"Suaminya ke mana, Mbak?" tanya perawat saat aku sedang kesusahan bangun untuk pergi ke kamar mandi. "Biar saya bantu!" Kata perawat lagi sembari memapah tubuh ini agar bisa berdiri."Mau BAB atau BAK, Mbak?""Mau BAK, Sus. Terima kasih." Aku pun diantarkan olehnya sampai ke depan pintu kamar mandi. Aku bercermin dan mendapati wajahku sangat pucat. Sampai saat ini aku tidak tahu apa penjelasan dokter atas tubuh lemah ini. Wajahku jadi semakin terlihat tua, kusut, tidak segar, dan benar-benar tidak ada semangatnya. Jelas saja, karena bukan hanya tubuhku yang sakit, tetapi juga mentalku. "Mari, saya bantu naik ke ranjang, Mbak," kata perawat dengan begitu sabarnya. Aku kembali mengangguk sembari menyunggingkan senyum. Kaki ini berjalan amat pelan karena tenagaku belum pulih. Lemas sekali, padahal aku sudah dapat dua botol infus. Semua terkuras habis ulah Mas Biru."Om Leon," gumamku terkejut saat melihat pria dewasa berkaus putih itu sudah duduk di kursi samping brangkar.Bagaimana bi
Penulis"Hanun gak kita jenguk, gak papa, tuh?" tanya Bu Wati pada Biru. "Dia yang kagak mau lihat saya, ngapain juga kita jenguk, Bu? Nanti Hanun makin marah, ngamuk, malah jadi kena omel petugas rumah sakit. Kita di sini saja. Bos Hanun baik ya, Bu, kita dapat tiket nginep tiga hari. Saya cek di internet, satu hari menginap di sini harganya dua juta, Bu. Kalau tiga hari berarti enam juta," jawab Biru enggan bergerak dari depan televisi. "Wah, kalau gitu kenapa gak kita dikasih mentahnya aja? Lumayan buat modal makan kita, Ru. Apalagi Hanun sakit dan gak bisa kerja, pasti gajinya Hanun dipotong," kata Bu Wati dengan perasaan cemas. Biru menoleh sekilas pada ibunya, lalu tersenyum."Masih ada uang dari Bu Marissa itu, Bu. Yah, meskipun gak dua belas juta, tetapi untuk makan kita sebulan ada.""Kalau gitu, Sasa kamu belikan motor saja. Seken gak papa. Waktu itu, dia dapat panggilan mau diajak kerja temannya, tetapi karena Sasa gak ada motor, gak jadi deh!" "Oh, gitu, ya sudah, besok
Hanun adalah orang yang paling terkejut, karena yang ia tahu, Bu Marissa tahu kalau ia sakit, bahkan Bu Marissa menelepon suaminya.“Kamu sakit apa?” tanya Bu Marissa menghampiri Hanun yang masih berdiri di dekat Leon. “Hanun sakit lambung, Ma, tapi udah baikan. Mulai hari ini, Hanun tinggal di sini dan bekerja di sini. Jadi gak perlu pulang setiap hari. Hanun bisa pulang setiap seminggu sekali atau sebulan sekali,” jawab Leon sembari melirik Hanun yang berdiri dengan canggung. Wanita itu terus menunduk karena takut dengan Bu Marissa.“Oh, sakit maag. Ya sudah, langsung istirahat saja. besok saja kamu beresin rumahnya,” kata Bu Marissa paham. “Makasih, Bu. Saya ke kamar dulu. Maaf jadi merepotkan Pak Leon dan Bu Marissa.” “Gak papa, namanya lagi sakit. Masa harus tetap disuruh kerja, nanti kalau kamu kenapa-napa, anak saya yang repot. Udah, masuk ke kamar sana!” Hanun mengangguk patuh. Wanita itu berjalan ke kamar belakang yang biasa ia gunakan untuk beristirahat saat ia
