Plak!"Hanun, siapa kamu mau bakar celana dalam Sasa? Emangnya kamu yang belikan itu celana?! Pulang kerja malah ngelunjak. Masuk sana dan kerjakan apa yang saya suruh! Kurang ajar sekali!" Pekik ibu mertuaku dengan mata berapi-api. Aku hanya bisa menelan ludah sambil menggertakkan gigi. Aku berbalik dan langsung masuk ke kamar mandi. Celana dalam berdarah tadi aku taruh begitu saja di gantungan kamar mandi. Aku memilih mandi dengan cepat dan tidak mau melakukan apa yang diminta mertuaku.Suara pintu terdengar dibuka. Aku yang sudah pulas akhirnya bangun dan menoleh ke arah pintu. Mas Biru pulang dengan wajah lusuh."Mas, udah pulang," sapaku dengan suara serak. Ia hanya diam saja. Menaruh ponselnya di nakas, lalu keluar lagi dari kamar. Aku mengerutkan kening dan langsung turun dari ranjang. Aku ke dapur untuk membuatkan teh."Astaghfirullah," gumamku saat melihat dapur sangat berantakan. Ada perabotan seperti bekas makan mi rebus. Kue yang aku bawa pun tidak ada yang tersisa, padaha
"Bangun terlalu siang, rejeki kamu nanti bisa dipatuk ayam!" Sindir ibu mertuaku saat aku baru saja keluar dari kamar. Tubuh ini mendadak demam dan kepalaku juga sangat berat, tetapi perut juga lapar. Aku tidak menyahut ucapan mertua. Aku lebih memilih langsung berjalan ke dapur untuk mengambil air minum. Pukul enam pagi baru aku ada tenaga untuk keluar kamar.Ya, Tuhan, dapurku masih seperti semalam. Sangat berantakan dan tidak ada yang membereskan. Piring kotor di mana-mana dan sedikit berminyak. Belum lagi aroma dari tong sampah kecil yang ada di dapur. "Bu, Sasa ke mana ya?" tanyaku dengan suara pelan."Saya tidur, kenapa?" "Bu, ini dapur belum dibereskan sejak kemarin," jawabku. "Itu tugas kamu, Hanun. Kenapa malah tanya Sasa? Saya alergi air sabun. Apa Biru gak cerita? Kamu saja yang bereskan semuanya. Setelah itu bikin nasi goreng. Ibu tadi udah masak nasinya, tinggal kamu goreng tuh! Harusnya bersyukur banget kamu dekat dengan mertua. Apalagi mertuanya seperti saya yang mau
POV Biru"Bu, Hanun udah berangkat?" tanyaku pada ibu yang tengah duduk santai di teras. Ibu menoleh sekilas, lalu kembali lagi menatap lalu-lalang tetangga yang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing."Udah dari pagi dia berangkat. Ibu suruh masak, dia gak mau," kata ibuku lagi dengan wajah masam."Ibu tuh di sini tamu, malah jadi kayak babu! Kamu ini milih istri gimana sih? Bisa-bisanya modelan Hanun? Kamu mau sarapan ada di atas meja. Ada nasi goreng buatan Hanun, setelah itu kamu ke warung soto, belikan Ibu soto untuk makan siang. Ini udah mau siang," kata ibuku mengoceh tiada henti. Aku tanya satu kalimat, ia jawab satu bab novel. Begitulah orang tua bila sedang kesal."Soalnya tadi katanya sakit, Bu, makanya saya kirain gak kerja. Berarti udah sehat. Mama Sasa? Tumben Ibu duduk sendiri?" tanyaku. "Sasa lagi bikin surat lamaran di dalam. Dia kerjakan pake HP. Ke sini niat mau kerja, malah susah dapat kerjaan. Kamu bilangin Hanun, biar Sasa kerja di restoran Hanun." Aku hany
Aku begitu senang memiliki uang cash dua belas juta di tangan. Tentu saja aku tidak langsung pulang, melainkan mampir ke toko pakaian; membelikan ibu dua buah daster dan juga daster buat Hanun. Tidak lupa aku juga belikan baju kaos untuk Sasa. Semua wanita di dalam rumahku, aku belikan oleh-oleh. Hanun pasti senang karena ia aku belikan baju. Hubungan suami istri kamu pasti kembali membaik.Lima ratus ribu aku keluarkan untuk berbelanja pakaian, masih tersisa sebelas juta lima ratus ribu lagi dan uang ini aku bawa ke showroom motor seken. Ya, sudah aku putuskan untuk membeli motor seken secara cash, agar aku tidak perlu pusing memikirkan cicilan. Tidak apa tidak keren, asalkan ada kendaraan untuk pergi ke sana kemari atau untuk aku bekerja jadi ojek online nanti. Motor Honda Levo masih bagus adalah plihanku setelah melihat beberapa unit roda dua yang lainnya. Semua motor matic seken harganya mahal, hanya motor manual yang harganya jauh miring dari pada yang lain. Dengan uang tujuh ju
