“B? Golongan darahnya B?” ulang Damar.
Bu Rahma tampak terkejut melihat reaksi Damar, tapi wanita paruh baya itu hanya mengangguk. Sementara Damar terdiam dan terlihat linglung. Entah apa yang sedang ada di benaknya kali ini. Tanpa sengaja dia juga memiliki golongan darah yang sama dengan Zafran. Apa itu artinya …
“Memangnya golongan darahmu juga B, Damar?” Tiba-tiba Bu Rahma bertanya membuyarkan lamunan Damar.
Damar mendongak menatap dengan bingung. Bibirnya terkatup rapat, tapi kepalanya dengan refleks mengangguk. Tentu saja reaksi Damar membuat Bu Rahma terkejut. Jantung Damar kembali berpacu lebih cepat. Ia takut Bu Rahma akan berpikir yang bukan-bukan tentangnya.
“Huh, tahu gitu Tante langsung menghubungimu. Saat itu kami kesulitan mencari donor darah untuk Zafran. Dia sempat … .”
Damar merasa lega saat tahu Bu Rahma malah sibuk menceritakan tentang kesulitannya mencari darah untuk Zafran ketik
“Atau perlu kubuktikan dengan test DNA kalau Zafran anakku?” imbuh Damar.Aina tercengang. Matanya melebar menatap tanpa lepas pria di depannya. Ia tidak menduga pada akhirnya situasi seperti ini akan dia hadapi. Belum ada jawaban dari bibir Aina. Ia terlihat bingung dan tak tahu harus menjelaskan dari mana.“A—ku … aku juga tidak tahu kalau dia anakmu.” Akhirnya Aina bersuara dan terdengar bergetar saat ini. Bisa jadi banyak rasa yang sedang ditahannya sejak tadi.“Yang pasti … usai kejadian malam itu, aku memang langsung hamil,” imbuh Aina.Kini dia menunduk dan berusaha menghindar dari tatapan Damar. Kejadian malam itu mati-matian dilupakan Aina. Disimpan rapat dalam memorinya sebagai kenangan terburuk dalam hidupnya. Tidak diduga kejadian itu membuat dia berpisah dengan Fakhri dan malah mempertemukannya dengan Damar kembali.“Aku benar-benar tidak tahu dia anak siapa. Semuanya baru a
“Bunda … Bunda … semalam tidur Zafran nyenyak banget. Terus Zafran juga mimpi dipeluk Ayah,” ucap Zafran pagi itu.Bocah laki-laki itu tampak ceria dengan senyum manis yang terukir di wajah tampannya. Ia sedang berdiri di samping Aina. Ada Damar yang duduk di depannya memperhatikan.Aina yang sedang menyiapkan sarapan hanya terdiam. Sesekali matanya melirik Damar yang duduk di depannya. Zafran memang tidak tahu jika semalam Damar tidur dengannya bahkan pria manis itu memeluknya sepanjang malam.“WAH!!! Asyik Bunda bikin nasi goreng ama omelet!!!” Lagi-lagi suara Zafran mendominasi suasana ruang makan tersebut.“Emang Zafran suka omelet?” Kini Damar yang sedari tadi diam mengajukan pertanyaan.Zafran mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Om. Apalagi omelet buatan Bunda enak banget.”Damar sontak terdiam, menatap Zafran dengan bibir terkatup rapat. Entah mengapa ada sakit yang dirasa s
“Maaf, Damar. Sepertinya aku harus segera pulang. Ibu kolaps,” ujar Aina.Ia baru saja mengakhiri panggilannya dengan Rini dan langsung berkata seperti itu ke Damar. Damar mengangguk mengiyakan permintaan Aina.“Kalau begitu biar aku pesankan tiket pesawatnya. Kebetulan aku juga akan pulang hari ini.”Aina mengangguk, mengiyakan tawaran Damar. Dari dulu, ia selalu mengkhawatirkan keadaan ibunya. Bahkan Aina sempat mengurungkan niatnya pindah keluar pulau sebelumnya.Selang beberapa saat mereka sudah tiba di kota asal. Aina tampak berjalan tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Ada Zafran digandeng Aina dengan Damar juga di sana. Langkah Aina terhenti begitu melihat Rini di depan ruang tunggu.“Rin, Ibu gimana?” seru Aina.Rini menoleh dan langsung berhambur memeluk Aina.“Gak tahu, Mbak. Dokter masih menanganinya. Semoga saja Ibu bisa melaluinya kali ini.”Rini menjawab dengan sese
“Mas Fakhri!!!” seru Aina.Sosok itu membeku, berdiri di tempatnya sambil menatap Aina tanpa kedip. Memang sosok yang baru masuk ruangan rawat inap Bu Hani adalah Fakhri. Fakhri tampak masih mengenakan baju kerja. Dasinya masih terpasang, jasnya juga melekat pas, penampilannya sama seperti yang dulu. Yang berbeda hanya satu, ia sudah memotong habis rambut gondrongnya dan tentu saja penampilannya kali ini membuat Aina terkejut.Jakun Fakhri naik turun menelan saliva kemudian menganggukkan kepala dengan kikuk dan tersenyum.“Aina … kamu di sini?” Gugup Fakhri bersuara.Aina mengangguk, bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Fakhri. Langkah Aina terlihat penuh percaya diri apalagi tatapan matanya sangat tajam tidak seperti dulu.“Iya. Mas, ada keperluan apa ke sini?” Aina malah balik bertanya.Fakhri terdiam sesaat. Mulutnya terbuka dan tertutup tampak kebingungan bersuara, kemudian matanya mel
