat ingin bertemu Zafran.“Apa kamu tidak bisa me
“Wulan sudah pulang?” tanya Fakhri.Ia baru saja menapakkan kaki ke dalam rumah dan langsung bertanya seperti itu ke asisten rumah tangganya. Fakhri tidak melihat mobil Wulan di garasi dan itu sebabnya dia bertanya.“Belum, Pak,” jawab sang Asisten rumah tangga.Fakhri hanya mengangguk kemudian berjalan dengan lesu menuju kamar. Sang Asisten tergopoh mengikuti.“Pak, apa saya siapkan makan malam?” tanyanya.Fakhri menghentikan langkahnya menoleh sambil tersenyum. “Gak usah, Bi. Saya sudah makan.”Sang Art hanya mengangguk kemudian sudah berangsur pergi. Sementara Fakhri meneruskan langkahnya menuju kamar. Untuk beberapa saat dia tertegun saat kakinya tiba di pintu kamar.Kamar tidurnya merupakan bagian paling indah di rumah ini. Setiap sudut, dihiasi dengan interior yang indah nan estetik. Wulan memang pemuja keindahan dan tak suka jika hanya sederhana.Beda dengan kamar tidurnya
“Aina sudah pulang, Mas?” tanya Wulan.Wanita berkulit putih bak porselen itu langsung menyambut Fakhri dengan pertanyaan begitu ia masuk ke dalam rumah. Fakhri tidak menjawab hanya melengos sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah seakan sedang mencari Bu Rahma.“Ibu istirahat di kamar.” Seakan tahu pertanyaan Fakhri, Wulan langsung berkata seperti itu.Fakhri mengangguk kemudian bersiap pergi meninggalkan Wulan. Tentu saja Wulan kesal dengan sikapnya. Padahal dia baru datang, tapi tidak ada orang yang mau menemaninya.“Kamu mau ke mana?” sergah Wulan.Fakhri menghentikan langkahnya dan menoleh ke Wulan. “Istirahat. Aku ngantuk.”Wulan tercengang mendengar jawaban Fakhri.“Kamu dan Ibu sama saja. Aku datang, tidak ada yang menyambut. Menemani makan pun tidak. Malah ditinggal tidur,” protes Wulan.Fakhri tersenyum menyeringai sambil menatap Wulan dengan tajam.
“FAKHRI!!!”Bukan hanya nama Aina yang dipanggil, nama Fakhri juga disebut keras oleh Bu Rahma. Fakhri terjingkat kaget, buru-buru mengangkat kepala dan perlahan mengurai pelukannya. Hal yang sama juga dilakukan Aina.Wanita cantik itu tampak gugup, berulang Aina menyibak rambut sambil menundukkan kepala. Ia sendiri tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Apa jadinya jika Bu Rahma tidak datang? Apa Fakhri akan menciumnya dan ia mengizinkannya?“Ibu, ngagetin aja.” Fakhri bersuara dan terdengar biasa. Sepertinya dia dengan mudah menetralisir keadaan.Sementara Bu Rahma hanya diam sambil menatap Fakhri dengan tajam. Fakhri menghela napas panjang sambil memalingkan wajah. Ibunya pasti akan menceramahinya setelah ini. Fakhri sangat mengenal ibunya.Langkah Bu Rahma sudah berhenti di depan Aina. Aina tampak serba salah. Ia juga menyesal dengan kejadian barusan. Harusnya ia menolak saat Fakhri memeluknya. Pasti Bu Rahma akan berpik
“Kok, kamu datang sendiri, Fakhri. Wulan mana?” tanya Bu Rahma.Sabtu pekan ini adalah hari ulang tahun Bu Rahma. Seperti biasa, Fakhri selalu datang ke rumah ibunya untuk merayakan hari istimewa itu. Mungkin dulu dia akan datang bersama Aina dan Zafran, tapi tidak untuk hari ini.“Wulan nanti nyusul, Bu. Dia sedang nyiapin kejutan untuk Ibu,” jawab Fakhri.Ia sengaja bohong, karena dia tidak tahu Wulan sudah datang atau belum hari ini. Dia juga tidak mau mencari tahu keberadaan Wulan.“Kok gitu, sih. Kalian itu suami istri, kalian tidak berantem, kan? Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik. Jangan seperti sebelumnya, Fakhri.”Fakhri hanya tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Hingga saat ini, Bu Rahma tidak tahu jika dia dan Wulan hidup terpisah. Bu Rahma juga tidak tahu mengenai rencana Fakhri untuk menceraikan Wulan.Meski tinggal satu kota, tapi Bu Rahma lebih sering berpergian keluar kota. Bu
“Emang kamu mau pergi ke mana? Jangan ngawur kalau ngomong,” sergah Robby.Pria bermata sipit itu tampak marah usai mendengar ucapan Fakhri. Sementara Fakhri hanya diam, tampak melamun sambil menatap kosong ke depan.“Apa kamu bersikap seperti ini gara-gara Aina akan menikah dengan Damar?” Robby menebak sikap Fakhri yang aneh.Fakhri tidak menjawab, hanya melirik Robby sekilas. Sementara Robby menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Mereka terdiam beberapa saat, sibuk dengan benaknya masing-masing.“Katamu sudah mengikhlaskannya. Sudah merelakannya bahagia, kenapa sekarang seperti ini lagi?” Robby memecah keheningan mereka.“Iya, mulutku yang bicara kayak gitu. Namun, hatiku tidak bisa melakukannya.”Robby langsung terdiam, terkatup rapat usai mendengar jawaban Fakhri. Robby masih ingat saat Fakhri bercerita tentang perjodohannya kala itu. Fakhri sangat senang begitu mengenal Aina,
