Pintu kamar terbuka. Mas Biru masuk dengan wajahnya yang masam. Aku malas bertanya dan berpura-pura tidur. Aku sedang tidak ingin bicara dengannya maupun mertuaku."Aku tahu kamu belum tidur," katanya pelan sambil menyentuh lengan ini. Aku diam, tidak menyahut sama sekali. Mata ini pun masih terpejam amat rapat. "Aku resign." Sontak aku membuka mata, lalu bangun duduk dengan begitu terkejutnya."Kamu resign, Mas? Kenapa? Udah punya kerjaan baru?" tanyaku dengan kening berkerut."Ada sedikit masalah di pabrik dan aku dipecat sih." "Masalah apa? Selama ini kamu gak pernah cerita." Suamiku membuka baju kausnya, menyisakan kaus dalam dan celana panjang saja. Ia yang awalnya duduk di pinggir ranjang, kini merosot duduk di bawah. "Urusan lelaki pokoknya. Intinya aku gak kerja dan aku gak bisa kasih kamu uang belanja bulanan lagi. Kamu usaha sendiri dulu untuk sementara waktu. Ibu dan Sasa juga tolong tanggulangi dulu. Nanti kalau aku udah kerja, aku ganti semua uang kamu, Hanun." Aku ter
"Ya ampun, Jeng Rissa, jadi mau mantu? Pantes aja kita-kita diundang ke sini arisannya.""Iya, Jeng Hel, doakan lancar ya, Jeng. Masih pedekate sih, tapi sinyalnya positif kok. Paling bukan depan, udah punya mantu saya. Anak lelaki satu-satunya, paling besar lagi, jadi maklum saja kalau kriterianya suka yang aneh-aneh. Maklumlah, harta dan perusahaan gak boleh sampai jatuh ke tangan yang salah. Bener gak bu-ibu?" "Betul sekali itu, Jeng. Mau hajatan di mana nih? GBK-kah? he he he ....""Nggak, Jeng, mungkin nanti ngunduh mantu di sini, paling di Hotel Harris Jakarta. Kalau akad di kampung calon anak saya, Jeng. Cantik deh, menantu saya. Orang desa, tapi ningrat. Bukan orang duafa, masih satu level dengan Leon."Percakapan demi percakapan hanya bisa aku dengarkan saat aku menata aneka makanan di meja. Ada banyak pesanan kue yang harus aku sajikan di piring hidang. Belum lagi desert puding dan es kelapa. Makan siangnya pun ada, lontong sayur. Aku yang belum makan apa-apa dari pagi ini
"Maaf, Om, sebelumnya terima kasih atas kebaikan Om Leon. Hanya saja, saya tidak bisa menginap. Di rumah saya sedang ada mertua dan ia menunggu saya pulang," jawabku dengan hati-hati. Om Leon mengangguk paham."Oke, mau saya antar? Ah, iya, kalimat saya salah. Ayo, saya antar kamu! Tenang, gak akan saya turunin di gang rumah kamu, tapi minimarket yang di dekat sana." "Gak papa saya naik angkot saja, Om, t-tapi saya pinjam tiga puluh ribu untuk ongkos malam ini dan besok, Om." Wajahku pasti sangat menyedihkan. Seperti tengah mengemis memohon belas kasihan orang lain. "Saya antar. Ayo, cuci muka dulu dan makan ya. Temani saya makan." Mau menolak pun percuma karena saat ini tanganku sudah ditarik paksa menuju dapur. "Tadi sore saya sudah makan, Om.""Iya, tapi bangun tidur, kamu pasti lapar lagi. Masih ada dua bungkus lontong. Kamu satu dan saya satu. Makan di sini sama saya." Aku pun akhirnya mengangguk setuju. Memang benar tebakan Om Leon bahwa orang yang baru saja bangun tidur, bia
