"S-saya dalam perjalanan ke rumah Lina, Mas. Saya t-takut pulang, jadinya_"
"Jangan bohong kamu, Hanun! Katakan kamu di mana?" aku menatap pada Om Leon karena bingung harus bagaimana. Ia mengetik sesuatu pada ponselnya, lalu aku diminta untuk membacakannya."Saya sudah keburu kesal dengan Mas Biru. Jadinya malam ini saya gak mau pulang dulu! Siapa suruh tadi mengabaikan saya. Saya mau menginap di rumah teman saja." Aku langsung menutup panggilan itu dan langsung mematikan ponsel. Om Leon tersenyum sambil mengangkat jempolnya."Ayo, tidur, saya capek banget!" Katanya sembari bangun dari kursi, lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Aku masih mematung, apakah benar-benar aku harus tidur dengannya?"Hanun, kamu mau ngapain diam di sana? Ayo, masuk dan tidur!" Katanya lagi sambil mengangkat tangan. Kedua kaki ini pun melangkah bagaikan robot.Cklek!Pintu sudah tertutup kembali dan saat ini aku memuji keberanian yang di luar akal sehatku."Kamu tidur di ranjang, biar aku yang di sofa," katanya lagi sambil berjalan ke arah sofa. Aku tergugu mencoba mencerna ucapannya."Om, t-tapi kenapa saya harus tidur di ranjang? Itu bukannya ranjang Om Leon. Ya ampun, saya gak mau, Om." Aku menggelengkan kepala dengan tegas. Siapa aku, nekat tidur di ranjang bos pemilik restoran?"Oh, jadi kamu udah siap tidur dengan saya? Ha ha ha ...." Balasnya dengan suara tawa menggelegar. Aku tentu saja menggelengkan kepala sekali lagi."Kamu pasti capek seharian kerja di balik meja kasir. Kamu boleh tidur di sana malam ini. Biar saya tidur di sofa. Sekarang belum saatnya kita bobok bareng di ranjang empuk milik saya." Aku merinding begitu kata bobok bareng meluncur di bibirnya. Aku pun bergegas naik ke atas ranjang yang baru kali ini aku rasakan. Empuk dan sangat nyaman. Sepreinya juga sangat dingin dan adem. Tidak seperti seprei di rumahku yang kasar.Lampu kamar dimatikan oleh Om Leon. Aku pun memaksakan diri untuk memejamkan mata. Aku berharap ini bukan mimpi, karena aku tidak ingin bangun dari ranjang super empuk ini.Suara jam weker membangunkanku dari tidur paling nyenyak yang pernah aku rasakan. Aku melihat ke sekeliling kamar dan tidak mendapati Om Leon di sofa. Tiba-tiba dari arah kanan, suara pintu dibuka. Aku menoleh dan melihat Om Leon keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk saja.Aku menelan ludah karena pemandangan luar biasa dari mahkluk Tuhan paling dingin begitu segar dengan rambut basahnya."Hai, kamu sudah bangun. Kamu bisa mandi di sana. Jangan sungkan. Setelah kamu mandi, kamu berpakaian lagi. Seragam kerja sudah aku keringkan di mesin pengering. Ada setrika gantung juga di samping lemari, kalau kamu mau menyetrikanya. Kita berangkat ke restoran satu jam setengah lagi.""Om, maaf, a-apa saya tidak dipecat?" tanyaku ragu. Pria yang tengah membuka lemari pakaiannya itu langsung tersenyum."Jika saya pecat kamu, maka saya gak bisa lihat kamu. Saya cukup mengganti pin brangkas saja bukan? Sama satu lagi, jika kamu berani menyalah gunakan kepercayaan saya sekali lagi, maka bukan hanya kamu, tapi suami jadi-jadian kamu pun harus menanggung akibatnya. Saya gak main-main karena ini menyangkut perusahaan saya. Restoran saya bukan hanya satu." "Baik, Om, terima kasih banyak atas kesempatannya. S-saya kirain saya dipecat." Akhirnya