POV Hanun. Aku sadar bahwa aku sekarang sedang berada di ruang perawatan rumah sakit. Suara suster hilir mudik di telinga ini dan ada juga suara dokter. Suara Mas Biru dan mertuaku. Semua dapat aku dengar dengan baik, tetapi aku sengaja menutup mata. Aku terus berpura-pura tidur karena aku tidak mau bicara dengan Mas Biru dan juga mertuaku. Hatiku terlalu sakit dan kecewa terhadap perlakuan Mas Biru. Entahlah, setelah ini aku harus bagaimana dengan pernikahanku?"Ya, halo, siapa ini? Benar, ini saya suaminya Hanun. Ibu siapa? Apa, Marissa? Pelanggan restoran? Oh, maaf, Bu, saya gak tahu soalnya. Istri saya berbohong karena selama ini bilangnya kerja di restoran, rupanya kerja di rumah Ibu. Iya, maafkan istri saya, Bu. Hanun lagi sakit, Bu. Cukup parah sih dan ada sedikit tindakan. Sayang sekali BPJS gak punya. Entah ini saya mau bagaimana, soalnya saya juga baru kena PHK. Oh, Ibu gak perlu ke rumah sakit, Bu. Gak papa, doakan saja Hanun lekas pulih, semoga aja ada orang baik yang ma
"Suaminya ke mana, Mbak?" tanya perawat saat aku sedang kesusahan bangun untuk pergi ke kamar mandi. "Biar saya bantu!" Kata perawat lagi sembari memapah tubuh ini agar bisa berdiri."Mau BAB atau BAK, Mbak?""Mau BAK, Sus. Terima kasih." Aku pun diantarkan olehnya sampai ke depan pintu kamar mandi. Aku bercermin dan mendapati wajahku sangat pucat. Sampai saat ini aku tidak tahu apa penjelasan dokter atas tubuh lemah ini. Wajahku jadi semakin terlihat tua, kusut, tidak segar, dan benar-benar tidak ada semangatnya. Jelas saja, karena bukan hanya tubuhku yang sakit, tetapi juga mentalku. "Mari, saya bantu naik ke ranjang, Mbak," kata perawat dengan begitu sabarnya. Aku kembali mengangguk sembari menyunggingkan senyum. Kaki ini berjalan amat pelan karena tenagaku belum pulih. Lemas sekali, padahal aku sudah dapat dua botol infus. Semua terkuras habis ulah Mas Biru."Om Leon," gumamku terkejut saat melihat pria dewasa berkaus putih itu sudah duduk di kursi samping brangkar.Bagaimana bi
Penulis"Hanun gak kita jenguk, gak papa, tuh?" tanya Bu Wati pada Biru. "Dia yang kagak mau lihat saya, ngapain juga kita jenguk, Bu? Nanti Hanun makin marah, ngamuk, malah jadi kena omel petugas rumah sakit. Kita di sini saja. Bos Hanun baik ya, Bu, kita dapat tiket nginep tiga hari. Saya cek di internet, satu hari menginap di sini harganya dua juta, Bu. Kalau tiga hari berarti enam juta," jawab Biru enggan bergerak dari depan televisi. "Wah, kalau gitu kenapa gak kita dikasih mentahnya aja? Lumayan buat modal makan kita, Ru. Apalagi Hanun sakit dan gak bisa kerja, pasti gajinya Hanun dipotong," kata Bu Wati dengan perasaan cemas. Biru menoleh sekilas pada ibunya, lalu tersenyum."Masih ada uang dari Bu Marissa itu, Bu. Yah, meskipun gak dua belas juta, tetapi untuk makan kita sebulan ada.""Kalau gitu, Sasa kamu belikan motor saja. Seken gak papa. Waktu itu, dia dapat panggilan mau diajak kerja temannya, tetapi karena Sasa gak ada motor, gak jadi deh!" "Oh, gitu, ya sudah, besok
Hanun adalah orang yang paling terkejut, karena yang ia tahu, Bu Marissa tahu kalau ia sakit, bahkan Bu Marissa menelepon suaminya.“Kamu sakit apa?” tanya Bu Marissa menghampiri Hanun yang masih berdiri di dekat Leon. “Hanun sakit lambung, Ma, tapi udah baikan. Mulai hari ini, Hanun tinggal di sini dan bekerja di sini. Jadi gak perlu pulang setiap hari. Hanun bisa pulang setiap seminggu sekali atau sebulan sekali,” jawab Leon sembari melirik Hanun yang berdiri dengan canggung. Wanita itu terus menunduk karena takut dengan Bu Marissa.“Oh, sakit maag. Ya sudah, langsung istirahat saja. besok saja kamu beresin rumahnya,” kata Bu Marissa paham. “Makasih, Bu. Saya ke kamar dulu. Maaf jadi merepotkan Pak Leon dan Bu Marissa.” “Gak papa, namanya lagi sakit. Masa harus tetap disuruh kerja, nanti kalau kamu kenapa-napa, anak saya yang repot. Udah, masuk ke kamar sana!” Hanun mengangguk patuh. Wanita itu berjalan ke kamar belakang yang biasa ia gunakan untuk beristirahat saat ia