Plak!"Hanun, siapa kamu mau bakar celana dalam Sasa? Emangnya kamu yang belikan itu celana?! Pulang kerja malah ngelunjak. Masuk sana dan kerjakan apa yang saya suruh! Kurang ajar sekali!" Pekik ibu mertuaku dengan mata berapi-api. Aku hanya bisa menelan ludah sambil menggertakkan gigi. Aku berbalik dan langsung masuk ke kamar mandi. Celana dalam berdarah tadi aku taruh begitu saja di gantungan kamar mandi. Aku memilih mandi dengan cepat dan tidak mau melakukan apa yang diminta mertuaku.Suara pintu terdengar dibuka. Aku yang sudah pulas akhirnya bangun dan menoleh ke arah pintu. Mas Biru pulang dengan wajah lusuh."Mas, udah pulang," sapaku dengan suara serak. Ia hanya diam saja. Menaruh ponselnya di nakas, lalu keluar lagi dari kamar. Aku mengerutkan kening dan langsung turun dari ranjang. Aku ke dapur untuk membuatkan teh."Astaghfirullah," gumamku saat melihat dapur sangat berantakan. Ada perabotan seperti bekas makan mi rebus. Kue yang aku bawa pun tidak ada yang tersisa, padaha
"Bangun terlalu siang, rejeki kamu nanti bisa dipatuk ayam!" Sindir ibu mertuaku saat aku baru saja keluar dari kamar. Tubuh ini mendadak demam dan kepalaku juga sangat berat, tetapi perut juga lapar. Aku tidak menyahut ucapan mertua. Aku lebih memilih langsung berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Pukul enam pagi baru aku ada tenaga untuk keluar kamar.Ya, Tuhan, dapurku masih seperti semalam. Sangat berantakan dan tidak ada yang membereskan. Piring kotor di mana-mana dan sedikit berminyak. Belum lagi aroma dari tong sampah kecil yang ada di dapur. "Bu, Sasa ke mana ya?" tanyaku dengan suara pelan."Saya tidur, kenapa?" "Bu, ini dapur belum dibereskan sejak kemarin," jawabku. "Itu tugas kamu, Hanun. Kenapa malah tanya Sasa? Saya alergi air sabun. Apa Biru gak cerita? Kamu saja yang bereskan semuanya. Setelah itu bikin nasi goreng. Ibu tadi udah masak nasinya, tinggal kamu goreng tuh! Harusnya bersyukur banget kamu dekat dengan mertua. Apalagi mertuanya seperti saya yang mau
POV Biru"Bu, Hanun udah berangkat?" tanyaku pada ibu yang tengah duduk santai di teras. Ibu menoleh sekilas, lalu kembali lagi menatap lalu-lalang tetangga yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing."Udah dari pagi dia berangkat. Ibu suruh masak, dia gak mau," kata ibuku lagi dengan wajah masam."Ibu tuh di sini tamu, malah jadi kayak babu! Kamu ini milih istri gimana sih? Bisa-bisanya modelan Hanun? Kamu mau sarapan ada di atas meja. Ada nasi goreng buatan Hanun, setelah itu kamu ke warung soto, belikan Ibu soto untuk makan siang. Ini udah mau siang," kata ibuku mengoceh tiada henti. Aku tanya satu kalimat, ia jawab satu bab novel. Begitulah orang tua bila sedang kesal."Soalnya tadi katanya sakit, Bu, makanya saya kirain gak kerja. Berarti udah sehat. Mama Sasa? Tumben Ibu duduk sendiri?" tanyaku. "Sasa lagi bikin surat lamaran di dalam. Dia kerjakan pake HP. Ke sini niat mau kerja, malah susah dapat kerjaan. Kamu bilangin Hanun, biar Sasa kerja di restoran Hanun." Aku hany
Aku begitu senang memiliki uang cash dua belas juta di tangan. Tentu saja aku tidak langsung pulang, melainkan mampir ke toko pakaian; membelikan ibu dua buah daster dan juga daster buat Hanun. Tidak lupa aku juga belikan baju kaos untuk Sasa. Semua wanita di dalam rumahku, aku belikan oleh-oleh. Hanun pasti senang karena ia aku belikan baju. Hubungan suami istri kamu pasti kembali membaik.Lima ratus ribu aku keluarkan untuk berbelanja pakaian, masih tersisa sebelas juta lima ratus ribu lagi dan uang ini aku bawa ke showroom motor seken. Ya, sudah aku putuskan untuk membeli motor seken secara cash, agar aku tidak perlu pusing memikirkan cicilan. Tidak apa tidak keren, asalkan ada kendaraan untuk pergi ke sana kemari atau untuk aku bekerja jadi ojek online nanti. Motor Honda Levo masih bagus adalah plihanku setelah melihat beberapa unit roda dua yang lainnya. Semua motor matic seken harganya mahal, hanya motor manual yang harganya jauh miring dari pada yang lain. Dengan uang tujuh ju