aku bisa bernapas lega, sembari mengurut dada ini."Kamu pernah bilang, bahwa kamu menikah di usia tujuh belas tahun. Sekarang umur kamu dua puluh tahun, tapi suami kamu tidak kelihatan bukan family man. Urakan dan galak kalau menurut saya. Bagaimana bisa kamu memutuskan untuk menikah dengan pria galak seperti Biru? Apa kamu tidak ingin bercerai saja darinya? Kalian hanya menikah siri'kan?""Saya rasa, Om gak boleh ikut campur masalah ini. Maaf, Om. Bagaimanapun Mas Biru masih suami saya," kataku berusaha mempertahankan nama baik suamiku meskipun mungkin sebuah kebodohan. Mungkin aku dianggap lancang, tetapi sudah terlanjur.Om Leon bukannya marah atau tersinggung padaku, tetapi ia tertawa."Mari kita lihat sejauh mana kamu bisa terus menggunakan gelar suami pada Biru!"Kring! Kring!Aku melihat ada nama Lina yang menelepon."Halo, kenapa, Lin?""Hanun, Lo di mana sih? Ini laki Lo ada di depan restoran. Emangnya Lo gak pulang?""Hah, Mas Biru ada di restoran?""Iya, dia nyariin Lo.""Aku dalam perjalanan ke restoran. Suruh tunggu aja. Masih ya, Lin, udah diberitahu." Aku mematikan ponsel dan langsung berlari keluar dari kamar Om Leon."Om, baju saya ada di mana?" tanyaku."Ada saya gantung di ruang setrika. Di depan sana. Saya pesankan ojek online biar kamu lebih dulu sampai.""Makasih, Om." Aku mengangguk cepat. Lalu bergegas mengganti baju seragam tanpa riasan wajah. Aku harus gerak cepat agar Mas Biru tidak menunggu lama."Ojek online sudah di bawah. Ongkosnya udah saya bayar," kata Om Leon saat aku tengah mengisi botol air minum yang selalu aku bawa."Makasih banyak, Om. Saya permisi." Aku pun bergegas turun sampai di lobi menggunakan lift. Jantung ini berdetak tidak karuan karena tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di restoran nanti. Semoga saja Mas Biru tidak membuatku malu atau malah membuat keributan."Bang, turun di sini saja. Gak usah depan restoran," kataku pada pengemudi ojek online yang aku tumpangi. Pria itu mengangguk, lalu motor pun berhenti di pinggir trotoar. "Ongkosnya sudah ya, Bang," kataku memastikan."Iya, sudah, Mbak." Aku mengangguk sambil melepas helm hijau itu. Lalu aku berikan pada pengemudi ojek dengan ucapan terima kasih. Ojek pun berlalu. Aku merapikan rambut dengan asal. Wajah ini pun tidak aku poles apapun, selain pelembab dan sunblock.Aku memanjangkan leher dari balik pilar dekat gerbang masuk restoran. Suamiku sedang duduk di kursi plastik sambil merokok. "Mas," panggilku sambil melambaikan tangan. Mas Biru melemparkan rokoknya di tanah, lalu berjalan dengan cepat menghampiriku. "Kamu dari mana saja? Melacur ya? Kamu bilang ke rumah Lina, padahal kamu gak di sana," tanyanya sambil mencengkram tanganku dengan sangat kuat."Aw! S-sakit, Mas!" Aku berusaha menarik tangan ini, tetapi tidak bisa.Sebelah tangannya merampas tasku. Lalu ia membuka dengan kas
