"Bang, turun di sini saja. Gak usah depan restoran," kataku pada pengemudi ojek online yang aku tumpangi. Pria itu mengangguk, lalu motor pun berhenti di pinggir trotoar.
"Ongkosnya sudah ya, Bang," kataku memastikan."Iya, sudah, Mbak." Aku mengangguk sambil melepas helm hijau itu. Lalu aku berikan pada pengemudi ojek dengan ucapan terima kasih. Ojek pun berlalu. Aku merapikan rambut dengan asal. Wajah ini pun tidak aku poles apapun, selain pelembab dan sunblock.Aku memanjangkan leher dari balik pilar dekat gerbang masuk restoran. Suamiku sedang duduk di kursi plastik sambil merokok."Mas," panggilku sambil melambaikan tangan. Mas Biru melemparkan rokoknya di tanah, lalu berjalan dengan cepat menghampiriku."Kamu dari mana saja? Melacur ya? Kamu bilang ke rumah Lina, padahal kamu gak di sana," tanyanya sambil mencengkram tanganku dengan sangat kuat."Aw! S-sakit, Mas!" Aku berusaha menarik tangan ini, tetapi tidak bisa.Sebelah tangannya merampas tasku. Lalu ia membuka dengan kasar. Sasarannya adalah dompet dan ponselku."Mas, jangan! Masa HP-ku!" Kataku tidak terima."Siapa suruh kamu bohong? Heh! Jujur kamu kalau tidur sama bos kamu! Sini, pasti kamu dapat uang banyak." Ia membuka dompetku dengan kasar."Cuma ini? Kamu yakin tidur sama bos kamu, tapi hanya ada tiga ratus ribu di dompet kamu?!""Aku bukan melacur! Aku bukan tidur dengan bosku! Kamu keterlaluan, Mas! Jangan menyesal kalau sampai aku nanti benar melakukan seperti apa yang selalu kamu tuduhkan! Sini, kembalikan ponselku!" Aku berusaha menarik dua benda penting milikku."Mbak Hanun, ada apa ini?" tanya Amir yang tiba-tiba datang menghampiri kami. Pemuda itu terkejut sekaligus terheran melihat suamiku."Jangan ikut campur kamu! Pergi sana!" Usir Mas Biru pada Amir. Tentu saja Amir tidak mau pergi dari tempatnya sekarang."Ini di wilayah restoran, Mas. Kalau Mas mau ribut, ke ring tinju sana! Masa ribut sama perempuan di tempat kerja perempuan. Ah, iya, rupanya gak punya kerjaan ya, jadinya ribut di sini! Mas yang harusnya pergi dari sini, sebelum saya panggilkan polisi karena sudah membuat gaduh. Coba Mas lihat ke depan sana! Itu mobil berjejer, motor pun sama untuk menyaksikan suami banci yang sedang mengganggu is_"Prak!"Untung saya bisa mengelak!" Amir mengelak saat Mas Biru melayangkan tunjuk ke arah temanku itu. Orang-orang di jalan raya menyoraki Mas Biru, hingga akhirnya suamiku itu pergi dengan membawa ponsel dan dompetku."Makasih, Amir!" Kataku dengan suara tertahan."Sama-sama, Mbak. Maaf nih ya, saya kalau jadi Mbak Hanun, udah gugat cerai aja suami begitu. Gak ada manfaatnya, malah bikin malu dan bisa bikin kita gila! Udah, masuk cepet, dilihatin orang banyak tuh!" Aku pun tersadar dan langsung berlari masuk ke restoran lewat pintu samping.Untung restoran masih belum buka dan masih sangat pagi. Hanya ada Lina, Amir, Pak Arman selaku chef, dan juga Ganjar, asisten chef. Untuk karyawan lainnya memang masih setengah jam lagi, barulah berkumpul."Emangnya kamu dari mana semalam? Beneran gak pulang?" tanya Lina menghampiriku yang baru saja mengaktifkan komputer kasir."Maaf ya, Lin, aku pakai nama kamu. Aku menginap di rumah temanku yang lain. Yah, aku gak mau pulang karena masih kesal dengan Mas Biru," jawabku."HP sama dompet kamu dibawa Mas Biru ya? Beneran keterlaluan suami kamu itu, udah gak bisa ngasih, malah ngerampok barang istri." Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Aku tidak mau terlalu mengumbar aib suamiku karena aku masih menghormatinya, tetapi aku tidak tahu sampai kapan rasa hormat ini bisa bertahan lama."Dia kesal aku gak pulang. Yah, mau gimana lagi." Aku mengangkat bahu tidak paham. Semakin membahas Mas Biru, maka semakin kesal dan gondok hati ini."Iya sih, sabar deh, Nun. Tangan kamu udah diobati?" aku mengangguk pelan."Sudah aku kasih minyak but-but yang ada di loker belakang. Nanti juga hilang," jawabku sambil tersenyum.Aku sangat bersyukur punya lingkungan kerja yang begitu perhatian satu sama lain. Tidak ada rasa iri hati dan dengki, apalagi model manis di depan, menusuk di belakang. Kami semua sama rata, baik dari gaji dan pembagian tugas lembur. Om Leon benar-benar bijak dan pandai mengelola restoran, sehingga tidak heran, ia punya banyak cabang restoran lainnya.Menjelang jam makan siang, pengunjung restoran mulai ramai. Aku pun juga lebih sibuk dari satu jam yang lalu. Waiters dan chef kerja bakti dengan begitu cekatan untuk meramu, serta melayani pesanan pengunjung yang pasti sudah lapar di jam setengah dua belas siang seperti ini."Nyonya besar datang," bisik Amir."Bu Marissa?" tanyaku memastikan."Iya, Bu Marissa. Ibunya Om Leon." Aku segera berdiri untuk menyambut datangnya bos besar yang sangat kami hormati. Namun, tidak terlihat sosok Om Leon sejak tadi."Selamat siang, Nyonya!" Sapaku, Amir, serta Lusi secara serentak. Wanita itu hanya tersenyum tipis."Hanun yang mana orangnya?" tanya beliau."Saya, Nyonya," jawabku gugup."Saya mau bicara sama kamu. Tolong ke ruangan ya."Aku mengetuk pintu ruangan Om Leon yang saat ini diisi oleh Bu Marissa. Jika hari ini adalah hari terakhirku bekerja karena masalah kemarin, maka aku pun harus ikhlas. Memang salahku, bukan suamiku. Ia hanya minta uang dan bodohnya aku, kenapa bilang tidak ada. Malah mau mencuri di tempat kerja. Om Leon pasti bercerita pada ibunya tentang kesalahanku, sehingga saat ini Bu Marissa memanggilku. Kuatur napas dan merapikan sedikit rambut ini dengan buku jari tangan. Aku siap salah dan menerima konsekuensi dari apa yang sudah aku lakukan.Tok! Tok!"Permisi, Bu.""Masuk!" Suara elegan Bu Marissa membuat bulu tangan ini meremang. Aku menelan kenop pintu perlahan, lalu melangkah masuk dengan hati-hati. "Permisi, Bu, saya Hanun, apa Ibu ada perlu dengan saya?" tanyaku amat sopan. Suara yang aku keluarkan juga sangat hati-hati. Wanita itu mengalihkan pandangan dari menatap laptop, kini melihat ke arahku. Matanya naik turun memperhatikanku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semakin be
"Wah, nyonya pulang malam banget nih! Digaji berapa belas juta kamu, gini hari baru pulang?!" Aku menelan ludah saat suara ibu mertua menyahut dari belakang tubuh wanita yang tidak aku kenali ini. "Ibu, k-kapan Ibu sampai?" tanyaku sambil meraih tangan ibu mertua untuk menyalaminya. "Sejak sore. Ini Sasa, sepupu Biru." Aku tersenyum pada gadis bernama Sasa itu. "Sasa," katanya memperkenalkan diri. Di meja ruang tamu ada dua loyang pizza yang tersisa kotaknya saja. Bungkus saus dan juga gelas minum cup yang telah kosong, berceceran di lantai. Ibu mertuaku makan pizza. Makanan yang hanya mampu aku beli saat lebaran. Itu pun hanya loyang kecil."Ibu sudah makan?" tanyaku berbasa-basi."Sudah. Ibu kelaparan banget. Jadinya Biru belikan pizza. Jangan lupa kamu cuci piring dan beresin semua yang berantakan ini!""Baik, Bu." Aku melangkah masuk ke kamar dengan lemah. Lemah karena aku benar-benar capek dan ingin istirahat, tetapi sepertinya kedatangan mertua malah menambah beban pekerjaa
