Aku mengetuk pintu ruangan Om Leon yang saat ini diisi oleh Bu Marissa. Jika hari ini adalah hari terakhirku bekerja karena masalah kemarin, maka aku pun harus ikhlas. Memang salahku, bukan suamiku. Ia hanya minta uang dan bodohnya aku, kenapa bilang tidak ada. Malah mau mencuri di tempat kerja.
Om Leon pasti bercerita pada ibunya tentang kesalahanku, sehingga saat ini Bu Marissa memanggilku. Kuatur napas dan merapikan sedikit rambut ini dengan buku jari tangan. Aku siap salah dan menerima konsekuensi dari apa yang sudah aku lakukan.Tok! Tok!"Permisi, Bu.""Masuk!" Suara elegan Bu Marissa membuat bulu tangan ini meremang. Aku menelan kenop pintu perlahan, lalu melangkah masuk dengan hati-hati."Permisi, Bu, saya Hanun, apa Ibu ada perlu dengan saya?" tanyaku amat sopan. Suara yang aku keluarkan juga sangat hati-hati. Wanita itu mengalihkan pandangan dari menatap laptop, kini melihat ke arahku. Matanya naik turun memperhatikanku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semakin berdebar saja jantung ini dibuatnya."Leon bilang sama saya kalau dia butuh asisten rumah tangga di rumahnya. Dia gak mau kalau saya carikan lewat yayasan. Dia maunya orang restoran karena dia berharap selain mengurus rumah, juga bisa masak. Dia tunjuk satu nama dan itu Hanun. Kamu Hanun'kan?" aku bernapas lega setelah mendengar apa yang ingin Bu Marissa sampaikan. Aku sudah mengira, Bu Marissa mempertanyakan perihal kenekatanku mencuri brangkas restoran. Ternyata bukan."Apa kamu bisa?" tanya Bu Marissa membuyarkan lamunanku."Saya bisa, Bu, tapi saya gak terlalu rapi kalau beres-beres rumah, apalagi yang alat elektronik rumah sudah canggih. Saya paling beres-beres seperti biasanya saja, Bu," jawabku masih dengan kepala menunduk."Iya bisa dipelajari nanti. Sekarang cuma kamu mau atau tidak. Kalau mau, mulai besok kamu sudah bisa mulai kerja di sana. Gak usah mikirin kasir di sini nanti siapa, karena sudah saya yang urus semua.""Baik, Bu, saya bersedia." Pasti ini adalah tindakan yang diambil oleh Om Leon demi menyelamatkanku dari khilaf. Pria dewasa itu terlalu baik, tetapi juga terlalu posesif. Apakah tidak mengapa jika aku bekerja di rumahnya? Apakah seharusnya aku tanya Mas Biru dulu?"Oke, nanti saya sampaikan pada Leon. Putra saya sedang keluar kota untuk mengurus pernikahannya yang akan berlangsung dua Minggu lagi. Jika nanti Leon sudah menikah, mungkin kamu bisa kembali ke restoran. Jadi sifatnya sementara saja. Paham maksud saya?""Oh, b-baik, Bu. Saya paham. Jika untuk sementara saya gak masalah. Saya siap membantu," jawabku penuh semangat. Aku bersyukur akhirnya Om Leon akan menikah, maka ia pun pasti akan berhenti mengangguku. Rasanya sungguh tidak nyaman berada di dekat pria dewasa yang terobsesi padamu. Benar dugaanku bahwa Om Leon hanya menggodaku saja dengan mengatakan bahwa ia menyukaiku dan ingin jadi pacarku. Dasar lelaki!"Hanun, kamu boleh keluar. Kenapa masih bengong di situ?" teguran Bu Marissa membuatku sangat malu."Eh, i-iya, Bu, maafin saya. Saya permisi." Aku bergegas keluar dari ruangan itu. Satu masalah teratasi yaitu masalah Om Leon. Kini tinggal masalahku dengan Mas Biru yang tidak tahu nanti aku harus bagaimana."Jadi ponsel kamu gak ada?" tanya Lina saat aku sedang menghitung pemasukan hari ini. Aku mengangguk."Jaman sekarang gak ada HP itu ribet, Hanun. Suami kamu ada-ada saja! Terus, malam ini kamu pulang ke rumah suami kamu?""Iya, mau ke mana lagi?" jawabku tidak semangat."Kamu gak takut kena omel atau kena pukul suami kamu?""Takut, sih, tapi kamu tenang saja karena aku akan baik-baik saja. Mas Biru begitu karena dia butuh uang. Sudah, jangan bicara dia lagi. Otakku rasanya mendidih kalau sebut namanya ha ha ha ...." Lina pun tertawa. Aku bergegas menyelesaikan semua hitungan, lalu uang