Aku mengetuk pintu ruangan Om Leon yang saat ini diisi oleh Bu Marissa. Jika hari ini adalah hari terakhirku bekerja karena masalah kemarin, maka aku pun harus ikhlas. Memang salahku, bukan suamiku. Ia hanya minta uang dan bodohnya aku, kenapa bilang tidak ada. Malah mau mencuri di tempat kerja. Om Leon pasti bercerita pada ibunya tentang kesalahanku, sehingga saat ini Bu Marissa memanggilku. Kuatur napas dan merapikan sedikit rambut ini dengan buku jari tangan. Aku siap salah dan menerima konsekuensi dari apa yang sudah aku lakukan.Tok! Tok!"Permisi, Bu.""Masuk!" Suara elegan Bu Marissa membuat bulu tangan ini meremang. Aku menelan kenop pintu perlahan, lalu melangkah masuk dengan hati-hati. "Permisi, Bu, saya Hanun, apa Ibu ada perlu dengan saya?" tanyaku amat sopan. Suara yang aku keluarkan juga sangat hati-hati. Wanita itu mengalihkan pandangan dari menatap laptop, kini melihat ke arahku. Matanya naik turun memperhatikanku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semakin be
"Wah, nyonya pulang malam banget nih! Digaji berapa belas juta kamu, gini hari baru pulang?!" Aku menelan ludah saat suara ibu mertua menyahut dari belakang tubuh wanita yang tidak aku kenali ini. "Ibu, k-kapan Ibu sampai?" tanyaku sambil meraih tangan ibu mertua untuk menyalaminya. "Sejak sore. Ini Sasa, sepupu Biru." Aku tersenyum pada gadis bernama Sasa itu. "Sasa," katanya memperkenalkan diri. Di meja ruang tamu ada dua loyang pizza yang tersisa kotaknya saja. Bungkus saus dan juga gelas minum cup yang telah kosong, berceceran di lantai. Ibu mertuaku makan pizza. Makanan yang hanya mampu aku beli saat lebaran. Itu pun hanya loyang kecil."Ibu sudah makan?" tanyaku berbasa-basi."Sudah. Ibu kelaparan banget. Jadinya Biru belikan pizza. Jangan lupa kamu cuci piring dan beresin semua yang berantakan ini!""Baik, Bu." Aku melangkah masuk ke kamar dengan lemah. Lemah karena aku benar-benar capek dan ingin istirahat, tetapi sepertinya kedatangan mertua malah menambah beban pekerjaa
Aku tiba di alamat yang diberikan Bu Marissa kemarin. Namun, ini rumah yang berbeda dengan rumah yang sempat aku menginap satu malam di sana. Rumah besar dengan pagar tinggi di bagian depan. Pagar hitam kokoh yang temboknya diberikan kawat besi sebagai pengaman. Rumah ini tampak sepi, tetapi aku bisa melihat mobil BMW Om Leon, parkir di garasinya. "Permisi! Om Leon! Saya Hanun!" Seruku dari depan pagar. Tidak ada ponsel, sehingga aku tidak bisa meneleponnya. Tidak juga ada bel di dinding pagar, sehingga aku tidak tahu bagaimana cara memberitahu Om Leon, bahwa aku sudah di depan rumahnya. "Om Leon, permisi!" Teriakku lagi. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Aku berharap Om Leon belum pergi ke restoran karena ini sudah sangat terlambat. "Aku kira kamu gak jadi datang," ujar suara dari dalam. Tidak lama kemudian, pintu pagar pun terbuka. Om Leon menyambutku dengan senyuman. "Saya kesiangan ya, Om!" Kataku dengan tidak enak hati. Om Leon hanya tersenyum sambil mengunci kembali p
POV Leon"Umur kamu sudah terlalu tua dan mama kamu ini gak sanggup kalau harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan cucu dari kamu. Dua adik perempuan kamu sudah menikah dan masing-masing punya satu anak. Tinggal anak lelaki Mama satu-satunya yang belum memberikan Mama menantu, apalagi cucu. Jadi, Mama sudah putuskan untuk menjodohkan kamu dengan Renata. Wanita baik-baik dari keluarga terpandang. Mama menjodohkan kamu bukan dengan wanita karir karena Mama ingin kamu ada yang mengurus. Apa kamu paham?" aku meletakkan cangkir kopi ke atas meja. Selalu hal ini saja yang menjadi perdebatanku dan mama bila ia datang berkunjung ke rumahku. Aku ingin menikah, Ma, tapi dengan Hanun. Mana sanggup bibir ini mengatakan hal demikian karena nanti Hanun yang mendapatkan celaka. "Leon tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya setuju. Berikan alamat Renata, nanti Leon berkunjung. Alamat kantor atau alamat rumah orang tuanya juga gak papa," kataku pada mama. Wajah wanitaku itu langsung ber
