“Aku janji akan berubah. Aku akan bersikap adil dan kalau bisa secepatnya menyudahi pernikahan poligami ini. Hanya kita bertiga saja. Kamu, aku dan Zafran,” urai Fakhri.
Matanya menatap sendu dengan wajah penuh cinta dan senyum yang terus terukir di raut tampannya. Aina hanya diam membisu sambil melhat pria di depannya. Suaranya sangat merdu, melantunkan kata rayuan yang menggugah hati.
Tatapan dan gestur tubuhnya sungguh menyakinkan, sama seperti saat itu. Namun, pada akhirnya dia tidak bisa berkutik jika Wulan yang meminta. Bahkan Fakhri meninggalkannya saat Aina merenggang nyawa di meja operasi.
Emosinya pun sangat labil. Naik turun sesuka hati. Kadang begitu mesra, kadang juga begitu kejam. Meski ini bukan Fakhri yang ia kenal dulu, tapi Aina akhirnya sadar kalau dia sudah berharap pada pria yang salah.
Perlahan Aina menarik tangannya dari genggaman Fakhri. Fakhri tampak terkejut, matanya terluka menatap sedih ke arah Aina. Aina buru-buru
“Apa karena malam itu, Aina?” imbuh Damar.Aina terdiam, matanya melebar dan terlihat ekspresi terkejut di wajahnya. Ia menghela napas dan buru-buru memalingkan wajah, menjauh dari Damar. Tentu saja gestur tubuh Aina membuat Damar semakin penasaran.“Enggak. Kamu … kamu salah dengar. Mas Fakhri sedang emosi dan bicara sembarangan saat itu.”Damar tertegun mendengar jawaban Aina. Namun, semua gestur tubuh wanita cantik ini membuat Damar semakin penasaran. Damar yakin Aina menyembunyikan sesuatu darinya.“Zafran, ayo cepat makannya, Sayang!! Kita akan check in.”Alih-alih menjelaskan ke Damar, Aina malah berseru memanggil Zafran kali ini. Bahkan ia sudah membalikkan badan bersiap meninggalkan Damar. Namun, tangan Damar lebih dulu mencekal lengan Aina membuat wanita cantik itu urung berlalu.“AINA!!”Lagi-lagi tidak ada jawaban di bibir Aina, matanya terkunci menatap Damar berharap p
“B? Golongan darahnya B?” ulang Damar.Bu Rahma tampak terkejut melihat reaksi Damar, tapi wanita paruh baya itu hanya mengangguk. Sementara Damar terdiam dan terlihat linglung. Entah apa yang sedang ada di benaknya kali ini. Tanpa sengaja dia juga memiliki golongan darah yang sama dengan Zafran. Apa itu artinya …“Memangnya golongan darahmu juga B, Damar?” Tiba-tiba Bu Rahma bertanya membuyarkan lamunan Damar.Damar mendongak menatap dengan bingung. Bibirnya terkatup rapat, tapi kepalanya dengan refleks mengangguk. Tentu saja reaksi Damar membuat Bu Rahma terkejut. Jantung Damar kembali berpacu lebih cepat. Ia takut Bu Rahma akan berpikir yang bukan-bukan tentangnya.“Huh, tahu gitu Tante langsung menghubungimu. Saat itu kami kesulitan mencari donor darah untuk Zafran. Dia sempat … .”Damar merasa lega saat tahu Bu Rahma malah sibuk menceritakan tentang kesulitannya mencari darah untuk Zafran ketik
“Atau perlu kubuktikan dengan test DNA kalau Zafran anakku?” imbuh Damar.Aina tercengang. Matanya melebar menatap tanpa lepas pria di depannya. Ia tidak menduga pada akhirnya situasi seperti ini akan dia hadapi. Belum ada jawaban dari bibir Aina. Ia terlihat bingung dan tak tahu harus menjelaskan dari mana.“A—ku … aku juga tidak tahu kalau dia anakmu.” Akhirnya Aina bersuara dan terdengar bergetar saat ini. Bisa jadi banyak rasa yang sedang ditahannya sejak tadi.“Yang pasti … usai kejadian malam itu, aku memang langsung hamil,” imbuh Aina.Kini dia menunduk dan berusaha menghindar dari tatapan Damar. Kejadian malam itu mati-matian dilupakan Aina. Disimpan rapat dalam memorinya sebagai kenangan terburuk dalam hidupnya. Tidak diduga kejadian itu membuat dia berpisah dengan Fakhri dan malah mempertemukannya dengan Damar kembali.“Aku benar-benar tidak tahu dia anak siapa. Semuanya baru a