aku bawa ke ruangan Bu Marissa."Eh, Ibu, s-saya kira Ibu udah pulang. Ini, saya mau setor pemasukan hari ini. Sudah tutup buku hari ini dan pelanggan juga sudah sepi, Bu," kataku pada Bu Marissa, sambil menyerahkan pouch besar berisi duit."Oke, makasih, taruh saja di meja. Oh, iya, ini alamat rumah Leon, saya kirimkan ke ponsel kamu ya?""Jangan, Bu, ponsel saya udah dijual." Bukan aku sok tahu, tetapi jika ada barang berharga di tangan suamiku, pastilah berakhir mengenaskan dan dapat dipastikan jatuh ke tangan orang lain."Oke, ini di belakang kartu nama Leon, ada alamat rumahnya. Datang jam enam pagi ya.""Baik, Bu, saya permisi." Aku pun memasukkan kartu nama itu ke dalam saku celana kerjaku. Hari ini pulang naik angkot sendirian karena teman-teman yang lain sudah pulang. Untunglah ada uang pemberian Om Leon lima puluh ribu, sehingga aku masih ada ongkos untuk pulang ke rumah. Jika tidak, bisa-bisa aku pulang dengan jalan kaki.Jam sepuluh malam, aku sampai di depan gang. Hati ini harap-harap cemas akan perlakuan Mas Biru nanti. Kaki ini melangkah ke rumah Tia; tetangga yang sudah seperti sahabatku."Hanun, baru pulang?" tanya Tia yang rupanya sedang menyapu teras rumah."Iya, Tia, maaf aku ganggu ya. Untung kamu belum tidur." Tia meletakkan sapu di samping kursi teras."Gak papa, Nun, paling diprotes laki gue karena ngerumpi malam-malam he he he ... Ada apa? Kayaknya serius nih?" tanya Hanun."Ini Tia, aku mau minta tolong. Aku mau pulang, tetapi kayaknya Mas Biru sedang marah padaku. Jika dia kalap dengan memukulku, tolong rekam ya. Kamu ada ponsel kan? Nanti pintu rumah gak aku tutup," kataku dengan suara berbisik. Wajah Tia nampak terkejut."Apa, Mas Biru mukul kamu? Emangnya ada apa?" tanyaku penasaran."Kamu jadi bikin aku takut saja? Kalau beneran Mas Biru suka KDRT, harusnya kamu lapor, Nun," komentar Tia."Minggu nanti aku cerita, sekarang ikut yuk, tapi kamu jangan keliatan Mas Biru ya. Kalau aku ceritakan sekarang, akan panjang, Tia. Lagian, aku gak punya orang lain yang bisa nolongin aku di sini. Mau minta tolong Pak RT, aku sungkan sama Bu RT Rima he he he ...""Oh, gitu, ya sudah. Sebentar, aku ambil ponselku dulu di dalam."Untunglah Tia setuju. Temanku itu pun sedang menyiapkan ponselnya untuk merekam kejadian saat aku tiba di rumah. Keringat dingin terus merembes di punggung, hingga aku merasakan basah di sana. Belum lagi keringat di dahi dan leher. Mau pulang ke rumah sendiri, rasanya sedang berjalan menuju tiang gantungan. Paling tidak, aku sudah menyiapkan Tia yang akan membantuku jika nanti saat di rumah, aku menjadi korban KDRT suamiku.Pintu rumahku tertutup, tetapi lampu kamarku menyala. Lampu ruang tamu yang padam. Aku yakin Mas Biru belum tidur. Aku menoleh ke belakang dan melihat Tia sedang bersembunyi di balik pilar rumah Bu Desi; tetanggaku. Aku mengangguk seolah-olah tengah memberikan aba-aba, bahwa Tia harus bersiap. Tia balas mengangguk sembari mengangkat jempolnya.Tok! Tok!Kuberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah, walau detak jantung ini terasa tidak beraturan."Mas Biru, saya pulang," seruku dari luar. Tidak langsung ada jawaban, apa suamiku sudah tidur? Aku mengetuk lagi sambil meneriakkan namanya.Cklek"Mas Biru, s-kamu siapa?" tanyaku pada seorang wanita yang membukakan pintu untukku."Wah, nyonya pulang malam banget nih! Digaji berapa belas juta kamu, gini hari baru pulang?!" Aku menelan ludah saat suara ibu mertua menyahut dari belakang tubuh wanita yang tidak aku kenali ini. "Ibu, k-kapan Ibu sampai?" tanyaku sambil meraih tangan ibu mertua untuk menyalaminya. "Sejak sore. Ini Sasa, sepupu Biru." Aku tersenyum pada gadis bernama Sasa itu. "Sasa," katanya memperkenalkan diri. Di meja ruang tamu ada dua loyang pizza yang tersisa kotaknya saja. Bungkus saus dan juga gelas minum cup yang telah kosong, berceceran di lantai. Ibu mertuaku makan pizza. Makanan yang hanya mampu aku beli saat lebaran. Itu pun hanya loyang kecil."Ibu sudah makan?" tanyaku berbasa-basi."Sudah. Ibu kelaparan banget. Jadinya Biru belikan pizza. Jangan lupa kamu cuci piring dan beresin semua yang berantakan ini!""Baik, Bu." Aku melangkah masuk ke kamar dengan lemah. Lemah karena aku benar-benar capek dan ingin istirahat, tetapi sepertinya kedatangan mertua malah menambah beban pekerjaa