"Kamu mau ke mana, Ru?" tanya Bu Wati pada Biru yang baru saja menyalakan mesin motornya."Mau ke rumah sakit, Bu. Mau lihat Hanun. Ini udah empat hari. Siapa tahu Hanun udah boleh pulang. Setrikaan dan cucian udah numpuk. Sasa kan gak bisa kerjain semuanya. Ibu apalagi. Saya juga gak mungkin terus-terusan jadi ibu sekaligus bapak rumah tangga. Biar Hanun di rumah, istirahat sekalian beberes apa yang bisa ia lakukan. Gosok atau masak, itu kan gak berat," jawab Biru. Pria itu sudah memakai jaketnya dan juga helem."Ibu baru mau ngomong sama kamu. Kita sehati. Cucian udah numpuk banget tuh yang dari kita ke hotel. Untung yang pertama udah kamu laundry," komentar Bu Wati."Iya, makanya masa harus laundry lagi. Lumayan lima puluh ribu cuci gosok, Bu. Mending Hanun yang kerjain. Kalau dia capek, tinggal saya pijitin." Bu Wati mengangguk setuju. Biru mengucapkan salam, sebelum melajukan motornya menuju rumah sakit. Cuaca sangat terik dan juga berdebu. Sebenarnya ia ingin tetap di rumah, te
“Hei, apa yang lo lakulan di atas mayit nenek gue?! Lo selingkuhannya!” teriak seorang pria yang tiba-tiba sudah menarik tubuh Biru menjauh dari brangkar mayat sang Istri. “Apa yang lo maksud? Jelas ini mayat istri saya! Anak aja saya belom punya, gimana bisa punya cucu songong kayak lo!” balas Biru gak mau kalah. “Wah, sarap ini orang! Ini mayat istri saya, namanya Hanun. Raihanun.” “Ini mayat nenek saya, namanya Raihanun Wijayati. Umur sembilan puluh dua tahun. Ngaco aja lo! Jangan sembarangan! Pasti lo mau ambil warisan nenek gue ya! Gak bisa!” Pemuda itu terus tidak terima karena Biru terus mengatakan bahwa mayit yang masih tertutup kain putih itu adalah istrinya. Pemuda yang naik pitam itu berjalan melewati Biru sambil menabrakkan pundaknya pda tubuh Biru. Pemuda itu membuka kain penutup dengan hati-hati, sampai Biru pun tidak tega untuk melihat mayit yang ia kira adalah Hanun istrinya. “Lihat sini! Mayit nenek tak bergigi ini adalah istri lo! Ngaco! Nenek gue udah sembilan pu
"Om, saya mau masak, tapi bahan makanan di kulkas tidak ada," kata Hanun saat ia pergi menghampiri Leon yang tengah duduk fokus di depan laptopnya. Pria dewasa itu tersenyum tipis. Tentu saja ia tidak akan membiarkan wanita yang masih lemah untuk memasak."Gak usah masak hari ini. Saya akan pesan makan saja. Kamu lagi ingin makan apa? Ah, iya, kata dokter harus makan yang tinggi protein, berarti daging. Gimana kalau kita makan steak?" Hanun tentu saja tertegun.Steak? Makanan yang hanya bisa ia pandangi saja saat ia melewati restoran khusus steak itu. "Jangan, Om, pasti mahal. Makan nasi uduk dengan telur semur saja. Ada tidak?""Tapi yang tinggi protein itu adalah daging sapi. Jadi kita makan steak saja. Semakin cepat kamu sehat, semakin bagus kan? Kalau makan nasi uduk, nanti kamu kolesterol he he he ..." Hanun hanya bisa tersenyum saja dan tidak bisa menolak keinginan Leon. Pria dewasa dengan cekatan, langsung memesan steak terbaik di sebuah restoran milik temannya. "Jus buahnya
Malam ini Xabiru tidak bisa tidur. Bukan karena Hanun yang belum ditemukan keberadaannya, tetapi karena ia baru mendapatkan pesan dari wanita cantik yang bernama Alani. Pemuda itu tersenyum memadangi ponsel yang berkelap-kelip[ sejak tadi. Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Mengapa bisa ia jatuh cinta begitu terlambat seperti ini? Kenapa belum tidur? Send Mbak Cantik Saya lagi gak bisa tidur karena mikirin kerjaan. Jaga kesehatan dan jangan sampai sakit. Send Mbak Cantik Gak papa, Mas Xabir. Senang ada temen ngobrol seperti Mas Xabir. Mas Xabir kerja di mana? Maaf kalau saya kepo. Biru diam sejenak sembari memikirkan ia harus menuliskan apa? ia tidak mungkin bilang kalau pengangguran, tetap[I pekerjaan bonafit seperti CEO atau general manager dia pun tidak paham. Biru membuka aplikasi google untuk mencari informasi terkait profesi yang pali