“Bunda … Bunda … semalam tidur Zafran nyenyak banget. Terus Zafran juga mimpi dipeluk Ayah,” ucap Zafran pagi itu.Bocah laki-laki itu tampak ceria dengan senyum manis yang terukir di wajah tampannya. Ia sedang berdiri di samping Aina. Ada Damar yang duduk di depannya memperhatikan.Aina yang sedang menyiapkan sarapan hanya terdiam. Sesekali matanya melirik Damar yang duduk di depannya. Zafran memang tidak tahu jika semalam Damar tidur dengannya bahkan pria manis itu memeluknya sepanjang malam.“WAH!!! Asyik Bunda bikin nasi goreng ama omelet!!!” Lagi-lagi suara Zafran mendominasi suasana ruang makan tersebut.“Emang Zafran suka omelet?” Kini Damar yang sedari tadi diam mengajukan pertanyaan.Zafran mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Om. Apalagi omelet buatan Bunda enak banget.”Damar sontak terdiam, menatap Zafran dengan bibir terkatup rapat. Entah mengapa ada sakit yang dirasa s
“Maaf, Damar. Sepertinya aku harus segera pulang. Ibu kolaps,” ujar Aina.Ia baru saja mengakhiri panggilannya dengan Rini dan langsung berkata seperti itu ke Damar. Damar mengangguk mengiyakan permintaan Aina.“Kalau begitu biar aku pesankan tiket pesawatnya. Kebetulan aku juga akan pulang hari ini.”Aina mengangguk, mengiyakan tawaran Damar. Dari dulu, ia selalu mengkhawatirkan keadaan ibunya. Bahkan Aina sempat mengurungkan niatnya pindah keluar pulau sebelumnya.Selang beberapa saat mereka sudah tiba di kota asal. Aina tampak berjalan tergesa menyusuri lorong rumah sakit. Ada Zafran digandeng Aina dengan Damar juga di sana. Langkah Aina terhenti begitu melihat Rini di depan ruang tunggu.“Rin, Ibu gimana?” seru Aina.Rini menoleh dan langsung berhambur memeluk Aina.“Gak tahu, Mbak. Dokter masih menanganinya. Semoga saja Ibu bisa melaluinya kali ini.”Rini menjawab dengan sese
“Mas Fakhri!!!” seru Aina.Sosok itu membeku, berdiri di tempatnya sambil menatap Aina tanpa kedip. Memang sosok yang baru masuk ruangan rawat inap Bu Hani adalah Fakhri. Fakhri tampak masih mengenakan baju kerja. Dasinya masih terpasang, jasnya juga melekat pas, penampilannya sama seperti yang dulu. Yang berbeda hanya satu, ia sudah memotong habis rambut gondrongnya dan tentu saja penampilannya kali ini membuat Aina terkejut.Jakun Fakhri naik turun menelan saliva kemudian menganggukkan kepala dengan kikuk dan tersenyum.“Aina … kamu di sini?” Gugup Fakhri bersuara.Aina mengangguk, bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Fakhri. Langkah Aina terlihat penuh percaya diri apalagi tatapan matanya sangat tajam tidak seperti dulu.“Iya. Mas, ada keperluan apa ke sini?” Aina malah balik bertanya.Fakhri terdiam sesaat. Mulutnya terbuka dan tertutup tampak kebingungan bersuara, kemudian matanya mel
“Mas, akhir pekan ini Mama dan Papa ngajak kita liburan ke puncak. Aku sudah menyetujuinya dan kamu pasti ikut, kan?” ujar Wulan pagi itu.Fakhri hanya diam, tidak menanggapi dan tampak sibuk menikmati makan paginya. Wulan tersenyum sambil terus menatap Fakhri berharap mendapat jawaban darinya.“Devi dan suaminya juga ikut, jadi liburan kita kali ini akan ramai.” Wulan menambahkan kalimatnya. Kali ini dia bahkan menyebut nama adiknya.“Oh ya, aku hampir lupa kemarin Devi telepon. Dia bilang, suaminya mau pinjam kamu uang untuk modal usaha. Dikit kok, Mas. Cuman lima ratus juta. Aku jawab iya saja. Kamu pasti punya, kan?”Seketika Fakhri mengangkat kepala dan menoleh ke arah Wulan. Wulan langsung tersenyum membalas tatapan Fakhri.“Lima ratus juta? Bukannya tempo hari sudah pinjam lima ratus juta juga belum kembali. Kenapa kini pinjam lagi? Memangnya dia bikin usaha apa?”Wulan terlihat kesal me