"Kamu mau ke mana, Ru?" tanya Bu Wati pada Biru yang baru saja menyalakan mesin motornya."Mau ke rumah sakit, Bu. Mau lihat Hanun. Ini udah empat hari. Siapa tahu Hanun udah boleh pulang. Setrikaan dan cucian udah numpuk. Sasa kan gak bisa kerjain semuanya. Ibu apalagi. Saya juga gak mungkin terus-terusan jadi ibu sekaligus bapak rumah tangga. Biar Hanun di rumah, istirahat sekalian beberes apa yang bisa ia lakukan. Gosok atau masak, itu kan gak berat," jawab Biru. Pria itu sudah memakai jaketnya dan juga helem."Ibu baru mau ngomong sama kamu. Kita sehati. Cucian udah numpuk banget tuh yang dari kita ke hotel. Untung yang pertama udah kamu laundry," komentar Bu Wati."Iya, makanya masa harus laundry lagi. Lumayan lima puluh ribu cuci gosok, Bu. Mending Hanun yang kerjain. Kalau dia capek, tinggal saya pijitin." Bu Wati mengangguk setuju. Biru mengucapkan salam, sebelum melajukan motornya menuju rumah sakit. Cuaca sangat terik dan juga berdebu. Sebenarnya ia ingin tetap di rumah, te
“Hei, apa yang lo lakulan di atas mayit nenek gue?! Lo selingkuhannya!” teriak seorang pria yang tiba-tiba sudah menarik tubuh Biru menjauh dari brangkar mayat sang Istri. “Apa yang lo maksud? Jelas ini mayat istri saya! Anak aja saya belom punya, gimana bisa punya cucu songong kayak lo!” balas Biru gak mau kalah. “Wah, sarap ini orang! Ini mayat istri saya, namanya Hanun. Raihanun.” “Ini mayat nenek saya, namanya Raihanun Wijayati. Umur sembilan puluh dua tahun. Ngaco aja lo! Jangan sembarangan! Pasti lo mau ambil warisan nenek gue ya! Gak bisa!” Pemuda itu terus tidak terima karena Biru terus mengatakan bahwa mayit yang masih tertutup kain putih itu adalah istrinya. Pemuda yang naik pitam itu berjalan melewati Biru sambil menabrakkan pundaknya pda tubuh Biru. Pemuda itu membuka kain penutup dengan hati-hati, sampai Biru pun tidak tega untuk melihat mayit yang ia kira adalah Hanun istrinya. “Lihat sini! Mayit nenek tak bergigi ini adalah istri lo! Ngaco! Nenek gue udah sembilan pu
"Om, saya mau masak, tapi bahan makanan di kulkas tidak ada," kata Hanun saat ia pergi menghampiri Leon yang tengah duduk fokus di depan laptopnya. Pria dewasa itu tersenyum tipis. Tentu saja ia tidak akan membiarkan wanita yang masih lemah untuk memasak."Gak usah masak hari ini. Saya akan pesan makan saja. Kamu lagi ingin makan apa? Ah, iya, kata dokter harus makan yang tinggi protein, berarti daging. Gimana kalau kita makan steak?" Hanun tentu saja tertegun.Steak? Makanan yang hanya bisa ia pandangi saja saat ia melewati restoran khusus steak itu. "Jangan, Om, pasti mahal. Makan nasi uduk dengan telur semur saja. Ada tidak?""Tapi yang tinggi protein itu adalah daging sapi. Jadi kita makan steak saja. Semakin cepat kamu sehat, semakin bagus kan? Kalau makan nasi uduk, nanti kamu kolesterol he he he ..." Hanun hanya bisa tersenyum saja dan tidak bisa menolak keinginan Leon. Pria dewasa dengan cekatan, langsung memesan steak terbaik di sebuah restoran milik temannya. "Jus buahnya
Malam ini Xabiru tidak bisa tidur. Bukan karena Hanun yang belum ditemukan keberadaannya, tetapi karena ia baru mendapatkan pesan dari wanita cantik yang bernama Alani. Pemuda itu tersenyum memadangi ponsel yang berkelap-kelip[ sejak tadi. Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Mengapa bisa ia jatuh cinta begitu terlambat seperti ini? Kenapa belum tidur? Send Mbak Cantik Saya lagi gak bisa tidur karena mikirin kerjaan. Jaga kesehatan dan jangan sampai sakit. Send Mbak Cantik Gak papa, Mas Xabir. Senang ada temen ngobrol seperti Mas Xabir. Mas Xabir kerja di mana? Maaf kalau saya kepo. Biru diam sejenak sembari memikirkan ia harus menuliskan apa? ia tidak mungkin bilang kalau pengangguran, tetap[I pekerjaan bonafit seperti CEO atau general manager dia pun tidak paham. Biru membuka aplikasi google untuk mencari informasi terkait profesi yang pali