"Kamu udah sehat? Tapi kayaknya masih pucat," tanyaku pada Hanun. Aku memeriksa keningnya, tetapi ia tepis pelan. "Masih kurang sehat, makanya mau langsung istirahat setelah bersih-bersih. Saya gak mau mandi, dingin." Hanun keluar lagi dari kamar sambil membawa handuk. Mood istriku belum sepenuhnya kembali, ditambah Hanun yang masih sakit. Seprei yang tadi sempat berantakan, aku rapikan kembali. Aneka hadiah aku taruh di atasnya, agar istriku senang saat ia melihatnya nanti. Segelas air putih dan obat yang biasa pun sudah aku siapkan untuk Hanun. "Wah, udah langsung rapi kamarnya! Siapa yang rapikan, Mas?" tanya Hanun bignung. Ia sudah mengganti baju dengan daster kebesaran yang sudah pudar warnanya."Aku dong!" Jawabku bangga. Hanun melirik bungkusan yang aku taruh di atas ranjang."Apa ini?" tanyanya."Baju buat kamu.""Kamu habis ngerampok di mana, Mas? Kenapa tiba-tiba banyak uang untuk beli baju? Bukannya selama ini gak pernah? Terus apa motor di depan itu juga motor kamu?" ce
POV Hanun. Aku sadar bahwa aku sekarang sedang berada di ruang perawatan rumah sakit. Suara suster hilir mudik di telinga ini dan ada juga suara dokter. Suara Mas Biru dan mertuaku. Semua dapat aku dengar dengan baik, tetapi aku sengaja menutup mata. Aku terus berpura-pura tidur karena aku tidak mau bicara dengan Mas Biru dan juga mertuaku. Hatiku terlalu sakit dan kecewa terhadap perlakuan Mas Biru. Entahlah, setelah ini aku harus bagaimana dengan pernikahanku?"Ya, halo, siapa ini? Benar, ini saya suaminya Hanun. Ibu siapa? Apa, Marissa? Pelanggan restoran? Oh, maaf, Bu, saya gak tahu soalnya. Istri saya berbohong karena selama ini bilangnya kerja di restoran, rupanya kerja di rumah Ibu. Iya, maafkan istri saya, Bu. Hanun lagi sakit, Bu. Cukup parah sih dan ada sedikit tindakan. Sayang sekali BPJS gak punya. Entah ini saya mau bagaimana, soalnya saya juga baru kena PHK. Oh, Ibu gak perlu ke rumah sakit, Bu. Gak papa, doakan saja Hanun lekas pulih, semoga aja ada orang baik yang ma
"Suaminya ke mana, Mbak?" tanya perawat saat aku sedang kesusahan bangun untuk pergi ke kamar mandi. "Biar saya bantu!" Kata perawat lagi sembari memapah tubuh ini agar bisa berdiri."Mau BAB atau BAK, Mbak?""Mau BAK, Sus. Terima kasih." Aku pun diantarkan olehnya sampai ke depan pintu kamar mandi. Aku bercermin dan mendapati wajahku sangat pucat. Sampai saat ini aku tidak tahu apa penjelasan dokter atas tubuh lemah ini. Wajahku jadi semakin terlihat tua, kusut, tidak segar, dan benar-benar tidak ada semangatnya. Jelas saja, karena bukan hanya tubuhku yang sakit, tetapi juga mentalku. "Mari, saya bantu naik ke ranjang, Mbak," kata perawat dengan begitu sabarnya. Aku kembali mengangguk sembari menyunggingkan senyum. Kaki ini berjalan amat pelan karena tenagaku belum pulih. Lemas sekali, padahal aku sudah dapat dua botol infus. Semua terkuras habis ulah Mas Biru."Om Leon," gumamku terkejut saat melihat pria dewasa berkaus putih itu sudah duduk di kursi samping brangkar.Bagaimana bi
Penulis"Hanun gak kita jenguk, gak papa, tuh?" tanya Bu Wati pada Biru. "Dia yang kagak mau lihat saya, ngapain juga kita jenguk, Bu? Nanti Hanun makin marah, ngamuk, malah jadi kena omel petugas rumah sakit. Kita di sini saja. Bos Hanun baik ya, Bu, kita dapat tiket nginep tiga hari. Saya cek di internet, satu hari menginap di sini harganya dua juta, Bu. Kalau tiga hari berarti enam juta," jawab Biru enggan bergerak dari depan televisi. "Wah, kalau gitu kenapa gak kita dikasih mentahnya aja? Lumayan buat modal makan kita, Ru. Apalagi Hanun sakit dan gak bisa kerja, pasti gajinya Hanun dipotong," kata Bu Wati dengan perasaan cemas. Biru menoleh sekilas pada ibunya, lalu tersenyum."Masih ada uang dari Bu Marissa itu, Bu. Yah, meskipun gak dua belas juta, tetapi untuk makan kita sebulan ada.""Kalau gitu, Sasa kamu belikan motor saja. Seken gak papa. Waktu itu, dia dapat panggilan mau diajak kerja temannya, tetapi karena Sasa gak ada motor, gak jadi deh!" "Oh, gitu, ya sudah, besok