Aku tiba di alamat yang diberikan Bu Marissa kemarin. Namun, ini rumah yang berbeda dengan rumah yang sempat aku menginap satu malam di sana. Rumah besar dengan pagar tinggi di bagian depan. Pagar hitam kokoh yang temboknya diberikan kawat besi sebagai pengaman. Rumah ini tampak sepi, tetapi aku bisa melihat mobil BMW Om Leon, parkir di garasinya. "Permisi! Om Leon! Saya Hanun!" Seruku dari depan pagar. Tidak ada ponsel, sehingga aku tidak bisa meneleponnya. Tidak juga ada bel di dinding pagar, sehingga aku tidak tahu bagaimana cara memberitahu Om Leon, bahwa aku sudah di depan rumahnya. "Om Leon, permisi!" Teriakku lagi. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Aku berharap Om Leon belum pergi ke restoran karena ini sudah sangat terlambat. "Aku kira kamu gak jadi datang," ujar suara dari dalam. Tidak lama kemudian, pintu pagar pun terbuka. Om Leon menyambutku dengan senyuman. "Saya kesiangan ya, Om!" Kataku dengan tidak enak hati. Om Leon hanya tersenyum sambil mengunci kembali p
POV Leon"Umur kamu sudah terlalu tua dan mama kamu ini gak sanggup kalau harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan cucu dari kamu. Dua adik perempuan kamu sudah menikah dan masing-masing punya satu anak. Tinggal anak lelaki Mama satu-satunya yang belum memberikan Mama menantu, apalagi cucu. Jadi, Mama sudah putuskan untuk menjodohkan kamu dengan Renata. Wanita baik-baik dari keluarga terpandang. Mama menjodohkan kamu bukan dengan wanita karir karena Mama ingin kamu ada yang mengurus. Apa kamu paham?" aku meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Selalu hal ini saja yang menjadi perdebatanku dan mama bila ia datang berkunjung ke rumahku. Aku ingin menikah, Ma, tapi dengan Hanun. Mana sanggup bibir ini mengatakan hal demikian karena nanti Hanun yang mendapatkan celaka. "Leon tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya setuju. Berikan alamat Renata, nanti Leon berkunjung. Alamat kantor atau alamat rumah orang tuanya juga gak papa," kataku pada mama. Wajah wanitaku itu langsung ber
Tentu semua hanya gertakan saja. Mana tega aku membiarkan wanita yang aku cintai masuk penjara. Bukan hanya isi brangkas di restoran yang jika ia mau menjadi istriku, maka restoran ini pun bisa menjadi miliknya, tetapi selagi ia masih dalam ikatan pernikahan, tentu saja aku tidak boleh gegabah. Nanti Hanun juga yang susah. Sebuah kesempatanku membawa Hanun ke rumah yang hanya sesekali saja aku kunjungi. Ia tidur di kamar bersamaku malam ini, tetapi ia di ranjang dan aku di sofa. Tidak apa aku mengalah, karena aku tahu dia lelah. Suami yang ia harapkan bisa menjadi tumpuan harapan, malah memperalatanya. Bagaimana caraku untuk memberitahu Hanun, karena wanita di depanku yang sedang tidur ini salah mencintai pria?Mas, saya lagi gak punya uang. Saya gak bisa kasbon. Aku menoleh terkejut saat Hanun meracau dalam tidurnya. Kuhampiri ia dengan wajah lelah dan sangat sederhana. Kulitnya sawo matang, tidak putih seperti impian kebanyakan kaum Adam. Aku lebih suka kulit wanita asia yang sens