Pagi ini, Hanun merasa tubuhnya lebih segar dan juga bugar. Wanita itu bisa mencuci dan juga membuat sarapan nasi goreng untuk Leon. Namun, ia belum sempat menjemur cucian karena Hanun belum terlalu nekat untuk mengerjakan semua. Leon mengatakan bahwa akan datang ART yang membantu mengurus rumah semuanya, sedangkan Hanun hanya untuk memasak saja. “Waduh, kamu masak nasi goreng, wanginya sampai ke kamar saya. Saya jadi lapar. Makasih, Hanun,” ucap Leon senang. Pria itu langsung menarik kursi makan dengan tak sabar. “Sudah menjadi tugas saya, Om,” kata Hanun sambil tersenyum. Wanita itu kembali ke dapur untuk mencuci piringa bekas ia memasak. “Kamu sarapan sama saya di sini. Biar nanti bibik yang datang ke sini yang beresin dapur. Habis makan, temani saya ke supermarket, saya mau belanja bulanan.’ “Oh, begitu, baik, Om.” Hanun pun ikut duduk di depan Leon. Mereka makan dalam keadaan diam karena Leon adalah tipe lelaki yang
"Bagaimana mama?" tanya Leon pada Angel."Masih mengunci diri di kamar, Mas." Angel menaruh segelas air putih di atas meja untuk Leon. "Untuk apa menangisi bajingan." Leon tertawa pendek. Angel hanya bisa mengangkat bahunya. "Apa kita gak terlalu keras pada mama? Mama bisa sakit loh, Mas.""Kita bis jatuh miskin kalau Xabir dibiarkan lama menjadi benalu." Angel yang tadinya duduk di depan Leon, kini berpindah duduk menjadi di samping kakaknya itu."Lalu bagaimana, Xabir? Bisa-bisa dia mati dipatok ular, Mas," tanya Angel sambil berbisik."Bisa banget. Itu yang Mas harapkan. Biar dia kapok!""Lalu ibu dan sodaranya itu?""Ada di hutan. Entah sudah mati atau belum. Mereka manusia-manusia benalu yang kalau hidup lama itu, bakalan nyusahin orang. Lagian, jika mereka berani muncul, maka polisi sudah siap menangkap mereka.""Mama mungkin akan susah menerima takdir ini, tapi nanti juga mama bisa paham apa yang aku lakukan ini juga demi mama. Lagian mama udah tua, udah harusnya hidup tenang
"Mama, apa yang terjadi pada Mama? Kenapa Mama sendirian di villa? Mana Biru dan keluarganya?" Bu Marissa yang baru saja membuka matanya, langsung merasa kepalanya bertambah sakit setelah Angel mencecarnya."Apa, Xabir? Ini di mana?" tanya Bu Marissa sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya."Mama di rumah sakit. Ini sudah malam. Mama baru sadar setelah Mama tidur sejak pagi. Ada apa, Ma?" Bu Marissa semakin mengerutkan keningnya. "Gak mungkin, Mama ada di villa bersama Xabir dan juga keluarganya.""Ma, Xabir gak ada di villa saat Mas Leon sampai di sana. Keluarganya juga. Ponsel Mama pun tidak ada keduanya. Mama diperdaya lelah bajingan itu!" Bu Marissa terdiam. Matanya tiba-tiba berair."Gak mungkin, Xabir mencintai Mama. Mau apa dia bikin Mama kayak gini. Semua udah Mama kasih sama dia." Bu Marissa menangis. Pintu kamar perawatan VVIP terbuka. Leon masuk dengan wajah murung. "Leon, Angel barusan cerita omong kosong!" Leon tersenyum miring. Ia mengeluarkan amplop coklat dari da