“Gak usah, Mas!!” seru Aina.Dia sangat terkejut dengan kehadiran Fakhri yang tiba-tiba ditambah dengan ucapannya tadi. Aina menggeleng sambil menatap Fakhri yang berdiri di depannya.“Kenapa? Apa salahnya aku membantu?” ucap Fakhri.Aina menarik napas sambil melihat tangan Fakhri yang terulur sambil memegang black card-nya.“Simpan saja uangmu. Bukankah Wulan yang lebih membutuhkan. Lagi pula aku sudah punya pekerjaan dan sanggup membayarnya.”Aina menyingkirkan tangan Fakhri menjauh kemudian menyodorkan black card miliknya ke karyawan rumah sakit tersebut.“Ini, Mbak,” ucap Aina.Fakhri tidak bersuara, tapi matanya melirik kartu yang disodorkan Aina barusan. Sempat terlintas tanya di benak Fakhri. Dari mana Aina mendapat uang? Kalaupun dia bekerja apa mungkin bisa mendapat penghasilan setara dengannya. Bukankah pemilik black card hanya orang tertentu saja. Apa mungkin Aina bekerja deng
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya.Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala.“Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---”“Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri.Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk.“Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.”Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya.“Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melakukan in
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd
“Aina sudah pulang, Mas?” tanya Wulan.Wanita berkulit putih bak porselen itu langsung menyambut Fakhri dengan pertanyaan begitu ia masuk ke dalam rumah. Fakhri tidak menjawab hanya melengos sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah seakan sedang mencari Bu Rahma.“Ibu istirahat di kamar.” Seakan tahu pertanyaan Fakhri, Wulan langsung berkata seperti itu.Fakhri mengangguk kemudian bersiap pergi meninggalkan Wulan. Tentu saja Wulan kesal dengan sikapnya. Padahal dia baru datang, tapi tidak ada orang yang mau menemaninya.“Kamu mau ke mana?” sergah Wulan.Fakhri menghentikan langkahnya dan menoleh ke Wulan. “Istirahat. Aku ngantuk.”Wulan tercengang mendengar jawaban Fakhri.“Kamu dan Ibu sama saja. Aku datang, tidak ada yang menyambut. Menemani makan pun tidak. Malah ditinggal tidur,” protes Wulan.Fakhri tersenyum menyeringai sambil menatap Wulan dengan tajam.
“FAKHRI!!!”Bukan hanya nama Aina yang dipanggil, nama Fakhri juga disebut keras oleh Bu Rahma. Fakhri terjingkat kaget, buru-buru mengangkat kepala dan perlahan mengurai pelukannya. Hal yang sama juga dilakukan Aina.Wanita cantik itu tampak gugup, berulang Aina menyibak rambut sambil menundukkan kepala. Ia sendiri tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Apa jadinya jika Bu Rahma tidak datang? Apa Fakhri akan menciumnya dan ia mengizinkannya?“Ibu, ngagetin aja.” Fakhri bersuara dan terdengar biasa. Sepertinya dia dengan mudah menetralisir keadaan.Sementara Bu Rahma hanya diam sambil menatap Fakhri dengan tajam. Fakhri menghela napas panjang sambil memalingkan wajah. Ibunya pasti akan menceramahinya setelah ini. Fakhri sangat mengenal ibunya.Langkah Bu Rahma sudah berhenti di depan Aina. Aina tampak serba salah. Ia juga menyesal dengan kejadian barusan. Harusnya ia menolak saat Fakhri memeluknya. Pasti Bu Rahma akan berpik
