"Wah, nyonya pulang malam banget nih! Digaji berapa belas juta kamu, gini hari baru pulang?!" Aku menelan ludah saat suara ibu mertua menyahut dari belakang tubuh wanita yang tidak aku kenali ini.
"Ibu, k-kapan Ibu sampai?" tanyaku sambil meraih tangan ibu mertua untuk menyalaminya."Sejak sore. Ini Sasa, sepupu Biru." Aku tersenyum pada gadis bernama Sasa itu."Sasa," katanya memperkenalkan diri.Di meja ruang tamu ada dua loyang pizza yang tersisa kotaknya saja. Bungkus saus dan juga gelas minum cup yang telah kosong, berceceran di lantai. Ibu mertuaku makan pizza. Makanan yang hanya mampu aku beli saat lebaran. Itu pun hanya loyang kecil."Ibu sudah makan?" tanyaku berbasa-basi."Sudah. Ibu kelaparan banget. Jadinya Biru belikan pizza. Jangan lupa kamu cuci piring dan beresin semua yang berantakan ini!""Baik, Bu." Aku melangkah masuk ke kamar dengan lemah. Lemah karena aku benar-benar capek dan ingin istirahat, tetapi sepertinya kedatangan mertua malah menambah beban pekerjaanku. Aku pun mandi dan berganti pakaian. Semua piring kotor yang ada di kitchen sink, sudah aku cuci bersih. Meskipun sambil menguap lebar berkali-kali, aku tetap menuntaskan pekerjaanku.Selesai mencuci piring, aku membereskan ruang depan. Suamiku belum juga pulang, padahal aku ingin menanyakan masalah ponsel dan dompetku. Aku sangat yakin, makanan yang disuguhkan Mas Biru untuk ibunya diambil dari dompetku."Hanun, kamu tidur di depan ya. Biar Ibu dan Sasa tidur di kamar kamu. Kami capek banget dari Yogyakarta ke Jakarta naik bus. Malam ini mau lepas lelah dulu.""Oh, baik, Bu." Aku tidak punya pilihan selain menuruti titah ibu mertua. Aku tidur di sofa yang sudah tidak lagi empuk, tetapi lumayan untuk melepas lelah. Jika dibandingkan dengan kasur di rumah Om Leon, sungguh lebih buruk seribu kali lipatnya.CklekPintu rumah terbuka. Mas Biru masuk dengan mengendap-endap. Mungkin ia mengira aku sudah tidur."Mas," panggilku."Aduh, kaget!" Mas Biru segera menyalakan lampu depan."Ngapain kamu di sini?" tanya Mas Biru dengan setengah berbisik."Di kamar ada ibu dan Sasa. Kasihan mereka capek katanya, jadi biar malam ini saya tidur di depan saja," kataku sambil tersenyum."Bagus kalau kamu ngerti." Mas Biru kembali menutup pintu rumah."Mas, dompet dan HP saya mana? Saya susah kalau gak ada HP," tanyaku."Kamu gak bisa sediain uang untuk aku tiga juta setengah kan? Makanya HP kamu, udah aku jual. Isi dompet kamu pun udah aku habiskan. Ibu datang dan mereka lapar. Buat ongkos sewa mobil jemput ke terminal, ditambah mampir makan kiefci, terus beli pizza untuk camilan. Jadi sisa satu juta uangnya, besok mau aku bayarkan motor yang nunggak. Besok kamu coba cari pinjaman lagi untuk bayar sisanya.""Kamu menjual ponselku tanpa ijin dan juga menghabiskan uangku tanpa ijin, apakah bukan pencuri namanya?" kataku tidak terima. Mata ini panas ingin mengeluarkan air mata, tetapi aku malas terlihat lemah di depan Mas Biru."Kamu mau aku tampar lagi?! Yang sopan kalau bicara dengan suami. Nanti semua aku ganti. Begitu aja perhitungan! Lagian kamu kan kerja. Jangan kayak orang susah! Udahlah, suami pulang udah diributin. Aku mau mandi, capek, mau tidur." Suamiku berjalan ke kamar mandi.Aku sudah bisa menebak endingnya terhadap ponselku, tetapi aku tidak menyangka tebakanku benar. Aku mengira Mas Biru