“Bandara? Ngapain kita ke ---”Belum sempat Fakhri menyelesaikan kalimatnya, panggilan Robby sudah terputus.Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Dia tidak tahu mengapa Robby tiba-tiba memintanya ke bandara. Kemudian tanpa pikir panjang, Fakhri bangkit, berjalan tergesa keluar ruangan.Selang beberapa jam kemudian, ia sudah tiba di bandara. Setelah memarkir mobilnya, Fakhri berjalan menuju pintu keberangkatan. Matanya beredar mencari Robby, usai meneleponnya tadi ponsel Robby tidak bisa dihubungi.PUK!!Sebuah tepukan singgah di bahu Fakhri. Ia menoleh dan melihat Robby sedang menatapnya dengan kecewa.“Kenapa lama sekali? Terus bajumu mana?” cercah Robby.Fakhri menarik napas panjang sambil menatap Robby dengan bingung.“Memangnya kita mau ke mana? Mengapa dadakan begini? Lagian aku tadi terkena macet.”Robby mendengkus dengan kasar, melirik Fakhri dengan tajam sambil melipat
“Pak, berikut beberapa laporan yang Bapak minta,” ucap Susi.Fakhri baru saja datang dan duduk di kursi kerjanya saat Susi masuk ke ruangan sambil membawa beberapa berkas yang diminta. Fakhri hanya mengangguk sambil menatap tumpukan berkas tersebut.“Apa Wulan sudah datang, Sus?”Sejak kemarin Wulan tidak masuk kerja karena masih pusing akibat mabuk. Fakhri berpikir hari ini istrinya akan masuk seperti biasa. Belakangan ini Fakhri memang tidak bisa memantau jadwal istrinya.“Ibu Wulan tadi menelepon tidak masuk karena sakit, Pak.”Sontak Fakhri mengangkat kepalanya, menatap Susi dengan mata meruncing dan kedua alis yang terangkat.“Sakit?” Susi mengangguk mengiyakan pertanyaan Fakhri. Lama kelamaan sekretaris Fakhri ini tahu jika rumah tangga bosnya sedang tidak baik-baik saja.“Iya, Pak. Saya tidak tanya sakitnya apa.”Fakhri menghela napas panjang. Setahu Fakhri kema
“Sudah saatnya dia tahu, Aina,” lirih Fakhri.Pria tampan itu berkata sambil menundukkan kepala. Entah apa yang sedang disembunyikan Fakhri. Perasaannya atau raut wajah yang tiba-tiba berubah muram dengan buliran bening di sudut matanya.Tidak ada jawaban dari bibir Aina. Ia masih bergeming di posisinya sambil menatap Fakhri dengan trenyuh. Untung saja posisi rumah Aina berada di bagian paling ujung gang dengan area depannya merupakan tanah kosong sehingga tidak akan ada tetangga yang memperhatikan interaksi mereka sepagi ini.“Aku juga ingin melihat kalian bahagia menjadi satu keluarga. Kamu, Damar dan Zafran.”Fakhri kembali menambahkan kalimatnya dan entah mengapa banyak penekanan intonasi di setiap katanya. Suara Fakhri bahkan seperti tercekat menahan isak.“Bahkan aku bersedia pergi dari hidup Zafran agar anak itu hanya mau melihat Damar sebagai ayahnya.”Sontak Aina tercengang kaget mendengar kalimat
“Kok Zafran ngomong gitu? Bukannya Om Damar juga baik,” ujar Fakhri.Ia tidak mau memprovokasi Zafran. Bagaimanapun Zafran harus tahu siapa sebenarnya Damar. Mereka juga harusnya bersatu sebagai satu keluarga, meskipun awalnya kehadiran Zafran karena sebuah kesalahan. Namun, Fakhri sudah mengikhlaskan semuanya.Tidak ada suara yang keluar dari bibir bocah laki-laki itu. Ia hanya menunduk dengan bahu yang naik turun. Fakhri terdiam memperhatikan. Bisa jadi bocah ini sedang menangis.Perlahan Fakhri mengulurkan tangan menarik dagu Zafran dan tepat dugaannya jika bocah laki-laki itu sedang menangis.“Kenapa nangis? Apa Ayah menyakiti Zafran?”Zafran menggeleng, menyeka air matanya kemudian berhambur memeluk Fakhri. Fakhri hanya diam menangkap rangkulan Zafran dan membalasnya dengan erat.“Zafran hanya mau sama Ayah, bukan Om Damar.”Lagi-lagi kalimat itu terlontar dari bibir Zafran. Fakhri tidak bisa m
“Tante Tika??” seru Aina tertahan.Wanita cantik itu terkejut setengah mati dengan kehadiran Bu Tika apalagi ditambah dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Fakhri melihat kepanikan Aina. Perlahan ia menurunkan Zafran dan memintanya masuk ke dalam rumah lebih dulu. Kemudian Fakhri berjalan menghampiri Bu Tika.“Selamat malam, Tante,” sapa Fakhri dengan sopannya.Bu Tika tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala sambil menatap sinis ke arah Fakhri. Fakhri menyadari kenapa Bu Tika bersikap seperti itu padanya. Pasti wanita paruh baya itu sudah sibuk berpikir banyak hal di benaknya.“Kalian tidak ada yang mau menjawab pertanyaan Tante?”Kembali Bu Tika bersuara dan tentu saja sorot matanya semakin tajam menginterogasi Aina serta Fakhri.“Pertanyaan apa, Tante? Tentang sebutan ‘ayah’ untukku tadi?”Fakhri yang menjawab dan dengan nada ringan, sama sekali dia tidak menunj