“Kok, kamu datang sendiri, Fakhri. Wulan mana?” tanya Bu Rahma.Sabtu pekan ini adalah hari ulang tahun Bu Rahma. Seperti biasa, Fakhri selalu datang ke rumah ibunya untuk merayakan hari istimewa itu. Mungkin dulu dia akan datang bersama Aina dan Zafran, tapi tidak untuk hari ini.“Wulan nanti nyusul, Bu. Dia sedang nyiapin kejutan untuk Ibu,” jawab Fakhri.Ia sengaja bohong, karena dia tidak tahu Wulan sudah datang atau belum hari ini. Dia juga tidak mau mencari tahu keberadaan Wulan.“Kok gitu, sih. Kalian itu suami istri, kalian tidak berantem, kan? Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik. Jangan seperti sebelumnya, Fakhri.”Fakhri hanya tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Hingga saat ini, Bu Rahma tidak tahu jika dia dan Wulan hidup terpisah. Bu Rahma juga tidak tahu mengenai rencana Fakhri untuk menceraikan Wulan.Meski tinggal satu kota, tapi Bu Rahma lebih sering berpergian keluar kota. Bu
“Emang kamu mau pergi ke mana? Jangan ngawur kalau ngomong,” sergah Robby.Pria bermata sipit itu tampak marah usai mendengar ucapan Fakhri. Sementara Fakhri hanya diam, tampak melamun sambil menatap kosong ke depan.“Apa kamu bersikap seperti ini gara-gara Aina akan menikah dengan Damar?” Robby menebak sikap Fakhri yang aneh.Fakhri tidak menjawab, hanya melirik Robby sekilas. Sementara Robby menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Mereka terdiam beberapa saat, sibuk dengan benaknya masing-masing.“Katamu sudah mengikhlaskannya. Sudah merelakannya bahagia, kenapa sekarang seperti ini lagi?” Robby memecah keheningan mereka.“Iya, mulutku yang bicara kayak gitu. Namun, hatiku tidak bisa melakukannya.”Robby langsung terdiam, terkatup rapat usai mendengar jawaban Fakhri. Robby masih ingat saat Fakhri bercerita tentang perjodohannya kala itu. Fakhri sangat senang begitu mengenal Aina,
“Bandara? Ngapain kita ke ---”Belum sempat Fakhri menyelesaikan kalimatnya, panggilan Robby sudah terputus.Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Dia tidak tahu mengapa Robby tiba-tiba memintanya ke bandara. Kemudian tanpa pikir panjang, Fakhri bangkit, berjalan tergesa keluar ruangan.Selang beberapa jam kemudian, ia sudah tiba di bandara. Setelah memarkir mobilnya, Fakhri berjalan menuju pintu keberangkatan. Matanya beredar mencari Robby, usai meneleponnya tadi ponsel Robby tidak bisa dihubungi.PUK!!Sebuah tepukan singgah di bahu Fakhri. Ia menoleh dan melihat Robby sedang menatapnya dengan kecewa.“Kenapa lama sekali? Terus bajumu mana?” cercah Robby.Fakhri menarik napas panjang sambil menatap Robby dengan bingung.“Memangnya kita mau ke mana? Mengapa dadakan begini? Lagian aku tadi terkena macet.”Robby mendengkus dengan kasar, melirik Fakhri dengan tajam sambil melipat
“Pak, berikut beberapa laporan yang Bapak minta,” ucap Susi.Fakhri baru saja datang dan duduk di kursi kerjanya saat Susi masuk ke ruangan sambil membawa beberapa berkas yang diminta. Fakhri hanya mengangguk sambil menatap tumpukan berkas tersebut.“Apa Wulan sudah datang, Sus?”Sejak kemarin Wulan tidak masuk kerja karena masih pusing akibat mabuk. Fakhri berpikir hari ini istrinya akan masuk seperti biasa. Belakangan ini Fakhri memang tidak bisa memantau jadwal istrinya.“Ibu Wulan tadi menelepon tidak masuk karena sakit, Pak.”Sontak Fakhri mengangkat kepalanya, menatap Susi dengan mata meruncing dan kedua alis yang terangkat.“Sakit?” Susi mengangguk mengiyakan pertanyaan Fakhri. Lama kelamaan sekretaris Fakhri ini tahu jika rumah tangga bosnya sedang tidak baik-baik saja.“Iya, Pak. Saya tidak tanya sakitnya apa.”Fakhri menghela napas panjang. Setahu Fakhri kema