"Kamu udah sehat? Tapi kayaknya masih pucat," tanyaku pada Hanun. Aku memeriksa keningnya, tetapi ia tepis pelan. "Masih kurang sehat, makanya mau langsung istirahat setelah bersih-bersih. Saya gak mau mandi, dingin." Hanun keluar lagi dari kamar sambil membawa handuk. Mood istriku belum sepenuhnya kembali, ditambah Hanun yang masih sakit. Seprei yang tadi sempat berantakan, aku rapikan kembali. Aneka hadiah aku taruh di atasnya, agar istriku senang saat ia melihatnya nanti. Segelas air putih dan obat yang biasa pun sudah aku siapkan untuk Hanun. "Wah, udah langsung rapi kamarnya! Siapa yang rapikan, Mas?" tanya Hanun bignung. Ia sudah mengganti baju dengan daster kebesaran yang sudah pudar warnanya."Aku dong!" Jawabku bangga. Hanun melirik bungkusan yang aku taruh di atas ranjang."Apa ini?" tanyanya."Baju buat kamu.""Kamu habis ngerampok di mana, Mas? Kenapa tiba-tiba banyak uang untuk beli baju? Bukannya selama ini gak pernah? Terus apa motor di depan itu juga motor kamu?" ce
"Bagaimana mama?" tanya Leon pada Angel."Masih mengunci diri di kamar, Mas." Angel menaruh segelas air putih di atas meja untuk Leon. "Untuk apa menangisi bajingan." Leon tertawa pendek. Angel hanya bisa mengangkat bahunya. "Apa kita gak terlalu keras pada mama? Mama bisa sakit loh, Mas.""Kita bis jatuh miskin kalau Xabir dibiarkan lama menjadi benalu." Angel yang tadinya duduk di depan Leon, kini berpindah duduk menjadi di samping kakaknya itu."Lalu bagaimana, Xabir? Bisa-bisa dia mati dipatok ular, Mas," tanya Angel sambil berbisik."Bisa banget. Itu yang Mas harapkan. Biar dia kapok!""Lalu ibu dan sodaranya itu?""Ada di hutan. Entah sudah mati atau belum. Mereka manusia-manusia benalu yang kalau hidup lama itu, bakalan nyusahin orang. Lagian, jika mereka berani muncul, maka polisi sudah siap menangkap mereka.""Mama mungkin akan susah menerima takdir ini, tapi nanti juga mama bisa paham apa yang aku lakukan ini juga demi mama. Lagian mama udah tua, udah harusnya hidup tenang
"Mama, apa yang terjadi pada Mama? Kenapa Mama sendirian di villa? Mana Biru dan keluarganya?" Bu Marissa yang baru saja membuka matanya, langsung merasa kepalanya bertambah sakit setelah Angel mencecarnya."Apa, Xabir? Ini di mana?" tanya Bu Marissa sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya."Mama di rumah sakit. Ini sudah malam. Mama baru sadar setelah Mama tidur sejak pagi. Ada apa, Ma?" Bu Marissa semakin mengerutkan keningnya. "Gak mungkin, Mama ada di villa bersama Xabir dan juga keluarganya.""Ma, Xabir gak ada di villa saat Mas Leon sampai di sana. Keluarganya juga. Ponsel Mama pun tidak ada keduanya. Mama diperdaya lelah bajingan itu!" Bu Marissa terdiam. Matanya tiba-tiba berair."Gak mungkin, Xabir mencintai Mama. Mau apa dia bikin Mama kayak gini. Semua udah Mama kasih sama dia." Bu Marissa menangis. Pintu kamar perawatan VVIP terbuka. Leon masuk dengan wajah murung. "Leon, Angel barusan cerita omong kosong!" Leon tersenyum miring. Ia mengeluarkan amplop coklat dari da