Malam ini Leon bisa tidur dengan nyenyak. Semua bukti sudah ia kumpulkan, setelah lewat Hanun, ia mendapatkan banyak foto dan juga data diri dari Xabiru. Termasuk data dari pabrik, tempat Biru kerja hampir tujuh tahun. Foto Bu Wati pun ada. Semua ia print dan masukkan ke dalam amplop coklat. Semua data sudah lengkap dan tidak perlu ada yang ia ragukan. Biru akan mendekam dalam penjara bersama ibu dan sepupunya.Keesokan harinya, Leon yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendengar notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Pria itu setengah berlari untuk mengecek siapa yang mengirimkan pesan.MamaLeon, Mama sedang bersama Xabir, lagi liburan sebentar. Mungkin dua sampai tiga hari. Kamu gak usah cari mama ya, mama baik-baik aja.Syukurlah mama baik-baik aja. Ada yang mau Leon beritahu tentang Xabir. Mama harus pulang secepatnya ya.SendMamaAda apa? Kamu mau fitnah Biru seperti apa lagi? Sudah ya. Jangan sirik dengan kebahagiaan yang saat ini sedang mama nikmatiLeon langsung menekan pan
Leon menghubungi dua adiknya untuk menanyakan keberadaaan bu Marissa, tetapi keduannya tidak ada yang tahu. Keon mencoba menghubungi rekan bisnis mamanya yang lain untuk mengecek janji temu, tetapi ia tidak mendapatkan ada jadwal meeting dengan rekan bisnis untuk tiga hari ke depan. Hal ini ia ketahui dari sang Sekretaris. Disaat Leon sibuk mencari mamanya, disaat itu pula Xabir sedang menikmati waktu berdua dengan istrinya. Ya, mereka sedang berada di sebuah villa yang ada di Bogor, setelah kemarin keduanya pergi ke bank untuk memindahkan sejumlah uang. “Anak-anak mungkin perlu diberitahu agar mereka tidak khawatir,” kata Xabir pada istrinya. Bu Marissa menggelengkan kepala dengan pelan. Ia kehabisan tenaga menghadapi kegagahan Xabir yang sepertinya begitu perkasa lebih dari biasanya. “Nanti saja, Sayang. Nanti aku akan kirim pesan.” Bu Marissa menyentuh punggung suaminya. “Memangnya kenapa tidak diberitahu saja sejak awal?”
"Benar-benar memalukan! Jauh-jauh ke sini hanya untuk dibikin malu sama si Leon itu. Jumawa sekali dia menolak putri keraton!" "Sudahlah, Bu, mungkin belum jodoh." Renata menjawab dengan malas. Tatapannya kini fokus pada jalan di depannya. Hujan cukup deras mengantarnya pagi ini menuju bandara. Keputusan Leon sudah bulat dan lelaki itu menolak bertanggung jawab. "Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu? Masa mau cari lelaki lain?""Saya mengasingkan diri saja sampai bayi ini lahir." "Kamu bicara dengan mudah, Rena. Kamu gak pernah pikirkan dampak perbuatan nekat yang kamu lakukan!" "Bu, sudah, sudah! Nanti biar kita pikirkan jalan keluarnya." Pak Cokro menengahi perdebatan ibu dan anak itu. Rena juga tidak mau ambil pusing karena mau dipaksa seperti apapun tetap saja Leon tidak akan mau bertanggung jawab."Jadi, Leon itu sukanya pembantu?" tanya Pak Cokro yang mendadak kepo. Rena mengangguk."Jika nama yang Rena dengar tadi adalah Hanun, maka gak salah lagi ka
"Sayang, kamu cemburu sama pembantu? Ya ampun, udah jelas lebih unggul kamu dari wanita mana pun," elak Biru dengan cepat. Lelaki itu tidak mau istrinya sampai curiga. "Lalu, kamu tahu dari mana kalau Hanun masih punya suami?""Aku asal nebak, Sayang. Hanun dari kampung'kan? Orang kampung itu rata-rata menikah muda. Umur enam belas tahun sampai sembilan udah dinikahin sama orang tuanya. Jadi mungkin aku ....""Tidak perlu bahas Hanun. Udahlah, aku mau ke dapur dulu." Bu Marissa pergi ke dapur, meninggalkan Biru yang masih dalam keadaan cemas. Ia khawatir Bu Marissa curiga atau malah mencari informasi atas dirinya.Sore hari, Biru melihat sang Istri sudah berdandan dengan begitu rapi, sedangkan ia tidak dapat informasi apapun dari wanita itu."Kamu mau ke mana udah sore, Sayang?" tanya Biru."Mau ke rumah Leon. Ada urusan." Bu Marissa mengoleskan lipstik di bibirnya. "Aku boleh ikut?""Kata Leon ini pribadi. Maaf, Sayang, kali ini aku jalan sendiri ya. Kamu di rumah saja. Aku gak lam