“Mas, akhir pekan ini Mama dan Papa ngajak kita liburan ke puncak. Aku sudah menyetujuinya dan kamu pasti ikut, kan?” ujar Wulan pagi itu.Fakhri hanya diam, tidak menanggapi dan tampak sibuk menikmati makan paginya. Wulan tersenyum sambil terus menatap Fakhri berharap mendapat jawaban darinya.“Devi dan suaminya juga ikut, jadi liburan kita kali ini akan ramai.” Wulan menambahkan kalimatnya. Kali ini dia bahkan menyebut nama adiknya.“Oh ya, aku hampir lupa kemarin Devi telepon. Dia bilang, suaminya mau pinjam kamu uang untuk modal usaha. Dikit kok, Mas. Cuman lima ratus juta. Aku jawab iya saja. Kamu pasti punya, kan?”Seketika Fakhri mengangkat kepala dan menoleh ke arah Wulan. Wulan langsung tersenyum membalas tatapan Fakhri.“Lima ratus juta? Bukannya tempo hari sudah pinjam lima ratus juta juga belum kembali. Kenapa kini pinjam lagi? Memangnya dia bikin usaha apa?”Wulan terlihat kesal me
“Gak usah, Mas!!” seru Aina.Dia sangat terkejut dengan kehadiran Fakhri yang tiba-tiba ditambah dengan ucapannya tadi. Aina menggeleng sambil menatap Fakhri yang berdiri di depannya.“Kenapa? Apa salahnya aku membantu?” ucap Fakhri.Aina menarik napas sambil melihat tangan Fakhri yang terulur sambil memegang black card-nya.“Simpan saja uangmu. Bukankah Wulan yang lebih membutuhkan. Lagi pula aku sudah punya pekerjaan dan sanggup membayarnya.”Aina menyingkirkan tangan Fakhri menjauh kemudian menyodorkan black card miliknya ke karyawan rumah sakit tersebut.“Ini, Mbak,” ucap Aina.Fakhri tidak bersuara, tapi matanya melirik kartu yang disodorkan Aina barusan. Sempat terlintas tanya di benak Fakhri. Dari mana Aina mendapat uang? Kalaupun dia bekerja apa mungkin bisa mendapat penghasilan setara dengannya. Bukankah pemilik black card hanya orang tertentu saja. Apa mungkin Aina bekerja deng
“Bunda, ada Ayah!!!” seru Zafran.Fakhri membalikkan badan dan melihat Zafran sedang tersenyum menatapnya. Tidak hanya Zafran yang sedang melihat ke arahnya kali ini. Ada Damar juga yang sedang berdiri di dekat pintu menatap Fakhri.“Kamu di sini, Fakhri,” sapa Damar.Fakhri tersenyum canggung sambil menganggukkan kepala. Di belakang Damar, ia melihat Aina. Sayangnya Aina hanya menunduk dan sama sekali tidak melihat ke arahnya.“Aku … aku hanya mau terima kasih ke Aina karena sudah menjenguk Ibu.” Akhirnya setelah terdiam beberapa saat, Fakhri bersuara.“Akh … iya, tadi Aina cerita. Sayang, aku belum sempat menjenguk, Fakhri.”Alih-alih Aina yang menjawab ungkapan terima kasih Fakhri, malah Damar yang mengambil alih kali ini. Fakhri terdiam, ia menjawab ucapan Damar dengan anggukkan kepalanya.“Ayo, Om. Buruan!! Nanti keburu tutup bioskopnya.” Tiba-tiba Zafran b
“Kamu sudah minum obatnya, Wulan?” tanya Fakhri malam itu.Hampir tiga bulan usai pembicaraan mereka mengenai program hamil dan sepertinya Wulan terpaksa menuruti permintaan Fakhri. Sudah seminggu ini, Wulan minum obat rutin dari dokter kandungan kenalan Fakhri. Sepertinya Fakhri memang tidak sabar ingin mempunyai anak lagi.Wulan hanya mengangguk sambil tersenyum. Fakhri membalas senyumannya. Ia sudah naik ke atas kasur kemudian langsung memeluk Wulan dan mendekatkan wajahnya bersiap mencumbu Wulan.Namun, Wulan buru-buru mendorong tubuh Fakhri. Tentu saja Fakhri terkejut dengan penolakan Wulan kali ini. Kedua alis pria tampan itu terangkat dengan mata bertanya ke Wulan.“Aku lagi halangan, Mas,” cicit Wulan lirih.Fakhri hanya diam. Jakunnya naik turun menelan saliva, kemudian menganggukkan kepala. Seingat Fakhri, Wulan baru saja halangan, tapi mengapa sudah halangan lagi. Bahkan dia sudah hapal siklus istrinya.&ld
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,