Aku tiba di alamat yang diberikan Bu Marissa kemarin. Namun, ini rumah yang berbeda dengan rumah yang sempat aku menginap satu malam di sana. Rumah besar dengan pagar tinggi di bagian depan. Pagar hitam kokoh yang temboknya diberikan kawat besi sebagai pengaman. Rumah ini tampak sepi, tetapi aku bisa melihat mobil BMW Om Leon, parkir di garasinya. "Permisi! Om Leon! Saya Hanun!" Seruku dari depan pagar. Tidak ada ponsel, sehingga aku tidak bisa meneleponnya. Tidak juga ada bel di dinding pagar, sehingga aku tidak tahu bagaimana cara memberitahu Om Leon, bahwa aku sudah di depan rumahnya. "Om Leon, permisi!" Teriakku lagi. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Aku berharap Om Leon belum pergi ke restoran karena ini sudah sangat terlambat. "Aku kira kamu gak jadi datang," ujar suara dari dalam. Tidak lama kemudian, pintu pagar pun terbuka. Om Leon menyambutku dengan senyuman. "Saya kesiangan ya, Om!" Kataku dengan tidak enak hati. Om Leon hanya tersenyum sambil mengunci kembali p
POV Leon"Umur kamu sudah terlalu tua dan mama kamu ini gak sanggup kalau harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan cucu dari kamu. Dua adik perempuan kamu sudah menikah dan masing-masing punya satu anak. Tinggal anak lelaki Mama satu-satunya yang belum memberikan Mama menantu, apalagi cucu. Jadi, Mama sudah putuskan untuk menjodohkan kamu dengan Renata. Wanita baik-baik dari keluarga terpandang. Mama menjodohkan kamu bukan dengan wanita karir karena Mama ingin kamu ada yang mengurus. Apa kamu paham?" aku meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Selalu hal ini saja yang menjadi perdebatanku dan mama bila ia datang berkunjung ke rumahku. Aku ingin menikah, Ma, tapi dengan Hanun. Mana sanggup bibir ini mengatakan hal demikian karena nanti Hanun yang mendapatkan celaka. "Leon tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya setuju. Berikan alamat Renata, nanti Leon berkunjung. Alamat kantor atau alamat rumah orang tuanya juga gak papa," kataku pada mama. Wajah wanitaku itu langsung ber
Tentu semua hanya gertakan saja. Mana tega aku membiarkan wanita yang aku cintai masuk penjara. Bukan hanya isi brangkas di restoran yang jika ia mau menjadi istriku, maka restoran ini pun bisa menjadi miliknya, tetapi selagi ia masih dalam ikatan pernikahan, tentu saja aku tidak boleh gegabah. Nanti Hanun juga yang susah. Sebuah kesempatanku membawa Hanun ke rumah yang hanya sesekali saja aku kunjungi. Ia tidur di kamar bersamaku malam ini, tetapi ia di ranjang dan aku di sofa. Tidak apa aku mengalah, karena aku tahu dia lelah. Suami yang ia harapkan bisa menjadi tumpuan harapan, malah memperalatanya. Bagaimana caraku untuk memberitahu Hanun, karena wanita di depanku yang sedang tidur ini salah mencintai pria?Mas, saya lagi gak punya uang. Saya gak bisa kasbon. Aku menoleh terkejut saat Hanun meracau dalam tidurnya. Kuhampiri ia dengan wajah lelah dan sangat sederhana. Kulitnya sawo matang, tidak putih seperti impian kebanyakan kaum Adam. Aku lebih suka kulit wanita asia yang sens