hanya menyita saja, bukan benar-benar dijual. Jika sudah begini, maka aku sudah gak ada ponsel lagi. Malam ini aku tidur memunggungi Mas Biru yang tidur di atas karpet dengan kasur lipat. Aku harus cukup istirahat agar besok bisa kembali membabu seperti keinginan mertuaku.Pukul setengah lima aku bangun. Aku mandi dan langsung membuat sarapan. Ada sisa sedikit nasi, aku buat nasi goreng. Ibu mertuaku dan Sasa masih tidur. Begitu juga suamiku."Hanun, belikan Ibu nasi uduk pakai telur balado. Untuk Sasa belikan nasi kuning dengan telur balado juga. Gorengan beli lima. Jangan lupa untuk Biru juga belikan," titah ibu mertua yang tiba-tiba melongokkan kepala dari pintu kamar."Bu, maaf, saya gak pegang uang. Dompet saya kemarin dibawa Mas Biru. Jadi saya gak_""Ya ampun, pelit sekali kamu ini! Mertua jauh-jauh datang dari Yogya. Mau sarapan enak, malah bilangnya gak punya duit. Kamu punya gaji'kan? Berarti bisa ngebon dulu di tukang nasi uduk. Bayar pas gajian nanti. Udah sana, belikan nasi uduk! Itu nasi goreng jangan dibuang, kamu makan aja. Mubazir kalau gak ada yang makan! Jangan lupa, kasih sambal." Aku hanya bisa mengucap sabar di dalam hati. Belum saatnya aku bersikap sok mandiri karena aku gak punya apa-apa dan gak punya siapa-siapa juga.Selesai ngutang nasi uduk dan nasi kuning di warung Bu Cicih, aku pun bersiap untuk pergi ke rumah Om Leon. Suamiku masih tidur, begitu juga ibu mertua yang tidak kunjung keluar kamar."Bu, saya berangkat! Sarapannya udah di meja!" Aku pun bergegas pergi. Untungnya ada sisa receh yang aku korek dari tas selempang. Ada receh lima belas ribu yang bisa aku gunakan sebagai ongkos pergi ke rumah Om Leon. Aku tersenyum puas dalam hati. Pasti mertua dan Sasa tidak bisa makan dengan lahap karena bukan nasi uduk atau nasi kuning dipakein sambal, tapi sambal dipakein nasi kuning ha ha ha ... Semoga saja mereka tidak sakit perut.Aku tiba di alamat yang diberikan Bu Marissa kemarin. Namun, ini rumah yang berbeda dengan rumah yang sempat aku menginap satu malam di sana. Rumah besar dengan pagar tinggi di bagian depan. Pagar hitam kokoh yang temboknya diberikan kawat besi sebagai pengaman. Rumah ini tampak sepi, tetapi aku bisa melihat mobil BMW Om Leon, parkir di garasinya. "Permisi! Om Leon! Saya Hanun!" Seruku dari depan pagar. Tidak ada ponsel, sehingga aku tidak bisa meneleponnya. Tidak juga ada bel di dinding pagar, sehingga aku tidak tahu bagaimana cara memberitahu Om Leon, bahwa aku sudah di depan rumahnya. "Om Leon, permisi!" Teriakku lagi. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Aku berharap Om Leon belum pergi ke restoran karena ini sudah sangat terlambat. "Aku kira kamu gak jadi datang," ujar suara dari dalam. Tidak lama kemudian, pintu pagar pun terbuka. Om Leon menyambutku dengan senyuman. "Saya kesiangan ya, Om!" Kataku dengan tidak enak hati. Om Leon hanya tersenyum sambil mengunci kembali p