Malam ini Leon bisa tidur dengan nyenyak. Semua bukti sudah ia kumpulkan, setelah lewat Hanun, ia mendapatkan banyak foto dan juga data diri dari Xabiru. Termasuk data dari pabrik, tempat Biru kerja hampir tujuh tahun. Foto Bu Wati pun ada. Semua ia print dan masukkan ke dalam amplop coklat. Semua data sudah lengkap dan tidak perlu ada yang ia ragukan. Biru akan mendekam dalam penjara bersama ibu dan sepupunya.Keesokan harinya, Leon yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendengar notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Pria itu setengah berlari untuk mengecek siapa yang mengirimkan pesan.MamaLeon, Mama sedang bersama Xabir, lagi liburan sebentar. Mungkin dua sampai tiga hari. Kamu gak usah cari mama ya, mama baik-baik aja.Syukurlah mama baik-baik aja. Ada yang mau Leon beritahu tentang Xabir. Mama harus pulang secepatnya ya.SendMamaAda apa? Kamu mau fitnah Biru seperti apa lagi? Sudah ya. Jangan sirik dengan kebahagiaan yang saat ini sedang mama nikmatiLeon langsung menekan pan
Leon menghubungi dua adiknya untuk menanyakan keberadaaan bu Marissa, tetapi keduannya tidak ada yang tahu. Keon mencoba menghubungi rekan bisnis mamanya yang lain untuk mengecek janji temu, tetapi ia tidak mendapatkan ada jadwal meeting dengan rekan bisnis untuk tiga hari ke depan. Hal ini ia ketahui dari sang Sekretaris. Disaat Leon sibuk mencari mamanya, disaat itu pula Xabir sedang menikmati waktu berdua dengan istrinya. Ya, mereka sedang berada di sebuah villa yang ada di Bogor, setelah kemarin keduanya pergi ke bank untuk memindahkan sejumlah uang. “Anak-anak mungkin perlu diberitahu agar mereka tidak khawatir,” kata Xabir pada istrinya. Bu Marissa menggelengkan kepala dengan pelan. Ia kehabisan tenaga menghadapi kegagahan Xabir yang sepertinya begitu perkasa lebih dari biasanya. “Nanti saja, Sayang. Nanti aku akan kirim pesan.” Bu Marissa menyentuh punggung suaminya. “Memangnya kenapa tidak diberitahu saja sejak awal?”
"Benar-benar memalukan! Jauh-jauh ke sini hanya untuk dibikin malu sama si Leon itu. Jumawa sekali dia menolak putri keraton!" "Sudahlah, Bu, mungkin belum jodoh." Renata menjawab dengan malas. Tatapannya kini fokus pada jalan di depannya. Hujan cukup deras mengantarnya pagi ini menuju bandara. Keputusan Leon sudah bulat dan lelaki itu menolak bertanggung jawab. "Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu? Masa mau cari lelaki lain?""Saya mengasingkan diri saja sampai bayi ini lahir." "Kamu bicara dengan mudah, Rena. Kamu gak pernah pikirkan dampak perbuatan nekat yang kamu lakukan!" "Bu, sudah, sudah! Nanti biar kita pikirkan jalan keluarnya." Pak Cokro menengahi perdebatan ibu dan anak itu. Rena juga tidak mau ambil pusing karena mau dipaksa seperti apapun tetap saja Leon tidak akan mau bertanggung jawab."Jadi, Leon itu sukanya pembantu?" tanya Pak Cokro yang mendadak kepo. Rena mengangguk."Jika nama yang Rena dengar tadi adalah Hanun, maka gak salah lagi ka
"Sayang, kamu cemburu sama pembantu? Ya ampun, udah jelas lebih unggul kamu dari wanita mana pun," elak Biru dengan cepat. Lelaki itu tidak mau istrinya sampai curiga. "Lalu, kamu tahu dari mana kalau Hanun masih punya suami?""Aku asal nebak, Sayang. Hanun dari kampung'kan? Orang kampung itu rata-rata menikah muda. Umur enam belas tahun sampai sembilan udah dinikahin sama orang tuanya. Jadi mungkin aku ....""Tidak perlu bahas Hanun. Udahlah, aku mau ke dapur dulu." Bu Marissa pergi ke dapur, meninggalkan Biru yang masih dalam keadaan cemas. Ia khawatir Bu Marissa curiga atau malah mencari informasi atas dirinya.Sore hari, Biru melihat sang Istri sudah berdandan dengan begitu rapi, sedangkan ia tidak dapat informasi apapun dari wanita itu."Kamu mau ke mana udah sore, Sayang?" tanya Biru."Mau ke rumah Leon. Ada urusan." Bu Marissa mengoleskan lipstik di bibirnya. "Aku boleh ikut?""Kata Leon ini pribadi. Maaf, Sayang, kali ini aku jalan sendiri ya. Kamu di rumah saja. Aku gak lam