POV HanunMemang hanya cium pipi, tetapi badan ini langsung panas dingin. Untung saja Om Leon langsung pergi, sehingga aku bisa meneruskan pekerjaan rumah tangga. Jika tidak, maka aku akan sangat canggung berdekatan dengan pria itu. Terakhir aku dicium Mas Biru mungkin satu bulan lalu. Kami terus berdebat soal uang dan hal sepele, sehingga baik aku ataupun dia, malas berdekatan. Kumis tipis Om Leon dan jampang yang selalu ia cukur rapi masih terasa sedikit geli di pipi iniHanun, jangan genit kamu! Batinku mengingatkan. Aku melanjutkan pekerjaan sampai sore hari. Aku juga memasak karena semua bahan makanan ada di kulkas dua pintu mirip lemari pakaian itu. Ada daging segar yang aku olah jadi beef teriyaki. Aku juga merebus brokoli dan wortel. Aku masak secukupnya dan makan pun tidak banyak. Aku tidak mau aji mumpung di rumah Om Leon. Masih untung aku dipekerjakan di sini.Kring! KringAku mengangkat telepon yang berdering dari ruang tengah. "Halo.""Halo, Hanun, kamu lagi apa?""Baru
Pintu kamar terbuka. Mas Biru masuk dengan wajahnya yang masam. Aku malas bertanya dan berpura-pura tidur. Aku sedang tidak ingin bicara dengannya maupun mertuaku."Aku tahu kamu belum tidur," katanya pelan sambil menyentuh lengan ini. Aku diam, tidak menyahut sama sekali. Mata ini pun masih terpejam amat rapat. "Aku resign." Sontak aku membuka mata, lalu bangun duduk dengan begitu terkejutnya."Kamu resign, Mas? Kenapa? Udah punya kerjaan baru?" tanyaku dengan kening berkerut."Ada sedikit masalah di pabrik dan aku dipecat sih." "Masalah apa? Selama ini kamu gak pernah cerita." Suamiku membuka baju kausnya, menyisakan kaus dalam dan celana panjang saja. Ia yang awalnya duduk di pinggir ranjang, kini merosot duduk di bawah. "Urusan lelaki pokoknya. Intinya aku gak kerja dan aku gak bisa kasih kamu uang belanja bulanan lagi. Kamu usaha sendiri dulu untuk sementara waktu. Ibu dan Sasa juga tolong tanggulangi dulu. Nanti kalau aku udah kerja, aku ganti semua uang kamu, Hanun." Aku ter
"Ya ampun, Jeng Rissa, jadi mau mantu? Pantes aja kita-kita diundang ke sini arisannya.""Iya, Jeng Hel, doakan lancar ya, Jeng. Masih pedekate sih, tapi sinyalnya positif kok. Paling bukan depan, udah punya mantu saya. Anak lelaki satu-satunya, paling besar lagi, jadi maklum saja kalau kriterianya suka yang aneh-aneh. Maklumlah, harta dan perusahaan gak boleh sampai jatuh ke tangan yang salah. Bener gak bu-ibu?" "Betul sekali itu, Jeng. Mau hajatan di mana nih? GBK-kah? he he he ....""Nggak, Jeng, mungkin nanti ngunduh mantu di sini, paling di Hotel Harris Jakarta. Kalau akad di kampung calon anak saya, Jeng. Cantik deh, menantu saya. Orang desa, tapi ningrat. Bukan orang duafa, masih satu level dengan Leon."Percakapan demi percakapan hanya bisa aku dengarkan saat aku menata aneka makanan di meja. Ada banyak pesanan kue yang harus aku sajikan di piring hidang. Belum lagi desert puding dan es kelapa. Makan siangnya pun ada, lontong sayur. Aku yang belum makan apa-apa dari pagi ini
"Maaf, Om, sebelumnya terima kasih atas kebaikan Om Leon. Hanya saja, saya tidak bisa menginap. Di rumah saya sedang ada mertua dan ia menunggu saya pulang," jawabku dengan hati-hati. Om Leon mengangguk paham."Oke, mau saya antar? Ah, iya, kalimat saya salah. Ayo, saya antar kamu! Tenang, gak akan saya turunin di gang rumah kamu, tapi minimarket yang di dekat sana." "Gak papa saya naik angkot saja, Om, t-tapi saya pinjam tiga puluh ribu untuk ongkos malam ini dan besok, Om." Wajahku pasti sangat menyedihkan. Seperti tengah mengemis memohon belas kasihan orang lain. "Saya antar. Ayo, cuci muka dulu dan makan ya. Temani saya makan." Mau menolak pun percuma karena saat ini tanganku sudah ditarik paksa menuju dapur. "Tadi sore saya sudah makan, Om.""Iya, tapi bangun tidur, kamu pasti lapar lagi. Masih ada dua bungkus lontong. Kamu satu dan saya satu. Makan di sini sama saya." Aku pun akhirnya mengangguk setuju. Memang benar tebakan Om Leon bahwa orang yang baru saja bangun tidur, bia