POV Leon"Umur kamu sudah terlalu tua dan mama kamu ini gak sanggup kalau harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan cucu dari kamu. Dua adik perempuan kamu sudah menikah dan masing-masing punya satu anak. Tinggal anak lelaki Mama satu-satunya yang belum memberikan Mama menantu, apalagi cucu. Jadi, Mama sudah putuskan untuk menjodohkan kamu dengan Renata. Wanita baik-baik dari keluarga terpandang. Mama menjodohkan kamu bukan dengan wanita karir karena Mama ingin kamu ada yang mengurus. Apa kamu paham?" aku meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Selalu hal ini saja yang menjadi perdebatanku dan mama bila ia datang berkunjung ke rumahku. Aku ingin menikah, Ma, tapi dengan Hanun. Mana sanggup bibir ini mengatakan hal demikian karena nanti Hanun yang mendapatkan celaka. "Leon tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya setuju. Berikan alamat Renata, nanti Leon berkunjung. Alamat kantor atau alamat rumah orang tuanya juga gak papa," kataku pada mama. Wajah wanitaku itu langsung ber
Tentu semua hanya gertakan saja. Mana tega aku membiarkan wanita yang aku cintai masuk penjara. Bukan hanya isi brangkas di restoran yang jika ia mau menjadi istriku, maka restoran ini pun bisa menjadi miliknya, tetapi selagi ia masih dalam ikatan pernikahan, tentu saja aku tidak boleh gegabah. Nanti Hanun juga yang susah. Sebuah kesempatanku membawa Hanun ke rumah yang hanya sesekali saja aku kunjungi. Ia tidur di kamar bersamaku malam ini, tetapi ia di ranjang dan aku di sofa. Tidak apa aku mengalah, karena aku tahu dia lelah. Suami yang ia harapkan bisa menjadi tumpuan harapan, malah memperalatanya. Bagaimana caraku untuk memberitahu Hanun, karena wanita di depanku yang sedang tidur ini salah mencintai pria?Mas, saya lagi gak punya uang. Saya gak bisa kasbon. Aku menoleh terkejut saat Hanun meracau dalam tidurnya. Kuhampiri ia dengan wajah lelah dan sangat sederhana. Kulitnya sawo matang, tidak putih seperti impian kebanyakan kaum Adam. Aku lebih suka kulit wanita asia yang sens
POV HanunMemang hanya cium pipi, tetapi badan ini langsung panas dingin. Untung saja Om Leon langsung pergi, sehingga aku bisa meneruskan pekerjaan rumah tangga. Jika tidak, maka aku akan sangat canggung berdekatan dengan pria itu. Terakhir aku dicium Mas Biru mungkin satu bulan lalu. Kami terus berdebat soal uang dan hal sepele, sehingga baik aku ataupun dia, malas berdekatan. Kumis tipis Om Leon dan jampang yang selalu ia cukur rapi masih terasa sedikit geli di pipi iniHanun, jangan genit kamu! Batinku mengingatkan. Aku melanjutkan pekerjaan sampai sore hari. Aku juga memasak karena semua bahan makanan ada di kulkas dua pintu mirip lemari pakaian itu. Ada daging segar yang aku olah jadi beef teriyaki. Aku juga merebus brokoli dan wortel. Aku masak secukupnya dan makan pun tidak banyak. Aku tidak mau aji mumpung di rumah Om Leon. Masih untung aku dipekerjakan di sini.Kring! KringAku mengangkat telepon yang berdering dari ruang tengah. "Halo.""Halo, Hanun, kamu lagi apa?""Baru
Pintu kamar terbuka. Mas Biru masuk dengan wajahnya yang masam. Aku malas bertanya dan berpura-pura tidur. Aku sedang tidak ingin bicara dengannya maupun mertuaku."Aku tahu kamu belum tidur," katanya pelan sambil menyentuh lengan ini. Aku diam, tidak menyahut sama sekali. Mata ini pun masih terpejam amat rapat. "Aku resign." Sontak aku membuka mata, lalu bangun duduk dengan begitu terkejutnya."Kamu resign, Mas? Kenapa? Udah punya kerjaan baru?" tanyaku dengan kening berkerut."Ada sedikit masalah di pabrik dan aku dipecat sih." "Masalah apa? Selama ini kamu gak pernah cerita." Suamiku membuka baju kausnya, menyisakan kaus dalam dan celana panjang saja. Ia yang awalnya duduk di pinggir ranjang, kini merosot duduk di bawah. "Urusan lelaki pokoknya. Intinya aku gak kerja dan aku gak bisa kasih kamu uang belanja bulanan lagi. Kamu usaha sendiri dulu untuk sementara waktu. Ibu dan Sasa juga tolong tanggulangi dulu. Nanti kalau aku udah kerja, aku ganti semua uang kamu, Hanun." Aku ter