Tentu semua hanya gertakan saja. Mana tega aku membiarkan wanita yang aku cintai masuk penjara. Bukan hanya isi brangkas di restoran yang jika ia mau menjadi istriku, maka restoran ini pun bisa menjadi miliknya, tetapi selagi ia masih dalam ikatan pernikahan, tentu saja aku tidak boleh gegabah. Nanti Hanun juga yang susah. Sebuah kesempatanku membawa Hanun ke rumah yang hanya sesekali saja aku kunjungi. Ia tidur di kamar bersamaku malam ini, tetapi ia di ranjang dan aku di sofa. Tidak apa aku mengalah, karena aku tahu dia lelah. Suami yang ia harapkan bisa menjadi tumpuan harapan, malah memperalatanya. Bagaimana caraku untuk memberitahu Hanun, karena wanita di depanku yang sedang tidur ini salah mencintai pria?Mas, saya lagi gak punya uang. Saya gak bisa kasbon. Aku menoleh terkejut saat Hanun meracau dalam tidurnya. Kuhampiri ia dengan wajah lelah dan sangat sederhana. Kulitnya sawo matang, tidak putih seperti impian kebanyakan kaum Adam. Aku lebih suka kulit wanita asia yang sens
POV HanunMemang hanya cium pipi, tetapi badan ini langsung panas dingin. Untung saja Om Leon langsung pergi, sehingga aku bisa meneruskan pekerjaan rumah tangga. Jika tidak, maka aku akan sangat canggung berdekatan dengan pria itu. Terakhir aku dicium Mas Biru mungkin satu bulan lalu. Kami terus berdebat soal uang dan hal sepele, sehingga baik aku ataupun dia, malas berdekatan. Kumis tipis Om Leon dan jampang yang selalu ia cukur rapi masih terasa sedikit geli di pipi iniHanun, jangan genit kamu! Batinku mengingatkan. Aku melanjutkan pekerjaan sampai sore hari. Aku juga memasak karena semua bahan makanan ada di kulkas dua pintu mirip lemari pakaian itu. Ada daging segar yang aku olah jadi beef teriyaki. Aku juga merebus brokoli dan wortel. Aku masak secukupnya dan makan pun tidak banyak. Aku tidak mau aji mumpung di rumah Om Leon. Masih untung aku dipekerjakan di sini.Kring! KringAku mengangkat telepon yang berdering dari ruang tengah. "Halo.""Halo, Hanun, kamu lagi apa?""Baru
Pintu kamar terbuka. Mas Biru masuk dengan wajahnya yang masam. Aku malas bertanya dan berpura-pura tidur. Aku sedang tidak ingin bicara dengannya maupun mertuaku."Aku tahu kamu belum tidur," katanya pelan sambil menyentuh lengan ini. Aku diam, tidak menyahut sama sekali. Mata ini pun masih terpejam amat rapat. "Aku resign." Sontak aku membuka mata, lalu bangun duduk dengan begitu terkejutnya."Kamu resign, Mas? Kenapa? Udah punya kerjaan baru?" tanyaku dengan kening berkerut."Ada sedikit masalah di pabrik dan aku dipecat sih." "Masalah apa? Selama ini kamu gak pernah cerita." Suamiku membuka baju kausnya, menyisakan kaus dalam dan celana panjang saja. Ia yang awalnya duduk di pinggir ranjang, kini merosot duduk di bawah. "Urusan lelaki pokoknya. Intinya aku gak kerja dan aku gak bisa kasih kamu uang belanja bulanan lagi. Kamu usaha sendiri dulu untuk sementara waktu. Ibu dan Sasa juga tolong tanggulangi dulu. Nanti kalau aku udah kerja, aku ganti semua uang kamu, Hanun." Aku ter