"Jadi menurut kamu, saya cukup tanggung jawab saja?""Betul, kalau pun tidak mau tanggung jawab sebenarnya gak papa. Orang Pak Leon dijebak. Dia dan keluarganya mengakui. Jelas bayinya nasab ke ibunya. Beda kalau dilakukan atas dasar suka sama suka dan Pak Leon dalam keadaan sadar. Ini Bapak beneran gak inget apapun?" Leon mengangguk."Saya ingat betul waktu ke rumahnya, memang gak ada siapa-siapa. Saya disuguhi minum, terus saya juga lupa lagi ngapain. Besok paginya kebangun udah di kamar. Saya pikir malah karena terlalu lelah, makanya ketiduran." Hanun mendengarkan dengan seksama."Ya, jika mereka ingin lapor polisi, saya rasa mereka tidak akan kuat untuk menjebloskan Pak Leon ke penjara atau mungkin menuntut. Malah mereka mungkin akan malu." Sepanjang hari, Leon cukup terganggu dengan kehadiran Renata dan juga kedua orang tuanya. Belum lagi saran dari Hanun yang sangat masuk akal. Pria dewasa itu tidak ingin salah langkah, sehingga ia memutuskan untuk bicara dengan salah satu peng
"Saya tidak merasa melakukan hal bodoh seperti itu pada Rena. Bagaimana kalau itu bukan anak saya?" Leon menatap Renata dengan wajah dingin. Ia tahu saat ini Hanun tengah menguping pembicaraannya dari balik pilar. "Kamu paham maksud Nak Leon, tapi kami sebagai orang tua ingin Nak Leon bertanggung jawab sampai bayi ini bisa untuk tes DNA." Leon menatap mamanya."Jeng Rissa kan pengusaha, pasti tidak enak kalau sampai hal ini terdengar oleh relasi bisnis yang lain. Apalagi anak lelaki satu-satunya." Bu Marissa ingin menjawab, tetapi bibirnya kelu. "Tapi anak saya dijebak. Ini sama artinya yang menginginkan hal ini terjadi adalah Renata. Saya hampir tidak percaya, putri keturunan keraton bisa melakukan hal memalukan seperti ini. Bagaimana jika para leluhur kalian tahu semua ini? Jelas saya membela putra saya." Bu Marissa membuka suara."Karena kami ada foto dan bukti. Kami ingin selesaikan ini secara kekeluargaan saja Jeng Rissa. Kami gak mau berurusan dengan polisi. Leon harus bertang
Tok! Tok!"Pak, ada tamu!" Seru bibik dari depan pintu yang dikunci Leon. Kedua pasangan yang sedang melakukan foreplay itu pun tersentak kaget. Bahkan Hanun tersadar terhadap apa yang sudah ia lakukan. Wanita itu mendorong Leon dan langsung memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Hanun bersembunyi di balik meja kerja majikannya, sedangkan Leon ikut memakai kembali pakaiannya. "Siapa?" tanya Leon datar. Seolah tidak terjadi apa-apa selama dua puluh menit "A-ada tamu, Pak. Bapak lihat sendiri saja, katanya jangan bilang Bapak." Leon mengerutkan keningnya."Suruh Hanun buatkan teh, yang punya saya tawar saja," kata pria itu memerintah. "Oh, Hanun saya gak tahu ke mana, Pak. Soalnya tadi bilang mau bangunin Bapak.""Hanun saya suruh beli nasi uduk. Tiba-tiba saya pengen nasi uduk yang depan komplek.""Oh, gitu, baik, Pak. Gak papa, biar saya aja yang buat. Permisi, Pak." Begitu bibik berjalan ke dapur, Hanun pun langsung keluar dari kamar Leon. "Bilang sedang tidak jualan ya."