POV HanunMemang hanya cium pipi, tetapi badan ini langsung panas dingin. Untung saja Om Leon langsung pergi, sehingga aku bisa meneruskan pekerjaan rumah tangga. Jika tidak, maka aku akan sangat canggung berdekatan dengan pria itu. Terakhir aku dicium Mas Biru mungkin satu bulan lalu. Kami terus berdebat soal uang dan hal sepele, sehingga baik aku ataupun dia, malas berdekatan. Kumis tipis Om Leon dan jampang yang selalu ia cukur rapi masih terasa sedikit geli di pipi iniHanun, jangan genit kamu! Batinku mengingatkan. Aku melanjutkan pekerjaan sampai sore hari. Aku juga memasak karena semua bahan makanan ada di kulkas dua pintu mirip lemari pakaian itu. Ada daging segar yang aku olah jadi beef teriyaki. Aku juga merebus brokoli dan wortel. Aku masak secukupnya dan makan pun tidak banyak. Aku tidak mau aji mumpung di rumah Om Leon. Masih untung aku dipekerjakan di sini.Kring! KringAku mengangkat telepon yang berdering dari ruang tengah. "Halo.""Halo, Hanun, kamu lagi apa?""Baru
Pintu kamar terbuka. Mas Biru masuk dengan wajahnya yang masam. Aku malas bertanya dan berpura-pura tidur. Aku sedang tidak ingin bicara dengannya maupun mertuaku."Aku tahu kamu belum tidur," katanya pelan sambil menyentuh lengan ini. Aku diam, tidak menyahut sama sekali. Mata ini pun masih terpejam amat rapat. "Aku resign." Sontak aku membuka mata, lalu bangun duduk dengan begitu terkejutnya."Kamu resign, Mas? Kenapa? Udah punya kerjaan baru?" tanyaku dengan kening berkerut."Ada sedikit masalah di pabrik dan aku dipecat sih." "Masalah apa? Selama ini kamu gak pernah cerita." Suamiku membuka baju kausnya, menyisakan kaus dalam dan celana panjang saja. Ia yang awalnya duduk di pinggir ranjang, kini merosot duduk di bawah. "Urusan lelaki pokoknya. Intinya aku gak kerja dan aku gak bisa kasih kamu uang belanja bulanan lagi. Kamu usaha sendiri dulu untuk sementara waktu. Ibu dan Sasa juga tolong tanggulangi dulu. Nanti kalau aku udah kerja, aku ganti semua uang kamu, Hanun." Aku ter
"Ya ampun, Jeng Rissa, jadi mau mantu? Pantes aja kita-kita diundang ke sini arisannya.""Iya, Jeng Hel, doakan lancar ya, Jeng. Masih pedekate sih, tapi sinyalnya positif kok. Paling bukan depan, udah punya mantu saya. Anak lelaki satu-satunya, paling besar lagi, jadi maklum saja kalau kriterianya suka yang aneh-aneh. Maklumlah, harta dan perusahaan gak boleh sampai jatuh ke tangan yang salah. Bener gak bu-ibu?" "Betul sekali itu, Jeng. Mau hajatan di mana nih? GBK-kah? he he he ....""Nggak, Jeng, mungkin nanti ngunduh mantu di sini, paling di Hotel Harris Jakarta. Kalau akad di kampung calon anak saya, Jeng. Cantik deh, menantu saya. Orang desa, tapi ningrat. Bukan orang duafa, masih satu level dengan Leon."Percakapan demi percakapan hanya bisa aku dengarkan saat aku menata aneka makanan di meja. Ada banyak pesanan kue yang harus aku sajikan di piring hidang. Belum lagi desert puding dan es kelapa. Makan siangnya pun ada, lontong sayur. Aku yang belum makan apa-apa dari pagi ini