"Jadi menurut kamu, saya cukup tanggung jawab saja?""Betul, kalau pun tidak mau tanggung jawab sebenarnya gak papa. Orang Pak Leon dijebak. Dia dan keluarganya mengakui. Jelas bayinya nasab ke ibunya. Beda kalau dilakukan atas dasar suka sama suka dan Pak Leon dalam keadaan sadar. Ini Bapak beneran gak inget apapun?" Leon mengangguk."Saya ingat betul waktu ke rumahnya, memang gak ada siapa-siapa. Saya disuguhi minum, terus saya juga lupa lagi ngapain. Besok paginya kebangun udah di kamar. Saya pikir malah karena terlalu lelah, makanya ketiduran." Hanun mendengarkan dengan seksama."Ya, jika mereka ingin lapor polisi, saya rasa mereka tidak akan kuat untuk menjebloskan Pak Leon ke penjara atau mungkin menuntut. Malah mereka mungkin akan malu." Sepanjang hari, Leon cukup terganggu dengan kehadiran Renata dan juga kedua orang tuanya. Belum lagi saran dari Hanun yang sangat masuk akal. Pria dewasa itu tidak ingin salah langkah, sehingga ia memutuskan untuk bicara dengan salah satu peng
"Saya tidak merasa melakukan hal bodoh seperti itu pada Rena. Bagaimana kalau itu bukan anak saya?" Leon menatap Renata dengan wajah dingin. Ia tahu saat ini Hanun tengah menguping pembicaraannya dari balik pilar. "Kamu paham maksud Nak Leon, tapi kami sebagai orang tua ingin Nak Leon bertanggung jawab sampai bayi ini bisa untuk tes DNA." Leon menatap mamanya."Jeng Rissa kan pengusaha, pasti tidak enak kalau sampai hal ini terdengar oleh relasi bisnis yang lain. Apalagi anak lelaki satu-satunya." Bu Marissa ingin menjawab, tetapi bibirnya kelu. "Tapi anak saya dijebak. Ini sama artinya yang menginginkan hal ini terjadi adalah Renata. Saya hampir tidak percaya, putri keturunan keraton bisa melakukan hal memalukan seperti ini. Bagaimana jika para leluhur kalian tahu semua ini? Jelas saya membela putra saya." Bu Marissa membuka suara."Karena kami ada foto dan bukti. Kami ingin selesaikan ini secara kekeluargaan saja Jeng Rissa. Kami gak mau berurusan dengan polisi. Leon harus bertang
Tok! Tok!"Pak, ada tamu!" Seru bibik dari depan pintu yang dikunci Leon. Kedua pasangan yang sedang melakukan foreplay itu pun tersentak kaget. Bahkan Hanun tersadar terhadap apa yang sudah ia lakukan. Wanita itu mendorong Leon dan langsung memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Hanun bersembunyi di balik meja kerja majikannya, sedangkan Leon ikut memakai kembali pakaiannya. "Siapa?" tanya Leon datar. Seolah tidak terjadi apa-apa selama dua puluh menit "A-ada tamu, Pak. Bapak lihat sendiri saja, katanya jangan bilang Bapak." Leon mengerutkan keningnya."Suruh Hanun buatkan teh, yang punya saya tawar saja," kata pria itu memerintah. "Oh, Hanun saya gak tahu ke mana, Pak. Soalnya tadi bilang mau bangunin Bapak.""Hanun saya suruh beli nasi uduk. Tiba-tiba saya pengen nasi uduk yang depan komplek.""Oh, gitu, baik, Pak. Gak papa, biar saya aja yang buat. Permisi, Pak." Begitu bibik berjalan ke dapur, Hanun pun langsung keluar dari kamar Leon. "Bilang sedang tidak jualan ya."