"Ya ampun, Jeng Rissa, jadi mau mantu? Pantes aja kita-kita diundang ke sini arisannya.""Iya, Jeng Hel, doakan lancar ya, Jeng. Masih pedekate sih, tapi sinyalnya positif kok. Paling bukan depan, udah punya mantu saya. Anak lelaki satu-satunya, paling besar lagi, jadi maklum saja kalau kriterianya suka yang aneh-aneh. Maklumlah, harta dan perusahaan gak boleh sampai jatuh ke tangan yang salah. Bener gak bu-ibu?" "Betul sekali itu, Jeng. Mau hajatan di mana nih? GBK-kah? he he he ....""Nggak, Jeng, mungkin nanti ngunduh mantu di sini, paling di Hotel Harris Jakarta. Kalau akad di kampung calon anak saya, Jeng. Cantik deh, menantu saya. Orang desa, tapi ningrat. Bukan orang duafa, masih satu level dengan Leon."Percakapan demi percakapan hanya bisa aku dengarkan saat aku menata aneka makanan di meja. Ada banyak pesanan kue yang harus aku sajikan di piring hidang. Belum lagi desert puding dan es kelapa. Makan siangnya pun ada, lontong sayur. Aku yang belum makan apa-apa dari pagi ini
"Maaf, Om, sebelumnya terima kasih atas kebaikan Om Leon. Hanya saja, saya tidak bisa menginap. Di rumah saya sedang ada mertua dan ia menunggu saya pulang," jawabku dengan hati-hati. Om Leon mengangguk paham."Oke, mau saya antar? Ah, iya, kalimat saya salah. Ayo, saya antar kamu! Tenang, gak akan saya turunin di gang rumah kamu, tapi minimarket yang di dekat sana." "Gak papa saya naik angkot saja, Om, t-tapi saya pinjam tiga puluh ribu untuk ongkos malam ini dan besok, Om." Wajahku pasti sangat menyedihkan. Seperti tengah mengemis memohon belas kasihan orang lain. "Saya antar. Ayo, cuci muka dulu dan makan ya. Temani saya makan." Mau menolak pun percuma karena saat ini tanganku sudah ditarik paksa menuju dapur. "Tadi sore saya sudah makan, Om.""Iya, tapi bangun tidur, kamu pasti lapar lagi. Masih ada dua bungkus lontong. Kamu satu dan saya satu. Makan di sini sama saya." Aku pun akhirnya mengangguk setuju. Memang benar tebakan Om Leon bahwa orang yang baru saja bangun tidur, bia
Plak!"Hanun, siapa kamu mau bakar celana dalam Sasa? Emangnya kamu yang belikan itu celana?! Pulang kerja malah ngelunjak. Masuk sana dan kerjakan apa yang saya suruh! Kurang ajar sekali!" Pekik ibu mertuaku dengan mata berapi-api. Aku hanya bisa menelan ludah sambil menggertakkan gigi. Aku berbalik dan langsung masuk ke kamar mandi. Celana dalam berdarah tadi aku taruh begitu saja di gantungan kamar mandi. Aku memilih mandi dengan cepat dan tidak mau melakukan apa yang diminta mertuaku.Suara pintu terdengar dibuka. Aku yang sudah pulas akhirnya bangun dan menoleh ke arah pintu. Mas Biru pulang dengan wajah lusuh."Mas, udah pulang," sapaku dengan suara serak. Ia hanya diam saja. Menaruh ponselnya di nakas, lalu keluar lagi dari kamar. Aku mengerutkan kening dan langsung turun dari ranjang. Aku ke dapur untuk membuatkan teh."Astaghfirullah," gumamku saat melihat dapur sangat berantakan. Ada perabotan seperti bekas makan mi rebus. Kue yang aku bawa pun tidak ada yang tersisa, padaha